Anda di halaman 1dari 45

Hukum Pidana di Luar

Kodifikasi
Oleh :

Dr. Aswandi,SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPUR
HUKUM PIDANA DI LUAR KODIFIKASI
I. PENDAHULUAN
A. Hukum Pidana
B. Di luar Kodifikasi :
Ad. A. Hukum Pidana
1) Pengertian Hukum Pidana.
-Hk Pidana menurut Moeljatno, adalah bgn dari keseluruhan hk yg berlaku
di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan utk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tdk boleh dilakukan dan
yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu
bg barang siapa yg melanggar larangan tsb.
2. Menentukan kapan dan dlm hal-hal apa kpd mereka yg telah
melanggar larangan-larangan itu dpt dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yg telah diancamkan.
3. Menentukan dg cara bagaimana pengenaan pidana itu dpt
dilaksanakan jika ada orang yg disangka telah melanggar larangan tsb.
-Dg demikian hk pidana bukanlah mengadakan norma hk sendiri,
melainkan sudah terletak pd norma lain dan sanksi pidana. Sanksi
Pidana diadakan utk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tsb, spt
norma agama dan kesusilaan.
2) Tindak Pidana.
- Istilah tindak pidana terjemahan dari strafbaar feit dlm KUHP Belanda
yg saat ini diterapkan sbg hk nasional melalui asas konkordansi dg
adanya KUHP. Tindak Pidana biasanya disamakan dg delik (bahasa latin
delictum).
- Delik atau het strafbare feit diterjemahkan dlm Bhs Indonesia :
a. perbuatan yg dpt dihukum; b. peristiwa pidana; c. perbuatan pidana; d.
tindak pidana.
- Delik dlm KBBI, adalah perbuatan yg dpt dikenakan hukuman krn
merupakan pelanggaran terhdp UU atau merupakan tindak pidana.
- Meoljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yg
dilarang dan diancam pidana bagi barangsiapa melanggar larangan tsb.
- Perbuatan tsb hrs betul-betul dirasakan oleh masyarakat sbg perbuatan
yg tak boleh menghambat akan tercapainya tatanan dlm pergaulan
masyarakat yg dicita-citakan oleh masyarakat itu.
- Jd perbuatan yg tergolong tindak pidana adalah perbuatan yg dilarang
dlm hk yg dpt diancam dg sanksi pidana.
- Suatu perb. hk yg dpt dinyatakan sbg perb. pidana jika memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sbb : 1. Unsur-unsur Obyektif (yg terdpt di luar
diri manusia) : a. Suatu tindak tanduk (tindakan); b. Suatu akibat
tertentu, c. Keadaan. a,b, dan c tsb diatas semuanya dilarang dan
diancam dg hukuman oleh UU. 2.Unsur-unsur Subyektif (yg terdpt di
dlm diri manusia/sipelanggar) : a. Dpt bertanggung jawab (secara
pidana); b. Mempunyai Kesalahan.
3) Sejarah Hk Pidana (UU No. 1 Tahun 1946).
- Berdasarkan Psl II Aturan Peralihan UUD 1945 dan utk mencegah
terjadinya kekosongan hk, maka dinyatakan bhw Wetboek van
Stracfrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) masih berlaku terus dan dg
UU No. 1/1946 Namanya diganti menjadi Wetboek van Stracfrecht saja
dan disebut KUHP. Norma tsb baru kemudian disempurnakan oleh UU
No. 73/1958 yg dinyatakan berlaku bagi seluruh wilayah RI hingga kini. .
- Bhw KUHP Indonesia terutama isinya hampir sama dg KUHP Belanda,
sedangkan hk Belanda bersumber dari code penal (KUHP Prancis).
- Sistem hk Eropa Kontinental (Civil Law System = Sistem Hk Sipil), ini
berkembang di negara-negara Eropa daratan, spt Jerman, Belanda,
Perancis, Italia Amerika latin, dan Asia termasuk Indonesia pd masa
penjajahan pemerintah Belanda. Sistem hk ini sebenarnya berasal dari
kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi (Justianus abad VI
SM).
- Prinsif utama yg menjadi dasar sistem hk Eropa kontinental adalah : “Hk
memperoleh kekuatan mengikat, krn diwujudkan dlm peraturan-peraturan
yg berbentuk UU dan tersusun secara sistematik di dlm kodifikasi atau
kompelasi tertentu”.
- Prinsif dasar tsb dianut mengingat bhw nilai utama yg merupakan tujuan
hk adalah “Kepastian Hukum”. Dan kepastian hk hanya dpt diwujudkan
jika
tindakan-tindakan hk manusia di dlm pergaulan hidup diatur dgn
peraturan-peraturan hk yg tertulis (R.Abdoel Djamali, 1993).
- Kepastian ini dijamin oleh adanya pembuatan hk yg dilakukan secara
sistematis oleh badan-badan yg khusus utk itu dan teknik-teknik
penyusunannya yg terpelihara dan dikembangkan secara baik. Inti dari
kesemuanya itu adalah dipakainya bentuk pengutaraan secara tertulis.
Namun dlm perkembangannya jlh peraturan menjadi sedemikian banyak,
mk dicari jln dgn kodifikasi.
- Bhw utk memiliki KUHP yg bersifat Nasional mk diperlukan : Waktu
yg lama, Keahlian penelitian ketentuan khusus, Pembukuan (kodifikasi).
Kodifikasi (pembukuan) hrs dilakukan dgn syarat : Mempunyai
pength. yg tinggi; Kodifikasi itu hrs mendapat dukungan dari masyarakat.
4) Sistimatika KUHP dan Tindak Pidana dlm KUHP
-Sistemetika :
Buku I Ttg : Ketentuan-ketentuan Umum (Ps 1 s/d 103) (berisi asas
asas k pidana positif utk bk II dan bk III serta diluar KUHP.
Buku II Ttg : Kejahatan (Psl 104 s/d 488).
Buku III Ttg : Pelanggaran (Psl 489 s/d 569).
- Tindak Pidana :
Tindak Pidana (Strafbaarfeiten) dlm KUHP dibagi 2 : 1. Kejahatan
(Rechtdelict), dlm Buku II (Ps 104 s/d 488). 2. Pelanggaran (Wetdelict),
dlm Buku III (Pasal 489 s/d 569)
- Perbedaan Kejht. dan Pelanggaran, adalah bersifat Kuantitatif, yaitu :
Pd Kejh., hkman ebih berat, Pd Pelanggaran, hkman lebih ringan.
- Menurut pembentuk KUHP, Perbedaan tsb penting, krn dlm Buku I ada
beberapa ketentuan yg hanya berlaku bagi kejahatan, spt :
Percobaan (poeging) pd kjht dpt dihkm, pd pelanggaran tdk dihk.
-Pesertaan (Deelneming) pd Kejh dpt dihk, pd pelanggaran tdk dpt dihk.
- Menurut pembentuk KUHP, bhw Tindak Pidana yg dirumuskan dlm KUHP
adalah merupakan perbuatan yg melanggar berbagai kepentingan yg
dilindungi oleh hk (rechtblangen), yaitu : Kepentingan Individu; Masyrkt,
dan Negara.
- Namun apabila KUHP ini dibandingkan dgn Konsep RKUHP
baru (konsep), ternyata RKUHP baru tdk membedakan kualifikasi tindak
pidana Kejahatan dan tindak pidana Pelanggaran tsb, yakni dgn alasan :

Tdk dpt dipertahankan lagi kriteria pembedaan kualitatif antara


Rechtdelict dan Wetdelict yg menjadi latar belakang penggolongan dua
jenis tindak pidana tsb.
- Meskipun Konsep RKUHP Baru tsb tdk membedakan secara kuatitatif
antar kejh dan pelanggaran, namun dlm pola kerjanya Konsep RKUH
Baru masih mengadakan pengklasifikasian delic, yaitu dgn : Delic sangat
ringan, Delic berat, dan Delic sangat berat/serius.

Ad. 2. Di luar Kodifikasi :


a. Pengertian Kodifikasi.
- Dlm Wikipedia, bhw dlm I.hk, kodifikasi adalah proses pengumpulan hk-
hk
di wilayah tertentu utk menghasilkan sebuah kitab UU.
- Menurut KBBI, Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi
UU; hal penyusunan kitab per-UU-an; ---
- Kodifikasi merupakan ciri khas negara-negara dg sistem hk sipil.
- Tujuan dari kodifikasi hk adalah agar didpt suatu rechtseenheid (kesatuan
hk) dan suatu rechts-zakerheid (kepastian hk).
- Kodifikasi hk menurut R. Soeroso : pembukuan hk dlm suatu himpunan
UU dlm materi yg sama) (R.Soeroso: 77)
- Menurut Satjipto Rahardjo tujuan umum kodifikasi adalah utk membuat
kumpulan peraturan-perundangan itu menjadi sederhana dan mudah
dikuasai, tersusun secara logis, serasi, dan pasti (I.Hk, 1991, 92).
- Yg dianggap sbg suatu kodifikasi nasional yg pertama adalah Code Civil
Perancis atau Code Napoleon. Dinamakan Code Napoleon krn
Napoleonlah yg memerintahkan dan mengundangkan UU Perancis sbg
UU Nasional pd permulaan abad XVIII setelah berakhirnya revolusi politik
dan sosial di Perancis.
Contoh kodifikasi : hk pidana dlm Kitab UU Hk Pidana, hk perdata dlm
Kitab UU Hk Perdata, Hk Dagang dlm Kitab UU Hk Dagang.
- Tujuan adanya kodifikasi hk, adalah utk mengatasi tdk adanya kepastian
hk dan kesatuan hk di suatu negara. Di Indonesia, sebelum adanya
kodifikasi atau hk nasional yg berlaku adalah hk adat. Menurut V.
Vollenhoven di Indonesia terdpt 19 macam masyrkt hk adat
(rechtsgemeenschappen). Tiap-tiap rechtsgemeenschap memiliki hk
adatnya sendiri yg berbeda dg hk adat di rechtsgemeenschap yg lain,
sehingga bagi keseluruhan wilayah Indonesia tdk ada kesatuan dan
kepastian hk.
Jadi secara nasional tdk terdpt kesatuan hk dan kepastian hk krn masing-
masing daerah memakai hukumnya sendiri-sendiri yg berbeda-beda antara
yg satu dg yg lain. Maka demi adanya kesatuan dan kepastian hk, Indonesia
memerlukan hk yg bersifat nasional, yg berlaku bagi seluruh warga negara
Indonesia. Oleh karenanya, diperlukan kodifikasi.
-Setidaknya ada 3 jenis hk pidana tertulis diluar KUHP, yakni : (1) UU yg
merubah/menambah KUHP, (2) UU pidana khusus; dan (3) aturan hk
pidana dlm UU yg bukan mengatur hk pidana.
- Sifat Kodifikasi ada 3, yaitu :
1). Sistematis, yaitu suatu rangkaian yg tdk bertentangan satu sama lain,
buku dlm KUHP ada 3, pd masing – masing buku ada bab, pasal, ayat,
masing – masing itu tdk bertentangan satu sama lain.
2). Lengkap, yaitu semua tingkah laku manusia dibidang hk tertentu itu
sudah diatur atau sudah ditentukan didalam kodifikasi tsb.
3). Tuntas, yaitu semua yg telah diatur tadi digunakan oleh hakim tdk
boleh hakim keluar dari apa yg telah disebutkan di dlm kodifikasi. Apa
yg disebutkan dl kodifikasi maka tdk boleh disimpangi demi adanya
kepastian hk.
b. Tujuan Pengaturan Tindak Pidana Khusus (Pidsus)/diluar KUHP.
-Tujuan pengaturan tindak pidana yg bersifat khusus adalah utk mengisi
kekurangan atau kekosongan hk ya tdk tercakup pengaturannya dlm
KUHP, namun dg pengertian bhw pengaturan itu masih tetap dan berada
dlm batas-batas yg diperkenankan oleh hk pidana formil dan materil.
-Bhw penerapan ketentuan pidsus dimungkinkan berdasarkan
Asas lex spesialis derogate lex generalis, yg mengisyaratkan bhw
ketentuan yg bersifat khusus akan lebih diutamakan dari pd ketentuan
yg lebih bersifat umum.
-Di dlm Law Onn line Lybrary dijelaskan, bhw Hk Tindak Pidsus mengatur
perbuatan tertentu atau berlaku terhdp orang tertentu yg tdk dpt
dilakukan
oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh krn itu, hk Tindak Pidsus hrs
dilihat dari substansi dan berlaku kpd siapa hk tindak Pidsus itu.
-Hk Tindak Pidsus ini diatur dlm UU di luar hk pidana umum (Pidum).
-Penyimpangan ketentuan hk pidana yg terdapat dlm UU pidana merupakan
indicator apakah UU pidana itu hk tindak pidsus ataukah bukan. Sehingga,
dpt dikatakan, Hk Tindak Pisus adalah UU pidana atau hk pidana yg diatur
dlm UU Pidana tersendiri.
c. Alasan lebih baik membuat UU daripada merubah kodifikasi hk.
- Bhw dgn merubah UU bisa lebih cepat utk menyelesaikan perbuatan-
perbuatan-perbuatan anggota masyrkt dg peraturan-peraturan yg hrs
mengaturnya.
-Bhw perkembangan masyrkt lebih cepat dari perkembangan hk yg
mengatur tingkah laku masyrkt.
-Bhw adanya masalah globalisasi yg timbul dlm masyrk oleh krn itu
peraturan hk itu berusaha utk mempertahankan masyrk, mk dia perlu
mengikuti perubahan masyrk itu krn hk itu mengatur tingkah laku masyrk
(sosial eigenering).
-Dg semakin modernnya kehidupan manusia, maka diperlukan perubahan
hk yg cepat, dg kata lain dibuat perubahan hk yg bersifat temporer, krn
ada globalisasi, maka masyrk modern menginginkan agar perat uran-
peraturan itu dg cepat dirubah.
-Contoh : Th 1927 oleh pemerintah Belanda dibuat peraturan ttg obat bius
(narkotika), beberapa th kemudian peraturan ini berubah dan bertambah.
Misal Th 1927 obat bius itu adalah ganja, maka th 1970 an bukan ganja
lagi dan okaina saja, tetapi jg tumbuh- tumbuhan jg bahan kimia,
campuran kimia dgn tumbuh- tumbuhan.
- Sehingga 1976 peraturan obat bius ditukar dan diberlakukan UU
Narkotika 1976 kemudian dirobah lagi dg UU narkotika 1997.; No. 35/2009
ttg Narkotika.
Catatan : (UU No. 35/2009 ttg Narkotika.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-Undang ini.
(UNDANG – UNDANG NO. 5 TAHUN 1997 TTG P S I K O T R O P I K A
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan prilaku).
- Bhw Peraturan-peraturan yg berada diluar hk pidana yg perlu
dikaitkan dg sanksi yg berupa pidana dgn tujuan :
* Agar peraturan tsb dpt ditaati walaupun sdh ada ketentuannya
ditemukan dlm KUHP tetapi pidananya ringan.
* Agar lebih ditaati maka perlu dihubungkan sanksi dg pidana, ---

II. Pengertian, Hubungan Hk Pidsus dan Hk Pidana Umum,


Karakteristik Serta Ruang Lingkup Hk Pidana diluar KUHP/Kodifikasi
1) Pengertian hk pidana di luar KUHP/Kodifikasi.
- Bhw istilah hk pidana diluar kodifikasi utk sekarang ini diganti menjadi
Tindak pidsus. Tindak pidsus berada di luar hk pidana umum yg mengatur
perbuatan tertentu atau berlaku terhdp orang tertentu. Tindak pidsus
merupakan bgn dari hk pidana.
- Pd umumnya, dlm suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat
rumusan ttg (Chairul Huda, 2010 : 101) : 1. Subjek hk yg menjadi
sasaran norma tsb; 2. Perbuatan yg dilarang (strafbaar), baik dlm
bentuk melakukan sesuatu (commission), tdk melakukan sesuatu
(omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yg ditimbulkan oleh
kelakuan); dan 3. Ancaman pidana (strafmaat), sbg sarana
memaksakan keberlakuan atau dpt ditaatinya ketentuan tsb.
- Tindak pidana pd dasarnya cenderung melihat pd perilaku atau
perbuatan (yg mengakibatkan) yg dilarang oleh UU.
Tindak pidsus lebih pd persoalan-persoalan legalitas atau yg diatur dlm
UU. Tindak pidsus mengandung acuan kpd norma hk semata ---.
-Tindak pidsus diatur dlm UU di luar hk pidum. Penyimpangan ketentuan
hk pidana yg terdpt dlm UU pidana merupakan indikator apakah UU
pidana itu merupakan tindak pidsus atau bukan. Sehingga dpt dikatakan
bhw hk tindak pidsus adalah UU pidana atau hk pidana yg diatur dlm UU
pidana tersendiri.
-Menurut Pompe, bhw hk pidsus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri
UU pidana yg dikualifikasikan sbg hk tindak pidsus ada yg berhubungan
dg ketentuan hk administrasi negara terutama mengenai Penyalahgunaan
kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan
kewenangan ini terdpt dlm perumusan tindak pidana korupsi.
-Hk pidsus menurut Jan Remelink secara sederhana disebut delicti propria.
Suatu delik yg dilakukan oleh seseorang dg kualitas atau kualifikasi
tertentu. Teguh Prasetyo menyatakan bhw istilah hk pidsus sekarang
diganti dg istilah hk tindak pidsus, namun pd prinsipnya tdk ada perbedaan
antara kedua istilah tsb.
- Teguh Prasetyo mengemukakan krn hk tindak pidsus mengatur
perbuatan tertentu atau berlaku terhdp orang tertentu, hrs dilihat
substansi dan berlaku kpd siapa hk tindak pidsus itu. Hk tindak pidsus ini
diatur dlm UU di luar hk pidum.
- Penyimpangan ketentuan hk pidana yg terdpt dlm UU pidana merupakan
indikator apakah UU pidana itu merupakan hkm tindak pidsus atau bukan,
maka dari itu hk tindak pidsus adalah UU pidana atau hk pidana yg diatur
dlm Un pidana tersendiri.
- Sejalan dg Teguh Prasetyo, Azis Syamsudin berpendapat bhw hk pidsus
adalah per-UU-an di bidang tertentu yg bersanksi pidana, atau tindak
pidana yg diatur dlm UU khusus. Kewenangan penyelidikan dan
penyidikan dlm hk pidsus a.l polisi, jaksa, PPNS, dan KPK. Pemeriksaan
perkara hk pidsus dpt dilakukan di pengadilan tipikor, pengadilan pajak,
Pengadilan hubungan industrial, pengadilan anak, pengadilan HAM,
Pengadilan niaga dan pengadilan perikanan (Azis Syamsuddin, 2011:9).
- Selanjutnya, KUHP yg ada saat ini tdk mampu lagi dan atau
ketinggalan jaman utk mengikuti “trend” perkembangan kejahatan.
Pengalaman mengenai kodifikasi selama hampir dua abad menunjukan
bhw tdk mungkin sebuah kodifikasi itu lengkap dan tuntas,(Sudarto, 1995).
sehingga dimungkinkan munculnya UU pidana di luar KUHP yg secara
parsial mengatur ber-bagai tindak pidana sesuai dg perkembangan
kebutuhan yg ada.
- UU pidana di luar KUHP disebut sbg tindak pidsus. Tujuan pengaturan
tindak pidsus adalah utk mengisi kekurangan ataupun kekosongan hk
yg td tercakup pengaturannya dlm KUHP.
- Sudarto mengemukakan istilah “UU pidsus” atau bijzondere wetten tetapi
sulit utk diuraikan.
- Ada tiga kelompok yg dpt dikualifikasikan sbg UU pidsus, a.l. (Ruslan R. 28)
: 1. UU yg tdk dikodifikasikan
2. Peraturan” hk administratif yg mengandung sanksi pidana.
3. UU yg mengandung hk pidsus yg mengatur ttg delik-delik utk kelompok”

orang tertentu atau perbuatan tertentu.


- Mengenai Pengertian Tindak Pidsus, tdk ada pendefisian yg secara baku.
Berdasarkan MvT dari psl 103 KUHP, istilah “Pidana Khusus” dpt diartikan
sbg perbuatan pidana yg ditentukan dlm perundangan tertentu di luar KUHP
Rochmat Soemitro, mendefinisikan tindak pidsus sbg tindak pidana yg
diatur
tersendiri dlm UU khusus, yg memberikan peraturan khusus ttg tata cara
penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaanya, maupun sanksinya yg
menyimpang dari ketentuan yg dimuat dlm KUHP (Adami Chazawi, 2013 :
13).
- Menurut T.N.Syamsah bhw pengertian tindak pidsus hrs dibedakan dari
pengertian ketentuan pidsus. Ketentuan Pidsus pd umumnya mengatur ttg

tindak pidana yg dilakukan dlm bidang tertentu atau khusus (di luar
KUHP) spt di bidang perpajakan, imigrasi, perbankan yg tdk diatur secara
umum dlm KUHP atau yg diatur menyimpang dari ketentuan pidana
umum.
- Sedangkan, tindak pidsus adalah tindak pidana yg diatur tersendiri dlm UU

khusus, yg memberikan peraturan khusus ttg cara penyidikannya,


tuntutannya, pemeriksaannya maupun sanksinya yg menyimpang dari
ketentuan yg dimuat dlm KUHP yg lebih ketat atau lebih berat. Tetapi, jika
tdk diberikan ketentuan yg menyimpang, ketentuan KUHP umum tetap
berlaku (T.N. Syamsah, 2011 : 51).
-Tindak pidsus itu sangat merugikan masyrkt dan negara, maka perlu
diadakan tindakan cepat dan perlu diberi wewenang yg lebih luas kpd
penyidik dan PU, hal ini agar dpt mencegah kerugian yg lebih besar.
-Macam-macam tindak pidana khusus misalnya tindak pidana ekonomi,
tindak pidana korupsi serta tindak pidana HAM berat (Ibid, 52).
- Titik tolak kekhususan suatu peraturan per-UU-an khusus dpt dilihat dari
perbuatan yg diatur, masalah subjek tindak pidana, pidana dan
pemidanaannya.
-Subjek hk Tindak Pidsus diperluas, tdk saja meliputi orang pribadi melainkan
juga badan hk (Korporasi).
- Sedangkan dari aspek masalah pemidanaan, dilihat dari pola perumusan
ataupun pola ancaman sanksi, Tindak Pidsus dpt menyimpang dari
ketentuan KUHP.
-Substansi Tindak Pidsus menyangkut 3 permasalahan , yakni tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
- Ruang lingkup Tindak Pidsus tdk bersifat tetap, tetapi dpt
berubah sesuai dg apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri
ketentuan khusus dari UU pidana yg mengatur substansi tsb (Azis
Syamsuddin, 2011 : 13).
2). Hubungan Hk Pidum dan Hk Pidsus
- Bhw hubungan antara peraturan umum dan khusus tsb tercakup dlm suatu
proses harmonisasi hk, yakni sbg suatu upaya atau proses utk merealisasi
keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara
norma-norma hk di dlm peraturan per-UU-an sbg sistem hk dlm satu
kesatuan kerangka sistem hk nasional (Kusnu Goesniadhio S, 2004: 86).
- Sbg suatu aturan khusus yg bersifat khusus peraturan di luar KUHP tsb
hrs tetap dan berada dlm batas-batas yg diperkenankan oleh hk pidana
formil dan materiil.
- Menurut Bagir Manan, sbg lex specialis hrs memenuhi beberapa syarat, a.l.
(Bagir Manan, 2005 : 90) :
1. Prinsip bhw semua kaidah umum berlaku --- kecuali secara khusus diatur
berbeda;
2. Dlm pengertian lex specialis termasuk jg asas dan kaidah-kaidah yg me-
nambah kaidah umum yg diterapkan secara kumulatif antara kaidah
umum dan kaidah khusus dan bukan hanya mengatur penyimpangan;
3. Dlm lex specialis bermaksud menyimpangi atau mengatur berbeda dg
lex generalis hrs dg motif lebih memperkuat asas dan kaidah-kaidah
umum bukan utk memperlemah kaidah umum, selain itu hrs dpt
ditunjukan pula suatu kebutuhan khusus yg hendak dicapai yg tdk cukup
memadai hanya mempergunakan kaidah umum;
4. Semua kaidah lex specialis hrs diatur secara spesifik sbg kaidah
(norma)
bukan sesuatu yang sekedar dilandaskan pada asas-asas umum atau
kesimpulan umum belaka;
5. Semua kaidah lex specialis hrs berada dlm regim hk yg sama dan diatur
dlm pertingkatan per-UU-an yg sederajat dg kaidah-kaidah lex generalis.

Hk Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus


- Menurut Sudarto (dikutip oleh Ruslan Renggong), bhw hk pidum adalah
hk pidana yg dpt diberlakukan terhdp setiap orang pd umumnya,
sedangkan hk pidsus diperuntukkan bg orang-orang tertentu saja, atau
hk
yg mengatur delik-delik tertentu saja.
- Hk pidsus menurut Jan Remelink secara sederhana disebut delicti
propria. Suatu delik yg dilakukan oleh seseorang dg kualitas atau
kualifikasi tertentu.
- Menurut Azis Syamsudin hukum pidsus adalah per-UU-an di bidang
tertentu yg bersanksi pidana, atau tindak pidana yg diatur dlm
UU khusus.
3) Karakteristik atau kekhususan dan penyimpangan hukum pidana
diluar Kodifikasi.
- Menurut Teguh Prasetyo, bhw karakteristik atau kekhususan dan
penyimpangan hk pidsus terhdp hk pidana materiil digambarkan sbb (Ibid) :
(1). Hk pidana bersifat elastis (ketentuan khusus),
(2). Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dg hk-
man (menyimpang),
(3). Pengaturan tersendiri tindak pidana kejht dan pelanggaran (ketentuan
khusus),
(4) Perluasan berlakunya asas teritorial (menyimpang/ketentuan khusus),
(5) Subjek hk berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan
perekonomian negara (ketentuan khusus),
(6) Pegawai negeri merupakan subjek hk tersendiri (ketentuan khusus),
(7) Memiliki sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan utk memasukkan
tindak pidana yg berada dlm UU lain asalkan UU lain itu menentukan
menjadi tindak pidana (ketentuan khusus),
(8) Pidana denda ditambah sepertiga terhdp korporasi (menyimpang),
(9) Perampasan barang bergerak, tdk bergerak (ketentuan khusus),
(10) Adanya pengaturan tindak pidana selain yg diatur dlm UU itu (ketentuan
khusus),
(11) Tindak pidana bersifat transnasional (keluar
( dari batas-batas negara
(ketentuan khusus),
(12) Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yg
terjadi (ketentuan khusus),
(13) Tindak pidana dpt bersifat politik (ketentuan khusus).
-Selain terhdp hk pidana materiil, terdpt penyimpangan terhdp hk pidana
formil sbb :
(1). Penyidikan dpt dilakukan oleh jaksa, penyidik KPK,
(2). Perkara pidsus hrs didahulukan dari perkara pidana lain.
(3) Adanya gugatan perdata terhdp tersangka/terdakwa tindak pidana
korupsi.
(4) Penuntutan kembali terhdp pidana bebas atas dasar kerugian negara,
(5) Perkara pidana khusus diadili di pengadilan khusus,
(6) Dianutnya peradilan in absentia.
(7) Diakuinya terobosan terhdp rahasia bank,
(8) Dianut pembuktian terbalik
(9) Larangan menyebutkan identitas pelapor (10) Perlunya pegawai
penghubung, ---
4) Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus.
- Dg adanya perkembangan dlm masyrk, utk memenuhi kebutuhan hk dan
mengimbangi perkembangan masyrkt yg berkembang pesat, baik
peraturan
sbg penyempurnaan ketentuan-ketentuan yg telah ada dlm KUHP, maka
dibentuklah beberapa peraturan per-UU-an pidana yg bersifat khusus
(Ruslan Renggong, 2016, hlm. 4).
-Tindak Pidsus mengalami perkembangan yg sangat pesat, sehingga telah
diatur dlm peraturan per-UU-an secara khusus baik hk materiilnya maupun
hk formilnya.
-Berkenaan dg fenomena pembentukan berbagai peraturan per-UU-an
tindak pidsus, Muladi mengakui bhw perkembangan hk pidana di luar
kodifikasi KUHP, khususnya berupa UU Tindak Pidsus. Kedudukan UU
Pidsus dlm hk pidana yaitu sbg pelengkap dr hk pidana yg dikodifikasikan
dlm KUHP.
-Hakim yg mempunyai tugas pokok memeriksa dan memutus perkara
melalui proses persidangan di pengadilan, jg hrs senantiasa mengikuti
perkembangan hk pidana khusus sehingga putusan yg dihasilkan dpt
mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hk.
- Hakim dituntut utk mengembangkan kemampuan pengetahuan hk
termasuk hk pidsus baik mulai dari norma hk yg berlaku di masyrk, asas-
asas hk, kaidah-kaidah hk, peraturan per-UU-an, sampai dg penerapan
hk yg dimanifestasikan dlm bentuk putusan pengadilan (Komisi Yudisial
RI, 2012: Xiii).
- Setelah mengetahui pengertian hk pidsus sebagaimana telah dijelaskan
sebelumya, terdpt ruang lingkup tindak pidsus yg mengikuti sifat dan
karakter hk pidsus, yang dasar hukumnya diatur di luar KUHP. Sifat dan
karakter hk pidsus terletak pd kekhususan dan penyimpangan dari hk
pidum, mulai dari subjek hk-nya yg tdk hanya orang tetapi jg korporasi.
- Selain itu, mengenai ketentuan sanksi yg umumnya lebih berat dan jg
mengenai hk acara yg biasanya digunakan, jg hk acara pidsus. Ruang
lingkup hk pidsus tdk bersifat tetap, tetapi dpt berubah tergantung dg apa
ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU
pidana yg mengatur substansi tertentu.
- Azis syamsudin berpendapat bhw substansi hk pidsus menyangkut tiga
permasalahan, yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, serta
pidana dan pemidanaan (Azis Syamsudin, 2011).
- Ruang lingkup tindak pidsus dlm buku Ruslan Renggong tdk berbeda
jauh, tetapi terdpt beberapa tindak pidsus lainnya, sbb (Ruslan
Renggong, 58) :
1. Korupsi, 2. Pencucian Uang, 3. Terorisme, 4. Pengadilan HAM, 5.
Narkotika, 6. Psikotropika, 7. Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya,
8. Tindak Pidana Lingkungan Hidup, 9. Perikanan, 10. Kehutanan, 11.
Penataan Ruang, 12. Keimigrasian, 13. LLAJ, 14. Kesehatan, 15. Praktik
Kedokteran, 16. Sistem Pendidikan Nasional, 17. Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, 18. Penghapusan KDRT, 19. Perlindungan
Anak, 20. Informasi dan Transaksi Elektronik, 21. Pornografi, 22.
Kepabeanan, 23. Cukai, 24. Perlindungan Konsumen, 25. Pangan, 26.
Paten, 27. Merk, 28. Hak Cipta, 29. Pemilihan Umum (Pemilu), 30.
Kewarga negaraan, 31. Penerbangan.
- Berdasarkan hal tsb di atas, dpt dikatakan bhw tindak pidsus cenderung
mengikuti perkembangan jaman selain tdk diatur dlm KUHP.
III. Latar belakang Sejarah Tumbuh Berkembang dan Dasar Hk serta Asas-
Asas Pidana di luar KUHP.
a. Latar Belakang Sejarah Tumbuh Berkembangnya Hk Pidana/Tindak
Pidana di Luar (KUHP) Kodifikasi.
- Suatu hal yg nyata, perkembangan kriminalitas dlm masyrk telah
mendorong lahirnya UU Tindak Pidsus, yaitu UU Hk Pidana yg ada di
luar KUHP.
- Kedudukan UU Hk Pidsus dlm sistem hk pidana adalah pelengkap dari
hk pidana yg dikodifikasikan dlm KUHP. Suatu kodifikasi hk pidana
betapapun sempurnanya, mk pd suatu saat akan sulit memenuhi
kebutuhan hk dari masyrk.
- Mengapa dlm sistem hk pidana Indonesia dpt timbul pengaturan hk
pidana (kebijakan kriminalisasi) khusus atau peraturan tersendiri di luar
KUHP ?
Jawabannya bhw hal tsb dikarenakan KUHP sendiri menyatakan ttg
kemungkinan adanya UU Pidana di luar KUHP itu, sebagaimana
dimpulkan dari ketentuan yg terdpt dlm Ps 103 KUHP.
- Ps 103 berbunyi : Ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX (interpretasi
istilah) berlaku jg terhadap perbuatan yg menurut UU dan peraturan lain

diancam dg pidana, kecuali ditentukan lain oleh UU.


- Maksudnya, bhw Ps 1-85 Buku I KUHP ttg Ketentuan Umum/Asas-asas
Umum berlaku jg bagi perbuatan yg diancam dg pidana berdasarkan UU
atau peraturan di luar KUHP, kecuali UU atau peraturan itu menyimpang).
-Bertitik tolak dari hal itu, Andi Hamzah berpendapat di Indonesia dpt
timbul UU tersendiri di luar KUHP krn ada dua faktor yaitu :
(1) Adanya ketentuan lain di luar KUHP : Ps 103 KUHP yg
memungkinkan pemberlakuan ketentuan pidana dan sanksinya
terhadap suatu perbuatan pidana yg menurut UU dan peraturan-
peraturan lain di luar KUHP diancam dg pidana kecuali ditentukan lain
oleh UU;
(2) Adanya ps 1-85 KUHP (Buku I) ttg Ketentuan Umum yg memungkinkan

penerapan aturan-aturan pidana umum bagi perbuatan-perbuatan


pidana yg ditentukan di luar KUHP, kecuali perbuatan tsb menyimpang.
-Hanya saja, menurut Andi Hamzah bhw hal terpenting utk diperhatikan,
yaitu penyimpangan-penyimpangan dlm UU atau peraturan-peraturan
khusus tsb terhdp ketentuan umum KUHP. Selebihnya, yg tdk
menyimpang dg sendirinya tetap berlaku ketentuan umum KUHP,
berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali (ketentuan khusus
menyingkirkan ketentuan umum). Jadi selama tdk ada ketentuan khusus
berlakulah ketentuan umum itu.
- Ketentuan Ps 103 KUHP : Ketentuan-ketentuan dlm Bab I sampai Bab VIII
buku ini jg berlaku bagi perbuatan-perbuatan yg oleh ketentuan per-UU-an

lainnya diancam dg pidana, kecuali jika oleh UU ditentukan lain.


- Dg demikian, maka Ps 103 KUHP merupakan ketentuan yg
menghubungkan antara KUHP (Kodifikasi) dg Hk Pidsus (diluar kodifikasi)
dan ketentuan ini merupakan ketentuan utk dpt dibuatnya peraturan UU di
Luar KUHP.
(Bhw Buku I yg berisi asas-asas berlaku bagi Buku I = kejahatan dan Buku
II = Pelanggaran, serta berlaku jg bagi hk pidsus (UU lainnya yg
mengancam dg pidana), kecuali jika hk pidana khusus/UU lainnya tsb
ditentukan lain.
-Pengabaian itu terjadi krn adanya irisan dari ruang lingkup yg sama antara
-KUHP dan ketentuan khusus yg berada diluar KUHP. Konsep dlm ps 103
KUHP mengungkapkan lex specialist derogate lex generali. UU diluar KUHP
hrs memiliki ruang lingkup ketentuan yg lebih khusus dari KUHP.
-Sejak Indonesia merdeka, hk pidana positif ternyata tdk hanya yg tersedia
dlm KUHP atau hk pidana yg terkodifikasi.
- Setidaknya ada 3 jenis hk pidana tertulis diluar KUHP, yakni :
(1) UU yg merubah/menambah KUHP,
(2) UU Pidsus; dan
(3) Aturan hk pidana dlm UU yg bukan mengatur hk pidana.
- UU pidsus yg murni mengatur tindak pidana diluar KUHP (generic crime)
misalnya spt tindak pidana ekonomi, tindak pidana terorisme, tindak
pidana HAM, tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, dan lain sebagainya.
- Sementara, aturan hk pidana dlm UU bukan hk pidana sering jg disebut
sbg tindak pidana administrasi (administratif penal law), spt tindak pidana
dibidang perbankan, tindak pidana pajak, tindak pidana dibidang
konstruksi dan sebagainya.
- Perkembangan hk pidana diluar KUHP tsb menjadi salah satu persoalan
yg mengemuka dlm revisi KUHP. Beberapa pengaturan hk pidana diluar
KUHP dianggap jauh menyimpangi KUHP dan memunculkan ‘dualisme
hk pidana’ nasional.
- Dlm naskah akademik RKUHP disebutkan beberapa masalah UU pidana
di luar KUHP, yakni:
Banyak per-UU-an khusus tdk menyebutkan/menentukan kualifikasi tindak
pidana sbg ”kejahatan” atau ”pelanggaran”;
Mencantumkan ancaman pidana minimal khusus, tetapi tidak disertai
dg aturan pemidanaan/penerapannya.
Subjek tindak pidana ada yg diperluas pd korporasi, tetapi ada yg tdk
disertai dg ketentuan ”pertanggungjawaban pidana korporasi”.
Pemufakatan jahat dipidana sama dg tindak pidananya, namun tdk ada
ketentuan yg memberikan pengertian/batasan/syarat-syarat kapan
dikatakan ada ”pemufakatan jahat” spt halnya dlm KUHP (Ps 88).
b. Ps 103 KUHP sbg Dsr Hk Pengaturan Tindak Pidana di luar KUHP.
- Bhw pengaturan tindak pidana di luar KUHP adalah didasarkan pd Ps 103
KUHP yaitu merupakan aturan penutup di buku I KUHP, berbunyi :
“Ketentuan-ketentuan dlm bab I s-d Bab VIII buku ini jg berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yg oleh ketentuan per-UU-an lainnya diancam dg
pidana, kecuali oleh UU ditentukan lain.
- Ketentuan Pasal 63 ayat 2 berbunyi :
“Jika suatu perbuatan, yg masuk dlm suatu aturan pidana yg umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yg dikenakan.”
- Andi Hamzah, menghimpun peraturan pidana diluar KUHP ini, membagi
dlm dua kelompok :
1. Per-UU-an Pidsus, spt korupsi, ekonomi, imigrasi, devisa, narkotika dst.
2. Delik-delik yg terkandung dlm per-UU-an buku pidana spt, agraria,
kehutanan, koperasi, perkawinan, PEMILU, dan seterusnya.
- Dlm kelompok dua ini ada diantaranya yg tdk memuat seluruh teks UU,
tetapi hanya ps-ps yg mengandung delik dan sanksinya serta langsung
berhubungan dg itu yg dimuat sesuai dg maksud tsb diatas.
- Buku I. Ketentuan Umum (Algemere Bepalingen) membahas ps 63 ayat
(2) dan pasal 103 KUHP.
- Pengertian tindak pidsus dpt dipahami apabila telah memahami isi dari ps
63 ayat 2 KUHP dan jg ps 103 KUHP, bhw kedua ps tsb merupakan asas
dan dsr hk dari tindak pidana khusus itu sendiri.
Asas-asas dan pengertian yg terdpt dlm Buku I KUHP berlaku utk
keseluruhan hk pidana positif baik yg ada di dlm KUHP maupun yg ada
diluar KUHP.
- Kaitan Tindak Pidsus dg Ps 103 KUHP.
Ps 103 KUHP terdpt dlm buku I Ketentuan umum yg berisi asas-asas dan
jg pengertian-pengertian. Dlm Buku I KUHP ps 103 merupakan ps aturan
penutup. Perlu diketahui bhw terdpt titik hubungan atau pertalian antara
delik-delik khusus yg terdpt dlm KUHP dg yg diluar KUHP (yaitu dlm ps
103 KUHP). Maksudnya kedelapan Bab Pertama KUHP berlaku jg bagi
perbuatan lainnya yg dpt dipidana kecuali bila UU tsb menentukan aturan
khusus yg menyimpang dari aturan umum.
-Seorang ahli bernama Nolte membagi ke dlm 2 macam pengecualian
berlakunya ps 103 KUHP, yaitu :
• UU lain menentukan lain secara tegas pengecualian berlakunya ps 103
KUHP.
• UU lain menentukan secara diam-diam pengecualian seluruh atau
sebagian dari ps 103 KUHP tsb.
- Kaitan Tindak Pidsus dg Ps 63 ayat 2
Selain ps 103 KUHP, dsr hk dari berlakunya Tindak Pidsus jg terdpt dlm
ps 63 ayat 2 KUHP. Ps103 KUHP terdpt dlm buku I Ketentuan umum yg
berisi asas-asas dan jg pengertian-pengertian. Dlm Buku I KUHP psl 63
ayat 2 merupakan ps dlm ketentuan mengenai Perbarengan (Concursus).
Perlu diketahui bhw terdpt titik hubungan atau pertalian antara delik-delik
khusus yg terdpt dlm KUHP dg yg diluar KUHP (yaitu dlm ps 63 ayat 2
KUHP).
- (Dlm hal ini dpt kita pahami bhw maksud dari psl 63 ayat 2 tsb adalah
bhw perbuatan yg diatur diluar KUHP dan dilakukan oleh satu orang yg
melakukan suatu perbutan yang masuk dalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yg dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu;
jika berbeda-beda yg dikenakan y memuat ancaman pidana pokok yg
paling berat, sebagaimana pasal 63 ayat 1).
- Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP berlaku asas lex specialis
derogat legi generali, dlm hal ada ketentuan khusus dan ada ketentuan
umum, yg dipergunakan adalah ketentuan khusus. Apabila UU di luar
KUHP akan menyimpang dari sistem umum KUHP, maka UU di luar
KUHP
seharusnya membuat aturan (pemidanaan) khusus sesuai jg dg ketentuan
dlm Psl 103 KUHP.
- Pendapat Pompe : “ Hk Pidsus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”
(Artinya ketika telah diatur secara khusus sesuai dg kriterianya, tindak
pidsus itu mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri dlm hal melaksanakan
hk positif utk mencapai tujuan hk).
Dasar hk dan kekhususan Pengaturan Tindak Pidana di luar KUHP :
- UU Pidana yg masih dikualifikasikan sbg Hk Tindak Pidsus adalah spt :
• UU No 7 Drt 1955 (Hk Pidana Ekonomi), UU No 31/1999 jo UU No 20/2002
(Pemberantasan tindak pidana korupsi)
• UU No 2/Perpu/2002 Perpu) ttg Pemberlakuan Perpu No.1/2002 Ttg
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
• Pd Peristiwa Peledakan BOM Di Bali Tgl 12 Oktober 2002. UU
No.1//Perpu/2002 Perpu ttg Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
- Hk Tindak Pidsus Mengatur Perbuatan tertentu ; Utk orang/golongan
tertentu Hk Tindak Pidsus Menyimpang dari Hk Pidana Materiil dan Hk
Pidana Formal. Penyimpangan tsb diperlukan atas dasar kepentingan hk.
-Dasar Hk UU Pidsus, dilihat dari hk pidana adalah Psl 103 KUHP. Ps 103
ini mengandung pengertian :
Semua ketentuan yg ada dlm Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar
KUHP sepanjang UU itu tdk menentukan lain.
-Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, krn KUHP
tdk mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tdk lengkap dan tdk
mungkin lengkap).
c. Asas yg berkaitan dg tindak pidana di luar KUHP.
1. a. Asas Legalitas, yaitu asas yg mengandung makna umum bhw setiap
perbuatan hrs didasarkan pd peraturan per-UU-an yg
berlaku.
Asas Legalitas
- Asas legalitas mengandung makna yg luas. Asas ini selalu dijunjung tinggi
oleh setiap negara yg menyebut negaranya sbg negara hk.
Legalitas adalah asas pokok dlm negara hk, selain asas perlindungan
kebebasan dan HAM.
- Di Indonesia, asas legalitas bersandar pd Ps 1 ayat (3) UUD 1945 yg
Menegaskan bhw : Negara Indonesia adalah negara hk.
- Selama ini asas legalitas memang lebih dikenal dlm hk pidana, yg ditarik
dari rumusan Ps 1 ayat (1) KUHP yg berbunyi:
Tiada suatu perbuatan yg dpt dihukum kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut UU yg telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu

sendiri.
b. Lex Specialis derogate lege generalis.
-Asas ini merupakan salah satu asas hk, yg mengandung makna bhw a
aturan hk yg khusus mengesampingkan aturan hk yg umum.
Menurut Bagir Manan ada beberapa prinsip yg hrs diperhatikan dlm asas
lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
(1). Ketentuan-ketentuan yg didapati dlm aturan hk umum tetap berlaku,
kecuali yg diatur khusus dlm aturan hk khusus tsb;
(2). Ketentuan-ketentuan lex specialis hrs sederajat dg ketentuan-
ketentuan lex generalis (UU dg UU);
(3). Ketentuan-ketentuan lex specialis hrs berada dlm lingkungan hk
(rezim) yg sama dg lex generalis. Kitab UU Hk Dagang dan
KUHPerdata sama-sama termasuk lingkungan hk keperdataan.
-Contoh per-UU-an yg mengatur mengenai asas lex specialis derogat legi
generalis:
Ps 63 ayat (2) KUHPidana: “Jika suatu perbuatan masuk dlm suatu
aturan pidana yg umum, diatur pula dlm aturan pidana yg khusus, maka
hanya yg khusus itulah yg diterapkan.”
Contoh : Psl 1 KUHDagang:
“Selama dlm Kitab UU ini terhadap KUHPerdata tdk diadakan
penyimpangan khusus, maka KUHPerdata berlaku jg terhadap
hal-hal yg dibicarakan dlm Kitab UU ini.”
c.Lex superior derogate lege inferior, yaitu asas penafsiran
hk yg menyatakan bhw hk yg tinggi (lex superior)
mengesampingkan hk yg rendah (lex inferior). Asas ini
biasanya sbg asas hierarki.
d.lex posterior derogate lege Priori, yaitu bermakna bhw UU
(norma/aturan hk) yg baru meniadakan keberlakuan UU
(norma/aturan hukum) yg lama.
(Asas ini hanya dpt diterapkan dlm kondisi norma hk yg baru
memiliki kedudukan yg sederajat atau lebih tinggi dari norma
hk yg lama).
2. Penyertaan/deelneming Pasal 55-56 KUIHP :
a. Pleger (Orang yg melakukan). Orang ini ialah seseorang yg sendirian
telah berbuat mewujudkan segala anisir atau elemen dari peristiwa
pidana. Dlm peristiwa pidana yg dilakukan dlm jabatan misalnya orang
itu hrs pula memenuhi elemen status sbg pegawai negeri
b. Doen pleger (Orang yg menyuruh melakukan). Disini sedikitnya ada
dua orang yg menyuruh (doen pleger) dan yg disuruh (plegen). Jadi,
bukan orang itu sendiri yg melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain.
c. Medeplger (Orang yg turut melakukan). Turut melakukan dalam arti
bersama-sama melakukan. Sedikit-sedikitnya, harus ada dua orang,
ialah orang yg melakukan (pleger) dan orang yg turut melakukan
(medepleger) peristiwa pidana itu.
d . Uitlokker (Orang yg sengaja membujuk). Orang yg dg pemberian, salah
memakai kekuasaan dsb. dgsengaja membujuk melakukan perbuatan
itu. Orang itu hrs sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya
hrs memakai salah satu dari jalan-jalan spt dg pemberian, dst.
e. Medeplictige, yaitu orang yg membantu yakni orang yg memberikan
keterangan, kesempatan, sarana pada orang lain utk melakukan tindak
pidana. Pembantuan itu mensyaratkan waktu yakni sebelum atau saat
terjadinya tindak pidana. Itulah sebabnya, seseorang tdk bisa dikatakan
membantu tindak pidana ketika tindak pidana telah terjadi. “Titik tolaknya
adalah keterangan, kesempatan, atau sarana itu hanya bisa diberikan
sebelum atau pd saat tindak pidana terjadi,” Bhw tiga hal itu juga tdk
hrs berlaku semua. Cukup satu unsur terpenuhi, seseorang bisa
dikenakan psl perbantuan. “Jadi kalau kita lihat bhw ketika yg
disangkakan adalah membantu melakukan tindak pidana tentunya salah
satunya di antara tiga hal itu.
3. Bentuk Percobaan/poging (Ps 53 ayat (1) KUHP : Percobaan melakukan
kejahatan adalah pelaksanaan utk melakukan suatu kejahatan yg sudah
dimulai namun ternyata tdk sampai selesai, ataupun kehendak utk
melakukan suatu kejahatan tertentu yg telah diwujudkan suatu permulaan
pelaksanaan.
Ps 53 KUHP :
(1) Mencoba melakukan pidana, jika niat utk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tdk selesai pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan krn kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhdp kejhtn, dlm percobaan dikurangi 1/3.
(3) Jika kejht diancam dg pidana mati atau pidana penjara umur hidup,
dijatuhkan pidana penjara maksimal 15 tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dg kejht selesai.
Psal 54 KUHP, bhw mencoba melakukan pelanggaran tdk dipidana
4. Pertanggungjawaban Pidana :
Ada dua unsur dlm pertanggung jawaban pidana, yaitu : Actus reus dan
Mens rea.
- Actus Reus / perbuatan, hal yang terlihat yg bersifat phisik. Dlm hal
tertangkap tangan pun, mens rea masih penting utk dibuktikan di tahap
berikutnya.
- Mens Rea/ sikap batin (pelaku), yaitu hal yg bukan bersifat fisik- tdk selalu
terlihat dlm pemeriksaan (tahap penyelidikan). Mens rea merupakan unsur
penting utk menentukan pertanggungjawaban dari si pelaku.
Dlm sebuah tindak pidana bisa jadi menitikberatkan pd actus reus,
dari pd mens rea, misalnya dlm pembunuhan yg dilakukan dg niat
menghilangkan nyawa, maka jelas mens rea nya adalah guilty (bersalah).
Namun, dlm pembunuhan akibat dari kelalaian (misalnya, saat pengemudi
ugal-ugalan menabrak orang hingga mati), maka pelaku tetap dpt didakwa
menghilangkan nyawa orang lain, hanya saja pslnya akan berbeda
(krn mens rea nya berbeda). Pd dasarnya Actus reus dan Mens rea
adalah merupakan unsur yg hrs ada dlm pertanggungjawaban pidana.
5. Alasan Penghapus Pidana :
1) Alasan Penghapus Pidana dlm KUHP
- Dlm KUHP tdk ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan
alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya
menyebutkan alasan-alasan yg menghapuskan pidana.
- Dlm teori hk pidana, menurut Ahchmad Soema alasan-alasan yg
menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
a. Alasan pembenar, yaitu alasan yg menghapuskan sifat melawan
hknya perbuatan, sehingga apa yg dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yg patut dan benar.
b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yg menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yg dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hk, jadi

tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tdk dipidana, krn tdk
ada kesalahan.
- Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tdk ada pikiran mengenai
sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yg melakukan perbuatan,
tetapi pemerintah menganggap bhw atas dasar utilitas atau
kemanfaatannya kpd masyarakat, sebaiknya tdk diadakan penuntutan.
- MvT dari KUHP Belanda dlm penjelasannya mengenai alasan
penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yg disebut alasan-alasan
tdk dpt dipertanggungjawabkan seseorang atau alasan-alasan tdk dpt
dipidananya seseorang. Alasan-alasan tsb masuk dlm alasan penghapus

dan alasan pembenar a.l :


(1)Alasan tdk dpt dipertanggungjawabkan seseorang yg terletak pd diri
orang itu (inwedig), ialah pertumbuhan jiwa yg tdk sempurna atau
terganggu krn sakit (Ps 44 KUHP);
(2) Alasan tdk dipertanggungjawabkan seseorang terletak di luar orang itu
(uitwendig), ialah dlm KUHP terdpt pd Ps 48 s/d 51: Daya memaksa
(overmacht) (Ps 48); Pembelaan terpaksa (noodweer) (Ps 49);
Melaksanakan UU (Ps 50); Melaksanakan perintah jabatan (Ps 51).
-Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hknya perbuatan,
meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dlm UU. Kalau
perbuatannya tdk melawan hk, maka tdk mungkin ada pemidanaan.
Alasan pembenar yg terdpt dlm KUHP ialah Psl 49 ayat (1) mengenai
pembelaan terpaksa, Ps 50 (peraturan UU), dan Ps 51 ayat (1) (perintah
jabatan).
- Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dlm arti bhw orang ini
tdk dpt dicela (menurut hk) dg perkataan lain ia tdk bersalah atau tdk
dpt dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan
hk.
Jadi, disini ada alasan yg menghapuskan kesalahan si pembuat,
sehingga
tdk mungkin ada pemidanaan.
Alasan pemaaf yg terdpt dlm KUHP ialah Ps 44 (tdk mampu
bertanggungjawab), Ps 49 ayat (2) (noodweer exces), Ps 51 ayat (2)
(dg iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yg tdk sah).
- Mengenai Ps 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dpt merupakan
alasan pembenar dan dpt pula merupakan alasan pemaaf.
2) Alasan Penghapus Pidana yg ada Di Luar KUHP
- Pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai alasan penghapus
pidana yg berupa berupa alasan pembenar dan alasan pemaaf (atau
alasan penghapus kesalahan) yg terdpt dlm KUHP.
- Di luar UU juga terdpt alasan penghapus pidana, spt :
• Hak orang tua, guru utk menertibkan anak-anak atau anak didiknya
(tuchtrecht);
• Hak yg timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker,
bidan dan penyelidik ilmiah (vivisectie);
* Izin atau persetujuan dari orang yg dirugikan kpd orang lain mengenai
suatu perbuatan yg dpt dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau
persetujuan (consent of the victim);
* Mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);
* Tdk adanya unsur sifat melawan hk yg materiil;
* Tdk adanya kesalahan sama sekali.
UTS

Anda mungkin juga menyukai