Anda di halaman 1dari 14

ETIKA PROFESI HAKIM DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM
Siti Zulaikha
STAIN Jurai Siwo Metro
Jalan Ki Hajar Dewantara, Metro Timur, Kota Metro, Lampung
E-mail: sitizulaikha1106@yahoo.co.id

Abstract: Judge Professional Ethics in Islamic Perspective. Discourses about professional ethics of
judges started out from the reality of law enforcement officials (especially judges) that ignore the values ​​
of morality. Although judges have already had the professional code of ethics as moral standards it
has not yet brought positive impact on negative image in public view. One way to enforce the rule
of law is to urge ethics, professionalism, and discipline. Professional ethics of judges contain moral
values ​​underlying professional personality, namely freedom, fairness and honesty. Professional ethics of
judges and law are a unity that is inherently contained ethical values of ​​ Islam which is the foundation
of understanding the Qur’an, so basically the code of professional conduct of judges is in line with the
values ​​of the Islamic ethical system. Ethics Islamic law is built on four basic values, namely the values ​​
of truth, justice, free will and responsibility.
Keywords: ethics, profession, justice, Islamic law

Abstrak: Etika Profesi Hakim dalam Perspektif Hukum Islam. Wacana pemikiran tentang kode etik
profesi hakim berangkat dari realitas para penegak hukum (khususnya hakim) yang mengabaikan nilai-
nilai moralitas. Meskipun para pelaku profesional (hakim) sudah memilki kode etik profesi sebagai standar
moral, ternyata belum memberikan dampak yang positif terutama belum bisa merubah image negatif
masyarakat terhadap wajah. Salah satu jalan untuk menegakkan supremasi hukum adalah dengan cara
menegakkan etika, profesionalisme, dan disiplin. Kode etik profesi hakim pada prinsipnya mengandung
nilai-nilai moral yang mendasari kepribadian secara profesional, yaitu kebebasan, keadilan dan kejujuran.
Etika profesi hakim dan hukum merupakan satu kesatuan yang secara inheren terdapat nilai-nilai etika
Islam yang landasannya merupakan pemahaman dari Alquran, sehingga pada dasarnya kode etik profesi
hakim sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem etika Islam. Etika hukum Islam dibangun di atas empat
nilai dasar yaitu yaitu nilai-nilai kebenaran, keadilan, kehendak bebas dan pertanggung jawaban.
Kata Kunci : etika, profesi, hakim, hukum Islam

Pendahuluan Dengan demikian, hakim sebagai pejabat


Hakim adalah pejabat peradilan negara yang Negara yang diangkat oleh kepala Negara
diberi wewenang oleh undang-undang untuk sebagai penegak hukum dan keadilan
mengadili. Dalam Undang-undang Kekuasaan yang diharapkan dapat menyelesaikan per­
Kehakiman disebutkan bahwa hakim adalah masalahan yang telah diembannya menurut
penegak hukum dan keadilan yang wajib Undang-undang yang berlaku.
menggali, mengikuti dan memahami nilai- Karenanya, hakim merupakan profesi
nilai hukum yang hidup di masyarakat.1 yang mulia. Seorang hakim dituntut

1
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Lihat Undang- beserta penjelasannya, Pasal 28 Ayat (1).

89
90|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

untuk menjalankan kode etika sebagai menyelesaikan tugas peradilan.3 Sebagaimana


simbol profesionalisme. Namun dalam per­ pernah dipraktikkan oleh nabi Muhammad
kembangannya, menjadi sebuah keniscayaan ketika mengangkat qâdhi untuk bertugas
akan terjadi gejala-gejala penyalahgunaan menyelesaikan sengketa di antara manusia
terhadap profesi hakim, yang seharusnya di tempat-tempat yang jauh, sebagaimana
dengan penguasaan dan penerapan disiplin ia telah melimpahkan wewenang ini pada
ilmu hukum dapat menyelenggarakan dan sahabatnya.4 Hal ini terjadi pada sahabat
menegakkan keadilan di masyarakat. dan terus berlanjut pada Bani Umayah dan
Keniscayaan tersebut terjadi ketika Bani Abbasiah. Akibat dari semakin luasnya
seorang hakim yang notabene adalah salah wilayah Islam dan kompleknya masalah yang
satu aparat penegak hukum (legal aparatus) terjadi pada masyarakat, sehingga diperlukan
belum menghayati dan melaksanakan kode hakim-hakim untuk menyelesaikan setiap
etik profesi dalam melaksanakan profesinya. perkara yang terjadi di masyarakat.
Seperti adanya pelbagai kasus gugatan publik
terhadap profesi hakim. Ini membuktikan, Dasar dan Syarat Pengangkatan Hakim
bahwa kode etik tampaknya belum bisa Hakim sebagai pelaksana hukum mempunyai
dilaksanakan. Nilai-nilai yang terkandung kedudukan yang sangat penting sekaligus
didalamnya belum bisa diaplikasikan. mempunyai beban yang sangat berat.
Munculnya wacana pemikiran tentang Dipandang penting karena melalui hakim
kode etik profesi hakim ini akan menjadi akan tercipta produk-produk hukum.
bahan masukan bagi penegak keadilan sebagai Diharap­kan dari produk hukum ini dapat
bahan evaluasi yang menitikberatkan pada mencegah dan meminimalisasi segala bentuk
analisis nilai-nilai Islami yang terkandung kezaliman sehingga terjaminnya ketenteraman
dalam kode etik profesi hakim. Tulisan masyarakat.
ini penting karena didorong oleh realitas Imam Mawardi menyatakan bahwa
profesi hakim yang mengabaikan nilai-nilai bahwa hakim harus diketahui identitasnya,
moralitas, sekaligus untuk membangun harus memahami tugas atas pekerjaanya,
kembali kepercayaan publik terhadap menyebut wewenang dan wilayahnya (Negara
lembaga peradilan sebagai benteng terakhir atau Propinsi).5 Sedangkan dalam literatur
keadilan. Islam atau fikih ada beberapa persyaratan
yang menjadi persamaan dan perbedaan.
Pengertian Hakim Persamaannya hakim harus berakal, Islam,
Hakim berasal dari kata adil, berpengetahuan baik dalam pokok
semakna dengan qâdhi yang berasal dari kata hukum agama dan cabang-cabangnya, sehat
artinya memutus. Sedang­kan pendengaran, penglihatan dan ucapan, dan
menurut bahasa adalah orang yang bijaksana merdeka bukan hamba sahaya. 6 Adapun
atau orang yang memutuskan perkara perbedaannya adalah disyaratkan hakim laki-
dan menetapkannya.2 Adapun pengertian laki dan tidak boleh perempuan. Meskipun
menurut syara’ yaitu orang yang diangkat ini menjadi perdebatan para ulama. Ulama
oleh kepala negara untuk menjadi hakim
dalam menyelesaikan gugatan, perselisihan- 3
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqi, Peradilan
perselisihan dalam bidang hukum perdata dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putera,
oleh karena penguasa sendiri tidak dapat 1997), h. 39.
4 Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h. 11.
5
Imam Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan
Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,Tahun 2000),
h. 142-143.
2
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, (Ttp.: 6
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru
Tnp., t.t.), h.11. Algesindo, 1994), h. 487.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |91

dari empat mazhab kecuali Abû Hanîfah daerah diserahkan pada penguasa daerah dan
membolehkan selain dalam urusan had hanya diberi wewenang untuk memutuskan
dan qishâsh, karena kesaksian dalam dua perkara, sedangkan untuk pelaksanaan
hal tersebut tidak dapat diterima.7 Hal ini putusan oleh khalifah langsung atau oleh
sebagaimana dalam sebuah hadis: utusannya.10 Sedangkan pada masa Bani
Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung,
pembentukan hakim setiap wilayah, pem­
Hadis di atas menerangkan bahwa pe­ bukuan dan mulainya organisasi peradilan,
rempuan dianggap belum mampu mem­ sehingga menempatkan hakim sebagi sosok
bawa kemenangan atau kemajuan. Per­ yang sangat diperlukan dan mempunyai
syaratan wanita tidak boleh menjadi hakim, peranan penting. 11
merupakan persyaratan pada masa dahulu

dikarenakan luasnya wilayah Islam, dan
Tugas, Fungsi dan Tanggung Jawab Hakim
banyaknya permasalahan yang muncul
sehingga menjadi komplek, sedangkan Dalam menjalankan tugasnya, hakim me­
lembaga peradilan masih sangat sedikit. miliki kebebasan untuk membuat keputusan
Namun dalam kontek kontemporer, peradilan terlepas dari pengaruh pemerintah dan
yang sudah merata dan perkembangan pengaruh lainnya.12 Hakim menjadi tumpuan
kehidupan yang semakin maju, persyaratan- dan harapan bagi pencari keadilan. Hakim
persyaratan tersebut sudah tidak relevan lagi. juga memiliki kewajiban ganda, di satu pihak
merupakan pejabat yang ditugasi menerapkan
Eksistensi hakim menjadi mulia dalam
hukum (izhâr al-hukm) terhadap perkara
Islam dibuktikan dalam hadis berikut:
yang kongkrit baik terhadap hukum tertulis
maupun tidak tertulis, di lain pihak sebagai
penegak hukum dan keadilan dituntut untuk
8
dapat menggali, memahami, nilai-nilai yang
i 9 ada dalam masyarakat. Secara makro dituntut
untuk memahami rasa hukum yang hidup
Berdasarkan hadis dan ijma› tersebut di dalam masyarakat.
dijelaskan tentang keutamaan ijtihad seorang
hakim. Ijtihad yang dilakukan hakim Dalam undang-undang disebutkan tugas
sebagai salah satu usaha menggali hukum pengadilan tidak boleh menolak untuk
guna melindungi kepentingan orang-orang memeriksa, mengadili dan memutus suatu
yang teraniaya dan untuk menghilangkan perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
sengketa-sengketa yang timbul dalam hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
masyarakat. Sejarah Islam membuktikan, wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.13
posisi hakim sangat dibutuhkan dalam Artinya, hakim sebagai unsur pengadilan
sebuah pemerintahan. Hal ini seperti pada wajib menggali, mengikuti dan memahami
masa Bani Umayyah, misalnya, khalifah nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
mengangkat qâdhi pusat, sementara di hidup dalam masyarakat.14 Nilai-nilai hukum

7
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara 10
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h. 29.
Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 35-43. 11
Muhammad Salam Madkûr, al-Qadhâ fî al-Islâm, h.
8
Imâm Abî Husain Muslim bin al-Hajjâj Ibn Muslim 30-32.
al-Qusyairî al-Nisaburî, Kitâb Jâmi’ al-Shahîh, Bab Bayânu ajr 12
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat
al-hâkim izâ ajtahidu fa ashoba au akhtou, juz 5, (Bayrût: Dâr Indonesia, (Bandung: Rosda Karya , 1997), h. 104.
al-Fikr, t.t.), h. 131. Lihat juga al-Hâfizh bin Hajar al-Asqalânî, 13
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Bulûghul Marâm, Kitab al-Qadhâ, Hadis nomor 4, (Semarang: Kehakiman, Pasal 16 Ayat (1) dan lihat Undang-undang Nomor 7
Toha Putra, t.t.), h. 315. Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama Pasal 56 ayat (1)
9
Tengku Muhammad Hasbi ash Shidiqi, Peradilan dan 14
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Hukum Acara Islam, h. 37. Kehakiman, Pasal 28 Ayat (1)
92|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

yang hidup dalam masyarakat tersebut dengan doktrin Curia Ius Novit.17 Hal ini
seperti persepsi masyarakat tentang keadilan, dijelaskan dalam undang-undang bahwa
kepastian, hukum dan kemanfaatan. Hal ini hakim tidak boleh menolak perkara yang
menjadi tuntutan bagi hakim untuk selalu diajukan kepadanya untuk diperiksa dan
meningkatkan kualitasnya sehingga dalam diputus, dengan alasan bahwa hukum yang
memutuskan perkara benar-benar berdasarkan ada tidak ada atau kurang jelas.18
hukum yang ada dan keputusannya dapat Sementara fungsi hakim adalah me­
dipertanggungjawabkan. Dalam hadis di­ negakkan kebenaran sesungguhnya dari apa
jelaskan: yang dikemukakan dan dituntut oleh para
pihak tanpa melebihi atau menguranginya
terutama yang berkaitan dengan perkara
perdata, sedangkan dalam perkara pidana
15
mencari kebenaran sesungguhnya secara
mutlak tidak terbatas pada apa yang telah
Dalam menyelesaikan suatu perkara ada dilakukan oleh terdakwa, melainkan dari itu
beberapa tahapan yang harus di lakukan harus diselidiki dari latar belakang perbuatan
oleh hakim diantaranya mengkonstatir terdakwa.19 Artinya, hakim mengejar ke­
yaitu yang dituangkan dalam Berita Acara benaran materil secara mutlak dan tuntas.
Persidangan dan dalam duduknya perkara Dan tugas hakim adalah melaksanakan semua
pada putusan hakim.16 Mengkonstatir ini tugas yang menjadi tanggung jawabnya
dilakukan dengan terlebih dahulu melihat untuk memberikan kepastian hukum semua
pokok perkara dan kemudian mengakui perkara yang masuk baik perkara tersebut
atau membenarkan atas peristiwa yang telah di atur dalam Undang-undang maupun
diajukan, tetapi sebelumnya telah diadakan yang tidak terdapat ketentuannya. Dengan
pembuktian terlebih dahulu. Selain itu demikian, terlihat dalam menjalankan
mengkualifisir, yaitu yang dituangkan tanggung jawabnya hakim harus bersifat
dalam pertimbangan hukum dalam surat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang
putusan. Ini merupakan suatu penilaian ditunjuk undang-undang untuk memeriksa
terhadap peristiwa atas bukti-bukti, fakta- dan mengadili perkara, dengan penilaian
fakta hukum dan menemukan hukumnya. yang obyektif pula karena harus berdiri di
Dan terakhir adalah mengkonstituir, yaitu atas kedua belah pihak yang berperkara dan
yang dituangkan dalam surat putusan. Tahap tidak boleh memihak salah satu pihak.
tiga ini merupakan penetapan hukum atau
merupakan pemberian konstitusi terhadap Kode Etik Profesi Hakim Indonesia
perkara. 1. Pengertian Etika Islam
Tahapan-tahapan tersebut menuntut Pemahaman terhadap eksistensi kode etik
hakim untuk jeli dan hati-hati dalam mem­ profesi hakim dalam wacana pemikiran
berikan keputusan sekaligus menemukan hukum Islam adalah sistem etika Islam yang
hukumnya, karena pada dasarnya hakim akan menjadi landasan berfikir untuk melihat
dianggap mengetahui hukum dan dapat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi
mengambil keputusan berdasarkan ilmu hakim. Etika dalam Islam disebut dengan
pengetahuan dan keyakinannya sesuai

17
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), h. 37.
15
Al-Hâfizh bin Hajar al-Asqalânî, Bulûghul Marâm, 18
Undang-undang Nomor 07 Tahun 1989 Tentang
Kitab al-Qodho, Hadis nomor 6, h. 316. Peradilan Agama Pasal 56 Ayat (1).
16
H. A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada 19
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata
Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 37. Indonesia, h. 38.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |93

akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab yang Majid Fakhry menyebutkan etika atau
artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat akhlak adalah gambaran rasional mengenai
kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari hakikat dan menjadi dasar perbuatan
disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan dan keputusan yang benar serta prinsip-
santun. Dengan demikian, ahklak merupakan prinsip yang menentukan klaim bahwa
gambaran bentuk lahir manusia.20 perbuatan dan keputusan tersebut secara
Ahmad Amin memberikan definisi moral diperintahkan atau dilarang.24 Lebih
akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal
arti baik dan buruk, menerangkan apa yang keyakinan religius tertentu (i’tiqâdât) untuk
harusnya dilakukan oleh sebagian manusia diamalkan, dan bukan demi pengetahuan
kepada manusia lainnya, menyatakan apa belaka.25 Berdasarkan pengertian di atas etika
yang harus dituju oleh manusia dalam hal dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga
apa yang harus diperbuat. 21 Sedangkan perbedaan, persamaanya adalah pada obyek
menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam yakni sama-sama membahas tentang baik
(akhlak Islam) adalah merupakan sistem dan buruk tingkah laku manusia sedangkan
moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, perbedaanya adalah pada parameternya yaitu
yakni bertitik tolak dari akidah yang etika terhadap akal, dan akhlak terhadap
diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya agama.
yang kemudian disampaikan pada umatnya.22 Dengan demikian etika mempunyai
Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat peranan penting karena lebih menekan­kan
atau sifat seseorang, yakni telah biasanya pada bentuk bathiniyah yang berkaitan
dalam jiwa seseorang yang benar-benar dengan pelaksanaan hukum (syari’ah) yang
telah melekat sifat-sifat yang melahirkan berbentuk batiniyah. Lebih jauh lagi me­
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan rupakan aspek penting bagi penegak hukum,
spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut khususnya profesi hakim. Karena moralitas
terkadang berbentuk baik dan terkadang atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan
juga berbentuk buruk. jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan
Dengan demikian pada tahap pertama profesinya.
merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan
tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa 2. Landasan Etika Profesi dalam Islam
pertimbangan dan pemikiran. Dan dapat Persoalan etika dalam Islam sudah banyak
dikatakan akhlak merupakan manifestasi dibicarakan dan termuat dalam Alquran
iman, Islam dan ihsan yang merupakan dan Hadis. Etika Islam adalah merupakan
refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan
terpola pada diri sendiri sendiri sehingga kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan
dapat melahirkan perilaku secara konsisten kepada agama, dengan demikian Alquran
dan tidak tergantung pada pertimbangan dan Hadis adalah merupakan sumber utama
interes tertentu.23 yang dijadikan landasan dalam menentukan
batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari
bagi manusia, ada yang menerangkan tentang
20
Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya:
al-Ikhlas, 1991), h.14. baik dan buruk, boleh dan dilarang, maka
21
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Farid Ma’ruf (pent.),
cet. ke-8, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 3.
22
A. Mustofa, Akhlak Tasauf, cet. ke-1, (Bandung: Pustaka
Setia, 1997), h. 149. 24
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, Zakiyuddin Baidhawy
23
Sidiktono, dkk, Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, (terj.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. xv-xvi.
(ed.), Ibadah dan Akhlak dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta: 25
M. Abdul Quasem, Etika al-Ghazali Etika Majemuk di
UII Press, 1998), h. 89. dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 10.
94|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

etika profesi hakim di sini merupakan bagian mendasar bagi Alquran disamping kedua
dari perbuatan yang menjadi fokus bahasan. istilah di atas, yang memiliki akar kata (i i)
Namun Alquran yang menerangkan juga berarti melindungi dari bahaya, menjaga
tentang kehidupan moral, keagamaan dan kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi.27
sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori Sehingga pembahasan etika yang terdapat
etika dalam arti yang khusus sekalipun dalam Alquran mengandung cakrawala
menjelaskan konsep etika Islam, tetapi yang luas karena menyagkut nilai-nilai yang
hanya membentuk dasar etika Islam, bukan terkandung dalam kehidupan manusia baik
teori-teori etika dalam bentuk baku.26 Tetapi secara individu, masyarakat dan Negara secara
masalah yang paling utama adalah bagaimana umum demi mencapai kebahagian baik di
mengeluarkan ethik Islam yang bersumber dunia dan di akhirat.
dari Alquran yang melibatkan seluruh moral, Menurut Madjid Fakhri sistem etika
keagamaan, dan sosial masyarakat muslim Islam dapat dikelompokkan menjadi empat
guna menjawab semua permasalahan yang tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua,
timbul baik dari dalam maupun dari luar. etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika
Berdasarkan kedua sumber tersebut yang filsafat. Keempat, etika religius.28 Dari
pada umumnya memiliki sifat yang umum, keempat tipologi etika Islam tersebut,
karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan etika religius akan menjadi pilihan sebagai
kualifikasi agar dipahami sehingga perlu melalui landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang
pen­jelasan dan penafsiran. Permasalahan ke­ didasarkan pada konsep Alquran tentang
hidupan manusia yang semakin kompleks nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan
dengan dinamika masyarakat yang semakin demikian penyusun hanya akan menjelaskan
berkembang. Maka akan dijumpai pelbagai salah satu macam etika yaitu etika religius
macam persoalan-persoalan terutama masalah yang menjadi landasan.
moralitas masyarakat muslim, pada masa Etika religius adalah etika yang di­
Nabi Muhammad yang terbentuk setelah kembangkan dari akar konsepsi-konsepsi
turunnya wahyu Alquran, sehingga masih bisa Alquran tentang manusia dan kedudukannya
dikembalikan kepada sumber Alquran dan di muka bumi, dan cenderung melepaskan
penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan dari kepelikan dialektika dan memusatkan
perkembangan masyarakat dan keagamaan pada usaha untuk mengeluarkan spirit
ketika itu yang dihadapkan dengan masalah moralitas Islam secara utuh.29 Bahan-bahan
budaya, adat dan pola pikir masyarakat yang etika religius adalah pandangan-pandangan
berkembang saat itu, maka keadaan moralitas dunia Alquran, konsep-konsep teologis,
menjadi sangat penting dan komplek. kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa
Alquran sendiri menjelaskan tentang etika hal sufisme. Karena itu sistem etika religius
dengan berdasarkan tiga terma kunci, utama muncul dalam pelbagai bentuk yang kompleks
yang merupakan pandangan dunia Alquran. sekaligus memiliki karakteristik yang paling
Ketiga terma kunci tersebut adalah iman, Islami. Diantara eksponennya adalah Hasan
Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani, al-
memperlihatkan arti yang identik. Istilah Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali
iman berasal dari akar kata (i i) yang artinya yang sistem etikanya men­cakup moralitas
keamanan, bebas dari bahaya, damai. Islam filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh
yang akar katanya (i i) yang artinya aman
dan integral, terlindungi dari disintegrasi 27
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme
dan kehancuran. Dan taqwa yang sangat Islam Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.), (Bandung:
Mizan, 1992), h. 66.
28
Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, h. xxi-xxiii
26
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam,h. xv. 29
Madjid Fakhry, Etika dalam Islam, h. 68.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |95

yang paling representatif dari etika religius.30 dan mutakallimun.31


Sementara kajian epistemologi terhadap Kata profesi dalam Alquran disebutkan
nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani dengan kata-kata ‹aml (i i) yang disebut
dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu: berulang-ulang, belum lagi dengan pe­
Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki nyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun
arti yang obyektif, yaitu suatu perbuatan ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa
itu disebut benar apabila terdapat kualitas Islam tidak progresif terhadap budaya kerja.
benar pada perbuatan itu. Aliran ini biasanya Hal ini karena disebabkan didalam Islam
dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf adanya takdir, yang sering dipahami secara
muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam
memiliki arti yang obyektif, tetapi sesuai tidak terlalu penting. Ini bias dari teologi
dengan kehendak dan perintah dan ketetapan jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat
Allah swt. Tipe ini disebut secara spesifik bahwa manusia tidak punya faktor atau
oleh George F. Huorani dengan theistic penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan
subjectivisme atau divine subjectivisme. Terma akibat dari faktor dari teologis ini.32
ini disepadankan oleh George F. Huorani
dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, 3. Sistem Etika Islam dalam Penegakan
Rationalism; ‘right” itu dapat diketahui Hukum
dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, Sistem etika Islam yang berkembang ter­
akal manusia dinilai mampu membuat lebih dahulu dalam pemahaman agama,
keputusan etika yang benar berdasarkan sehingga hubungan antara agama dengan
data pengalaman tanpa menunjuk kepada etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya
wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya memang tidak dapat dipisahkan. Keterbatasan
terhadap akal disepadankan oleh George kemampuan manusia untuk mamahami
F. Huorani dengan kelompok intuitionist. ajaran agama menyebabkan perlunya manusia
Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” mencari jalan dan berfikir yang tepat untuk
selalu dapat diketahui oleh akal secara membantu manusia dalam menafsirkan
bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus agama, karena tidak semua orang sepakat
dapat diketahui oleh akal semata, pada dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap
kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya
ijma›, dan qiyas, atau dapat diketahui oleh masih belum menjadi persoalan agama dapat
akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran dipecahkan melalui etika dengan mem­
ini secara spesifik disebut dengan partial perhatikan ketentuan agama.
rationalism. Keempat,Traditionalism; “right”
Agama biasanya dipahami semata-mata
tidak akan pernah dapat diketahui dengan
membicarakan urusan spiritual, karena­ nya
akal semata tetapi hanya dapat diketahui
ada ketegangan antara agama dan hukum.
dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang
Hukum utuk memenuhi ke­butuhan sosial dan
merujuk kepada wahyu. Menurut George
karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk
F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama
mengontrolnya dan tidak membiarkannya
sekali tidak memanfaatkan kemampuan
menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-
akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan
norma yang ditentukan oleh agama.33 Agama
pada saat menafsirkan Alquran dan sunnah,
menetapkan ijma› atau menarik qiyas. Aliran
seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha 31
Amril M., Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghîb al-
Isfahâni (w.+ 1108 M), Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 2001,
h. 25-27.
32
Sidiktono, dkk, Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim,
(ed.), Ibadah dan Akhlak dalam Islam, h. 133-134.
30
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, h. xxi – xxiii. 33
Muhammad Muslehuddin, Yudian Wahyudi Amin
96|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

di sini menekankan moralitas, perbedaan harus dijunjung oleh seorang profesi


antara yang benar dan salah, baik dan buruk, dalam hal ini seorang hakim (qâdi) dalam
sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri menjalankan profesinya adalah memberi
kepada kesejahteraan material dan kurang keputusan (judgement) bukan menghadiahkan
mem­p er­h atikan etika. Terlihat dengan keadilan dan keputusan yang diberikan
adanya perbedaan antara fungsi antara etika harus berdasarkan hukum. Hal ini dalam
dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama konsep Islam, profesi hakim harus benar-
memerintahkan berbuat apa yang berguna dan benar menegakkan etika, dan bagaimana
melarang segala perbuatan yang dilarang dan etika yang harus ditegakkan dalam menjalani
madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena profesi dalam Islam, atau yang disebut etika
banyak perbuatan yang baik dan berguna profesi dalam Islam.
yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Konsep profesi dalam Islam adalah
Dari fungsi di atas menjadikan etika atau pertama, meletakkan kerja sebagai sebuah
akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara amal shaleh yang dilakukan dalam kontek
batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu,
lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala dan amal. Di sini kerja terorientasi kepada
perbuatan yang berakibat kepada lahir. dua pandangan yakni aktifitas yang bernilai
Hukum Islam sebenarnya merupakan ibadah dan sebuah aktifitas untuk memperoleh
hukum moral “farexcellence”, sedangkan keuntungan financial. Kedua, menunuaikan
menurut Khan bahwa “hukum moral adalah kerja sebagai suatu penunaian amanah yang
hukum dalam arti sebenarnya.Tidak ada harus dilakukan secara professional. Ketiga,
pemisahan total hukum dari moralitas”. Oleh melakukan kerja dengan wawasan masa depan
karena itu hukum yang dipisahkan dari dan wawasan ukhrawi artinya dalam me­
keadilan dan moralitas bukanlah hukum.34 lakukan kerja, seseorang harus mengingat
Dengan demikian, etika sangat ber­ kepentingan akan hari depannya. 36
manfaat bagi seorang walaupun pada dasarnya Berdasarkan uraian di atas, etika profesi
manusia itu sudah bermoral. Manfaat etika itu dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang
antara lain agar manusia dapat mengadakan bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga
refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat sangat ukhrawi. Artinya Islam melibatkan
yang semakin pluralistik dimana kesatuan aspek transendental dalam beribadah, sehingga
normatif sudah tidak ada lagi. Perubahan- bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai prilaku
perubahan masyarakat karena arus modernisasi ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi
mengakibatkan goncangan nilai budaya yang hakim yang dijalani adalah suatu profesi yang
bisa saja berubah dan mana nilai yang tetap profesi yang harus dipertanggung jawabkan
dan tidak mungkin berubah. Etika dapat di akhirat. Dalam hadis di sebutkan:
juga membuat kita sanggup menghadapi
ideologi yang menawarkan darinya sebagai
penyelamat dengan memecahkanya secara
kritis dan obyektif.35
Etika Islam sebagai landasan yang

37
(pent.), Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi
Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997). h. 70.
34
Muhammad Muslehuddin, Yudian Wahyudi Amin
(pent.), Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi 36
Sidiktono, dkk, Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim
Perbandingan, h. 70. (ed.), Ibadah dan Akhlak dalam Islam, h. 138.
35
Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah 37
al-Hâfizh bin Hajar al-Asqalânî, Bulûghul Marâm, Kitab
Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 15-16. al-Qodho, Hadis nomor 1, h. 315.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |97

Hadis di atas menjelaskan pembagian Keadilan atau keseimbangan (equiblirium)


hakim, sehingga apabila haim tidak men­jalan­kan menggambarkan dimensi horizontal ajaran
amanahnya sesuai dengan sistem etika profesi Islam yang berhubungan dengan keseluruhan
dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hubungan antara alam semesta. Sifat keadilan
hakim yang celaka, karena mengimgkari tujuan atau keseimbangan bukan hanya karakteristik
dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak alami,melainkan merupakan karakteristik
bisa mempertanggungjawabkan akan tugasnya dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap
diakhirat nanti. muslim dalam kehidupannya.40
Hal ini diungkapkan oleh al-Ghazali, Kata keadilan dalam Alquran mengguna­
bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal kan kata ‘adl dan qist. ‘adl mengandung
dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. pengertian yang identik dengan samiyyah
Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan berarti penyamarataan (equalizing), dan
pada keselamatan individu baik di dunia kesamaan (leveling). Penyamarataan dan
sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya kesamaan ini berlawanan dengan zulm dan
kewajiban bagi manusia pada hakekatnya jaur (kejahatan dan penindasan).41
dimaksudkan untuk keselamatan individu.38 Alquran memiliki banyak keterangan
tentang dalil keadilan yang meliputi perintah
Prinsip-prinsip Peradilan dalam Nilai penegakkan keadilan baik melalui perkataan,
Etika Islam tindakan, sikap; baik hati ataupun pikiran,
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan disamping perintah penegakkan keadilan
etika agama dalam penegakkan hukum, dalam kode etik yang mempunyai unsur
selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep nilai, obyek dan tujuan dari keadilan sendiri.
dari suatu paradigma etika profesi yang Keadilan yang ditunjukkan hukum
dikontruksi dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip Islam adalah keadilan yang mutlak dan
etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara sempurna bukan keadilan yang relatif dan
normatif. Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem parsial. Maka keadilan hukum Islam adalah
etika Islam selalu tercermin dalam konsep mencari motif keadilan yang paling dalam,
tauhid.39 Oleh karena itu bagi seorang hakim misalnya, perbuatan itu ditentukan oleh niat
dalam melaksanakan profesinya harus taat dan kita berbuat seolah-olah di hadapan
pada prinsip-prinsip peradilan yang telah Allah.42 Dalam persfektif Islam dijelaskan
yang telah digariskan oleh Alquran, sebagai keadilan sebagai prinsip yang menunjukan
pertimbangan dalam menjalani profesinya, kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan
karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan dan keterusterangan yang merupakan
memberikan jaminan terhadap terlaksananya nilai-nilai moral yang ditekankan dalam
tujuan hukum. Alquran.43 Karena hukum Islam sendiri
Paradigma etika profesi dalam perspektif mempunyai standar keadilan mutlak karena
Alquran tentang profesi yang dilandasi dilandaskan pada prinsip-prinsip hukum
aksioma-aksioma yang menjadi bahan analisis yang fundamental, sehingga keadilan dalam
untuk menkaji kode etik profesi hakim. hukum Islam merupakan perpaduan yang
Aksioma nilai tersebut ialah:
40
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis,
Pertama, Keadilan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), h.12.
41
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan,
Agung Prihantoro (pent.), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000),
h. 59.
38
M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Hamzah 42
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran
(pent.), (Bandung: Mizan, 2002), h. 202-205. Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, h. 81.
39
A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka 43
Abd. A’lâ, Melampaui Dialog Agama, Qamaruddin SF
al-Husna, 1992), h. 12. (ed.), (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2002), h. 159.
98|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

menyenangkan antara hukum dan moralitas. Islam sikap ini sangat dianjurkan, sedangkan
Hukum Islam tidak menghancurkan kejujuran dipandang sebagai suatu nilai
kebebasan individu tetapi mengontrolnya yang paling unggul dan harus miliki oleh
demi kepentingan masyarakat yang terdiri seluruh masyarakat karena menjadi corak
dari individu itu sendiri dan karenanya nilai manusia yang berakar.46 Dalam Alquran
juga melindungi kepentingan pribadi sendiri bukan memperlihatkan tujuan dari
dengan kepentingan masyarakat dan kebenaran tetapi memperlihatkan proses.
bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan Alquran menekankan adanya kebenaran
me­ ngembangkan hak pribadinya dengan suatu profesi yang dilandasi oleh kebaikan
syarat tidak mengganggu kepentingan dan kejujuran.47 Alquran menjelaskan:
masyarakat, karena manusia hidup berada
ditengah perjuangan dalam diri sendiri dan
orang lain dalam menegakkan keadilan.44 48
Ini mengakhiri perselisihan dan memenuhi
tuntutan keadilan karena itu, berlaku adil Pengejawantahan aksioma kebenaran
berarti hidup menurut prinsip-prinsip dengan dua makna kebajikan dan kejujuran
Islam.45 secara jelas telah di teladankan oleh Nabi
Muhammad SAW yang juga merupakan
seorang yang seiring memutuskan perkara
Kedua, Kebenaran
dengan bijaksana. Dalam menjalankan
Kebenaran selain mengandung makna profesinya nabi tidak pernah sekalipun
kebenaran lawan kesalahan, mengandung melakukan kebohongan atau berpihak
juga unsur kebajikan dan kejujuran. kepada salah satu yang berperkara, namun
Nilai kebenaran adalah merupakan nilai sebaliknya menganjurkan agar melakukan
yang dianjurkan dalam ajaran Islam. profesi dengan kebenaran dan kejujuran.
Dalam Alquran aksioma kebenaran yang Dalam Alquran:
mengandung kebajikan dan kejujuran
dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi
perjanjian dalam melaksanakan profesi.
49
Dalam kontek etika profesi hakim yang
harus di lakukan adalah dalam hal sikap Dengan aksioma-aksioma kebenaran ini
dan prilaku yang benar yang meliputi dari maka etika profesi hakim dalam Islam sangat
proses penerimaan perkara, pemeriksaan menjaga dan berlaku preventif terhadap
perkara serta menggali nilai-nilai yang kemungkinan adanya penyalahgunaan profesi
ada atau hukum-hukum yang ada untuk hakim.
menyelesaikan perkara yang masuk sampai
kepada pemutusan perkara yang benar-benar Ketiga, Kehendak Bebas
sesuai hukum yang berlaku.
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi sampai
Kebajikan adalah sikap ihsan, yang me­ batas-batas tertentu mempunyai kehendak
rupakan tindakan yang memberikan ke­ bebas atau kebebasan untuk mengarahkan
untungan bagi orang lain. Dalam pandangan kehidupannya kepada tuju­ an pencapaian
kesucian diri. Manusia di­anugerahi kehendak
44
Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung:
Alfa Beta, 1993), h. 266. 46
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Islam, ( Jakarta:
45
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran Pustaka Firdaus, 1993 ), h. 148.
Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, h. 83. 47
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis,
Bandingkan Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab: Sebuah Ikhtiar h. 20-21.
Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, (Jakarta: Teraju, 2003), 48
al-Hajj [22]: 77.
h. 122-125. 49
Ali Imrân [3]: 114.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |99

bebas atau kebebasan (free will) untuk pasti menuntut adanya pertanggungjawaban
membimbing kehidupannya sebagai khalifah.50 dan akuntabilitas. Untuk memenuhi ke­
Berdasarkan aksioma kehendak bebas ini etika adilan, kebenaran, dan kehendak bebas
profesi dalam Islam mempunyai kehendak maka perlu adanya pertanggungjawaban
bebas dalam menjalani profesinya baik dari dalam tindakannya. Secara logis aksioma
perjanjian yang dibuatnya, apakah akan terakhir ini sangat berkaitan erat dengan
ditepati atau mengingkarinya. Seorang muslim aksioma kehendak bebas. Ia menetapkan
yang percaya terhadap Tuhannya maka ia batasan mengenai apa yang bebas dilakukan
akan menepati janji atau sumpah dalam oleh manusia dengan bertanggungjawab atas
melaksanakan profesinya. Dalam Alquran semua yang dilakukannya.
disebutkan:
51

Ayat di atas menjelaskan bahwa ke­


bebasan manusia dalam membuat janji itu
harus dipenuhi baik yang dibuat sendiri 53

ataupun dengan masyarakat. Dalam masalah Tanggung jawab merupakan suatu prinsip
etika profesi yaitu dengan adanya kode etik dinamis yang berhubungan dengan perilaku
profesi atau sumpah jabatannya yang harus manusia. Bahkan merupakan kekuatan
dilaksanakan. Dengan demikian manusia dinamis individu untuk mempertahankan
memiliki kebebasan karena kebebasan adalah kualitas kesetimbangan dalam masyarakat.54
kemampuan manusia untuk menentukan Karena manusia yang hidup sebagai
dirinya sendiri yang disebut kebebasan mahkluk sosial, tidak bisa bebas, dan semua
eksistensial dari unsur rohani manusia tindakannya harus dipertanggungjawabkan.
(penguasaan manusia terhadap batinya). Dan Dalam Alquran disebutkan:
kebebasan dari unsur-unsur yang diakibatkan
55
dari orang lain adalah kebebasan sosial.
Pada satu sisi manusia berada dalam Secara teologis prinsip pertanggung­
keterpaksaan dan tidak mempunyai ke­ jawaban berhubungan dengan tiga para­
bebasan kehendak yang merdeka bahkan digma qur›anik. 56 Pertama, Allah mem­
kepastian yang menjalankan menurut apa berikan karunia kepada manusia (baik
yang digambarkan. Karena kebebasan melalui Rasul maupun lewat kekuatan
adalah merupakan hakikat kemanusiaan, akal) yang memungkinkannya mengenali
dan kebebasan adalah kebebasan yang ada. nilai-nilai moral. Dalam jiwa manusia telah
Sehingga Herbet Spencer mengatakan bahwa ditanamkan pengertian tentang makna baik
nilai tertinggi yang ia letakkan kepada teori dan buruk. Sebagaimana disebutkan dalam
keadilan bukanlah kesamaan tetapi kebebasan Alquran:
artinya setiap orang bebas asalkan tidak
mengganggu orang lain.52

Keempat, Pertanggungjawaban
Kebebasan apapun yang terjadi tanpa batasan,
53
al-Nisâ [4]: 85.
54
R. Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Alquran,Tesis
50
Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika dan Bisnis, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001, h. 125.
h.15. 55
al-Qiyâmah [75]: 36.
al-Mâidah [5]: 1.
51 56
Miftahul Huda, Dimensi Etis Pesan-pesan Alquran:
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan Pemikiran
52
Sebuah Telaah Filsafat, Tesis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, h. 36. 1996, h. 119-121.
100|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

57
pada konteks kekinian perlu ditelaah lebih
lanjut adalah sisi pertanggungjawaban yang
bersifat kolektif duniawi. Alquran hanya
58 menyampaikan pesan-pesan kepada umat
manusia sebagai individu-individu mandiri,
Kedua, meskipun manusia diberi ke­ tetapi juga memberikan bimbingan tentang
mungkinan mengetahui kualitas moral dari kehidupan kolektif. Dalam Islam ada pokok-
semua perbuatannya, namun secara prinsip pokok ajaran tentang etika pergaulan antar
mereka adalah bebas untuk menentu­kan manusia, dan dalam hubungan antara
jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tidak manusia dengan lingkungan hidupnya.
ada paksaan untuk mengikuti atau tidak Mengabaikan ajaran-ajaran moral tersebut
me­n gikuti pesan-pesan-Nya. Allah Swt akan berakibat tidak hanya penderitaan batin
berfirman: dan siksaan (akhirat) secara individual, tetapi
secara kolektif (generasi) mereka juga akan
i 59
menerima hukuman, sekarang di dunia ini
Ketiga, Allah Swt senantiasa mengamati juga.62
dan mencatat gerak-gerik tubuh dan hati
manusia sekecil-kecilnya, Dia mengetahui Penutup
apa saja yang disembunyikan dalam hati Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik
dan apa yang ditampakkan. Allah Swt kesimpulan bahwa kode etik profesi
berfirman: hakim mengandung nilai-nilai moral yang
60i menjadi landasan kepribadian hakim secara
professional yaitu: pertama, kebebasan artinya
sebagai manusia mempunyai kebebasan baik
kemandirian moral maupun keberanian moral
61 yang dibatasi norma-norma yang berlaku.
Kedua, keadilan, yaitu memperlakukan sama
Tiga paradigma di atas, yaitu kemungkin­ terhadap manusia dengan memberikan apa
an mengetahui kualitas moral, kebebasan yang menjadi haknya. Ketiga, kejujuran
berbuat serta doktrin tentang pencatatan yaitu dalam penegakan hukum harus
amal, secara bersama-sama merupakan dilandasi sifat kejujuran dalam hati nurani
condition sine qua non sekaligus jaminan dan kebenaran akal (ratio) dari mulai
obyektifitas penilaian Allah. Namun pemeriksaan perkara, pencarian hukum
demikian ukuran kemuliaan yang hakiki sampai pada pemutusan perkara secara patut
di hadapan Allah adalah kualitas taqwa dan (equity) dengan melihat situasi, apa yang
apabila berbuat keburukan maka keburukan seharusnya diperbuat berdasarkan undang-
tersebut akan menyebabkan martabatnya undang yang mengandung keadilan dan
menjadi rendah. kebenaran di masyarakat. Etika profesi
Tidak seperti pada kajian-kajian tafsir hakim dan hukum adalah merupakan
tradisional yang pada umumnya cenderung satu kesatuan yang secara inheren terdapat
membatasi pada sisi pertanggungjawaban nilai-nilai etika Islam yang landasannya
yang bersifat ukhrawi dan individual, merupakan pemahaman dari Alquran,
sehingga pada dasarnya Kode etik profesi
hakim sejalan dengan nilai-nilai dalam sistem
57
al-Nahl [16]: 97
58
al-Sajadah [41]: 46.
59
al-Baqarah [2]: 256.
60
al-Mâ’idah [5]: 61. 62
Miftahul Huda, Dimensi Etis Pesan-pesan Alquran:
61
al-Zalzalah [99]: 7-8. Sebuah Telaah Filsafat, h. 122.
Siti Zulaikha: Etika Hakim dalam Perspektif Hukum Islam  |101

etika Islam. Etika hukum Islam dibangun Yogyakarta, 2001.


di atas empat nilai dasar yaitu pertama,
Fakhry, Madjid, Etika dalam Islam,
kebenaran yaitu adanya konsep kebenaran
Zakiyuddin Baidawi (pent.), Yogyakarta:
menjadikan manusia percaya untuk berbuat
Pustaka Pelajar, 1996.
baik karena taat akan hubungan makhluk
dan khaliq. Kedua, keadilan yaitu adanya Hâfizh, al-, Ibn Hajar al-Asqalânî, Bulûghul
penyemarataan (equalizing) dan kesamaan Marâm, Semarang: Toha Putra, t.t.
(leveling) hak dalam bidang hukum yang Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta:
dibangun dengan konsep keadilan mutlak
Pustaka al-Husna, 1992.
dan sempurna secara transendental antara
hukum dan moralitas. Ketiga, kehendak Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan
bebas yaitu manusia walaupun dibatasai oleh Dan Acara Peradilan Agama, Jakarta:
norma-norma yang ada tetapi mempunyai Pustaka Kartini, 1993.
kehendak bebas/kebebasan (free will). Huda, Miftahul, Dimensi Etis Pesan-pesan
Keempat, pertanggung jawaban yaitu sebagai Alquran: Sebuah Telaah Filsafat, Tesis
tuntutan dari kehendak bebas yaitu adanya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996.
pertangungjawaban sebagai batasan dari
apa yang diperbuat manusia dan harus Izutsu, Toshihiko, Etika Beragama dalam
dipertanggungjawabkan. Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Mawardi, Imam, Hukum Tata Negara dan
Pustaka Acuan Kepemimpinan dalam Takaran Islam,
Abd. A’lâ, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Qamaruddin SF (ed.), Jakarta: Kompas Mustofa, A., Akhlak Tasawuf, Bandung:
Media Nusantara, 2002. Pustaka Setia, 1997.
Abdul Quasem, M., Etika al-Ghazali Etika Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara
Majemuk di dalam Islam, Bandung: Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya
Pustaka, 1988 Bakti, 1992.
Abdullah, M. Amin, Filsafat Etika Islam, Muhammad, dkk, Visi Alquran tentang Etika
Hamzah (pent.), Bandung: Mizan, 2002. dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah,
Arto, H.A. Mukti, Praktek Perkara Perdata 2002.
pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: M, Amril, Studi Pemikiran Filsafat Moral
Pustaka Pelajar, 2000. Raghîb al-Isfahâni (w.+ 1108 M),
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), alih Disertasi IAIN Sunan Kalijaga, 2001.
bahasa Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam, dan
Bintang, 1995. Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Islam dalam Sistem Hukum Islam, Yudian Wahyudi
Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Asmin (pent.), Yogyakarta: Tiara Wacana,
Rosda Karya, 1997. 1991.

Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Nasir, Salihun A, Tinjauan Akhlak, Surabaya:
Pembebasan, Agung Prihantoro (pent.), al-Ikhlas, 1991.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Nurdin, Muslim, Moral dan Kognisi Islam,
Fauroni, R. Lukman, Etika Bisnis dalam Bandung: Alfa Beta, 1993.
Alquran, Tesis IAIN Sunan Kalijaga Nisaburî, al-, Imâm Abî Husain Muslim
bin al-Hajjâj Ibn Muslim al-Qusyairî,
102|  AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

Kitâb Jami’ al-Shahîh, Bayrut: Dâr al- masalah Pokok Filsafat Moral Yogyakarta:
Fikr, t.t. Kanisius, 1990.
Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Shiddiqi, Ash-, Tengku Muhammad Hasbi,
Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Taufiq Adnan Amal (peny.), Bandung: Semarang: PT Pustaka Rizki Putera,
Mizan, 1992. 1997.
Rasjid, Sulaiman, Fikih Islam, Bandung: Tono, Sidik, dkk, Ainur Rahim Faqih dan
Sinar Baru Algesindo, 1994. Amir Muallim (ed.), Ibadah dan Akhlak
Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar: Masalah- dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 1998.

Anda mungkin juga menyukai