Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN


AGAMA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama

Disusun oleh :
UMUL CHAIR
211000360362

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa iman, Islam dan ilmu serta
bimbingann-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “ Pembuktian dan alat bukti dalam hukum acara peradilan agama ”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Agama. Penulis berharap, makalah ini bermanfaat untuk
menambah pengetahuan mengenai Ila’.
Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen
yang telah memberikan ilmunya, bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya
makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan
saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Kami berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan
rekan-rekan mahasiswa lainnya. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Padang, 02 November 2022

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................- 1 -

A. Latar Belakang.......................................................................................- 1 -
B. Rumusan Masalah..................................................................................- 1 -
BAB II PEMBAHASAN................................................................................- 2 -

A. Pembuktian.............................................................................................- 2 -
1. Pengertian Pembuktian...................................................................- 2 -

2. Tujuan Pembuktian..........................................................................- 3 -

3. Asas dan Dalil Pembuktian..............................................................- 4 -

B. Alat Bukti................................................................................................- 6 -
1. Alat Bukti Tertulis.............................................................................- 7 -

2. Alat Bukti Saksi................................................................................- 9 -

3. Persangkaan..................................................................................- 11 -

4. Pengakuan/ Ikrar............................................................................- 12 -

5. Sumpah..........................................................................................- 14 -

6. Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153)...............................- 15 -

7. Saksi Ahli (pasal 154 HIR).............................................................- 17 -

8. Pembukuan (pasal 167 HIR).........................................................- 18 -

9. Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)...........-


19 -

BAB III.............................................................................................................- 20 -

KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................- 20 -

A. Kesimpulan...........................................................................................- 20 -

ii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iv

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa


didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak
berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi
putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti.
Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara
dalam persidangan di pengadilan. Untuk membuktian seseorang terlibat atau
tidak, proses pembuktian memegang peranan sangat penting. Melalui
pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak.
Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas
terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan
dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang harus dibuktikan, siapa
yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan
lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

B. Rumusan Masalah

1. Pembuktian
2. Macam-macam alat bukti
3. Pemeriksaan Setempat

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Secara etimologis, Pembuktian diambil dari kata ‘bukti’. Kata ‘bukti’


dalam kamus Hukum berarti ‘sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu
dalil atau pendirian’. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
bukti mempunyai empat arti, yaitu pertama, adalah hal yang menjadi tanda
perbuatan jahat; kedua, sesuatu yang dijadikan sebagai keterangan nyata;
ketiga, sesuatu yang dipakai sebagai landasan keyakinan kebenaran terhadap
kenyataan; keempat, sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa.
Bukti merupakan segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran
suatu dalil atau pendirian. Sedangkan yang dimaksud dengan Pembuktian ialah
suatu rangkaian peraturan tata tertib yang dilaksanakan dalam melangsungkan
penyelesaian di muka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari
keadilan.
Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “Al-bayinah”
yang artinya “suatu yg menjelaskan.” Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya
At-Turuq al Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa
saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.
Menurut Yahya Harahap, dalam pengertian yang luas, pembuktian
adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa
yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan
dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal
yang dibantah atau hal yang masih diperselisihkan di antara pihak-pihak yang
berperkara1.
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan pembuktian adalah
menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan didalam

2
suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang
diperiksa oleh hakim0.
Menurut Prof. Dr. Supomo, pembuktian mempunyai arti luas dan arti
terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan
hakim dengan syarat-syarat bukti yang syah. Dalam arti terbatas pembuktian itu
hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu di bantah oleh
tergugat.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pembuktian
adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan
kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang
bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang
berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing
pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa
dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak
benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim hakim
menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap
benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
oleh peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam
suatu persengketaan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Untuk membuktikan itu, para
pihaklah yang aktif berusaha mencarinya, menghadirkan atau
mengetengahkannya ke muka sidang.

2. Tujuan Pembuktian

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya


peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang harus memeriksa, mengadili dan
kemudian memutuskan perkara, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim
yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Karena putusan itu diharuskan
objektif, maka pembuktian ini diharuskan bertujuan untuk memperoleh kepastian

3
bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar.
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan
putusan hakim yang benar dan adil.
Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk
melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan
perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah,
terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang
tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak
mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality
before the law)0.

3. Asas dan Dalil Pembuktian

a. Asas Pembuktian

Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam pasal 1865
BW, pasal 163 HIR, pasal 283 RBG, yang bunyi pasal-pasal itu semakna, yaitu:”
Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain
atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu
atau adanya peristiwa tersebut”0.
Asas pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: A
(penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar hutang kepada A maka
kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada
A, sebab saat itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B.
selanjutnya,di muka sidang B membantah, menurut B adanya di atas kuitansi
tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A tetapi karena B
dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk
membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu
membantah hak orang lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakn

4
bahwa hutang tersebut ada tetapi sudah dibayar, hanya saja tidak memakai
tanda pembayaran/ kuitansi dan kuitansi hutang sebelumnya tidak dimintanya
kembali dari A, maka dalam hal ini kepada B dibebankan oleh hakim untuk
membuktikan peristiwa pembayarannya tersebut.
Gambaran tersebut sudah terlihat bahwa beban pembuktian sesewaktu
kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian
mengatakan demikian. Sebagaimana sabda Nabi saw.

‫ال َو اَ ْم َوا لَ ُه ْم َواَل كِنَّ ْال َب ِّي َن ُة َعلَى ْال ُم َّدعِ ى َو ْال َي ِميْنُ َعلَى َمنْ اَ ْن َك َر‬
ٍ ‫لَ ْو يُعْ َطى ال َّناسُ ِبدَ عْ َوا ُه ْم اَل َّد َعى َناسٌ ِد َما َء ِر َج‬
0

Artinya : “Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya


akan banyak orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap
orang lain (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak
(termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu
peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi
mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya
dengan sumpahnya”.

Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan hakim pada


tingkat yang meyakinkan. Nabi Muhammad SAW., lebih cenderung
mengharamkan atau menganjurkan untuk meninggalkan perkara syubhat. Dalam
salah satu hadits sahih, Nabi SAW., menyebutkan :
“… sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Diantara keduanya
ada yg syubhat (perkara yg samar) yg kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Maka … dan barang siapa yg jatuh melakukan perkara yg samar
itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yg haram…” (riwayat Al-Bukhori dan
Muslim).

b. Dalil Pembuktian

Suatu pembuktian memerlukan adanya dalil. Dalil dalam Hukum Islam


dimaksudkan untuk mendudukkan kebenaran pada kebenaran materil. Dalil
hukum pada pembuktian ini hanya diarahkan pada kaedah-kaedah fikih antara
lain :

5
“… bukti-bukti itu dibebankan kepada penggugat, dan sumpah dibebankan
kepada yang menolak gugatan.”
“…. Perdamaian adalah boleh dalam suatu perkara, kecuali dalam hal
mendamaikan yang halal dengan yang haram…”

B. Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat


dipakai untuk membuktikan. Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara,
alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang
berperkara untuk meyakinkan hakim di muka Pengadilan. Suatu perkara tidak
akan dapat diselesaikan tanpa adanya alat bukti.
Berdasarkan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th 2006
tentang Peradilan Agama, menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur khusus dalam undang-undang ini.
Sebagaimana didalam pasal 1866 Kitab undang-undang Hukum Perdata
atau Pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata ada 5,
yaitu :
1. Bukti Tulisan
2. Bukti dengan Saksi-saksi
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan dan
5. Sumpah
6. Pemeriksaan ditempat (pasal 153)
7. Saksi ahli (pasal 154 HIR)
8. Pembukuan (pasal 167 HIR)
9. Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

1. Alat Bukti Tertulis

Al-Quran memerintahkan untuk menuliskan transaksi di bidang


muamalah yang tidak tunai (QS. 2:282-283). Begitupun Rasulullah SAW
menyuruh Para Sahabatnya untuk menuliskan hadits.

6
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-
305 Rbg. S 1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW (baca juga ps. 138-147
Rv).

a. Alat Bukti Surat atau Tulisan

Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-
tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau alat untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan,
atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah
fikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat
sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua):

1. Surat yang merupakan akta

Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Akta dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

a) Akta Otentik

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akata
otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat. Artinya, Hakim
harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain kecuali
memang dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya. Kata-kata ‘harus
menganggap benar’ disini meliputi dua hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam
kata; dan benar peristiwa yang ditentukan didalam akta sudah terjadi.
Pejabat yang dimaksud yaitu notaris, hakim, panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil, pegawai pendapat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat
pembuat kata ikrar wakaf dan sebagainya.

Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga) yaitu:


 Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
 Dibuat dalam bentuk dan sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu
 Dibuatkan ditempat pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.

7
b) Akta di Bawah Tangan/ Akta Bukan Otentik

Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat
kepada bentuk tertentu. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29 untuk jawa dan
Madura, dan luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305
R.Bg pasal 1874-1180 BW.
Kekuatan akta dibawah tangan, Hakim meilainya bebas, akan tetapi jika
akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah yang
bukan otentik, apabila tandatangan yang tercantum didalamnya diakui oleh pihak
yang menandatanganinya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama
dengan akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta
otentik.

2. Surat-surat lainnya yang bukan akta.

a. Surat-surat lainnya yang bukan akta

Segala macam tulisan yang tidak termasuk kategori akta otentik dan akta
dibawah tangan dimuka adalah termasuk kategori surat-surat lainnya yang bukan
akta. Contohnya adalah surat pribadi, surat rumah tangga, register-register, dan
lain sebaginya. Adapun kekuatan pembuktiannya adalah bebas yaitu terserah
kepada Hakim dalam penilaiannya.

b. Salinan atau fotokopi surat-surat

Fotokopi atau salinan surat-surat tanpa pengesahan salinan/fotokopi atau


diistilahkan tanpa legislasi, dianggap sebagai surat-surat bukan akta, sekalipun
yang difotokopi itu adalah akta otentik. Agar suatu surat mempunyai kekuatan
sama dengan kekuatan aslinya, maka salinan atau fotokopi itu harus dilegalisir.

2. Alat Bukti Saksi

a. Pengertian alat bukti saksi

Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut ‘syahid’ (saksi lelaki) atau
‘syahidah’ (saksi perempuan) yang terambil dari kata ‘musyahadah’ yang artinya
‘menyaksikan dengan mata kepala sendiri’. Saksi adalah yang memberikan
kepastian kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan

8
dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan. Saksi ialah orang
yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
Jumlah saksi yang wajib diajukan masing-masing tergantung pada jenis
perkaranya. Misalnya untuk perkara perikatan hutang-piutang atau bidang
muamalat khusus diperlukan 2 (dua) orang perempuan atau untuk perkara zina
dibutuhkan 4 (empat) orang saksi.

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152 dan pasal 168-172 HIR,
pasal 165-179 Rbg, pasal 1895 dan 1902-1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil di persidangan.

b. Syarat-syarat saksi

 Saksi harus memenuhi syarat formil dan materil


1. Syarat formil saksi adalah
2. Berumur 15 tahun ke atas
3. Sehat akalnya
4. Tidak ada pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang
menentukan lain.
5. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan
meskipun sudah bercerai ( pasal 145 ayat 1 HIR)
6. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima
upah (pasal 144 ayat 2 HIR kecuali undang-undang menentukan lain.
7. Menghadap dipersidangan (pasal 141:2 HIR)
8. Mengankat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)
9. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa,
atau di kuatkan dengan bukti lain. (pasal 169 HIR )keculi mengenai
perzinaan.
10. Di panggil masuk ke ruang siding satu demi satu (pasal 144:1 HIR)

9
11. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR)

 Syarat materil saksi ialah:


1. Menerangkan apa yang dilihat. Ia dengar dan ia alami sendiri (pasal
171HIR/308 R.Bg)
2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui pristiwanya (pasal 171:1 HIR/paal
308:2 R.Bg)
3. Bukan merupakan pedapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171:2
HIR/ pasal 308:2 R.Bg)
4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)
5. Tidak bertentang denga akal sehat

 Kewajiban saksi ada tida yaitu:


1. Menghadiri siding sesuai dengan panggilan
2. Mengangkat sumpah sesuai agamanya
3. Memberikan keterangan sesuai apa yang dilihat, dengar dan alami.

3. Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu pristiwa yang


telah atau idanggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau
belum terbukti, baik yang bersandarkan undang-undang atau kesimpulan yang
ditarik oleh hakim.persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW. Ada dua
macam bentuk persangkaan persangkaan Undang-undang, dan Persangkaan
hakim.
Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata
adalah alat bukti yang menempati urutan ke ketiga dari ke kelima alat bukti yang
ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173,
dan pada RBG Pasal 310 dan pada KUHP yang ditempatkan pada Buku
Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.
Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBG hanyalah
memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian
persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara
penggunaannya di dalam persidangan.

10
a. Persangkaan berdasarkan undang-undang

Persangkaan-persangkaan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 164 HIR,


pasal 284 Rbg dan pasal 1866 BW. Persangkaan ini terdiri atas persangkaan
berdasarkan kenyataan dan persangkaan berdasarkan hukum. Sedangkan
persangkaan berdasarkan hukum terbagi lagi menjadi dua macam yaitu
persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian
lawan dan persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan.
Contoh: pasal 5 ayat 2 UU No. 1/1974 yaitu bahwa untuk mendapat ijin
poligami dari pengadilan tidak diperlukan persetujuan dari istri apabila istri tidak
ada kabar selama 2 tahun, berarti dalam kasus ini, poligami dianggap sah tanpa
persetujuan istri.

b. Persangkaan Hakim

Yaitu Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari
keadaan yang timbul dipersidangan, seperti:
a. Tentang sesuatu yang penting dan seksama
b. Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti
Kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa. Hakim terikat pada
ketentuan undang-undang kecuali jika dilumpuhkan oleh bukti lawan. Karena
persangkaan bukan merupakan bukti yang berdiri sendiri melainkan berpijak
pada kenyataan lain yang telah terbukti, maka untuk menyusun bukti
persangkaan harus di buktikan dahulu fakta-fakta yang mendasarinya. Apabila
fakta-fakta yang mendasarinya telah dibuktikan maka hakim dapat menyusun
bukti persangkaan dalam pertimbangan hukumnya sesuai hukum berfikir yang
logis, dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.

4. Pengakuan/ Ikrar

Ikrar (pengakuan) adalah suatu pernyataan dari penggugat atau tergugat


atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu, pernyataan ini bersiat
sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Jenis ikrar:
 Lisan
 Isyarat, kecuali dalam perkara zina

11
 Tertulis
Pengakuan terbagi atas 3 macam, yauti pengakuan murni, pengakuan
dengan kualifikasi dan pengakuan dengan clausula.
Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqrar yang artinya
ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat
bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar0. Dasar pengakuan
sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.0
Pengakuan murni adalah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai
sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya, penggugat mengatakan
bahwa tergugat telah dua tahun tidak memberi nafkah wajib kepada penggugat,
dan tergugatpun mengakuinya.
Pengakuan dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Misalnya, penggugat menyatakan
bahwa tergugat telah menerima uang dari penggugat sebesar Rp 5.000.000 dan
tergugatpun mengakui memberikan uang tetapi jumlahnya Rp 3.000.000bukan
Rp. 5.000.000. Pada hakekatnya pengakuan dengan kualifikasi ini adalah
jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari sangkalan.
Walaupun pengakuan ini, dipandang sebagai hujjah yang paling kuat,
namun terbatas hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak
dapat mengenai diri orang lain. Pengakuan dapat dilakukan dengan ucapan
lidah, dapat pula dilakukan dengan isyarat oleh orang yang tidak bisa berbicara,
asal isyaratnya itu dapat diketahui umum, dan tidak dalam masalah zina dan
sepertinya. Menurut hukum asal, apabila si tergugat sudah mengaku, maka
hakim dapat memutuskan perkara dengan memenangkan si penggugat tanpa
perlu mendengar keterangannya lagi. Dalam pada itu, para fuqaha
mengecualikan beberapa masalah. Dalam masalah-masalah itu, masih
diperlukan bukti-bukti dari si penggugat walaupun sudah diberikan pengakuan
dari si tergugat, untuk menghilangkan kemelaratn-kemelaratan yang timbul pada
sesuatu pihak. Umpamanya, apabila seorang waris mendakwa bahwa si mati
ada hutang padanya dan dakwaan itu dibenarkan oleh salah seorang waris yang
lain. Dalam hal ini, waris pertama, harus memberi bukti walaupun sudah diakui

12
oleh salah seorang waris yang lain, karena haknya mengenai seluruh harta
peninggalan0.

5. Sumpah

Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau


diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.
Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg. (Ps. 182-
185, 314) dan BW (Ps. 1929-1945).
Pihak yang menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan
pembuktian pengingkaran Dri pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Jadi,
pada dasarnya sumpah ini adalah hak dari pihak yang digugat. Ada 3 macam
sumpah sebagai alat bukti :

 Sumpah Pelengkap (suppletoir)


Sumpah Pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena
jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi
pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dassar
putusannya.

 Sumpah Pemutus yang bersifat menentukan (decisoir)


Sumpah Pemutus ialah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu
pihak pihak kepada lawannya. Berbeda dengan sumpah suppletoir, sumpah ini
dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali.

 Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed)

Sumpah Penaksiran ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena


jabatannya kepada penggugat untuk menentukan uang ganti kerugian. Sumpah
penaksiran biasanya diperlukan untuk menentukanbesarnya ganti rugi.

13
6. Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153)

Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim


karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan
pengadilan agar hakim dengan lmelihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang pristiwa-pristiwa yang menjadi
sengketa. Pemeriksaan setempat diatur dalam pasal 153 HIR, pasal 180 R.Bg,
pasal 211 Rv. Tujuannya ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya
adalah juga pemeriksaan perkara dalam persidangan, hanya saja tidak dilakukan
di gedung pengadilan tetapi di luar, yaitu tempat dimana obyek sengketa atau
yang diperiksa itu berada. Pemeriksaan setempat dilakukan karena suatu
kenyataan bahwa tidak dimungkinkannya untuk mengajukan obyek pemeriksaan
ke depan siding di gedung pengadilan.
Pada asasnya, pemeriksaan pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan (pasal26,90 Rv, pasal 35 RBg). Pemeriksaan setempat biasanya
diperlukan untuk memeriksa benda tetap (minsalnya, tanah, batas-batas-batas
tanah, gedung, rumah, benda yang melekat padannya atau lainnya yang tidak
mungkin diajukan ke depansidang pengadilan) atau seseorang yang karena
sesuatu hal tidak mungkin untuk menghadap dipersidangan.

a. Tatacara pemeriksaan di tempat:

1. Insiatif untuk mengadakan pemeriksaan di tempat dapat timbul dari pihak


yang berkepentingan atau atas insiatif hakim karena jabatannya.
2. Apabila hakim berpendapat bahwa perlu diadakan pemeriksaanditempat,
maka hakim memerintahkan hal itu yang cukup dicata dalam berita acara
persidangan (jika menurut pasal 21 Rv. Harus dengan putusan sela)
3. Ketua majelis mengangkat satu atau dua orang hakim sebagai “hakim
komisaris” dengan dibantu oleh penetera, untuk mengadakan
pemeriksaan di tempat, atau bila perlu hakim ketua memimpin langsung
pemeriksaan setempat.
4. Biaya pemeriksaan di tempat dibebankan kepada pihak yang
berkepentingan yang nanti akan diperhitungkan dalam putusan akhir.
5. Pihak yang dibebani biaya pemeriksaan di tempat tersebut, menghadap
di meja 1 untuk ditaksir panjar biayanya yang kemudian dibuatkan SKUM

14
sebagai tambahan panjar biaya perkara, dan kemudian ia membayarnya
kepada kasir yang akan dibukukan di dalam jurnal ddan buku induk
keuangan perkara.
6. Setelah biaya pemeriksaan setempat dibiaya, maka hakim membentukan
kepada para pihak dan pemerintah desa/kelurahan setempat tentang
akan dilaksanakannya pemeriksaan stermpat tentang akan
dilaksanakannya pemeriksaan setempat dengan menyebutkan pula hari,
tanggal dan jam setempat pelaksanaannya, dan sekaligus memanggil
pihak-pihak yang bersangkutan untuk hadir pada siding pemeriksaan
setempat tersebut.
7. Pemeriksaan setempat dilakukan dalam suatu persidangan yang terbuka
untuk umum dengan dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara.
8. Siding dilakukan oleh hakim komisaris yang dibantu oleh panetera siding.
9. Siding pemeriksaan setempat di buka di balai desa/kantor kelurahan
setempat, kemudian dilanjutkan ke lokasi obyek yang diperiksa.
10. Setelah pemeriksaan setempat selesai, maka sidang ditutup di balai
desa/kantor kelurahan semula.
11. Panitera membuat berita acara pemeriksaan setempat yang
ditandatangani oleh hakim komisaris dan panitera yang turut bersidang.
12. Berita acara pemeriksaan setempat dibacakan dalam siding berikutnya di
kantor pengadilan, sebagai “pengetahuan hakim sendiri” dan dipakai
sebagai bukti untuk memutus perkara.
13. Kekuatan pembuktian hasil pemeriksaan setempat diserahkan kepada
pertimbangan hakim.
14. Kalau pemeriksaan setempat itu harus dilakukan diluar wilayah hukum
pengadilan agama yang bersangkutan maka dapat dilakukan delegasi
wewenang kepada pengadilkan agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat dimana obyek pemeriksaan itu berada.
15. Tatacara delegasi wewenang seperti tatacara pendelegasi pemeriksaan
saksi dan sebagainya.

15
7. Saksi Ahli (pasal 154 HIR)

Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif yang


bertujuan untuk membantu hakim dala m pemeriksaan guna menambah
pengetahuan hakim sendiri. Keterangan ahli juga sering disebut saksi ahli, diatur
dalam pasal 154 HIR, pasal 181 R.Bg pasal 215 Rv. Undang-undang tidak
memberikan ketentuan siapakah yang dianggap sebagai ahli, dengan demikian
maka tentang ahli dan tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan
atau keahlian yang khusus, melainkan ditentukan oleh pengangkatnya oleh
hakim berdasarkan pertimbangannya. Hakim dapat mengangkat seorang ahli
secara exoffcio (pasal 222 Rv). Hakim menggunakan keterangan ahli dengan
maksud agar hakim memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang
sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, minsalnya tentang hal-hal
yang bersifat teknis, kebiasaan tertentu, ilmu kedokteran dan sebagainya. Hakim
juga boleh menggunakan keterangan ahli mengenai hukum sekalipun yang
berlaku dalam masyarakat, waktu atau bidang tertentu. Menggunakan
keterangan ahli bertujuan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan pada
masalah yang bersangkutan.

a. Syarat-syarat saksi ahli:

1. Undang-undang tidak memberikan ketentuan tentang syarat-syarat saksi


ahli
2. Pasal 154:1 HIR, pasal 181:4 RBg, pasal 218 Rv. Hanya menetapkan
bahwa orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga tidak boleh
didengar sebagai ahli
3. Namun demikian, yang pasti adalah bahwa saksi ahlipun harus
memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
4. Atas dasar hsl tersebut maka sudah seharusnya apabila syarat-syarat
sebagai saksi ahli sama denagn syarat-syarat sebagai saksi sekalipun
dengan perbedaan-perbedaan tertentu.

b. Tatacara pemeriksaan saksi ahli:

1. Insiatif untuk menghadiri saksi ahli dapat diusulkan oleh pihak yang
bekepentingan atau atas perintah hakim karena jabatannya.

16
2. Hakimlah yang berwenang mempertimbangkan dan menetapkan perlu
tidaknya menghadirkan saksi ahli
3. Perintah menghadirkan saksi ahli itu dicatat dalam berita acara
persidangan
4. Saksi ahli ditunjukan oleh hakim atau oleh pihak yang bekepentingan
dengan persetujuan hakim
5. Apabila saksi ahli yang ditunjukan berhalangan untuk memberikan
pendapatnya karena sebab apapun dapat dditunjukan saksi ahli yang lain
sebagai ganti
6. Hakim menetapkan hari siding untuk mendengar keterangan ahli
7. Saksi ahli yang ditunjukan dapat dihadirkan oleh pihak yang
berkepentingan atau dipanggil secara resmi oleh jurusita/jurusita
pengganti atas perintah hakim yang dicatat dalam BAP, supaya hadir
dalam siding yang telah ditetapkan.
8. Dalam siding yang telah ditentukan itu, saksi ahli menghadiri siding dan
memberikan keteranagn baik lisan maupun tulisan.
9. dan lain-lain.

8. Pembukuan (pasal 167 HIR)

Pasal 167 HIR, pasal 296 RBg. Menyatakan bahwa hakim bebas
memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorrang kepada
pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Ketentuan ini
menyimpang dari prinsip bahwa tulisan seseorang tidak dapat memberikan
keuntungan bagi dirisendiri. Dalam pasal ini dikatakan bahwa hakim oleh
(bebas) untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi
si pembuat suatu pembukuan.
Contoh: seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk
melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah
lunas, lalu penggugat menunukkan pembukuan debit-kridit terhadap tergugat
dimana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima
pembukuan itu sebagai bukti yang menguntungkan penggugat.

17
9. Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

Pasal 178:1 HIR mewajibkan hakim karena jabatannya waktu


bermusyawarrah mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan
oleh kedua belah pihak. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui
hukum. Pencari keadilan dating untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak
menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulius untuk
memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan
bertanggungjawab penuh kepada tuhan yang maha esa, diri sendiri, masyarakat
bangsa dan Negara (pasal 14 UU No.14/1970 dan penjelasannya).
Pengetahuan Hakim di bidang hukum keadilan itulah yang dicari para
pencari keadilan. Selain hal tersebut, pengetahuan hakim mengenal fakta dan
pristiwa dalam kasus yang dihadapinya merupakan dasar untuk menjatuhkan
putusan dengan menerapkan hukum ia ketahui itu. Pengetahuan hakim yang
diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang dilihat, didengar, dan disaksikan
oleh hakim dalam persidangan merupakan ukti agi peristiwa yang disengketakan.
Minsalnya, sikap, perlakuan, emosional, dan tindakan para pihak serta
pernyataannya du dalam siding akan menjai bukti bagi hakim dalam memutus
perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh diluarr
persidangan tidak dapat dijadikan bukti di dalam memutuskan persidangan.

18
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil


yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di
muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Macam-macam alat bukti :
 Bukti Tulisan
 Bukti dengan Saksi-saksi
 Persangkaan-persangkaan
 Pengakuan dan
 Sumpah
 Pemeriksaan ditempat (pasal 153)
 Saksi ahli (pasal 154 HIR)
 Pembukuan (pasal 167 HIR)
 Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

B. Saran

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki


oleh penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendasar dan luas lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca
referensi-referensi lain yang lebih baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada.

Manan Abdul, (2000). Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan


Agama. Jakarta : yayasan Al Hikmah

Mukti Arto, (1996) . Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar

Soebekti, (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung : BPHN, Bina Cipta

Soeparmono, (2000). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung : Mandar


Maju

Supomo, (1958). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : fasco

iv

Anda mungkin juga menyukai