Anda di halaman 1dari 16

ALAT BUKTI

Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : HUKUM ACARA PERDATA

Dosen Pengampu: Moh.Arifin

Disusun Oleh :

Surlina (1702056026)

Valen Thalia ‘Ala Rosyadi (1702056029)

Dwi Laily Satiti (1702056053)

Muhammad Azmi Ali (1702016093)

KELAS PIH-A4

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu
sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hukum diantara kedua belah
pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki
nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum.
Dalam pembuktian itu maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat
menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun
pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan
sesuatu maka ia wajib membuktikannya. Jadi pembuktian hanya diperlukan dalam
suatu perkara dimuka pengadilan. Jika tidak ada perkara atau sengketa dimuka
pengadilan mengenai hak perdata seorang.
Hukum Pembuktian ini termuat dalam HIR (pasal 162 sampai dengan 177),
RBg (pasal 282 sampai dengan 314), stb. 1867 no. 29 (tentang kekuatan pembuktian
akta dibawah tangan) dan BW buku IV (pasal 1856 sampai dengan 1945).
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan
lebih dalam mengenai pembuktian dan alat bukti sebagai salah satu tata cara dan
beracara dalam hukum acara perdata.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Macam- macam alat bukti


Menurut sistem HIR, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah,
artinya bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti
yang ditentukan dalam undang-undang.Menurut pasal 164 HIR,macam-macam alat
bukti sebagai berikut :

a. Alat bukti surat atau tertulis


Alat bukti berupa surat atau tertulis ini dapat berupa surat yang dibuat secara
tertulis baik oleh para pihak yang berperkara secara dibawah tangan atau dibuat
oleh pihak lain yang karena jabatannya mempunyai hak untuk itu.
Alat bukti berupa surat atau tertulis terdapat 3 macam yaitu :
 Akta Autentik
Alat bukti berupa akta autentik diatur dalam :
1) Pasal 165 HIR dinyatakan bahwa:
“surat akta yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau
dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti
yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya tentang segala apa yang disebut di dalam surat itu
dan juga tentang segala yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja,
dalam hal terakhir ini jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung
dengan perihal pada surat akta itu”.
2) Pasal 285 RBg dinyatakan bahwa:
“sebuah akta autentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang sesuai dengan
undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat
akta itu dibuat merupakan bukti lengkap antara para pihak serta keturunanya
dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat didalamnya dan
bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal terakhir ini sepanjang pernyataan
itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi akta pokok itu”.

3
3) Pasal 1868 BW dinyatakan bahwa :
“suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”.
Dari bunyi ketiga pasal diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud akta
autentik adalah suatu surat yang dibuat secara tertulis oleh pejabat umum yang
karena jabatanya mempunyai wewenang untuk itu.

Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian yaitu:

1. kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut;
2. kekuatan pembuktian materil, membuktikan antara para pihak bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi;
3. kekuatan mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada
tanggal yang tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada
pegawai umum tadi dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
oleh karena menyangkut pihak ketiga, maka disebutkan bahwa akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian keluar (orang luar).

 Akta Dibawah Tangan


Akta dibawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat, jadi semata-mata dibuat Antara
para pihak yang berkepentingan. Dalam akta dibawah tangan kekuatan
pembuktiannya hampir sama dengan akta otentik, bedanya terletak pada
kekuatan bukti keluar, yang tidak dimiliki oleh akta dibawah tangan.
Akta dibawah tangan diatur dalam :
1. Pasal 286 RBg
2. Pasal 287 RBg
3. Pasal 288 RBg
4. Pasal 1 Ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang diubah dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44
5. Pasal 1A ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang disisipkan dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44

4
6. Pasal 1B ordonansi dengan stb. 1867 nomor 24 tanggal 14
maret 1867 yang disisipkan dengan stb. 1916 nomor 43 dan 44
7. Pasal 1874 BW
8. Pasal 1874 a BW
9. Pasal 1875 BW

 Surat Biasa
Alat bukti berupa surat biasa ini dalam praktek persidangan dipengadilan
umumnya hanyalah dijadikan alat bukti penunjang yang sifatnya insidentil dan
bukan merupakan alat bukti yang pokok dalam suatu sengketa, kecuali apabila
dalam sengketa yang dihadapi oleh para pihak ada bukti lain yang sah, maka
bukti surat biasa dapat dijadikan sebagai alat bukti yang pokok dalam suatu
perkara ditambah dengan alat bukti sumpah.
Alat bukti surat atau tertulis yang dibuat oleh pejabat umum diatur dalam :
1. Pasal 137 HIR
2. Pasal 138 HIR
3. Pasal 148 Rv
4. Pasal 149 Rv
5. Pasal 289 RBg

b. Alat bukti dengan saksi


Pembuktian dengan saksi dalam praktik lazim disebut dengan kesaksian.
Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya,
terutama untuk perjanjian-perjanjian dalam hukum adat, dimana pada umumnya
karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun. Oleh
karena bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk mengajukan
saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang dimajukan
dimuka persidangan.
Dalam suasana hukum adat dikenal dua macam saksi, yaitu saksi-saksi yang
secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang menjadi
persoalan, dan saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum itu dilakukan,
sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum tersebut.
Yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau
rasakan sendiri, dan tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan dan sebabnya,

5
dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan
atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal tidak dipandang sebagai
penyaksian (Pasal 171 ayat 2 HIR).
Seorang saksi dilarang untuk menarik suatu kesimpulan karena hal itu adalah
tugas hakim. Saksi yang akan diperiksa sebelumnya harus bersumpah menurut cara
agamanya atau berjanji, bahwa ia akan menerangkan yang sebenarnya. Setelah
disumpah saksi wajib memberi keterangan yang benar, apabila ia dengan sengaja
memberi keterangan palsu, saksi dapat dituntut dan dihikum untuk sumpah palsu
menurut pasal 242 W.v.S. (KUHpidana).
Peratutran yang menyangkut perihal cara mengucapkan sumpah atau janji
terdapat dalam Eedsregeling dari Stbl. 1920 No. 69. Ketentuan dalam pasal 5
Eedsregeling tersebut memperkenankan untuk mengucapkan janji bagi mereka
yang menurut agamanya dilarang mengucapkan sumpah.
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian pasal 172 HIR memberikan
petunjuk sebagai berikut : “dalam hal menimbang harga kesaksian haruslah hakim
memperhatikan benar kecocokan saksi-saksi yang satu dengan yang lain,
persetujuan kesaksian-kesaksian dengan apa yang diketahui dari tempat lain
tentang perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya dari tempat lain
tentang perkara yang diperselisihkan; segala sebab yang kiranya ada pada saksi-
saksi untuk menceritakan perkara itu.”
Berikut ini yang dapat diajukan sebagai saksi menurut Pasal 145
adalah :
 Yang tidak dapat didengar sebagai saksi, adalah :
a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah
satu pihak
b) Suami atau istri salah satu pihak, meskipun telah bercerai
c) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah
berumur 15 tahun
d) Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatanya terang
 Akan tetapi keluarga sedarah atau semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena
keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hukum sipil dari pada orang
yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
 Orang tersebut dalam pasal 146 (1) a dan b, tiodak berhak minta mengundurkan
diri dari pada memberikan kesaksian dalam perkara tersebut dalam ayat dimuka.

6
 Pengadilan negri berkuasa akan mendengar diluar sumpah anak-anak atau orang-
orang gila yang kadang-kadang terang ingatanya, yang dimaksud dalam ayat
pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.
Pasal 146 HIR menyebutkan golongan-golongan orang yang diperkenankan
untuk mengundurkan diri. Hal ini berarti, bahwa bukan hakim yang karena jabatan
akan menolak mereka, seperti halnya saksi yang dilarang dalam pasal 145 HIR,
akan tetapi saksi sendiri yang oleh undang-undang diberi hak untuk tidak mau
didengar dibawah sumpah. Kalau saksi tersebut tidak minta untuk mengundurkan
diri, saksi itu tidak boleh ditolak. Hanya nanti dapat dipertimbangkan, bahwa oleh
karena adanya hubungan darah, keterangan saksi tidak dapat dipercaya penuh, oleh
karena sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, hakim harus memperhatikan
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keterangan saksi (pasal 172 HIR).
Menurut pasal 146 (1) HIR yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan
kesaksian, adalah :
a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari
salah satu pihak
b) Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, dan saudara laki-laki dan
perempuan dari laki atau istri salah satu pihak
c) Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan sah diwajibkan
menyimpan rahasia, akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang
diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatanya itu. 1

c. Alat Bukti Persangkaan


Pasal 164 HIR (28 RBg. 1866 BW ) menyebut sebagai alat bukti sesudah
saksi.
Tentang pengertian persangkaan banyak terdapat salah pengertian. Ada
kalanya persangkaan itu dianggap sebagai alat bukti yang berdiri sendiri atau
sebagai suatu dasar pembuktian atau suatu pembebasan pembebanan pembuktian.
Kalau pembuktian secara yuridis itu merupakan persangkaan yang
meyakinkan, maka persangkaan itu merupakan pembuktian sementara
Pada hakikatnya yang dimaksudkan dengan persangkaan tidak lain adalah alat
bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya saja pembuktian dari ketidak hadiran

1
Retnowulan Sutantio, 2009, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 70-73

7
seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya
pada waktu yang sama ditempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti
dapat menjadi persangkaan.
Menurut ilmu pengetahuan,persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung
dan dibedakan seperti berikut :
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan
2. Persangkaan berdasarkan hokum
Persangkaan berdasarkan hokum dibagi menjadi dua :
 Praesumptiones juris tantum,
 Praesumptiones juris et de jure,
Persangkaan diatur dalam HIR (pasal 172), RBg (pasal 310) dan BW (pasal
1915- 1922). Menurut pasal 1915 BW maka persangkaan adalah kesimpulan-
kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang
terang nyata kearah peristiwa lain yang belum terang kenyataanya. Jadi menurut
pasal 1915 BW ada dua persangkaan, yaitu yang didasarkan atas undang-undang(
Praesumptiones juris) dan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik
oleh hakim (Praesumptiones facti).
Pasal 1915 BW mengenai dua macam persangkaan, yaitu persangkaan yang
didasarkan atas undang-undang dan persangkaan yang didasarkan atas kenyataan,
maka pasal 173 HIR (pasal 310 RBg.) hanya mengatur tentang persangkaan yang
tidak disarankan pada ketentuan undang-undang dan sama sekali tidak mengatur
persangkaan-persangkaan lainnya.
Persangkaan berdasarkan undang-undang menurut pasal 1916 BW ialah
persangkaan-persangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan
perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain:
 Perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dari sifat
dan keadaanya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-
ketentuan undang-undang
 Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna
menetapkan hak pemilikan atau kebebasan dari hutang.
 Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim.
 Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang pengakuan atau sumpah oleh salah
satu pihak.

8
Tentang persangkaan menurut undang-undang yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan diatur dalam pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi
dasar untuk membatalkan perbuatan-perbuatan tertentu (pasal 184, 911, 1681 BW).
Persangkaan yang tidak memungkinkan bukti lawan pada hakikatnya bukanlah
persangkaan.
Contoh persangkaan menurut undang-undang yang memungkinkan pembuktian
lawan misalnya: pasal 159, 633, 658, 662, 1394, 1439 BW, 42, 44 peraturan
kepailitan. Persangkaan menurut undang-undang ini membebaskan orang, yang
untung karenanya dari segala pembuktian lebih lanjut (pasal 1921 ayat 1 BW).
Kekuatan pembuktianya bersifat memaksa.
Telah menjadi pendapat umum bahwa persangkaan menurut undang-undang
didalam ilmu pengetahuan tidaklah perlu dipertahankan. Persangkaan berdasarkan
kenyataan, kekuatan pembuktianya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang
hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada
hubunganya satu sama lain. Persangkaan-persangkaan semacam itu hanya boleh
diperhatikan dalam hal undang-undang membolehkan pembuktian dengan saksi.
Demikian pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau
suatu akta berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan (pasal 1922
BW).
Berbeda dengan pada persangkaan menurut undang-undang, maka disini
hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan. Setiap
peristiwa yang dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai
persangkaan.
Pembentuk undang-undang dalam bahasa aslinya menggunakan bentuk jamak
untuk persangkaan (vermoedens). Ini berarti bahwa hakim tidak boleh
mendasarkan putusannya hanya atas satu persangkaan saja. Dengan perkataan lain
satu persangkaan saja tidaklah cukup sebagai alat bukti. Sekarang pendapat ini
sudah tidak lagi dianut, sehingga satu peristiwa saja sudah dianggap cukup.2
d. Alat Bukti Pengakuan
Alat bukti berupa pengakuan dalam hukum acara perdata apabila pihak tergugat
atau pihak lawan dalam perkara dipersidangan telah mengakui adanya suatu
peristiwa hukum, umumnya tidak perlu adanya pembuktian. Namun, jika ternyata

2
Sudikno Mertokusumo, 2010, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta:Universitas Adma Jaya , 243-248.

9
dalam suatu perkara pengakuan seseorang terhadap hak kepemilikan atas suatu
benda baik bergerak maupun tidak bergerak dan terjadinya suatu peristiwa hukum
disangkal oleh pihak lawan, maka pihak yang disangkal tersebut harus dapat
membuktikan adanya bukti hak kepemilikan atas bendanya dan bukt atau saksi
yang melihat dan mendengar terjadinya peristiwa hukum yang dilakukan oleh
pihak yang sedang berpekara.
Pengakuan dalam hukum acara perdata menurut pasal 1923 BW. Terdapat dua
macam :
a) Pengakuan di Muka Hakim
Pengakuan di muka hakim yang telah disumpah baik itu dilakukan sendiri oleh
yang bersangkutan maupun melalui kuasa hukumnya dan tidak disangkal oleh
pihak lawannya, maka pembuktian dari pengakuan tersebut telah sempurna dan
kekuatan pembuktiannya mutlak (pasal 1925 BW jo. Pasal 174 HIRjo. Pasal 311
RBg). Pengakuan semacam ini masuk dalam pengakuan yang murni karena pihak
lawan atau tergugat membenarkan secara keseluruhan gugatan penggugat dan tidak
mengadakan perlawanan atas gugatan. Penggugat.
Pengakuan yang diucapkan di muka hakim dalam perkara perdata dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna tentang adanya peristiwa hukum yang
menjadi bjek dari pada sengketa, namun pengakuan yang diucapkan di muka
hakim dalam perkara pidana akan memberatkan orang yang telah melakukan
pengakuan tersebut karena umumnya pengakuannya berhubungan dengan
kejahatan yang telah dilakukannya, kecuali pengakuan yang diberikan oleh saksi
(pasal 174 HIR). Pengakuan dalam perkara perdata umumnya dipergunakan untuk
mengetahui benar tidaknya kejadian atau peristwa hukum yang dilakukan oleh
pihak yang sedang berperkara. Jadi, jelaslah sudah bahwa secara yuridis pengakuan
dalam perkara perdata tidak sama dengan pengakuan yang ada dalam pengakuan
perkara pidana, disini terdapat perbedaan yang sangat bertentangan dalam hal
pengakuan dipakai sebagai alat bukti.
b) Pengakuan lisan diluar persidangan
Pengakuan lisan diluar siding pengadilan secara yuridis tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sempurna karena pengakuan tersebut dilakukan
tidak dengan sumpah, kecuali pengakuan lisan diluar sidang pengadilan yang
dilakukan oleh saksi, walaupun tanpa disumpah pengakuannya dapat dijadikan
sebagai alat bukti yang sempurna. Pengakuan lisan diluar persidangan tanpa

10
disumpah berharga tidaknya sebuah pengakuan tersebut sebagai alat bukti
sepenuhnya tergantung pada pertimbangan hakim dalam menilai sebuah pengakuan
(pasal 1927 dan 1928 BW jo. Pasal 175 HIR jo. Pasal 312 RBg).
Ketentuan-ketentuan mengenai pengakuan diatur dalam:
a). Pasal 176 HIR dinyatakan bahwa :
“Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya dan hakim tidak bebas akan
menerima sebagian dan menolak sebagian lagi, sehingga merugikan orang yang
mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan melepaskan
dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti yang kenyataan dusta”.
b). Pasal 313 RBg dinyatakan bahwa :
“Tiap pengakuan harus diterima seutuhnya dan hakim tidak bebas dengan
merugikan orang yang memberi pengakuan, untuk menerima sebagian dan
menolak bagian lain dan hal itu boleh dilakukan hanya sepanjang orang yang
berhutang bermaksud untuk membebaskan diri dengan mengemukakan hal-hal
yang terbukti palsu”.
Maksud dari pada bunyi pasal 176 HIR jo. Pasal 313 RBg tersebut diatas adalah
bahwa hakim tidak diperbolehkan menerima pengakuan hanya sebagian dan
sebagian lagi ditolak, kecuali :
1. Pihak yang melakukan pengakuan dengan maksud tidak baik untuk membebaskan
diri dari kewajibannya memenuhi prestasi yang harus dipenuhi sesuai dengan
perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.
2. Jika dalam gugatan penggugat sebagian diakui atau dibenarkan oleh tergugat dan
sebagian lagi ditolak atau disangkal tergugat yang disertai dengan bukti-bukti yang
sah dan tidak dibantah oleh pihak lawan (penggugat), maka hakim dapat memisah-
misahkan pengakuan tersebut dengan cara menerima pengakuan tersebut sebagian
dan sebagian lagi ditolak dengan harapan agar tidak merugikan pihak tergugat
dalam suatu perkara.
Jadi, dalam hal pengakuan dijadikan sebagai alat bukti dalam suatu perkara,
apabila tergugat atau pihak lawan menyangkal atau menolak sebagian dari gugatan
dan sebagian lagi pengakuanya terhadap suatu tuntutan penggugat menerima, maka
hakim tidak diperbolehkan memisah-misahkan pengakuan pihak lawan. Jika
ternyata hakim memisah-misahkan pengakuan tergugat, maka tindakan hakim yang
mengadakan pemisahan terhadap pengakuan yang dikemukakan oleh tergugat
sudah barang tentu akan merugikan pihak yang telah melakukan pengakuan.

11
Pengakuan sebagai alat bukti dalam perkara perdata terdapat tiga macam antara
lain :
1. Pengakuan dengan klausul
Yang dmaksud dengan pengakuan klausul adalah pengakuan yang disertai dengan
keterangan tambahan yang sifatnya dapat membebaskan diri dari gugatan.
Pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang sifatnya dapat
membebaskan diri dari gugatan dalam praktik peradilan umumnya dapat berupa
pembenaran tentang adanya peristiwa hukum yang dialami oleh para pihak yang
sedang berperkara, tetap sesuai dengan perjanjian prestasnya telah dipenuhi oleh
pihak tergugat yang disertai bukti yang sah.
2. Pengakuan dengan kualifikasi
Yang dimaksud pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang disertai
dengan keterangan tambahan sangkalan dari pihak lawan.
Pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan sangkalan dari pihak lawan
dalam praktik peradilan umumnya dapat berupa sangkalan dari pihak lawan yang
menolak sebagian dan menerima sebagian dari pada tuntutan penggugat yang
disebabkan oleh karena prestasinya sebagian dari perjanjian telah dipenuhi oleh
tergugat.
3. Pengakuan murni
Yang dimaksud dengan pengakuan murni adalah pengakuan yang membenarkan
secara keseluruhan gugatan penggugat.
Pengakuan semacam ini umumnya dalam praktik peradilan pihak tergugat
mengakui kebenaran gugatan penggugat secara keseluruhan dengan terus terang
tanpa mengadakan sangkalan.

e. Alat Bukti Sumpah


Yang dimaksud alat bukti sumpah adalah sumpah yang diucapkan oleh
seseorang dimuka hakim untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya
tentang terjadinya suatu peristiwa hukum dalam suatu perkara.
Dalam pengucapan sumpah dimuka hakim umunya disesuaikan dengan
agama ang dianut oleh seseorang yang akan disumpah karena pengucapan sumpah
yang disesuaikan dengan agama atau keyakinan yang dimaksudkan agar yang
bersangkutan setelah disumpah dapat memberikan keterangan yang jujur terhadap

12
terjadinya peristiwa hukum yang didengar, dialami, dan dilihatnya secara langsung
tanpa adanya unsur kebohongan.
Sumpah menurut Pasal 1929 BW ada dua macam yaitu :
a). Sumpah Karena Jabatan
Yang dimaksud dengan sumpah karena jabatan adalah seorang hakim
yang karena jabatannya mempunyai hak untuk memperintahkan salah
satu pihak yang berperkara untuk bersumpah sebelum dilakukan
pemeriksaan.
b). Sumpah Pemutus
Yang dimaksud dengan sumpah pemutus adalah sumpah di muka hakim
yang dilakukan oleh salah satu pihak atas permintaan pihak lawan dalam
suatu perkara untuk memperkuat pengakuan terjadinya peristwa hukum
yang menjadi sengketa.

f. Alat Bukti Keterangan Saksi Ahli


Yang dimaksud dengan alat bukti keterangan saksi ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu terhadap terjadinya
peristiwa hukum dalam suatu perkara.
Alat bukti berupa keterangan ahli baru akan dipergunakan oleh hakim dalam
persidangan apabila dalam sengketa yang dihadapi oleh para pihak yang sedang
berperkara untuk memperjelas dan mengungkap adanya peristiwa hukum
diperlukan adanya keterangan seorang ahliatau saksi ahli dibidang ilmu
pengetahuan tertentu yang berhubungan dengan perkara yang dihadapi oleh para
pihak, maka hakim karena jabatannya atau atas permintaan kedua belah pihak yang
berperkara dapat mengangkat seorang ahli yang keahliannya ada hubungannya
dengan perkara yang sedang dihadapi oleh para pihak. Pengangkatan seorang ahli
yang dibutuhkan dalam persidangan harus disumpah terlebih dahulu di muka
hakim,tetapi jika tempat tinggal ahli tersebut berada diluar wilayah pengadilan
yang memeriksa perkara, maka ketua pengadilan dapat meminta bantuan kepada
pengadilan negri lain atau kejaksaan yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau
domisili ahli yang dibutuhkan. Seorang ahli tersebut sebelum memberikan
keterangan tentang peristiwa hukum yang sedang dihadapi oleh para pihak yang
sedang berperkara harus disumpah oleh hakim pengadilan negeri lain atau jaksa
yang belum ditunjuk untuk itu.

13
g. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat
Yang dimaksud dengan pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan langsung
yang dilakukan oleh hakim anggota dan panitera pengganti terhadap barang
bergerak maupun barang tidak bergerak yang menjadi objek persengketaan para
pihak.
Dalam persidangan, apabila ada permintaan dari salah satu pihak atau para
pihak yang sedang berperkara atau karena jabatannya hakim memandang perlu
untuk mengadakan pemeriksaan setempat terhadap objek yang menjadi sengketa
para pihak yang sedang berperkara dan diperkirakan objeknya tidak dapat
diajukan kedepan sidang pengadilan, maka hakim ketua dapat memperintahkan
hakim anggota yang dibantu oleh panittera pengganti mengadakan pemeriksaan
setempat terhadap objek sengketa. Pemeriksaan setempat ini sangat diperlukan
dalam hal penyitaan terhadap barang-barang jaminan baik barang-barang bergerak
maupun tidak bergerak karna selain untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
juga dapat dipergunakan untuk bahan mengambil keputusan khususnya terhadap
barang-barang yang tidak bergerak harus diketahui betul tentang letak dan batas-
batasnya. Hal ini disebabkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari setelah putusan pengadilan dikeluarkan. Misalnya letak objek
sengketa sesuai bukti yang diberikan tidak benar dan atau tidak sesuai. Jika
ternyata tempat objek yang menjadi sengketa berada diluar daerah hukum
pengadilan negri lain, maka ketua pengadilan dapat meminta bantuan kepada
pengadilan negeri lain atau kejasaan ditempat objek dari persengketaan berada
untuk mengadakan pemeriksaan setempat. Hakim anggota dan panitera setelah
mengadakan pemeriksaan setempat terhadap barang-barang yang menjadi sengketa
membuat berita acara yang ditanda tangani oleh hakim anggota dan panitera dan
mengirimkannya kepada hakim ketua yang menangani perkara tersebut (Pasal 153
HIR jo. Pasal 180 RBg jo. Pasal 211 Rv).3

3
Sarwono, 2011, Hukum Acara Perdata Teori & Praktik, Jakarta:Sinar Grafika, 267-285.

14
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum pembuktian dalam KUHPerdata buku IV itu disusun khusus untuk acara
contradictoir atau peradilan voluntoir atau peradilan volunter pada azasnya tidak berlaku
hukum pembuktian dari KUHPerdata buku IV, tetapi diperlakukan secara analog. Yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara
atau sengketa. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan
bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW;
“Barang siapa yang mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu” (Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg, 50 ayat 1 Rv). Jadi dalam hal ini
dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu
para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.

Dalam Pasal 164 HIR/ Pasal 284 R.Bg menyebutkan,alat-alat bukti dalam perkara
perdata ialah :

1. Alat Bukti Surat


2. Alat Bukti Saksi
3. Alat Bukti Persangkaan
4. Alat Bukti Pengakuan
5. Alat Bukti Sumpah

Tujuan dari alat bukti ialah untuk membuktikan kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang
diajukan itu benar-benar terjadi,guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.

15
DAFTAR PUSTAKA

Sutantio, Retnowulan. 2009. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan


Pratek.(Bandung: Mandar Maju). Cet ke 11.
Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia.(Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya).
Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. (Jakarta: Sinar Grafika).

16

Anda mungkin juga menyukai