Anda di halaman 1dari 11

PENYELESAIN SENGKETA WANPRESTASI DALAM EKONOMI SYARIAH

Oleh :
Fathul Anwar Fauji dan Ahmad Fahmil Ulumi

Abstrak
Pada masa sekarang ini banyak sekali sengketa yang terjadi baik dalam kegiatan
bisnis, perdagangan, ekonomi dan sebagainya. Namun dalam proses penyelesaian nya banyak
sengketa yang tidak bisa menemukan titik temu dan tidak menemukan keadilan. Banyak nya
sengketa yang terjadi diakibatkan karena beberapa faktor yang mana seseorang tidak bisa
melakukan atau memenuhi prestasi yang sudah disepakati dalam perjanjian (akad). Secara
umum dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi faktor utama terjadinya sengketa adalah
karena tidak dipenuhinya prinsip syariah dalam akad atau tidak dipenuhinya akad yang telah
diperjanjikan (wanprestasi). Sehingga untuk menyelesaikan perkara wanprestasi (tidak
melakukan prestasi, dalam ekonomi syariah ada dua sistem yang dijadikan cara untuk
menyelesaikan sengketa perkara (wanprestasi) baik menggunakan jalur litigasi maupun non
litigasi.
Kata Kunci : Sengketa, Wanprestasi, Ekonomi Syariah,

PENDAHULUAN
Lembaga keuangan sebagai perantara antara masyarakat yang secara ekonomi berada
dalam level berkecukupan dan level lemah secara finansial. Menurut Muhammad dalam
bukunya beliau mengatakan bahwa Bank Syariah berfungsi sebagai lembaga intermediasi,
artinya lembaga keuangan syariah berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurka kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan, baik
dalam bentuk fasilitas pembiayaan dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Pada prakteknya penerapan prinsip-prinsip syariah dalam operasional pembiayaan


yang berbasis syariah bukan berarti tidak akan mengalami permasalahan atau sengketa.
Permasalahan yang terjadi di lembaga keuangan syariah dapat berbentuk kemacetan dalam
pelunasan pembiayaan oleh nasabah (debitur) atau tidak amannya dana masyarakat yang
disimpan di lembaga keuangan syariah, dimana lembaga keuangan syariah tidak mampu
membayarkan dana masyarakat yang telah disimpan padanya, pada saat penarikan dana oleh
masyarakat (nasabah penyimpan), artinya sengketa di lembaga keuangan syariah bukan hanya
terjadi akibat kelalain debitur semata melainkan lembaga keuangan syariah bisa menjadi faktor
yang menimbulkan sengketa.
Maka secara umum dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor utama terjadinya
sengketa di lembaga keuangan khususnya di lembaaga keuangan syariah adalah karena tidak
dipenuhinya prinsip syariah dalam akad atau tidak dipenuhinya akad atau prestasi yang telah
diperjanjikan (wanprestasi).

PEMBAHASAN

1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie”, artinya
tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul
karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya
kewajiban itu ada dua kemungkinan alasan, yaitu:

a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian


b. Karena keadaan memaksa (force majeure), jadi di luar kemampuan debitur,1

Pada dasarnya dalam KUHPerdata tidak begitu dijelaskan secara gamblang mengenai
definisi wanprestasi serta sebab terjadinya wanprestasi, melaikan hanya memamparkan akibat-
akibat hukum yang ditimbulkan ketika tidak melakukan prestasi (wanprestasi). Bisa kita lihat
pada pasal 1243, pasal 1238, dan pada Pasal 1365. Seperti halnya dalam pasal 1238 dalam
KUHPerdata dikatakan bahwa seorang debitur bisa dinyatakan lalai apabila debitur tidak
melakukan prestasi sesuai dengan waktu yang sudah diperjanjikan sehingga debitur bisa
dikatakan lalai atau tidak melakukan prestasi (wanprestasi).2

Kemudian pada pasal 1243 hanya membahas mengenai ganti rugi atas prestasi yang
tidak dilakukan, sehingga debitur harus mengganti kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan. Kemudian dalam pasal pasal 1365 dikatakan bahwa :

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewakilkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.”

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), hlm 20
2
Dalam Pasal 1238 dikatakan bahwa: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta
sejenis itu atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatka debitur
harus dianggap lali dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
Dari pasal 1365 KUHPerdata dapat diambil kesimpulan beberapa syarat terjadinya
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi:3

a) Adanya suatu perbuatan;


b) Perbuatan tersebut melawan hukum;
c) Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
d) Adanya kerugian bagi korban;
e) Adanya sebab klausal antara perbuatan dengan kerugian;
f) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
g) Melanggar hak subjektif orang lain;
h) Melanggar kaidah tata susila; dan
i) Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang
j) Seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat
atau terhadap harta benda orang lain.

2. Penyelesaian Sengketa Wanprestasi dalam Ekonomi Syariah

Ketika terjadi wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan pasti akan menuntut sejumlah
ganti rugi baik berupa uang atau yang lainnya, namun tidak sedikit juga pihak yang merasa
dirugikan menuntuk ganti rugi dengan sejumlah uang yang tidak sesuai dengan kerugian yang
diterima oleh pihak yang dirugikan, untuk lebih mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan
atau merugikan salah satu pihak maka Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) menerbitkan
fatwa nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’Wiḍ).4 Dalam fatwa tersebut
memuat ketentuan bahwa nilai ganti rugi adalah nilai kerugian riil yang dialami dan dapat
diperhitungkan, bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang
hilang akibat kelalaian (tidak terpenuhinya) prestasi.5

Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya penyelesaian sengketa diatur pada Pasal 20 PBI
No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, berikut bunyi pasalnya: 6

3
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2010), hlm. 41
4
Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’Wiḍ).
5
Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2010), hlm. 42
6
PBI No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
a. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diperjanjikan
dalam akad atau jika terjadi perselisihan antara bank dan nasabah maka upaya
penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.
b. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalu alternatif
penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah.

Secara umum penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat diselesaikan dengan dua
cara, yang pertama dengan cara litigasi dan yang kedua dengan cara non litigasi. Jalur non
litigasi artinya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau lebih dikenal dengan istilah
Alternative Dispute Resolution (ADR) sedangkan jalur litigasi berarti penyelesaian sengketa
diselesaikan melalui jalur pengadilan.

Para pihak bisa memilih opsi mana yang akan mereka tempuh untuk menyelesaikan
perkara yang mereka hadapi dan tergantung kepada kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua
belah pihak dalam akad atau montrak. Jika para pihak penyelesaian sengketa membuat klausula
melalui lembaga atau badan arbitrase, maka penyelesaian sengketa diselesaikan oleh badan
arbitrase. Kesepakatan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase bisa disepakati sebelum
sengketa muncul (pactum de compromittendo) maupun setelah sengketa muncul (acta
compromis).

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah ataupun perbankan syariah yang sebelumnya


di bawah nauangan Pengadilan Negri atau Badan Arbitrase telah dihapuskan, sesuai dengan
Pasal 55 Undang-undang Nomer 21 tahun 2008 namun dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 93/PUU-X/2012. tertanggal 29 Agustus 2013 maka pasal 55 Undang-
undang Nomer 21 tahun 2008 sudah tidak berlaku lagi, sehingga untuk sengketa ekonomi
syariah lainnya masih berlaku choice of forum artinya para pihak bebas memilih atau
menggunakan jalur apa untuk menyelesaikan sengketa.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah
yang bisa dijadikan pilihan dalam menyelesaikan sengketa oleh para pihak, diantaranya :

a. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar Pengadilan (Non-Litigation Effort)

Kecenderungan masyarakat dalam memilih Alternatif Dispute Resolution (ADR)


didasarkan atas pertimbangan kepercayaan masyarakat yang kurang atas sistem pengadilan dan
pada saat yang sama sudah dipahaminya keuntungan mempergunakan penyelesaian sengketa
di luar pengadilan dibandingkan dengan penyelesaian sengketa di Pengadilan, sehingga
masyarakat pelaku bisnis lebih suka mencari alternatif lain dalam upaya menyelesaikan
berbagai sengketa bisnisnya yakni dengan jalan arbitrase atau jalan alternatif penyelesaian
sengketa.7 Berdasarkan pembagiannya, Alternatif Dispute Resolution (ADR) dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:

1) Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui Lembaga Perdamaian

Lembaga al-shulhu (perdamaian) pada zaman modern ini tentunya bukanlah suatu
wacana dan cita-cita yang masih utopis, melainkan sudah masuk ke wilayah praktis. Hal ini
dapat dilihat dengan marak dan populernya Alternative Dispute Resolution (ADR). Untuk
kontek Indonesia, perdamaian telah didukung keberadaannya dalam hukum positif yakni
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.8

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat


melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan
cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.9

Dengan adanya pengaturan secara positif mengenai perdamaian, maka segala hal yang
berkaitan dengan perdamaian baik yang masih dalam bentuk upaya, proses teknis pelaksanaan
hingga pelaksanaan putusan dengan sendirinya telah sepenuhnya didukung oleh negara.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dapat dikatakan sebagai wujud yang paling riil dan lebih spesifik dalam upaya negara
mengaplikasikan dan mensosialisasikan institusi perdamaian dalam sengketa bisnis.

Dengan demikian penyelesaian sengketa dengan cara alternatif penyelesaian sengketa


merupakan alternatif yang menguntungkan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang mengatur tentang penyelesaian sengketa
di luar Pengadilan (ADR) menerangkan bahwa ADR melalui alternatif penyelesaian sengketa
merupakan penyelesaian sengketa melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. Hasilnya harus dalam bentuk tulisan yang disepakati dan kedudukannya bersifat
final dan memaksa (binding).

7
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum
(Jakarta: Ghalia Indonesia. 2000), hlm. 85.
8
9
Lihat pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2) Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

Biasanya dalam kontrak bisnis sudah disepakati dalam kontrak yang dibuatnya untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi dikemudian hari di antara mereka. Usaha penyelesaian
sengketa dapat diserahkan kepada forum-forum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Ada yang
langsung ke lembaga Pengadilan atau ada juga melalui lembaga di luar Pengadilan yaitu
arbitrase (choice of forum/choice of jurisdiction). Di samping itu, dalam klausul yang dibuat
oleh para pihak ditentukan pula hukum mana yang disepakati untuk dipergunakan apabila
dikemudian hari terjadi sengketa di antara mereka (choice of law).

Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis
adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa yang mulai diberlakukan pada tanggal 12 Agustus 1999. adapun ketentuan-ketentuan
mengenai syarat-syarat perjanjian atau klausul arbitrase mengikuti ketentuan syarat
sebagaimana umumnya perjanjian yaitu syarat subyektif dan syarat-syarat obyektif yang
dipahami dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maupun syarat subyektif dan syarat obyektif yang
tersebut dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Hal ini didasarkan bahwa arbitrase itu
merupakan kesepakatan yang diperjanjikan dalam suatu kontrak bisnis dan sekaligus menjadi
bagian dari seluruh topik yang diperjanjikan oleh para pihak tersebut.

Lembaga arbitrase untuk menyelesaikan berbagai sengketa di bidang perdagangan dan


mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa yang berada di Indonesia diantaranya adalah Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) yang khusus menyelesaikan sengketa bisnis konvensional (sektor
perdagangan, industry, dan keuangan). Selain BANI, ada juga Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai pasar modal di Indonesia.
Kemudian juga ada Basyarnas yang merupakan lembaga Arbitrase yang berperan
menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang melakukan akad dalam ekonomi syariah.
Oleh karena itu, lembaga atau badan arbitrase yang khusus menangani sengketa ekonomi
syariah di Indonesia adalah Basyarnas.

Putusan yang dukeluarkan oleh badan atau lembaga arbitrase bersifat final dan memiliki
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (binding).10 Apabila putusan badan Arbitrase
tidak dilaksanakan secara sukarela, maka dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi.

10
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk melakukan eksekusi atas putusan tersebut, penetapan eksekusinya diberikan oleh
Pengadilan Negeri setempat.

Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah cikal bakal lahirnya Basyarnas.
Lembaga ini didirikan berdasarkan SK MUI Nomor: Kep-392/MUI/V/1992, bersamaan
dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992. Tujuan BAMUI ini adalah
untuk menangani sengketa antara nasabah dengan bank syariah pertama tersebut (BMI).
Kemudian pada tahun 2003, beberapa bank syariah dan atau Unit Usaha Syariah (UUS) pun
lahir sehingga BAMUI dirubah menjadi Badan Basyarnas. Perubahan tersebut berdasarkan SK
MUI Nomor: Kep-09/MUI/XII/2003 tertanggal 24 Desember 2003. Basyarnas ini merupakan
satu-satunya badan hukum otonom yang dimiliki Majelis Ulama Indonesia.11

Basyarnas adalah lembaga arbitrase satu-satunya di Indonesia yang berwenang


memeriksa dan memutus sengketa muamalah (ekonomi syariah) yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain. Semua fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa
diakhiri dengan ketentuan: “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan diantara keduabelah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.12

Untuk proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah, apabila dalan akta perjanjian ada
klausul bahwa apabila terjadi sengketa antara kedua belah pihak, maka penyelesaian
sengketanya melalui Basyarnas. Berikut ini prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan
ketentuan Basyarnas, yaitu sebagai berikut:

a) Para pihak mengajukan permohonan ke Basyarnas yang memuat identitas lengkap,


posita, dan petitum yang dijelaskan secara sistematis layaknya surat gugatan
permohonan ke Pengadilan Agama. Kemudian disertai lampiran akta perjanjian yang
memuat klausul arbitrase. Jika dilakukan oleh kuasa hukum maka dilampirkan pula
surat kuasanya. Apabila persyaratan permohonan telah lengkap, maka ketua Basyarnas
segera menetapkan dan menunjuk Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis yang akan
memeriksa dan memutus sengketa.

11
Editor, “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional”, dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15990/mengurai-benang-kusut-badan-Arbitrase-syariah-nasional.
Diakses pada 03 Oktober 2018.
12
Lihat Fatwa No. 05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No. 06 tentang Jual Beli Istishna', Fatwa No. 07 tentang
Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No. 08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan seterusnya
b) Kemudian salinan surat permohonan harus sudah disampaikan kepada termohon
selambat-lambatnya 8 (delapan) hari sesudah penetapan Arbiter. Kemudian Arbiter
memberitahukan kepada Termohon disertai perintah menanggapi permohonan dengan
dibutnya jawaban secara tertulis selambat-lambatnya 21 hari.
c) Pemeriksaan persidangan Arbitase dilakukan ditempat kedudukan Basyarnas, kecuali
apabila ada persetujuan yang lain dari kedua belah pihak, maka pemeriksaan dapat
dilakukan ditempat lain. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung
Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis harus memberi kesempatan yang sepenuhnya
kepada para pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang
disengketakannya. Tahap pemeriksaan dimulai dengan tahap tanya jawab menjawab
(replik duplik), pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter
Tunggal dan Arbiter Majelis.
d) Dalam jawabannya, paling lambat pada hari sidang pertama pemeriksaan, pemohon
dapat mengajukan suatu tuntutan balasan terhadap bantahan yang diajukan termohon,
pemohon dapat mengajukan jawaban yang dibarengi dengan tambahan tuntutan asal
hal tersebut mempunyai hubungan dengan pokok yang disengketakan serta termasuk
dalam yurisdiksi Basyarnas, dalm hal ini baik Arbiter Tunggal maupun Arbiter Majelis
terlebih dahulu mengusahan tercapainya perdamaian, apbila hal tersebut berhasil, maka
Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis akan membuatkan akta perdamaian dan
mewajibkan keduah pihak untuk mentaati perdamaian tersebut. Dan sebaliknya apabila
cara tersebut tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis akan
meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal diteruskan para
pihak dipersilahkan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing- masing
serta mengajukan bukti- bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Sseluruh
pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan asas arbitrase yang tertutup.
e) Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri oleh kedua belah
pihak. Bila para pihak telah dipanggil tetapi tidak hadir, maka putusan tetap diucapkan.
Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan akan diselesaikan selambat-
lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis terhitung sejak dipanggil
pertama kali untuk menghadiri sidang pertama.

Walaupun putusan Arbitrase tersebut bersifat final,13 namun peraturan prosedur


Basyarnas memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis

13
Lihat: Pasal 60 Undang-Undang Nomer 30 tahun 1999 tentang Arbitrase.
permintaan pembatalan putusan Arbitrase tersebut yang disampaikan kepada Sekretaris
Basyarnas dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan pembatalan putusan
paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan itu diterima, kecuali
mengenai alasan penyelewengan hal tersebut berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan
dijatuhkan.

b. Penyelesaian sengketa melalui jalur Pengadilan (Litigation Effort)

Apabila sengketa ekonomi syariah tidak bisa diselesaikan dengan jalur perdamaian
maupun badan arbitrase, maka bisa diselesaikan di Pengadilan Agama. Sesuai dengan Pasal 49
Undang-undang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan
lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dalam penjelasan Undang-
undang ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat-surat berharga
berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dan
dana pensiun, lembaga keuangan syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah yang tumbuh
dan berkembang di Indonesia.14

Dalam hal penyelesaian sengketa bisnis yang dilaksanakan atas prinsip-prinsip syariah
melalui mekanisme litigasi Pengadilan Agama terdapat beberapa kendala, antara lain belum
tersedianya hukum materil baik yang berupa Undang-undang maupun Kompilasi sebagai
pegangan para hakim dalam memutus perkara. Di samping itu, masih banyak para aparat
hukum yang belum mengerti tentang ekonomi syariah atau hukum bisnis Islam. Dalam hal
yang menyangkut bidang sengketa, belum tersedianya lembaga penyidik khusus yang
berkompeten dan menguasai hukum syariah. Pemilihan lembaga Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa bisnis (ekonomi) syariah merupakan pilihan yang tepat dan bijaksana.

Prosedur yang dilalui dalam penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Agama adalah
sebagai berikut :

a. Kreditur atau Debitur (orang yang merasa di rugikan) mengajukan gugatan ke


Pengadilan Agama;

14
Lihat Undang-undang Nomer 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomer 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama
b. Pengadilan akan melakukan pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa;
c. Pengadilan akan melakukan mediasi terlebih dahulu;
d. Apabila mediasi tidak berhasil, tahap selanjutnya adalah pembacaan gugatan;
e. Sidang ketiga pembacaan jawaban oleh Tergugat;
f. Sidang keempat replik dan duplik;
g. Sidang selanjutnya pemeriksaan alat-alat bukti;
h. Musyawarah majelis hakim;
i. Pembacaan Putusan.

Apabila salah satu pihak merasa dirugikan atau keberatan dengan putusan hakim, maka
salah satu bisa bisa mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama selama putusan itu
belum melebihi batas 14 hari.

KESIMPULAN

Wanprestasi brasal dari bahasa Belanda yaitu “wanprestatie”, artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian
maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak dipenuhinya suatu kewajiban itu
ada dua kemungkinan alasan yang pertama karna kelalaian yang dilakukan oleh debitur atau
keadaan yang memaksa debitur untuk tidak melakukan prestasi.

Dalam proses penyelesaian sengketa wanprestasi ekonomi syariah ataupun dilembaga


keuangan syariah, ada dua cara yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang
pertama menggunakan jalir litigasi (lewat jalur pengadilan) dan non litigasi (lewat jalur diluar
pengadilan) baik dengan badan arbirase atau lewat jalur perdamaian (As-Sulh).
DAFTAR PUSTAKA

Fatwa DSN MUI Nomer 05 tentang Jual Beli Saham,

Fatwa DSN MUI Nomer 06 tentang Jual Beli Istishna

Fatwa DSN MUI Nomer 07 tentang Pembiayaan Mudharabah,

Fatwa DSN MUI Nomer 08 tentang Pembiayaan Musyarakah

Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’wiḍ).

Margono, Suyud, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek

Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia. 2000)

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982)

Mujahidin, Ahmad, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2010)

PBI No.7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomer 30 tahun 1999 tentang Arbitrase.

Undang-undang Nomer 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomer 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama

Editor, “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional”, dalam

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15990/mengurai-benang-kusut-badan-Arbitrase-syariah-nasional.

Diakses pada 03 Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai