Anda di halaman 1dari 9

PENGERTIAN BUKTI SURAT DAN MACAM-MACAM ALAT BUKTI DI

MUKA PENGADILAN NEGERI

Muhammad Ridho Taufiq


2108010043

PENDAHULUAN

Sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa adalah definisi kata


bukti berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia. Kemudian apabila ditambah
imbuhan pe-an akan menjadi kata pembuktian, yang mana dalam hal ini
menyatakan sebuah proses. Maka pembuktian sebagai kata turunan dari kata bukti
mempunyai makna sebagai usaha untuk menyatakan sebuah peristiwa itu benar
dengan suatu bukti.
Ketika berbicara tentang bukti dalam konteks persidangan di pengadilan.
Baik itu dalam tataran hukum acara perdata ataupun hukum acara pidana, maka
tidak pernah terlepas dari pembicaraan mengenai satu tahapan yang merupakan
bagian penting dari sistem peradilan yang disebut tahap pembuktian. Pembuktian
menurut Bachtiar Effendie dan A. Chodari adalah penyajian alat-alat bukti yang sah
menurut hukum oleh pihak berperkara kepada hakim dalam persidangan dengan
tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar
putusannya.1 Adapun R. Subekti dalam bukunya menjelaskan, bahwa membuktikan
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan.2
Dalam tahapan pembuktian mengharuskan para pihak untuk
membuktikan, sesuai dengan asas actori in cumbit probatio, yang mengandung
makna siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Asas ini secara
eksplisit diatur dalam Pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUH Perdata yang

1
Bachtiar Effendie, dkk., (1991), Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata,
Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 50.
2
R. Subekti, (1977), Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, hlm. 78.

1
menyebutkan bahwa yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak
yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak atau mengukuhkan haknya
sendiri maupun membantah suatu hak orang lain yang menunjuk pada suatu
peristiwa.3

PEMBAHASAN

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa merupakan suatu asas


barang siapa yang mendalilkan sesuatu dialah kemudian yang harus
membuktikannya. Untuk itu harus diketahui ada beberapa macam alat-alat bukti
dan bagaimana cara membuktikannya. Alat-alat bukti menurut Bachtiar Effendie,
dkk., adalah bahan-bahan yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara
perdata di depan persidangan pengadilan.4 Dan karena dalam perkara perdata yang
dicari adalah kebenaran formil. Hal ini membawa konsekuensi pembuktian dalam
perkara perdata adalah positief wettelijk bewijstheorie atau teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Artinya, hakim hanya memutus perkara
semata-mata berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Konsekuensi positief wettelijk bewijstheorie yaitu dalam pembuktian perkara
perdata dikenal hierarki alat bukti.5 Alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang disebutkan dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan 1866 BW yaitu alat
bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan,
dan sumpah.

A. Alat Bukti Tertulis


Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138,165,167 HIR, Pasal 164, 285,
305 RBg S 1867 No. 29 dan Pasal 1867-1894 KUH Perdata (baca juga Pasal
138-147 Rv).

3
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, (2021), Dasar-Dasar Ilmu Hukum Memahami
Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum, Indonesia: Red & White Publishing, Cetakan Pertama,
hlm.109-110.
4
Bachtiar Effendie, dkk., Op. Cit., hlm. 57.
5
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 418.

2
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-
tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.6
Secara sederhananya adalah alat bukti yang memuat tulisan untuk
menyampaikan isi pikiran seseorang. Alat bukti surat ini, jika dilihat dari segi
bentuknya ada dua macam, yaitu surat akta dan surat bukan akta. Surat akta
adalah surat yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atau perikatan yang digunakan untuk pembuktian bertanggal dan
ditandatangani.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua, yaitu surat yang merupakan
akta dan surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta. Selanjutnya yang
disebut akta itu terbagi menjadi dua lagi, yaitu akta resmi
(authentiek/selanjutnya disebut akta otentik), dan akta di bawah tangan
(onderhands/selanjutnya disebut akta bawah tangan). Akta otentik menurut
rumusan Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan 1868 KUH Perdata adalah suatu
akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk di tempat di
mana akta dibuatnya. Pejabat umum yang dimaksudkan itu adalah notaris,
pejabat pembuat akta tanah, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai
pencatatan sipil, penyidik, dan lain-lain.
Akta otentik menurut undang-undang mempunyai suatu kekuatan
pembuktian yang sempurna, yang artinya jika suatu pihak mengajukan suatu
akta resmi, maka hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang
dituliskan dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak
boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Akta bawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa
bantuan pejabat umum, dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti.
Sebagai contoh adalah surat sewa menyewa, surat perjanjian jual beli yang
dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang

6
Sudikno Mertokusumo, (2021), Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Maha Karya Pustaka,
Cetakan Pertama, hlm. 172.

3
mengadakan perjanjian itu. Untuk kekuatan hukumnya apabila akta bawah
tangan diakui kebenarannya, maka bisa disetarakan dengan akta otentik.
Surat yang bukan merupakan akta, yaitu surat-surat yang tidak ada
tanda tangannya. Sebagai contoh resi, karcis, surat faktur, atau catatan oleh
suatu pihak. Surat semacam ini kekuatan pembuktiannya diserahkan pada
pertimbangan hakim untuk mempercayainya.
B. Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 158-172 HIR, Pasal 165-
179 RBg, Pasal 1895 dan 1902-1912 KUH Perdata.7
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang suatu peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.
Keterangan yang diberikan oleh saksi haruslah tentang peristiwa atau
kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh
secara berpikir bukan merupakan suatu kesaksian. Hal ini mengacu pada Pasal
171 ayat 2 HIR, Pasal 308 ayat 2 RBg, dan Pasal 1907 KUH Perdata. Di sinilah
perbedaan antara keterangan yang diberikan oleh saksi dan ahli. Seorang saksi
dipanggil di muka sidang untuk memberi tembusan keterangan untuk
menjelaskan peristiwanya, sedang seorang ahli dipanggil oleh hakim untuk
membantu menilai peristiwanya.
Keterangan saksi itu haruslah diberikan secara lisan dan pribadi di
persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak
boleh dibuat secara tertulis. Apabila keterangan saksi tadi dilakukan secara
tertulis, maka itu sudah bukan lagi alat bukti kesaksian melainkan alat bukti
tertulis.
Mengenai jumlah saksi apabila hanya ada satu tidaklah cukup, karena
menurut Pasal 1905 KUH Perdata yang berbunyi “keterangan seorang saksi
saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya”.

7
Ibid., hlm. 191.

4
Jadi kesaksian satu orang saja tidak dianggap kesaksian, hal ini bersesuaian
dengan asas unus testis nullus testis yang artinya “satu saksi bukanlah saksi.
Dan syarat untuk bisa memberi kesaksian di Pengadilan adalah sudah dewasa
menurut hukum undang-undang, tidak sakit ingatan, dan yang paling penting
tidak ada ikatan keluarga dengan para pihak yang berperkara. Kemudian
sebelum memberikan kesaksian, seseorang akan disumpah terlebih dahulu
dengan mengucapkan “saya bersumpah/berjanji sebagai saksi akan
memberikan keterangan yang sebenar-benarnya tidak lain daripada
sebenarnya” dengan sebuah kitab suci di atas kepalanya.
C. Alat Bukti Persangkaan
Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata menyebut
persangkaan-persangkaan (vermoedens, presumptions) sebagai alat bukti
sesudah saksi. 8
Pengertian persangkaan sebagai alat bukti kiranya tidak dijelaskan
secara merinci di dalam HIR maupun RBg. Akan tetapi dijelaskan dalam Pasal
1915 KUH Perdata bahwa “persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang atau Hakim ditariknya dari suatu
peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal”. Menurut
C.S.T. Kansil bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang dapat diambil
berdasarkan peristiwa-peristiwa yang diketahui.9
Berdasarkan Pasal 1915 KUH Perdata, maka persangkaan itu dibagi
menjadi dua macam, yaitu persangkaan menurut undang-undang dan
persangkaan yang bukan berdasarkan undang-undang (kesimpulan hakim).
Persangkaan menurut undang-undang telah dijelaskan di dalam Pasal
1916 KUH Perdata, yaitu persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan
khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu. Persangkaan menurut undang-undang dikenal juga
dengan sebutan persangkaan berdasarkan hukum (rechtvermoedens,

8
Ibid., hlm. 203.
9
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, (1979), Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktik, Bandung: Alumni, hlm. 54.

5
preasumptionesyuris). Persangkaan menurut undang-undang ini dapat berupa
persangkaan yang memungkinkan adanya pembuktian lawan, dapat juga berupa
hal yang tidak dimungkinkan pembuktian lawan.10 Persangkaan-persangkaan
semacam itu menurut Pasal 1916 KUH Perdata di antaranya:11
1. Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena
sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari
ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan
kesimpulan guna menetapkan hak kepemilikan atau pembebasan dari utang.
3. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim.
4. Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau
sumpah oleh salah satu pihak.
Persangkaan menurut undang-undang dapat terjadi misalnya
pembayaran sewa rumah, sewa tanah, sewa sawah, angsuran jaminan bank yang
harus dibayar tiap-tiap bulan tertentu, maka dengan adanya tiga surat tanda
pembayaran (kuitansi) tiga angsuran terakhir berturut-turut, maka timbul suatu
persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang sebelumnya telah dibayar lunas.
Misalnya lagi setiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah,
suami dianggap sebagai ayah dari anak-anaknya.12
Sedangkan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang
(persangkaan berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim)
adalah persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta (fetelijke vermoeden) atau
presumptions facti yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan
sebagai pangkal titik tolak Menyusun persangkaan, hal ini dilakukan oleh hakim
karena undang-undang sendiri memberikan kewenangan kepadanya berupa
kebebasan menyusun persangkaan.13 Selanjutnya persangkaan hakim

10
H. Abdul Manan, (2005), Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta: Kencana, hlm. 255.
11
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 205-206.
12
H. Ishaq, (2014), Pengantar Hukum Indonesia (PHI), Jakarta: Rajawali Pers, Cetakan Pertama,
hlm. 210.
13
M. Yahya Harahap, (2005), Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, hlm. 696.

6
(rechtelijke vermoedens) menurut H. Abdul Manan adalah kesimpulan yang
ditarik oleh hakim berdasarkan peristiwa atau kejadian tertentu yang telah
terungkap melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak.14
D. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) sebagai alat bukti diatur dalam
Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 RBg, dan Pasal 1923-1928 KUH Perdata.
15
Pengakuan dapat diberikan di muka hakim dalam persidangan ataupun di luar
persidangan. Definisi pengakuan menurut Pasal 1923 KUH Perdata, yaitu yang
dikemukakan terhadap satu pihak, ada yang dilakukan di muka hakim, dan ada
yang dilakukan di luar sidang Pengadilan.
Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, menurut Pasal 174
HIR/Pasal 311 RBg adalah pengakuan yang memberikan bukti yang sempurna
memberatkan orang yang mengucapkannya, baik sendiri maupun dengan
bantuan orang lain yang diwakilkan secara khusus. Pengakuan dalam hal ini
tidak dapat ditarik kembali seperti yang ditentukan dalam Pasal 1926 KUH
Perdata, kecuali apabila terbukti pengakuan tersebut akibat dari suatu kesesatan
atau kekeliruan mengenai hal-hal yang terjadi.
Sedangkan pengakuan di luar sidang pengadilan adalah keterangan
yang diberikan oleh salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar
persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan yang diberikan oleh
lawannya. Menurut Pasal 175 HIR/312 RBg adalah diserahkan kepada
pertimbangan dan ingatan hakim akan menentukan gunanya suatu pengakuan
dengan lisan yang dibuat di luar persidangan. Perlu mendapatkan perhatian
bahwa pengakuan di luar persidangan ini masih harus dibuktikan lagi dalam
persidangan. Dan pengakuan dalam hal demikian tadi dimungkinkan untuk
dapat ditarik kembali.
E. Alat Bukti Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberikan janji atau keterangan dengan

14
H. Ishaq, Op. Cit., hlm. 210.
15
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 207.

7
mengingat akan sifat mahakuasa dari Tuhan, dan dipercaya bahwa siapa yang
memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya. Jadi
pada hakikatnya, sumpah merupakan suatu Tindakan yang sifatnya religius
yang digunakan dalam persidangan di pengadilan. Sumpah sebagai alat bukti
diatur dalam Pasal 155-158, 177 HIR, Pasal 182-185, 314 RBg, dan Pasal 1929-
1945 KUH Perdata.16
Menurut ketentuan dalam Pasal 1929 KUH Perdata, bahwa ada dua
macam sumpah di muka hakim, yang pertama yaitu sumpah yang oleh pihak
yang satu diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan
pemutusan perkara padanya, kemudian sumpah ini disebut sumpah pemutus,
dan yang kedua sumpah oleh hakim, karena jabatannya, diperintahkan kepada
salah satu pihak.
Sumpah pemutus (decissoired) dapat diperintahkan terhadap segala
sengketa yang berupa apa pun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak
tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan
mereka tidak boleh diperhatikan. Sumpah pemutus ini merupakan senjata
pamungkas bagi satu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian.17
Mengenai sumpah ini diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 RBG, dan Pasal
1930 KUH Perdata.
Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa
sebagai dasar putusannya disebut sebagai sumpah suppletoir. Sumpah ini diatur
dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 RBg, dan Pasal 1940 KUH Perdata. Adapun
fungsi dari sumpah ini adalah untuk lebih meyakinkan hakim, yang mana hakim
dapat memerintahkan untuk melakukannya apabila tuntutan maupun tangkisan
tidak terbukti dengan sempurna, dan tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak
sama sekali tidak terbukti.

16
Ibid., hlm. 214.
17
H. Ishaq, Op. Cit., hlm. 211.

8
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bachtiar Effendie, dkk., (1991), Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam
Perkara Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti.
H. Abdul Manan, (2005), Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta: Kencana.
H. Ishaq, (2014), Pengantar Hukum Indonesia (PHI), Jakarta: Rajawali Pers,
Cetakan Pertama.
M. Yahya Harahap, (2005), Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika,
Cetakan Ketiga.
R. Subekti, (1977), Hukum Acara Perdata, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum
Nasional.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, (1979), Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktik, Bandung: Alumni.
Sudikno Mertokusumo, (2021), Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Maha Karya
Pustaka, Cetakan Pertama.
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, (2021), Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum, Indonesia: Red &
White Publishing, Cetakan Pertama.
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V

Anda mungkin juga menyukai