Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama
Disusun oleh :
UMUL CHAIR
211000360362
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI
2022
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................- 1 -
A. Latar Belakang.......................................................................................- 1 -
B. Rumusan Masalah..................................................................................- 1 -
BAB II PEMBAHASAN................................................................................- 2 -
A. Pembuktian.............................................................................................- 2 -
1. Pengertian Pembuktian...................................................................- 2 -
2. Tujuan Pembuktian..........................................................................- 3 -
B. Alat Bukti................................................................................................- 6 -
1. Alat Bukti Tertulis.............................................................................- 7 -
3. Persangkaan..................................................................................- 11 -
4. Pengakuan/ Ikrar............................................................................- 12 -
5. Sumpah..........................................................................................- 14 -
BAB III.............................................................................................................- 20 -
A. Kesimpulan...........................................................................................- 20 -
ii
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................iv
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Pembuktian
2. Macam-macam alat bukti
3. Pemeriksaan Setempat
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembuktian
1. Pengertian Pembuktian
2
suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang
diperiksa oleh hakim0.
Menurut Prof. Dr. Supomo, pembuktian mempunyai arti luas dan arti
terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan
hakim dengan syarat-syarat bukti yang syah. Dalam arti terbatas pembuktian itu
hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu di bantah oleh
tergugat.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pembuktian
adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan
kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang
bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang
berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing
pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa
dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak
benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim hakim
menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap
benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
oleh peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam
suatu persengketaan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Untuk membuktikan itu, para
pihaklah yang aktif berusaha mencarinya, menghadirkan atau
mengetengahkannya ke muka sidang.
2. Tujuan Pembuktian
3
bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna
mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar.
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan
putusan hakim yang benar dan adil.
Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk
melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu
memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan
perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah,
terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang
tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak
mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality
before the law)0.
a. Asas Pembuktian
Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam pasal 1865
BW, pasal 163 HIR, pasal 283 RBG, yang bunyi pasal-pasal itu semakna, yaitu:”
Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain
atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu
atau adanya peristiwa tersebut”0.
Asas pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: A
(penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar hutang kepada A maka
kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada
A, sebab saat itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B.
selanjutnya,di muka sidang B membantah, menurut B adanya di atas kuitansi
tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A tetapi karena B
dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk
membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu
membantah hak orang lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakn
4
bahwa hutang tersebut ada tetapi sudah dibayar, hanya saja tidak memakai
tanda pembayaran/ kuitansi dan kuitansi hutang sebelumnya tidak dimintanya
kembali dari A, maka dalam hal ini kepada B dibebankan oleh hakim untuk
membuktikan peristiwa pembayarannya tersebut.
Gambaran tersebut sudah terlihat bahwa beban pembuktian sesewaktu
kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian
mengatakan demikian. Sebagaimana sabda Nabi saw.
ال َو اَ ْم َوا لَ ُه ْم َواَل كِنَّ ْال َب ِّي َن ُة َعلَى ْال ُم َّدعِ ى َو ْال َي ِميْنُ َعلَى َمنْ اَ ْن َك َر
ٍ لَ ْو يُعْ َطى ال َّناسُ ِبدَ عْ َوا ُه ْم اَل َّد َعى َناسٌ ِد َما َء ِر َج
0
b. Dalil Pembuktian
5
“… bukti-bukti itu dibebankan kepada penggugat, dan sumpah dibebankan
kepada yang menolak gugatan.”
“…. Perdamaian adalah boleh dalam suatu perkara, kecuali dalam hal
mendamaikan yang halal dengan yang haram…”
B. Alat Bukti
6
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-
305 Rbg. S 1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW (baca juga ps. 138-147
Rv).
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-
tanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau alat untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan,
atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah
fikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat
sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua):
Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Akta dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
a) Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akata
otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat. Artinya, Hakim
harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain kecuali
memang dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya. Kata-kata ‘harus
menganggap benar’ disini meliputi dua hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam
kata; dan benar peristiwa yang ditentukan didalam akta sudah terjadi.
Pejabat yang dimaksud yaitu notaris, hakim, panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil, pegawai pendapat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat
pembuat kata ikrar wakaf dan sebagainya.
7
b) Akta di Bawah Tangan/ Akta Bukan Otentik
Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat
kepada bentuk tertentu. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29 untuk jawa dan
Madura, dan luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305
R.Bg pasal 1874-1180 BW.
Kekuatan akta dibawah tangan, Hakim meilainya bebas, akan tetapi jika
akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah yang
bukan otentik, apabila tandatangan yang tercantum didalamnya diakui oleh pihak
yang menandatanganinya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama
dengan akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta
otentik.
Segala macam tulisan yang tidak termasuk kategori akta otentik dan akta
dibawah tangan dimuka adalah termasuk kategori surat-surat lainnya yang bukan
akta. Contohnya adalah surat pribadi, surat rumah tangga, register-register, dan
lain sebaginya. Adapun kekuatan pembuktiannya adalah bebas yaitu terserah
kepada Hakim dalam penilaiannya.
Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut ‘syahid’ (saksi lelaki) atau
‘syahidah’ (saksi perempuan) yang terambil dari kata ‘musyahadah’ yang artinya
‘menyaksikan dengan mata kepala sendiri’. Saksi adalah yang memberikan
kepastian kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan
8
dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan. Saksi ialah orang
yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
Jumlah saksi yang wajib diajukan masing-masing tergantung pada jenis
perkaranya. Misalnya untuk perkara perikatan hutang-piutang atau bidang
muamalat khusus diperlukan 2 (dua) orang perempuan atau untuk perkara zina
dibutuhkan 4 (empat) orang saksi.
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152 dan pasal 168-172 HIR,
pasal 165-179 Rbg, pasal 1895 dan 1902-1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan
tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang
dipanggil di persidangan.
b. Syarat-syarat saksi
9
11. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR)
3. Persangkaan
10
a. Persangkaan berdasarkan undang-undang
b. Persangkaan Hakim
Yaitu Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari
keadaan yang timbul dipersidangan, seperti:
a. Tentang sesuatu yang penting dan seksama
b. Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti
Kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa. Hakim terikat pada
ketentuan undang-undang kecuali jika dilumpuhkan oleh bukti lawan. Karena
persangkaan bukan merupakan bukti yang berdiri sendiri melainkan berpijak
pada kenyataan lain yang telah terbukti, maka untuk menyusun bukti
persangkaan harus di buktikan dahulu fakta-fakta yang mendasarinya. Apabila
fakta-fakta yang mendasarinya telah dibuktikan maka hakim dapat menyusun
bukti persangkaan dalam pertimbangan hukumnya sesuai hukum berfikir yang
logis, dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.
4. Pengakuan/ Ikrar
11
Tertulis
Pengakuan terbagi atas 3 macam, yauti pengakuan murni, pengakuan
dengan kualifikasi dan pengakuan dengan clausula.
Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqrar yang artinya
ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat
bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar0. Dasar pengakuan
sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.0
Pengakuan murni adalah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai
sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya, penggugat mengatakan
bahwa tergugat telah dua tahun tidak memberi nafkah wajib kepada penggugat,
dan tergugatpun mengakuinya.
Pengakuan dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan
sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Misalnya, penggugat menyatakan
bahwa tergugat telah menerima uang dari penggugat sebesar Rp 5.000.000 dan
tergugatpun mengakui memberikan uang tetapi jumlahnya Rp 3.000.000bukan
Rp. 5.000.000. Pada hakekatnya pengakuan dengan kualifikasi ini adalah
jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari sangkalan.
Walaupun pengakuan ini, dipandang sebagai hujjah yang paling kuat,
namun terbatas hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak
dapat mengenai diri orang lain. Pengakuan dapat dilakukan dengan ucapan
lidah, dapat pula dilakukan dengan isyarat oleh orang yang tidak bisa berbicara,
asal isyaratnya itu dapat diketahui umum, dan tidak dalam masalah zina dan
sepertinya. Menurut hukum asal, apabila si tergugat sudah mengaku, maka
hakim dapat memutuskan perkara dengan memenangkan si penggugat tanpa
perlu mendengar keterangannya lagi. Dalam pada itu, para fuqaha
mengecualikan beberapa masalah. Dalam masalah-masalah itu, masih
diperlukan bukti-bukti dari si penggugat walaupun sudah diberikan pengakuan
dari si tergugat, untuk menghilangkan kemelaratn-kemelaratan yang timbul pada
sesuatu pihak. Umpamanya, apabila seorang waris mendakwa bahwa si mati
ada hutang padanya dan dakwaan itu dibenarkan oleh salah seorang waris yang
lain. Dalam hal ini, waris pertama, harus memberi bukti walaupun sudah diakui
12
oleh salah seorang waris yang lain, karena haknya mengenai seluruh harta
peninggalan0.
5. Sumpah
13
6. Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153)
14
sebagai tambahan panjar biaya perkara, dan kemudian ia membayarnya
kepada kasir yang akan dibukukan di dalam jurnal ddan buku induk
keuangan perkara.
6. Setelah biaya pemeriksaan setempat dibiaya, maka hakim membentukan
kepada para pihak dan pemerintah desa/kelurahan setempat tentang
akan dilaksanakannya pemeriksaan stermpat tentang akan
dilaksanakannya pemeriksaan setempat dengan menyebutkan pula hari,
tanggal dan jam setempat pelaksanaannya, dan sekaligus memanggil
pihak-pihak yang bersangkutan untuk hadir pada siding pemeriksaan
setempat tersebut.
7. Pemeriksaan setempat dilakukan dalam suatu persidangan yang terbuka
untuk umum dengan dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara.
8. Siding dilakukan oleh hakim komisaris yang dibantu oleh panetera siding.
9. Siding pemeriksaan setempat di buka di balai desa/kantor kelurahan
setempat, kemudian dilanjutkan ke lokasi obyek yang diperiksa.
10. Setelah pemeriksaan setempat selesai, maka sidang ditutup di balai
desa/kantor kelurahan semula.
11. Panitera membuat berita acara pemeriksaan setempat yang
ditandatangani oleh hakim komisaris dan panitera yang turut bersidang.
12. Berita acara pemeriksaan setempat dibacakan dalam siding berikutnya di
kantor pengadilan, sebagai “pengetahuan hakim sendiri” dan dipakai
sebagai bukti untuk memutus perkara.
13. Kekuatan pembuktian hasil pemeriksaan setempat diserahkan kepada
pertimbangan hakim.
14. Kalau pemeriksaan setempat itu harus dilakukan diluar wilayah hukum
pengadilan agama yang bersangkutan maka dapat dilakukan delegasi
wewenang kepada pengadilkan agama yang wilayah hukumnya meliputi
tempat dimana obyek pemeriksaan itu berada.
15. Tatacara delegasi wewenang seperti tatacara pendelegasi pemeriksaan
saksi dan sebagainya.
15
7. Saksi Ahli (pasal 154 HIR)
1. Insiatif untuk menghadiri saksi ahli dapat diusulkan oleh pihak yang
bekepentingan atau atas perintah hakim karena jabatannya.
16
2. Hakimlah yang berwenang mempertimbangkan dan menetapkan perlu
tidaknya menghadirkan saksi ahli
3. Perintah menghadirkan saksi ahli itu dicatat dalam berita acara
persidangan
4. Saksi ahli ditunjukan oleh hakim atau oleh pihak yang bekepentingan
dengan persetujuan hakim
5. Apabila saksi ahli yang ditunjukan berhalangan untuk memberikan
pendapatnya karena sebab apapun dapat dditunjukan saksi ahli yang lain
sebagai ganti
6. Hakim menetapkan hari siding untuk mendengar keterangan ahli
7. Saksi ahli yang ditunjukan dapat dihadirkan oleh pihak yang
berkepentingan atau dipanggil secara resmi oleh jurusita/jurusita
pengganti atas perintah hakim yang dicatat dalam BAP, supaya hadir
dalam siding yang telah ditetapkan.
8. Dalam siding yang telah ditentukan itu, saksi ahli menghadiri siding dan
memberikan keteranagn baik lisan maupun tulisan.
9. dan lain-lain.
Pasal 167 HIR, pasal 296 RBg. Menyatakan bahwa hakim bebas
memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorrang kepada
pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Ketentuan ini
menyimpang dari prinsip bahwa tulisan seseorang tidak dapat memberikan
keuntungan bagi dirisendiri. Dalam pasal ini dikatakan bahwa hakim oleh
(bebas) untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi
si pembuat suatu pembukuan.
Contoh: seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk
melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah
lunas, lalu penggugat menunukkan pembukuan debit-kridit terhadap tergugat
dimana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima
pembukuan itu sebagai bukti yang menguntungkan penggugat.
17
9. Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)
18
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada.
Mukti Arto, (1996) . Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
iv