Anda di halaman 1dari 14

293

HERMENEUTIKA HUKUM SEBAGAI ALTERNATIF METODE PENEMUAN


HUKUM BAGI HAKIM UNTUK MENUNJANG KEADILAN GENDER

Alef Musyahadah R
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
E-mail: alefrahma@gmail.com

Abstract

Hermeneutic law approach can be an effort to make comprehensive interpretation of law, so the
contruction of law doesn‟t trap to the texts interpretation only. It is going on leaning by the judge
in order to judged the case related with victim women that less giving the justice. Hermeneutic law
approach consider relevancy between text, context and contextualization is in line with feminist
method in understanding and revealing the truth, that is “women‟s experience”. The judge will
doing uncommon interpretation like applied feminist practical reasoning by doing discussing and
listening the unknown in women‟s experience.

Key words: rechtsvinding, hermeneutics law, judge, gender justice

Abstrak

Pendekatan hermeneutika hukum dapat sebagai upaya membangun penafsiran hukum yang
komprehensif, sehingga konstruksi hukum tidak terjebak pada penafsiran teks semata sebagaimana
selama ini cenderung dilakukan oleh hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan
perempuan khususnya sebagai korban sehingga kurang memberikan keadilan gender. Pendekatan
hermeneutika hukum mempertimbangkan keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualiasasi yang
sejalan dengan metode yang diterapkan oleh feminis dalam memahami serta mengungkapkan
kebenaran yaitu “pengalaman perempuan”. Hakim akan melakukan penalaran yang tidak biasa, yaitu
salah satunya dengan menerapkan feminist practical reasoning dengan melakukan perbincangan dan
mendengarkan suara pengalaman yang tidak dikenal dari perempuan (the unknown in women‟s
experience).

Kata kunci : penemuan hukum, hermeneutika hukum, hakim, keadilan gender

Pendahuluan letakkan telinganya di jantung masyarakat. Ha-


Tugas pokok seorang hakim adalah tidak kim bahkan harus mewakili suara rakyat yang
sekedar memutus perkara yang diajukan kepa- unrepresented dan under-represented (diam,
danya akan tetapi sekaligus juga menyelesaikan tidak terwakili).1 Muara dari kegiatan pergulat-
perkara atau pertikaian tersebut sehingga ma- an batin hakim tersebut adalah dihasilkannya
sing-masing pihak yang bersengketa merasa putusan pengadilan yang menjadi penentu kua-
puas dan mendapatkan keadilan. Pada dasar- litas dan kredibilitas seorang hakim, sebagai-
nya, tugas seorang hakim adalah sebuah tugas mana ungkapan bahwa mahkota atau wibawa
yang mulia sebagaimana dikatakan Roeslan Sa- hakim terletak pada putusan yang dibuatnya.2
leh bahwa “penjatuhan pidana adalah suatu Munculnya kritik dari masyarakat terha-
pergulatan kemanusiaan”. Dikatakan demikian dap putusan hakim menunjukkan kurang puas-
karena pada saat menjalankan tugasnya hakim nya masyarakat terhadap kinerja pengadilan.
harus menjalani pergulatan batin dengan harus
membuat pilihan-pilihan yang sering tidak mu- 1
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif,
dah. Pada diri hakim dihadapkan dengan aturan Jakarta: Buku Kompas, hlm.91-92.
2
Zudan Arif Fakrulloh, “Penegakan Hukum sebagai Pelu-
hukum, fakta-fakta, argumen jaksa, argumen
ang Menciptakan Keadilan”, Jurnal Jurisprucence, Vol.
terdakwa/advokat dan lebih dari itu harus me- 2 No. 1, Maret 2005, Surakarta: Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 24.
294 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

Hal ini terlihat dari data empiris hasil jajak Niken Savitri juga melakukan penelitian
pendapat harian Kompas menunjukkan bahwa terhadap hakim khususnya tentang putusan ha-
72,7 % rakyat belum mendapatkan perlakuan kim atas kasus kekerasan terhadap perempuan.
adil, dimana sebanyak 45,3 % responden meni- Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
lai bahwa putusan hakim didasarkan pertimba- bahwa penafsiran hukum yang dilakukan hakim
ngan uang, sebanyak 30,5 % responden menilai belum mengakomodir “pengalaman perempu-
karena pertimbangan politik dan hanya 9,3 % an”.6 Adanya indikasi bias gender pada hakim
responden yang masih percaya putusan peng- disebabkan antara lain hakim masih mempunyai
adilan di Indonesia didasarkan pada pertimba- asumsi, mitos, penilain, dan stereotip menge-
ngan hukum.3 Demikian pula putusan hakim nai pembagian peran seksual antara laki-laki
dalam perkara-perkara pidana yang melibatkan dan perempuan yang kaku dan timpang. Kondisi
perempuan baik sebagai pelaku maupun korban tersebut menimbulkan salah satu gender meng-
diindikasikan masih belum mencerminkan ke- alami perlakuan yang tidak adil dalam akses ke-
adilan gender. Hakim lebih banyak “hanya” adilan.
melakukan konfirmasi antara dakwaan Jaksa Gender merupakan salah satu paradigma
dan pasal-pasal dalam peraturan perundang- dalam ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk
undangan. Bahkan banyak hakim dalam mena- mengkaji ketimpangan relasi kekuasaan dan
ngani perkara dan memilih Undang-undang yang sekaligus memberikan rekonstruksi agar terca-
akan digunakan dalam menyelesaikan perkara pai relasi yang setara dan adil. Konsep gender
sangat tergantung pada “pilihan hukum” yang mengemuka ketika terjadi ketimpangan antara
digunakan Jaksa.4 Kondisi ini dapat disimpulkan peran antara laki-laki dan perempuan baik pada
dari penelitan yang dilakukan oleh Sulistyowati sektor publik maupun domestik. Ketimpangan
dan L.I. Nurtjahyo tentang sikap dan pandangan ini mendorong pada wacana tentang perlunya
para aparat penegak hukum termasuk hakim keadilan dan kesetaraan gender dalam segala
terhadap perempuan baik sebagai pelaku (of- aspek kehidupan baik politik, hukum, ekonomi,
fender) maupun sebagai korban kekerasan (vic- sosial budaya dan kesamaan dalam menikmati
tim) kurang berpihak kepada kepentingan kor- hasil pembangunan.
ban. Aparat penegak hukum kurang mempunyai Bertolak dari uraian di atas agar hakim
rasa empati atau sensitivitas gender dan cen- dalam memutus perkara khususnya terhadap
derung menyudutkan perempuan mendapatkan perempuan tidak hanya sebagai proses yuridis
akses keadilan dalam berperkara.5 semata melainkan proses yang melibatkan peri-
laku masyarakat dan dapat mengayomi masya-
3
Shinta Dewi Rismawati, “Hermeneutika Hukum: Upaya rakat maka perlu adanya perubahan pada me-
Menangkap Makna Keadilan Dalam Teks (Sebuah Ta-
tode penemuan hukum yang dilakukan oleh ha-
waran Alternatif dan Solutif)”, Jurnal Ilmiah Hukum
dan Dinamika Masyarakat, Vol.7 No. 1 Oktober 2009, kim melalui pendekatan hermeneutika hukum
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas
sebagai upaya membangun penafsiran hukum
Agustus, hlm. 35-36. LIhat juga M. Syamsudin, “Rekons-
truksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara yang komprehensif sehingga konstruksi hukum
Berbasis Hukum Progresif”, Jurnal Hukum Ius Quia Ius-
tidak terjebak pada penafsiran teks semata
tum Vol.18 No. Edisi Khusus, Oktoberl 2011, Yogyakarta
Fakultas Hukum UII, hlm. 128. tetapi mempertimbangkan keterkaitan antara
4
Sulistyowati Irianto dalam Sulistyowati Irianto (ed),
teks, konteks dan kontekstualiasasi.
2006, Perempuan dan Hukum; Menuju Hukum yang
Berspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, hlm. 37-38.
5 Pembahasan
Kasus yang diteliti sebanyak 10 (sepuluh) putusan hakim
yang berkaitan dengan ketika perempuan sebagai kor-
ban kekerasan (KDRT, pelecehan seksual, perceraian)
dan ketika perempuan sebagai pelaku (tindak pidana
6
penipuan, perdagangan anak, pembunuhan bayi, pem- Kasus yang diteliti sebanyak 12 (dua belas) putusan ha-
buangan bayi, penjualan bayi, narkotika) Lihat seleng- kim yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan,
kapnya dalam Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahyo, khususnya tindak pidana perkosaan dan pencabulan.
2006, Perempuan di Persidangan-Pemantauan Peradilan Lihat selengkapnya dalam Niken Savitri, 2008, HAM
Berspektif Perempuan, Jakarta: Yayasan Obor Indone- Perempuan; Kritik Teori Hukum Feminis terhadap
sia, hlm. 182-204. KUHP, Bandung: Refika Aditama, hlm. 130-143.
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 295

Pengaruh Budaya Patriarkhi dan Paradigma hukum. Hukum itu sendiri tidak netral dan ke-
Positivis dalam Teori Hukum nyataan bahwa hukum dapat digunakan oleh
Teori hukum feminis (feminist legal theo- orang yang berpengalaman yang menggunakan-
ry)/feminist jurisprudence mempunyai peran nya sebagai alat untuk menerkam orang lain,
cukup besar terhadap pemikiran feminis dalam tidak menjadi pertimbangan bagi pembuat hu-
hukum. Lima prinsip penting yang menjadi kum. Juga tidak menjadi pertimbangan bahwa
pengkajian kritis hukum feminis adalah penga- banyak orang dalam banyak kasus dipengaruhi
laman perempuan, bias gender secara implisit, pesan tertentu dari hukum dan kultur yang ada,
ikatan ganda dan dilema dari perbedaan, repro- sehingga hanya kekuatan dari ideologi yang be-
duksi model dominasi laki-laki, membuka pili- sar saja yang dapat memenangkan persengketa-
han-pilihan perempuan.7 Pengkajian kritis kaum an dan berpengaruh pada pesan tersebut. 8
feminis tersebut bermuara pada pandangan fe- Apa yang menjadi premis teori hukum
minis mengenai patriarkhi dan pengaruhnya feminis tersebut, terlihat dari aspek substansi
terhadap hukum positif. hukum khususnya dalam konteks hukum Indo-
Kaum feminis berpandangan bahwa hu- nesia, banyak peraturan perundang-undangan
kum positif merupakan cerminan dari nilai dan yang dihasilkan mengandung netralitas hukum
konsep budaya patriarkhi. Hal ini didukung oleh sehingga kurang memberikan keadilan gender
tiga premisnya yang berkaitan dengan hukum. seperti, kedudukan perempuan yang tidak se-
Pertama, secara empiris dapat dikatakan bah- tara dalam perumusan hukum dapat ditemukan
wa hukum dan teori hukum adalah domain dari dalam undang-undang perkawinan, undang-un-
laki-laki atau laki-laki yang menulis hukum dan dang yang berkaitan dengan kedudukan perem-
teori hukum. Hal ini tampak dari para ahli teori puan dalam politik, undang-undang di bidang
hukum yang mengemukakan teorinya, yang perburuhan, undang-undang di bidang kesehat-
hampir sebagian keseluruhan dari mereka ada- an, peraturan daerah maupun kebijakan peme-
lah laki-laki. Hasil pemikiran para ahli pikir ha- rintah di tingkat pusat maupun daerah.
kim yang hampir seluruhnya berjenis kelamin Aspek struktur yaitu sumber daya manu-
laki-laki itu langsung maupun tidak langsung sia sebagai pelaksana penegakan hukum baik
akan mempengaruhi teori-teori yang dihasilkan- secara kualitas maupun kuantitas belum mema-
nya. hami fungsi dan perannya yang diharapkan sen-
Kedua, hukum dan akibat-akibat yang di- sitive gender. Dalam aspek kultur atau budaya
timbulkan oleh teori hukum adalah refleksi dari hukum, external legal culture yaitu kultur hu-
nilai-nilai maskulin. Laki-laki telah membuat kum masyarakat pada umumnya maupun inter-
dunia hukum melakui imaji mereka dan mem- nal legal culture yaitu kultur yang dimiliki
pertanyakannya dengan kebenaran menurut struktur hukum mengenai pemahaman masalah
mereka absolut. Apa yang muncul dari nilai-ni- kekerasan terhadap perempuan belum gender
lai maskulin itulah yang mendominasi dan me- sensitive, bahkan ada kecenderungan tidak ber-
warnai masyarakat dan akhirnya hukum serta pihak kepada perempuan sebagai korban. Ada-
apa yang dihasilkan oleh hukum. Oleh karena nya anggapan di kalangan para penegak hukum
itu permasalahan kemudian muncul, yaitu yang bahwa kekerasan terhadap perempuan hanya
berkaitan dengan kelompok yang terpinggirkan bersifat fisik semata, kurang memahami bahwa
akan pembuatan keputusan dan teori-teori hu- kekerasan dapat terjadi juga secara non fisik,
kum tersebut (dalam hal ini kelompok perem- yaitu secara psikis, sosial budaya, ekonomi,
puan). maupun politik berdampak penegak hukum le-
Ketiga secara tradisional teori hukum bih menekankan pada kasus-kasus kekerasan
adalah patriarkhi karena seringkali berisikan
sesuatu yang mengabaikan karakter umum dari

7 8
Ibid, hlm. 28-29. Ibid, hlm. 81.
296 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

fisik saja.9 Hal ini seperti ditegaskan oleh Mar- ngintegrasikan kepentingan kaum laki-laki (pat-
garet Davis yaitu: riarkhi).
Bentuk ideologi secara umum dari pat- Kaum feminis memandang bahwa budaya
riakhi terlihat diulang dalam hukum itu patriarkhi ini dilanggengkan keberadaannya
sendiri dimana situasi dari kategori hu- oleh aliran hukum positivis. Teori hukum femi-
kum telah mengabaikan perhatian yang
diperlukan oleh kelompok yang tidak ter- nis menyatakan bagaimana hukum telah me-
wakili dalam pembentukan hukum terse- minggirkan perempuan dan berdampak merugi-
but, dalam hal ini perempuan. Hal ini da- kan perempuan. Netralitas dan objektivitas hu-
lam rantai berikutnya yaitu penerapan kum yang diandaikan oleh teori hukum positivis
hukum, akan tampak dalam putusan ha- justru melegitimasikan kebenaran patriarkhis
kim terhadap tindak pidana kekerasan
seksual kepada perempuan, dengan ke- dan ini menjadi topik kritik feminis. Para pe-
cenderungan sanksi yang rendah dengan mikir dalam teori hukum feminis yang sejalan
asumsi secara implisit maupun eksplisit dengan pemikiran Critical Legal Studies, ber-
bahwa korbannya berperan serta dalam pendapat bahwa teori-teori hukum yang selama
proses terjadinya tindakan tersebut de- ini berkembang sangat mengonsentrasikan diri
ngan mempertimbangkan pada persepsi
korban.10 pada Jurisprudence yang patriarkhi. Keadaan
yang demikian berasal dari pembentukan hu-
Konsep patriarkhi tersebut menghasilkan kum yang dipengaruhi oleh pembentuknya, bila
konstruksi gender laki-laki berada pada posisi pembuatannya dimuati oleh ideologi maskulin,
dominan daripada gender perempuan. Perbeda- maka peraturan yang lahir akan diwarnai oleh
an gender pada dasarnya tidak menjadi masa- ideologi tersebut dan dengan demikian tidak
lah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan mewakili ideologi minoritas. Kebanyakan, teori
gender (gender inequalities). Namun dalam ke- hukum konvensional yang bias gender akhirnya
nyataannya perbedaan gender tersebut telah dalam pelaksanaannya akan membuahkan hu-
melahirkan berbagai ketidakadilan terutama kum yang bias gender pula.
pada kaum perempuan dan memperlemah kaum Selama ini hakim kita sangat didominasi
perempuan. Ketidakadilan gender termanifes- oleh pandangan legisme dan positivistik. Para-
tasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan digma positivisme ini cukup lama berurat akar
seperti penomorduaan (sub ordinasi), pemiskin- dalam perjalanan hukum Indonesia dan telah
an (marginalisasi), anggapan negatif (stereo- melahirkan pola pikir legalistik pada para ha-
tip), beban kerja (burden), kekerasan (violen- kim yang tidak lain hanya bertugas untuk me-
ce), sosialisasi keyakinan gender.11 Budaya pa- nyuarakan undang-undang yang telah dibuat
triakhi mempengaruhi hukum (teori hukum) oleh pihak legislatif, tanpa memiliki kewena-
dengan cara mempertahankan pola-pola yang ngan untuk memberi „jiwa‟ pada aturan yang
menempatkan relasi antara perempuan dan dihadapinya. Ajaran ini memberi pemahaman
laki-laki pada posisi diskriminasi gender dan kepada hakim bahwa hukum semata-mata ha-
dengan informasinya yang tinggi dapat mengon- nya berurusan dengan norma-norma, tidak
trol hukum (teori hukum) sehingga hukum me- mempermasalahkan apakah substansinya adil
atau tidak, dan juga tidak mempermasalahkan
9 bagaimana implikasi sosio yuridisnya. Cara pan-
Nur Rochaeti, “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan
Korban Kekerasan Berbasis Gender”, Jurnal Masalah- dang demikian membuat positivisme hukum
Masalah Hukum, Vol. 37 No. 1 Maret 2008, Semarang:
sebagai institusi yang besar telah direduksi
Fakultas Hukum UNDIP, hlm. 73. Lihat pula Zulfatun
Ni‟mah, “Efektivitas Penegakan Hukum Penghapusan menjadi sesuatu yang sederhana, linier, meka-
Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal Mimbar Hu-
nistik dan deterministik dan berakhir dengan
kum, Vol. 24 No. 1, Pebruari 2012, Yogyakarta: Fakultas
Hukum UGM, hlm. 64-65. ketidakmampuannya untuk mencapai kebenar-
10
Niken Savitri, op. cit, hlm. 82.
11 an. Ajaran-ajaran positivisme hukum mendapat
Uswatun Hasanah, “Perempuan dan Hak Asasi Manusia
Dalam Perspektif Hukum Islam”, Junal Hukum dan kritikan, salah satunya dilancarkan oleh Critical
Pembangunan, Tahun ke-40 No. 4, Oktober 2010, Ja-
Legal Studies yang menyatakan bahwa positi-
karta: Fakultas Hukum UI, hlm. 453-454.
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 297

visme hukum ingin mempertahankan situasi maupun rumusan yang kabur (vague norm). Da-
yang mapan (status quo) dengan kepastian hu- lam menghadapi hal demikian maka diperlukan
kumnya.12 Para penganut positivisme hukum suatu penemuan hukum (rechtsvinding).
menganggap kepastian hukum hanya akan ter- Penemuan hukum oleh hakim tidak se-
wujud bila hukum dianggap sebagai sistem yang mata-mata menyangkut penerapan peraturan
tertutup dan otonom dari berbagai persoalan hukum terhadap peristiwa konkret tetapi juga
moral, agama, filsafat, politik, sejarah dan se- penciptaan hukum dan pembentukan hukum.
macamnya. Pertanyaan tentang adil-tidaknya Dalam hal penemuan hukum dikenal metode
atau baik buruknya hukum merupakan perta- penemuan hukum melalui interpretasi hukum
nyaan moral yang tidak relevan untuk diaju- dan konstruksi hukum. Interpretasi hukum di-
kan.13 lakukan dalam hal peraturannya ada tetapi ti-
Pola pikir legalistik lebih menekankan dak jelas untuk dapat diterapkan pada peristi-
penggunaan logika deduksi dalam melakukan wa konkrit, sedangkan konstruksi hukum dilaku-
penalaran hukum. Penafsiran yang lazim digu- kan dalam hal peraturannya memang tidak ada,
nakan oleh hakim adalah penafsiran gramatikal jadi terdapat kekosongan hukum (rechts va-
dan otentik, dimana penafsiran tersebut hanya cuum) atau tepatnya kekosongan undang-un-
sebagai salah satu metode penemuan hukum dang (wet vacuum).
(rechtsvinding). Meskipun di luar dikenal meto- Secara umum penalaran hukum adalah
de lain seperti konstruksi atau argumentasi, jenis berpikir praktis (untuk mengubah keada-
tetapi hakim lebih banyak menggunakan meto- an), bukan sekadar berpikir teoretis (untuk me-
de konvensional. Alhasil putusan yang dihasil- nambah pengetahuan). Penalaran hukum sangat
kan oleh hakim kadangkala hanya memenuhi dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-
sisi kepastian hukumnya saja tetapi jauh dari subjek yang melakukan penalaran. Sudut pan-
sisi keadilan, karena melihat persoalan hanya dang tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh
sebagaimana yang ada dalam teks undang-un- keluarga sistem hukum (parent legal system)
dang, padahal masalah dalam masyarakat ter- dan posisi si penalar sebagai partisipan (medes-
lalu besar untuk dimasukkan dalam pasal-pasal peler) dan/atau pengamat (toeschouwer). Hal
peraturan perundang-undangan. Dalam perja- inilah yang menjadikan penalaran hukum ada-
lanannya lambat laun aliran positivis menga- lah fenomena yang multifaset. Penalaran hu-
lami ketidakberdayaan dalam menyelesaikan kum adalah penalaran yang reasonable, bukan
permasalahan-permasalahan hukum yang satu semata logical, seperti yang dikatakan oleh
persatu terbukti kenyataanya. Kebuntuan hu- William Zelermeyer: “We are dealing with hu-
kum sudah dirasakan saat ini yang semakin man beings and not with things. We must rea-
menjauhkan hukum dari rasa keadilan. sonable. This means that the law and its deci-
sions must be supported by reason; they must
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Pe- be productsof arbitrary action. To be reasona-
nemuan Hukum bagi Hakim ble does not necessarily mean to be logical. Lo-
Sejak hukum berbentuk tertulis, pemak- gic can lead to injustice, hence we must guard
naan hukum merupakan aktivitas yang mutlak against its abusive use.” 14
terbuka untuk dilakukan sebab aturan hukum Metode penemuan hukum itu sendiri bu-
yang dirumuskan dalam bahasa seringkali me- kan metode ilmu hukum maupun teori hukum
rupakan rumusan yang terbuka (open texture) sebab metode penemuan hukum hanya dapat
digunakan dalam praktek hukum terutama oleh
12 hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
A. Sukris Sarmadi, “Membebaskan Positivism Hukum ke
Ranah Hukum Progresif (Studi Pembacaan Teks Hukum
Bagi Penegak Hukum)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.
14
12 No. 2, Mei 2012, Purwokerto: Fakultas Hukum UN- Shidarta, Peragaan Pola Penalaran Hukum Dalam Kajian
SOED, hlm. 333. Putusan Kasus Tanah Adat, Jurnal Yudisial, Vol. III No.
13
Lihat pada Donny Danardono dalam Sulisyowati Irianto 3, Desember 2010, Komisi Yudisial RI, Jakarta, hlm.
(ed), op. cit., hlm. 4. 208.
298 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

Oleh karena itu metode penemuan hukum ber- (kata benda) mengandung tiga arti yaitu ilmu
sifat praktikal yaitu diarahkan pada suatu peris- penafsiran; ilmu untuk mengetahui maksud
tiwa yang bersifat khusus, konkrit, dan indi- yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan
vidual.15 Dalam melakukan penemuan hukum penulis; dan penafsiran yang secara khusus me-
terdapat perbedaan pandangan tentang metode nunjuk kepada penafsiran atas teks atau kitab
dan caranya yaitu yang memisahkan dan tidak suci.18 Kata “hermeneutics” juga berasal dari
memisahkan secara tegas antara metode inter- turunan kata benda “hermeneia” (bahasa Yuna-
pretasi dan metode konstruksi.16 Selain metode ni) yang secara harafiah dapat diartikan sebagai
interpretasi dan konstruksi hukum sebagai me- “penafsir” atau “interpretasi”.19 Dalam pers-
tode dan cara dalam penemuan hukum, terda- pektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran
pat suatu metode yaitu hermeneutik yang su- filsafat yang mempelajari hakikat hal menger-
dah dikenal cukup lama terutama untuk menaf- ti/memahami “sesuatu”. Sesuatu yang sekali-
sirkan teks-teks ayat suci akan tetapi belum po- gus juga sebagai objek penafsiran hermenutik
puler digunakan untuk menafsirkan teks-teks dapat berupa teks (dokumen resmi negara),
hukum. naskah-naskah kuno, lontar, peristiwa, pemikir-
Terminologi kata “hermeneutika” cukup an dan wahyu atau kitab suci. Jika objek pe-
lama dikenal dalam perkembangan ilmu penge- nafsiran itu berupa teks hukum, doktrin hukum,
tahuan yaitu ilmu sastra, teologi, filsafat, poli- asas hukum, atau norma hukum, maka esensi-
tik, dan baru masuk dalam ranah ilmu hukum nya ia adalah hermeneutika hukum.20
sekitar abad ke-20 melalui kajian Filsafat Hu- Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, pen-
kum sekaligus sebagai lompatan yang besar ka- dekatan hermeneutik bertujuan untuk mema-
rena perdebatannya lebih mengarah pada per- hami interaksi para aktor yang tengah terlibat
soalan ontologi dan epistemologi. Gaung lom- atau melibatkan diri di/ke dalam suatu proses
patan hermeneutika modern dipelopori oleh sosial, termasuk proses-proses sosial yang re-
para filsuf besar seperti Hans George Gadamer, levan dengan permasalahan hukum. Asumsi
Jugen Habermas, Paul Ricoeur, Martin Heideg- pendekatan hermeneutik bahwa setiap bentuk
ger, dan Richard E. Palmer.17 dan produk perilaku antar manusia termasuk
Secara etimologis, kata “hermeneutik” produk hukum baik yang in abstracto maupun
atau “hermeneutika” merupakan padanan dari in concreto akan selalu ditentukan oleh inter-
kata bahasa Inggris “hermeneutic” dan “her- pretasi yang dibuat dan disepakati para pelaku
meneutics”. Kata “hermeneutic” (kata sifat) di yang tengah terlibat dalam proses itu, yang
artikan sebagai ketafsiran yaitu menunjuk ke- tentu saja memberikan keragaman maknawi
pada “keadaan” atau sifat yang ada dalam sua- pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek.
tu penafsiran, sementara kata “hermeneutics” Pendekatan ini dengan strategi metodologiknya
to learn from the people mengajak menggali
15 dan meneliti makna-makna hukum dari pers-
Lintong O. Siahaan, Buletin Komisi Yudisial, Vol. III No.
2 Oktober 2008, Jakarta, hlm. 27-28. pektif penegak hukum yang terlibat dalam
16
Para pakar yang tidak memisahkan secara tegas metode
pengguna dan atau pencari keadilan.21 Metode
interpretasi dan metode konstruksi antara lain: Paul
Scholten, A. Pitlo, Sudikno Mertokusumo, sedangkan dan cara menafsirkannya dilakukan secara ho-
yang memisahkan secara tegas antara lain: Curzon,
listik dan komprehensif dalam bingkai keter-
Bernard Arief Sidharta, Achmad Ali. Dasar pemikiran ke-
lompok yang memisahkan secara tegas adalah metode
interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya
ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
18
peristiwa konkrit. Metode konstruksi hukum dilakukan Lihat Fakhruddin Faiz dalam Sri Rahayu Oktoberina dan
dalam hal peraturannya tidak ada, jadi terdapat keko- Niken Savitri, ibid, hlm. 66.
19
songan hukum (rechts vacuum) atau lebih tepat disebut Ibid, hlm. 67.
20
kekosongan undang-undang (wet vacuum). Lihat Ach- Ibid, hlm. 68.
21
mad Ali yang disitir oleh Jazim Hamidi dalam Sri Rahayu M. Syamsudin, “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan
Oktoberina dan Niken Savitri, 2008, Butir-Butir Pemikir- Implikasinya Pada Putusan: Kajian Perspektif Hermene-
an dalam Hukum, Bandung: Refika Aditama, hlm. 93. utika Hukum”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3,
17
Jazim Hamidi dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken Oktober 2010, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm.
Savitri, ibid, hlm. 75. 501.
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 299

kaitan antara teks, konteks dan kontekstuali- penafsiran. Pertama, tidak pernah ada satu
sasinya.22 peristiwa hukum yang tepat serupa dengan lu-
Ada beberapa persamaan antara her- kisan dalam perundangan. Untuk memutus ha-
meneutika hukum dengan interpretasi dan kon- kim harus menemukan kesesuian antara fakta
struksi hukum. Pertama, sama-sama merupa- dan hukum; kedua, suatu perbuatan tidak ter-
kan metode interpretasi; kedua, fungsi dan tu- cakup dalam kata-kata (ordinary word) yang di-
juannya untuk menggali makna hukum dibalik sebut dalam undang-undang; ketiga, tuntutan
teks otorotatif; dan ketiga, penggunanya anta- keadilan; keempat, keterbatasan makna bahasa
ra lain hakim, polisi, jaksa, advokat, notaris, dibanding dengan gejala atau peristiwa yang
konsultan hukum, peneliti hukum, ilmuwan hu- ada atau terjadi di masyarakat baik peristiwa
kum, penstudi hukum, dan para pencari keadil- hukum, politik, ekonomi maupun sosial; keli-
an lainnya. Untuk memberikan gambaran lebih ma, bahasa dapat diartikan berbeda pada se-
lanjut mengenai perbedaan antara hermeneuti- tiap lingkungan masyarakat; keenam, secara so-
ka hukum dengan interpretasi hukum dan kon- siologis, bahasa atau kata-kata bisa berbeda
struksi hukum akan disajikan dalam tabel di ba- makna; ketujuh, pengaruh perkembangan ma-
wah ini.23 syarakat; kedelapan, transformasi atau resepsi
konsep hukum asing yang dipergunakan dalam
Penerapan Hermeneutika Hukum oleh Hakim praktik hukum; kesembilan, pengaruh berbagai
dalam Memutus Perkara untuk Menunjang Ke- teori baru di bidang hukum, seperti sociological
adilan Gender jurisprudence, dan feminist legal theory; dan
Hakim dalam tugasnya memeriksa dan kesepuluh, ketentuan bahasa atau kata-kata
memutus perkara seringkali menghadapi hukum dalam undang-undang tidak jelas, bermakna
yang tidak selalu dapat menyelesaikan masa- ganda, tidak konsisten, bahkan ada pertentang-
lah. Dalam kondisi tersebut Hakim harus mene- an atau unreasonable.24
mukan sendiri hukum itu (rechtsvinding) dan Pendekatan hermeneutika yang merupa-
menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk kan metode penemuan hukum dengan cara in-
melengkapi hukum yang sudah ada untuk me- terpretasi dapat digunakan sebagai alternatif
mutus perkara. Hal tersebut dikarenakan ada- dalam memahami makna hakiki “teks” atau
nya asas curia novit bahwa hakim tidak boleh “sesuatu”. Menurut JJ. H. Bruggink, dalam hal
menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ini ditampilkan lingkaran hermeneutikal yaitu
ada, tidak lengkap, atau hukumnya samar-sa- berupa proses timbal balik antara kaidah-kai-
mar. Penafsiran hukum menjadi aktivitas mut- dah dan fakta-fakta sebab dalil hermeneutika
lak dilakukan sejak hukum berbentuk tertulis. menyatakan bahwa orang harus mengkualifikasi
Menurut Bagir Manan, pada dasarnya ada fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan
beberapa fungsi penafsiran. Pertama, memaha- menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya
mi makna asas atau kaidah hukum; kedua, fakta-fakta, termasuk dalam paradigma dari
menghubungkan suatu fakta hukum dengan kai- Teori Penemuan Hukum dewasa ini.25
dah hukum; ketiga, menjamin penerapan atau Berbasis pada interpretasi teks hukum
penegakan hukum dapat dilakukan secara te- dan pemaknaan falsafati hukum, pendekatan
pat, benar dan adil; dan keempat, memperte- hermeneutika membuka kesempatan bagi ha-
mukan antara kaidah hukum dengan perubah- kim tidak hanya berkutat dengan paradigma po-
an-perubahan sosial agar kaidah hukum tetap
aktual mampu memenuhi kebutuhan sesuai de-
24
Hwian Christianto, “Penafsiran Hukum Progresif Dalam
ngan masyarakat. Lebih lanjut ditegaskan Ma-
Perkara Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Vol. 23 No. 3,
nan, ada beberapa alasan hakim menggunakan Oktober 2011, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm.
486-487.
25
Marthinus Mambaya, “Hermeneutika Hukum (Sebuah Al-
22
Jazim Hamidi dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken ternatif Penemuan Hukum Bagi Hakim)”, Jurnal Hukum,
Savitri, op. cit, hlm. 102. Vol. XVII Edisi Khusus 2007, Semarang: Fakultas Hukum
23
Ibid, hlm. 101-102. Universitas Islam Sultan Agung, hlm. 96.
300

Tabel 1. Titik Perbedaan antara Hermeneutika Hukum dengan Interpretasi dan Konstruksi Hukum
Hermeneutika Hukum Interpretasi dan Konstruksi Hukum
1. Merupakan ajaran filsafat hukum untuk me- 1. Merupakan metode penemuan hukum dengan cara
mahami makna hakiki „teks‟ atau „sesuatu‟ menafsirkan/penafsiran atas teks hukum

2. Merupakan metode penemuan hukum de- 2. Konstruksi hukum merupakan metode penemuan hu-
ngan cara interpretasi atas „teks‟ atau „se- kum dengan cara analogi hukum
suatu‟
3. Teks atau sesuatu itu dapat berupa: teks hu- 3. Lingkup interpretasi hukumnya terdiri atas inter-
kum, peraturan perundang-undangan, peris- pretasi gramatikal, historis, sistematis, sosiologis/
tiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi teologis, komparatif, futuristik, restriktif, ekstensif,
negara, naskah-naskah hukum klasik, ayat- otentik, interdisipliner, dan multidisipliner
ayat al-ahkam dalam kitab suci, yurispru-
densi, doktri hukum, dan hasil ijtihadiyah
hukum lainnya
4. Lingkup kajiannya meliputi hermeneutika 4. Lingkup konstruksi hukumnya terdiri atas argumen-
umum (metode penafsiran kitab suci, filo- tum per analogium (analogi), argumentum a contr-
logi, linguistik, ilmu-ilmu humaniora, feno- ario, penyempitan hukum (rehtsvervijnings), dan fiksi
menologi, das sein/eksistensial, sistem pe- hukum
nafsiran) dan hermeneutika hukum itu sen-
diri sendiri
5. Cara penggunaannya secara holistik dan 5. Cara menggunakannya bisa dilakukan secara komula-
komprehensif dalam bingkai keterkaitan an- tif dan/atau fakultatif terhadap lingkup interpretasi
tara teks, konteks, dan kontekstualisasinya hukum dan konstruksi hukum, tergantung pada kebu-
tuhannya
6. Hermeneutika hukum dapat digunakan kapan 6. Interpretasi hukum digunakan pada saat teks hukum
saja, karena objek kajiannya tidak saja be- atau peraturan perundang-undangan yang ada pe-
rupa teks otoritatif, tetapi juga berupa pe- ngertiannya belum jelas, bermakna kabur/ganda, dan
ristiwa hukum, fakta hukum, ayat-ayat al- bila terjadi antinomi norm atau benturan norma. Se-
ahkam dalam kitab suci, doktrin hukum, dan dangkan konstruksi hukum digunakan pada saat pe-
hasil ijtihad hukum lainnya. raturan perundang-undangan belum ada/belum me-
ngatur (wet vacuum).

sitivis dengan penafsiran gramatikal dan oten- dengan heuristika, yaitu proses mencari dan
tiknya, yang selama ini dianggap melanggeng- berpikir yang mendahului tindakan pengambil-
kan pemikiran patriarkhi. Kajian hermeneutik an putusan hukum. Pada tahap ini berbagai ar-
hukum mengajak para pengkaji hukum agar gumen pro kontra terhadap suatu putusan ter-
menggali dan meneliti makna-makna hukum da- tentu ditimbang-timbang antara yang satu de-
ri persperktif para pengguna dan/atau para ngan yang lain untuk ditemukan yang paling
pencari keadilan sehingga kajian hermeneutik tepat. Kedua, tahap setelah pengambilan kepu-
ini perlu bagi hakim yang dalam kesehariannya tusan (ex post). Dalam teori penemuan hukum
bertugas memaknai hukum, agar putusannya modern disebut dengan legitimasi, yaitu pada
dapat memenuhi tuntutan keadilan masyara- tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbang-
kat. Letak penting dan kebaruan hermeneutika an) dan argumentasi secara substansial, dengan
hukum terutama bagi hakim yaitu pada saat ha- cara menyusun suatu penalaran yang secara
kim menemukan hukum baik saat melakukan rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila
interpretasi hukum maupun konstruksi hukum. suatu putusan hukum tidak bisa diterima oleh
Pada saat melakukan interpretasi atas teks hu- forum hukum, berarti putusan itu tidak mem-
kum/peraturan perundang-undangan yang dija- peroleh legitimasi. Konsekuensinya premis-pre-
dikan dasar pertimbangannya serta interpretasi mis yang baru harus diajukan dengan tetap ber-
atas peristiwa dan fakta hukumnya itu sendiri. pegang pada penalaran ax ante, untuk meya-
Proses penemuan hukum oleh para hakim
dibedakan dalam 2 (dua) tahap. Pertama, ta-
hap sebelum pengambilan keputusan (ex ante).
Dalam teori penemuan hukum modern disebut
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 301

kinkan forum hukum tersebut agar putusan ter- nusia dapat ditangkap secara penuh, juga per-
sebut dapat diterima.26 kembangan dan perubahan arti dapat dilacak.
Berkaitan dengan hermeneutika hukum Hanya dengan teks dialektika peristiwa dari
sebagai alternatif penafsiran hukum bagi hakim mengandaikan dimensi baru. Hal ini berarti sia-
untuk lebih menunjang putusan yang berkeadil- papun boleh menafsirkan teks perundang-unda-
an gender, maka dalam tulisan ini penulis men- ngan, yaitu siapa saja yang dapat membaca un-
coba memaparkan penerapan hermeneutika hu- dang-undang, dan tidak terbatas ruang dan
kum model Paul Ricoeur. Hermeneutika Ricoeur waktu, artinya bahwa dalam proses pembacaan
menjelaskan bahwa ada relasi yang tidak seder- perundang-undangan seorang pembaca tidak
hana atau chaos/cair di dalam proses interpre- lagi masuk ke dalam teks untuk melakukan re-
tasi terhadap teks undang-undang. Bagi Ricoeur konstruksi psikologis kepada pembuat perun-
pembuat teks perundang-undangan memiliki dang-undangan, dan tidak juga menarik teks
batas yang jelas sebagai pembaca pertama, na- perundang-undangan ke dalam pre-understan-
mun selanjutnya ia tidak dapat melakukan kon- dingnya sendiri, menurut Ricoeur yang terjadi
trol terhadap teks tersebut dengan “matinya adalah seorang pembaca membuka dirinya di
penulis”. Matinya penulis bukan berarti penulis hadapan teks yang juga membuka dirinya. Mak-
tidak penting, namun penulis hanyalah peletak na sebuah teks tidak ada di balik atau di bela-
batu pertama dimana selanjutnya proses pe- kangnya, melainkan ada di depannya.29 Semen-
nafsiran teks akan berlangsung tanpa peran ser- tara Gadamer memberikan tiga syarat yang ha-
ta penulis pertama tadi.27 rus dipenuhi oleh seorang penafsir/interpreter,
Pendapat Ricoeur tersebut dilandasi oleh yaitu: memenuhi subtilitas inteligendi (ketepa-
pandangannya bahwa teks perundang-undangan tan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepa-
merupakan pengertian bahasa (discourse) da- tan penjabaran), subtilitas inteligendi appli-
lam arti “event” bukan “meaning”. Jika teks di candi (ketepatan penerapan). 30
artikan sebagai meaning maka makna yang ter- Lebih lanjut Ricoeur menjelaskan bahwa
kandung di dalamnya dapat dipahami dengan proses pembacaan perundang-undangan melalui
merujuk langsung kepada intonasi maupun ge- tiga prosedur yaitu proses penjelasan (explana-
rak isyarat dari si pembicara sehingga herme- tion), proses pemahaman/interpretasi (under-
neutika tidak terlalu diperlukan mengingat uja- standing), dan depth semantic.31 Proses kedua-
ran yang disampaikan masih terikat kepada nya baik penjelasan (explanation) atau pema-
pembicara, sedangkan dalam pengertian event haman (understanding) tidak bekerja secara di-
proses penafsiran teks perundang-undangan khotomis dan tidak dapat dipisahkan. Pada (ex-
tidak akan terikat konteks semula, teks akan planation) teks perundang-undangan dipandang
membangun makna baik dalam hubungan ima- sebagai meaning sebuah sistem tanda yang me-
jiner yang dibangun oleh teks perundang-unda- miliki konstelasi internal yang baku dan objek-
ngan atau hubungan teks dengan teks lainnya tif, sedangkan pada proses pemahaman/inter-
sehingga hermeneutika sangat diperlukan me- pretasi teks (understanding) perundang-unda-
ngingat teks perundang-undangan memiliki ke- ngan menjadi multi interpretable, sehingga ti-
mandirian dan totalitas.28 dak mungkin ada objektivitas apalagi pemba-
Bagi Ricoeur teks merupakan manifestasi kuan.
penuh dari diskursus, sehingga kemungkinan-
kemungkinan bahasa sebagai keterbukaan ma- 29
Ibid., hlm. 49.
30
Marthinus Mambaya, op.cit.
31
Proses penjelasan (explanation) adalah cara kerja yang
26
Jazim Hamidi dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Niken menghubungkan metafor terhadap teks, yaitu pembaku-
Savitri, op. cit, hlm. 91. an bahasa lisan kepada bahasa tulis, sedangkan pe-
27
Anthon F. Susanto, “Interpretasi Teks Undang-Undang mahaman/ interpretasi (understanding) adalah cara
Menurut Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur”, Jurnal kerja teks ke metafor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis
Hukum Hermeneutika, Vol. I No. 2 Maret 2008, Cirebon: ke bahasa lisan. Depth semantic adalah menempatkan
Fakultas Hukum UNSWAGATI, hlm. 48. prosedur satu dan dua ke dalam garis linier. Lihat da-
28
Ibid., hlm. 48. lam Anthon F. Susanto, op.cit., hlm. 50.
302 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

Pada proses depth semantic maka analisis Penerapannya dalam proses persidangan
penjelasan (explanation) digunakan sebagai yaitu ketika hakim melakukan penemuan hu-
awal untuk mengkaji dimensi statis dari teks kum pada tahap sebelum pengambilan keputus-
perundang-undangan, selanjutnya pemahaman/ an (ex ante) maka hakim akan melakukan per-
interpretasi (understanding) digunakan untuk bincangan dan mendengarkan suara pengalam-
menangkap makna kontekstual dari teks per- an yang tidak dikenal dari perempuan (the un-
undang-undangan tersebut. Dengan demikian known in women‟s experience). Hal ini akan
maka proses penjelasan (explanation) adalah menyingkap sesuatu yang tidak diketahui (by
proses pertama yang bersifat kaku, namun pro- making known the unknown) yang selama ini
ses penafsiran tidak berhenti pada makna per- ada di wilayah privat atau pribadi. Dalam pan-
tama tersebut, melainkan bergeser ke pemak- dangan teori hukum feminis sistem peradilan
naan kedua pemahaman/interpretasi (under- pada saat berhadapan dengan perempuan baik
standing) yang bersifat refleksi fenomenologis. mereka sebagai korban maupun sebagai pelaku,
Hal terakhir inilah yang disebut dengan pemak- harus dapat mempertimbangkan pengalaman
naan secara kritis dan mendasar tentang feno- khusus perempuan dengan cara melakukan pe-
mena yang berasal dari suatu pandangan hidup, mahaman atas persprektif perempuan.34 Misal-
filsafat hidup, atau pemikiran masyarakat pe- nya perempuan yang menjadi korban kekeras-
milik simbol-simbol tertentu. Dari interpretasi an, maka hakim dalam menemukan hukum me-
itu diharapkan diperoleh proses pemaknaan lalui pendekatan hermenutik akan memaknai
eksistensial atau disebut sebagai dekonstruksi istilah kekerasan tidak sekedar tekstual belaka
pemikiran subjektif masyarakat pemilik sim- melainkan pada pemaknaan yang kritis bahwa
bol.32 kekerasan terjadi karena adanya diskriminasi-
Berdasarkah hak tersebut, pendekatan nya sistematik yang terjadi sebagai hasil ke-
hermeneutik khususnya model penafsiran Paul tidakadilan yang berakar dalam sejarah, adat,
Ricoeur dapat digunakan oleh hakim untuk norma atau struktur masyarakat yang mewaris-
menunjang terwujudnya keadilan gender sebab kan keadaan diskriminatif. Dari pemaknaan ini
pendekatan ini penggunannya secara holistik akan diperoleh proses pemaknaan eksistensial
dan komprehensif dalam bingkai keterkaitan atau disebut sebagai dekonstruksi pemikiran
antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya subjektif masyarakat pemilik simbol (kaum laki-
yang sejalan dengan metode yang diterapkan laki). Kemudian hakim akan menyelami penga-
oleh feminis dalam memahami serta meng- laman perempuan sebagai korban kekerasan
ungkapkan kebenaran yaitu “pengalaman pe- seperti dampak buruk diri korban baik secara
rempuan”. Hakim akan melakukan penalaran fisik maupun psikologis.35 Demikian juga pada
yang tidak biasa, yaitu salah satunya dengan perkara perempuan yang membunuh bayinya
menerapkan feminist practical reasoning, de- sendiri akibat dari hubungan gelap atau di luar
ngan cara membaca peraturan yang memadu-
kan tidak saja penggunaan logika peraturan,
34
Ibid, hlm. 93.
namun juga logika sosial yang bertujuan mem- 35
Perempuan yang menjadi korban kekerasan seperti ke-
beri makna yang disesuaikan dengan kenyataan kerasan fiisk, seksual, trafficking akan mengalami trau-
ma mendalam dan banyak kehilangan hak-haknya. Lihat
dan kebutuhan masyarakat saat ini, sehingga
dalam Dies Nurhayati, “Dampak Psikologis Tindak Pida-
penafsiran dapat menjadikan hukum menjalani na Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan”, Jurnal
Perspektif Keadilan, Vol. XII No. 3, September 2007,
proses pembebasan terhadap suatu konsep ku-
Surabaya: Pusat Pengkajian Hukum dan Pembangunan,
no yang tidak dapat dipakai lagi untuk mema- hlm. 280. Lihat juga Ruby Hadiarty Johny, “Tindak
Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan (Studi Etiologi
hami kehidupan masa kini.33
Kriminal di Wilayah Hukum Polres Banyumas)”, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. II No. 2, Mei 2011, Purwokerto:
Fakultas Hukum UNSOED, hlm. 216; Fahmi, “Penegakan
Hukum Tindak Pidana Trafficking di Kabupaten Karimun
Kep. Riau”, Jurnal Hukum Respublika, Vol. 7 No. 1,
32
Ibid, hlm. 50-51. 2007, Pekanbaru: Fakultas Hukum Universitas Lancang
33
Niken Savitri, op. cit, hlm. 103. Kuning, hlm. 17-26.
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 303

nikah yang mungkin disebabkan karena perasa- hal ini akan menciptakan seorang juris yang
an takut, bingung, malu, depresi dan lain-lain, homo ethicus, homo juridicus, homo politi-
maka hakim dalam memeriksa perkara tersebut cus.39
perlu memahami psikologi perempuan itu yang Meskipun dalam memutus perkara hakim
tidak sepenuhnya menimpakan kesalahan kepa- harus melaksanakan secara kompromi tiga
danya sehingga menjadi pertimbangan hakim tujuan hukum, yaitu dengan cara menerapkan
sebelum menjatuhkan pemidanaan.36 ketiga-tiganya secara berimbang atau propor-
Pemaknaan kritis terhadap teks perun- sional,40 namun hakim harus memilih salah satu
dang-undangan agar mencapai keadilan penting aspek tersebut untuk memutus perkara, dan
dilakukan oleh hakim dengan beberapa alasan. tidak mungkin mencakupnya sekaligus dalam
Pertama, teks hukum tidak berdiri sendiri akan satu putusan (harmonisasi). Ibarat dalam se-
tetapi harus dipahami maksud atau tujuan be- buah garis, hakim dalam memeriksa dan memu-
sar dari pembuat teks hukum tersebut; kedua, tus perkara berada (bergerak) diantara dua
setiap teks hukum selalu memiliki tujuan dan titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu titik
objek yang ingin dicapainya, perlu melihat hu- keadilan dan titik kepastian hukum, asas ke-
bungan antara pasal dengan tujuan besar diber- manfaatan berada diantaranya. Tiga aspek ter-
lakukannya peraturan tersebut; ketiga, adanya sebut saling melengkapi satu dengan lain seka-
kemungkinan kesalahan-kesalahan teks atas su- ligus juga bertentangan diantaranya, 41 namun
atu hukum karena berlawanan dengan rasa ke- keadilan merupakan nilai yang terpenting, bah-
adilan masyarakat; dan keempat, berani meng- kan Plato menyebut keadilan sebagai nilai ke-
kritik teks hukum untuk suatu kesempurnaan bajikan yang tertinggi diantara nilai kebenaran,
pelaksanaan hukum, menggali keadilan sekali-
pun di luar teks hukum demi keadilan, moral,
hati nurani rakyat.37
Pendekatan hermeneutik hukum untuk
ligence, emotional intelligence, adversity intelligence
menggali makna hukum yang kritis memang bu-
dan spiritual intelligence. Konsep ini bermanfaat untuk
kan perkara yang sederhana bagi hakim sebab pengembangan kepribadian seseorang terutama yang
berkecimpung dalam upaya penyelesaikan masalah ke-
diperlukan kesiapan kepribadian hakim yang
manusiaan. Lihat M. Syamsudin, “Arti Penting Prophetic
matang untuk melakukan rule breaking dengan Intelligence Bagi Hakim Dalam Memutuskan Perkara di
Pengadilan”, Jurnal Legality Vol. 15 No. 1, Maret-Agus-
mengasah dan memperluas kepekaan hati nura-
tus 2007, Malang: Fakultas Hukum Universitas Muham-
ni dan aspek spiritual melalui Prophetic Intelli- madiyah, hlm. 96-98. Lihat juga Suparnyo, “Mewujud-
kan Putusan Hakim yang Berkeadilan Melalui Konsep
gence (PI) dan Emotional Spiritual Quotion
Emosional Spiritual Quotion”, Jurnal Hukum Vol. XVI
(ESQ). Penegak hukum khususnya hakim me- No. 2, Juni 2006, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Islam Sultan Agung, hlm. 233.
merlukan konsep tersebut dalam setiap pem- 39
Homo ethicus berarti seorang hakim wajib menjunjung
buatan keputusan hukum yang selalu diawali tinggi etika. Homo juridicus berarti hakim harus harus
memiliki logika dan wawasan yang luas. Homo politicus
dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
berarti seorang juris harus peka terhadapkondisi sosial.
Ketuhanan Yang Maha Esa” sekaligus untuk me- Lihat dalam M. Purwadi, “Hukum Progresif Tak Selalu
Postif”, Buletin Komisi Yudisial, Vol. VII No. 2, Septem-
ngatasi merosotnya moralitas penegak hukum
ber-Oktober 2012, Jakarta: Komisi Yudisial RI, hlm. 38-
yang sering menjadi soroton publik.38 Dengan 39.
40
Lintong O. Siahaan, “Peran Hakim Dalam Pembaharuan
Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan
36
Lihat dalam Pasal 341 KUHP KUHP dan Pasal 342 KUHP. Tahun Ke-36 No. 1 Januari-Maret 2006, Jakarta: Fakul-
37
A. Sukris Sarmadi, “Membebaskan Positivism Hukum ke tas Hukum UI, hlm. 38. Lihat juga Fence M. Wantu,
Ranah Hukum Progresif (Studi Pembacaan Teks Hukum “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”,
Bagi Penegak Hukum)”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 19 No. 3, Oktober 2007,
12 No. 2, Mei 2012, Purwokerto: Fakultas Hukum UN- Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, hlm. 391 dan 395-
SOED, hlm. 341. 396.
38 41
Prophetic Intelligence (PI) merupakan konsep tentang Lintong O. Siahaan dalam Hamidah Abdurrachman,
kecerdasan kenabian yang diambil dari psikologi untuk “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan da-
mengukur tingkat kematangan kepribadian seseorang. lam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri
Prophetic Intelligence (PI) merupakan pendekatan ho- sebagai Implementasi Hak-Hak Korban”, Jurnal Hukum
listik di dunia psikologi yang menyatukan pendekatan- Ius Quia Iustum Vol. 17 No. 3, Juli 2010, Yogyakarta:
pendekatan yang ada sebelumnya yaitu cognitive intel- Fakultas Hukum UII, hlm. 483.
304 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

hukum, dan moral: “justice is the supreme vir- an dan tidak menganggap sebagai anomali atau
tue which harmonize all other virtues”.42 ancaman ataupun sesuatu yang inferior terha-
Ragam keadilan yang dapat dihadirkan dap perempuan sebagai “yang lain” sehingga
oleh hukum menurut Werner Menski dipenga- memiliki kedudukan setara.44
ruhi oleh pendekatan yang digunakan untuk Gagasan ini melahirkan gagasan bahwa
menyelesaikan permasalahan hukum yang diha- identitas perempuan baik secara individual mau
dapi. Terdapat empat pendekatan yang meng- pun secara bersama tidak homogen. “Musuh”
hasilkan liga lapisan keadilan. Pertama, pende- perempuan tidak hanya patriarki tetapi juga
katan filosofis dengan natural lawnya bermuara kecenderungan menganggap setiap perempuan
pada pemuliaan nilai kebenaran dan keadilan homogen. Pada titik inilah teori hukum feminis
filsafati yang berhenti pada tataran pemikiran; bergerak dari anggapan tentang hukum sebagai
kedua, pendekatan legal positivism dengan sta- sistem peraturan, menjadi hukum sebagai sis-
te lawnya hanya menghasilkan keadilan for- tem pengetahuan. Dengan menganggap hukum
mal/prosedural yang merupakan keadilan da- sebagai pengetahuan hukum bisa dibuat untuk
lam lapisan pertama; ketiga, pendekatan socio- melindungi dan memberdayakan mereka yang
legal dengan the living lawnya menghasilkan secara sosial potensial menjadi korban, dan
keadilan materiil yang merupakan keadilan bahkan untuk melakukan perlawanan balik ter-
dalam lapisan kedua; dan keempat, pendekatan hadap berbagai upaya yang hendak menindas-
legal pluralisme (pluralisme approach) melalui nya. Dengan cara ini hukum dapat menampung
penggabungan pendekatan state (positive law), berbagai kebenaran pengetahuan tentang pe-
aspek kemasyarakatan (socio-legal approach) ngalaman dan identitas diri. Hanya teori hukum
dan natural law (moral/ethic/religion) yang seperti ini yang sesuai dengan metode pening-
merupakan keadilan dalam lapisan tertinggi katan kesadaran (consciousness raising) yang
(perfect justice). 43 selama ini telah menjadi metode feminis.45
Konsep mengenai keadilan itu sendiri be- Jika kita kembalikan kepada tujuan sebe-
ragam. Salah satunya konsep keadilan gender narnya dibuatnya hukum untuk memberikan
menurut kaum feminis, bahwa keadilan gender “the greatest happiness of the greatest peo-
dapat terwujud jika di dalam sistem hukum ple” maka keadilan substantiflah sebagai ke-
memungkinkan “perbincangan” melalui metode adilan tertinggi yang hanya bisa dihadirkan me-
“peningkatan kesadaran” (conscious raising) ya- lalui pendekatan legal pluralism. Menurut Wer-
itu suatu sistem hukum yang demokratis yang ner Menski46 sebagai pencetus pendekatan le-
memungkinkan setiap individu perempuan da- gal pluralism (pluralisme approach), melalui
pat mendefinisikan dirinya sendiri. Pendefinisi- pendekatan ini yang memperhatikan antara sta-
an perempuan sebagai “yang lain” (the other, te law (positive law), living law dan natural
difference) dari dunia yang telah ditata secara law (moral/ethic/religion) secara berimbang
patriarkhis artinya ketika laki-laki membentuk membuka ruang bagi hakim untuk melakukan
dunianya, secara otomatis ia juga membentuk terobosan-terobosan hukum guna mencapai
“dunia lain” agar dapat membedakan dirinya, keadilan yang tertinggi yaitu keadilan substan-
akan tetapi sekaligus juga mengakui keberada- tif. Keadilan substantif lebih menekankan pada
isi atau substansi keadilan yang memang di-
perlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus
42
Bambang Sutiyoso, “Mencari Format Ideal Keadilan Pu-
perempuan.
tusan Dalam Peradilan”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
Vol. 17 No. 2, April 2010, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, hlm. 224.
43 Penutup
Werner Menski menyatakan bahwa pendekatan legal
pluralisme sebagai „perfect‟ justice as the result of an
equilibrium between the various competing forces.
44
Lihat pada Werner Menski, 2006, Comparative Law in a Donny Danardono dalam Sulistyowati Irianto (ed), op.
Global Context; The Legal Systems of Asia and Africa, cit, hlm. 23-25.
45
United Kingdom: Cambridge University Press, hlm. 186- Ibid. hlm. 25-26.
46
187. Menski, Werner, op.cit.
Hermeneutika Hukum sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum bagi Hakim … 305

Hakim mempunyai peran yang besar, ti- nal Jurisprucence, Vol. 2 No. 1, Maret
dak hanya sebagai corong peraturan perundang- 2005. Surakarta: Program Magister Ilmu
undangan tetapi dapat sebagai agen perubahan Hukum UMS;
hukum sebagaimana dikemukakan aliran sosio- Hasanah, Uswatun. “Perempuan dan Hak Asasi
Manusia dalam Perspektif Hukum Islam”.
logical jurisprudence. Hakim dapat menjadi
Junal Hukum dan Pembangunan, Tahun
law as tool of social engineering47 terhadap pe- ke-40 No. 4, Oktober 2010. Jakarta: Fa-
negakan hak-hak perempuan di pengadilan un- kultas Hukum UI;
tuk mewujudkan keadilan gender. Salah satu- Irianto, Sulistyowati (ed). 2006. Perempuan dan
nya melalui hermeneutika hukum sebagai alter- Hukum; Menuju Hukum yang Berspektif
natif metode penemuan hukum ketika interpre- Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta Yayas-
tasi hukum yang selama ini digunakan oleh ha- an Obor Indonesia;
kim menggunakan metode konvensional yang ------- dan Lidwina Inge Nurtjahyo (ed). 2006.
kurang dapat memberikan keadilan gender. Perempuan di Persidangan-Pemantauan
Peradilan Berspektif Perempuan. Jakar-
Hermeneutik hukum dapat dipahami sebagai ta: Yayasan Obor Indonesia;
“metode interpretasi atas teks-teks hukum”
Johny, Ruby Hadiarty. “Tindak Pidana Kekeras-
dimana interpretasi yang benar terhadap teks an Terhadap Perempuan (Studi Etiologi
hukum harus selalu berhubungan dengan isi (ka- Kriminal di Wilayah Hukum Polres Banyu-
idah hukumnya) baik yang tersurat maupun mas)‟. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. II
yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan se- No. 2, Mei 2011. Purwokerto Fakultas Hu-
kum UNSOED;
mangat hukum.48
Mambaya, Marthinus. “Hermeneutika Hukum
(Sebuah Alternatif Penemuan Hukum Bagi
Daftar Pustaka Hakim)”. Jurnal Hukum, Vol. XVII Edisi
Abdurrachman, Hamidah. “Perlindungan Hukum Khusus 2007. Semarang: Fakultas Hukum
Terhadap Korban Kekerasan dalam Ru- Universitas Islam Sultan Agung;
mah Tangga dalam Putusan Pengadilan Menski, Werner. 2006. Comparative Law in a
Negeri sebagai Implementasi Hak-Hak Global Context: The Legal Systems of
Korban”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Asia and Africa, United Kingdom: Cam-
Vol. 17 No. 3, Juli 2010. Yogyakarta: Fa- bridge University Press;
kultas Hukum UII;
Ni‟mah, Zulfatun. “Efektivitas Penegakan Hu-
Christianto, Hwian. ”Penafsiran Hukum Progre- kum Penghapusan Kekerasan dalam Ru-
sif Dalam Perkara Pidana”. Jurnal Mim- mah Tangga”. Jurnal Mimbar Hukum,
bar Hukum Vol. 23 No. 3, Oktober 2011. Vol. 24 No. 1, Pebruari 2012. Yogyakarta:
Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM; Fakultas Hukum UGM;
Fahmi. “Penegakan Hukum Tindak Pidana Traf- Nurhayati, Dies. “Dampak Psikologis Tindak Pi-
ficking di Kabupaten Karimun Kep. Riau”. dana Kekerasan Seksual Terhadap Perem-
Jurnal Hukum Respublika, Vol. 7 No. 1, puan”. Jurnal Perspektif Keadilan, Vol.
2007. Pekanbaru: Fakultas Hukum Univer- XII No. 3, September 2007. Surabaya: Pu-
sitas Lancang Kuning; sat Pengkajian Hukum dan Pembangunan;
Fakrulloh, Zudan Arif. “Penegakan Hukum seba- Nuswardani, Nunuk. “Upaya Peningkatan Kuali-
gai Peluang Menciptakan Keadilan”. Jur- tas Putusan Hakim Agung dalam Mewu-
judkan Law and Legal Reform”. Jurnal
47
Peran sebagai agent of change harusnya menjadi para- Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 16 No. 4,
meter utama penilaian peningkatan kualitas kinerja se- Oktober 2009. Yogyakarta: Fakultas Hu-
orang hakim agung. Bahkan, sepanjang hal tersebut kum UII;
mendatangkan kebaikan dan peningkatan kinerja Mah-
kamah Agung, maka ide hakim agung sebagai agent of Oktoberina, Sri Rahayu dan Niken Savitri (eds).
change dapat diwajibkan menjadi misi pribadi hakim 2008. Butir-Butir Pemikiran Dalam Hu-
agung yang bersangkutan. Lihat dalam Nunuk Nuswar-
dani, “Upaya Peningkatan Kualitas Putusan Hakim
kum; Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. B.
Agung Dalam Mewujudkan Law and Legal Reform”, Arief Sidharta, SH, Bandung: Refika Adi-
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 16 No. 4, Oktober tama;
2009, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, hlm. 525.
48
Jazim Hamidi dalam dalam Sri Rahayu Oktoberina dan Purwadi, M. “Hukum Progresif Tak Selalu Posi-
Niken Savitri, op. cit., Butir-Butir Pemikiran… hlm. 90. tif”. Buletin Komisi Yudisial, Vol. VII No.
306 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 13 No. 2 Mei 2013

2, September-Oktober 2012. Jakarta: Ko- Suparnyo. “Mewujudkan Putusan Hakim yang


misi Yudisial RI; Berkeadilan Melalui Konsep Emosional
Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum Spiritual Quotion‟. Jurnal Hukum Vol. XVI
Progresif. Jakarta: Buku Kompas; No. 2, Juni 2006, Semarang: Fakultas Hu-
kum Universitas Islam Sultan Agung;
Rismawati, Shinta Dewi. “Hermeneutika Hu-
kum: Upaya Menangkap Makna Keadilan Susanto, Anthon F. “Interpretasi Teks Undang-
Dalam Teks (Sebuah Tawaran Alternatif Undang Menurut Kajian Hermeneutika
dan Solutif)”. Jurnal Ilmiah Hukum dan Paul Ricoeur”. Jurnal Hukum Hermeneu-
Dinamika Masyarakat, Vol. 7 No. 1 Okto- tika, Vol. I No. 2 Maret 2008. Cirebon:
ber 2009. Semarang: Fakultas Hukum Fakultas Hukum UNSWAGATI;
Universitas Tujuh Belas Agustus; Sutiyoso, Bambang. “Mencari Format Ideal Ke-
Rochaeti, Nur. “Perlindungan Hukum Bagi Pe- adilan Putusan Dalam Peradilan”. Jurnal
rempuan Korban Kekerasan Berbasis Gen- Hukum Ius Quia Iustum Vol. 17 No. 2,
der”. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, April 2010. Yogyakarta: Fakultas Hukum
Vol. 37 No. 1 Maret 2008. Semarang: Fa- UII;
kultas Hukum UNDIP; Syamsudin, M. “Arti Penting Prophetic Intel-
Sarmadi, A. Sukris. “Membebaskan Positivism ligence Bagi Hakim Dalam Memutuskan
Hukum ke Ranah Hukum Progresif (Studi Perkara di Pengadilan”. Jurnal Legality
Pembacaan Teks Hukum Bagi Penegak Vol. 15 No. 1, Maret-Agustus 2007, Ma-
Hukum)”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. lang: Fakultas Hukum Universitas Muham-
12 No. 2, Mei 2012, Purwokerto: Fakultas madiyah Malang;
Hukum UNSOED; -------. “Pemaknaan Hakim Tentang Korupsi dan
Savitri, Niken. 2008. HAM Perempuan-Kritik Implikasinya Pada Putusan: Kajian Pers-
Teori Hukum Feminis terhadap KUHP. pektif Hermeneutika Hukum”. Jurnal
Bandung: Refika Aditama; Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 3, Oktober
2010. Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM;
Shidarta. “Peragaan Pola Penalaran Hukum
dalam Kajian Putusan Kasus Tanah Adat”. -------. “Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam
Jurnal Yudisial, Vol. III No. 3, Desember Menangani Perkara Berbasis Hukum Pro-
2010. Jakarta: Komisi Yudisial RI; gresif”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum
Vol. 18 No. Edisi Khusus, Oktober 2011,
Siahaan, Lintong O. “Peran Hakim Dalam Yogyakarta: Fakultas Hukum UII;
Pembaharuan Hukum di Indonesia”. Jur-
nal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke- Wantu, Fence M. “Antinomi Dalam Penegakan
36 No. 1 Januari-Maret 2006. Jakarta: Hukum Oleh Hakim”. Jurnal Mimbar Hu-
Fakultas Hukum UI; kum, Vol. 19 No. 3, Oktober 2007. Yogya-
karta: Fakultas Hukum UGM.
-------. Buletin Komisi Yudisial, Vol. III No. 2
Oktober 2008, Jakarta;

Anda mungkin juga menyukai