Kodifikasi
Oleh :
Dr. Aswandi,SH.,M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPUR
HUKUM PIDANA DI LUAR KODIFIKASI
I. PENDAHULUAN
A. Hukum Pidana
B. Di luar Kodifikasi :
Ad. A. Hukum Pidana
1) Pengertian Hukum Pidana.
-Hk Pidana menurut Moeljatno, adalah bgn dari keseluruhan hk yg berlaku
di suatu negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan utk :
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tdk boleh dilakukan dan
yg dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu
bg barang siapa yg melanggar larangan tsb.
2. Menentukan kapan dan dlm hal-hal apa kpd mereka yg telah
melanggar larangan-larangan itu dpt dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yg telah diancamkan.
3. Menentukan dg cara bagaimana pengenaan pidana itu dpt
dilaksanakan jika ada orang yg disangka telah melanggar larangan tsb.
-Dg demikian hk pidana bukanlah mengadakan norma hk sendiri,
melainkan sudah terletak pd norma lain dan sanksi pidana. Sanksi
Pidana diadakan utk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tsb, spt
norma agama dan kesusilaan.
2) Tindak Pidana.
- Istilah tindak pidana terjemahan dari strafbaar feit dlm KUHP Belanda
yg saat ini diterapkan sbg hk nasional melalui asas konkordansi dg
adanya KUHP. Tindak Pidana biasanya disamakan dg delik (bahasa latin
delictum).
- Delik atau het strafbare feit diterjemahkan dlm Bhs Indonesia :
a. perbuatan yg dpt dihukum; b. peristiwa pidana; c. perbuatan pidana; d.
tindak pidana.
- Delik dlm KBBI, adalah perbuatan yg dpt dikenakan hukuman krn
merupakan pelanggaran terhdp UU atau merupakan tindak pidana.
- Meoljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu perbuatan yg
dilarang dan diancam pidana bagi barangsiapa melanggar larangan tsb.
- Perbuatan tsb hrs betul-betul dirasakan oleh masyarakat sbg perbuatan
yg tak boleh menghambat akan tercapainya tatanan dlm pergaulan
masyarakat yg dicita-citakan oleh masyarakat itu.
- Jd perbuatan yg tergolong tindak pidana adalah perbuatan yg dilarang
dlm hk yg dpt diancam dg sanksi pidana.
- Suatu perb. hk yg dpt dinyatakan sbg perb. pidana jika memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sbb : 1. Unsur-unsur Obyektif (yg terdpt di luar
diri manusia) : a. Suatu tindak tanduk (tindakan); b. Suatu akibat
tertentu, c. Keadaan. a,b, dan c tsb diatas semuanya dilarang dan
diancam dg hukuman oleh UU. 2.Unsur-unsur Subyektif (yg terdpt di
dlm diri manusia/sipelanggar) : a. Dpt bertanggung jawab (secara
pidana); b. Mempunyai Kesalahan.
3) Sejarah Hk Pidana (UU No. 1 Tahun 1946).
- Berdasarkan Psl II Aturan Peralihan UUD 1945 dan utk mencegah
terjadinya kekosongan hk, maka dinyatakan bhw Wetboek van
Stracfrecht voor Nederlandsch Indie (WvS) masih berlaku terus dan dg
UU No. 1/1946 Namanya diganti menjadi Wetboek van Stracfrecht saja
dan disebut KUHP. Norma tsb baru kemudian disempurnakan oleh UU
No. 73/1958 yg dinyatakan berlaku bagi seluruh wilayah RI hingga kini. .
- Bhw KUHP Indonesia terutama isinya hampir sama dg KUHP Belanda,
sedangkan hk Belanda bersumber dari code penal (KUHP Prancis).
- Sistem hk Eropa Kontinental (Civil Law System = Sistem Hk Sipil), ini
berkembang di negara-negara Eropa daratan, spt Jerman, Belanda,
Perancis, Italia Amerika latin, dan Asia termasuk Indonesia pd masa
penjajahan pemerintah Belanda. Sistem hk ini sebenarnya berasal dari
kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi (Justianus abad VI
SM).
- Prinsif utama yg menjadi dasar sistem hk Eropa kontinental adalah : “Hk
memperoleh kekuatan mengikat, krn diwujudkan dlm peraturan-peraturan
yg berbentuk UU dan tersusun secara sistematik di dlm kodifikasi atau
kompelasi tertentu”.
- Prinsif dasar tsb dianut mengingat bhw nilai utama yg merupakan tujuan
hk adalah “Kepastian Hukum”. Dan kepastian hk hanya dpt diwujudkan
jika
tindakan-tindakan hk manusia di dlm pergaulan hidup diatur dgn
peraturan-peraturan hk yg tertulis (R.Abdoel Djamali, 1993).
- Kepastian ini dijamin oleh adanya pembuatan hk yg dilakukan secara
sistematis oleh badan-badan yg khusus utk itu dan teknik-teknik
penyusunannya yg terpelihara dan dikembangkan secara baik. Inti dari
kesemuanya itu adalah dipakainya bentuk pengutaraan secara tertulis.
Namun dlm perkembangannya jlh peraturan menjadi sedemikian banyak,
mk dicari jln dgn kodifikasi.
- Bhw utk memiliki KUHP yg bersifat Nasional mk diperlukan : Waktu
yg lama, Keahlian penelitian ketentuan khusus, Pembukuan (kodifikasi).
Kodifikasi (pembukuan) hrs dilakukan dgn syarat : Mempunyai
pength. yg tinggi; Kodifikasi itu hrs mendapat dukungan dari masyarakat.
4) Sistimatika KUHP dan Tindak Pidana dlm KUHP
-Sistemetika :
Buku I Ttg : Ketentuan-ketentuan Umum (Ps 1 s/d 103) (berisi asas
asas k pidana positif utk bk II dan bk III serta diluar KUHP.
Buku II Ttg : Kejahatan (Psl 104 s/d 488).
Buku III Ttg : Pelanggaran (Psl 489 s/d 569).
- Tindak Pidana :
Tindak Pidana (Strafbaarfeiten) dlm KUHP dibagi 2 : 1. Kejahatan
(Rechtdelict), dlm Buku II (Ps 104 s/d 488). 2. Pelanggaran (Wetdelict),
dlm Buku III (Pasal 489 s/d 569)
- Perbedaan Kejht. dan Pelanggaran, adalah bersifat Kuantitatif, yaitu :
Pd Kejh., hkman ebih berat, Pd Pelanggaran, hkman lebih ringan.
- Menurut pembentuk KUHP, Perbedaan tsb penting, krn dlm Buku I ada
beberapa ketentuan yg hanya berlaku bagi kejahatan, spt :
Percobaan (poeging) pd kjht dpt dihkm, pd pelanggaran tdk dihk.
-Pesertaan (Deelneming) pd Kejh dpt dihk, pd pelanggaran tdk dpt dihk.
- Menurut pembentuk KUHP, bhw Tindak Pidana yg dirumuskan dlm KUHP
adalah merupakan perbuatan yg melanggar berbagai kepentingan yg
dilindungi oleh hk (rechtblangen), yaitu : Kepentingan Individu; Masyrkt,
dan Negara.
- Namun apabila KUHP ini dibandingkan dgn Konsep RKUHP
baru (konsep), ternyata RKUHP baru tdk membedakan kualifikasi tindak
pidana Kejahatan dan tindak pidana Pelanggaran tsb, yakni dgn alasan :
tindak pidana yg dilakukan dlm bidang tertentu atau khusus (di luar
KUHP) spt di bidang perpajakan, imigrasi, perbankan yg tdk diatur secara
umum dlm KUHP atau yg diatur menyimpang dari ketentuan pidana
umum.
- Sedangkan, tindak pidsus adalah tindak pidana yg diatur tersendiri dlm UU
sendiri.
b. Lex Specialis derogate lege generalis.
-Asas ini merupakan salah satu asas hk, yg mengandung makna bhw a
aturan hk yg khusus mengesampingkan aturan hk yg umum.
Menurut Bagir Manan ada beberapa prinsip yg hrs diperhatikan dlm asas
lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
(1). Ketentuan-ketentuan yg didapati dlm aturan hk umum tetap berlaku,
kecuali yg diatur khusus dlm aturan hk khusus tsb;
(2). Ketentuan-ketentuan lex specialis hrs sederajat dg ketentuan-
ketentuan lex generalis (UU dg UU);
(3). Ketentuan-ketentuan lex specialis hrs berada dlm lingkungan hk
(rezim) yg sama dg lex generalis. Kitab UU Hk Dagang dan
KUHPerdata sama-sama termasuk lingkungan hk keperdataan.
-Contoh per-UU-an yg mengatur mengenai asas lex specialis derogat legi
generalis:
Ps 63 ayat (2) KUHPidana: “Jika suatu perbuatan masuk dlm suatu
aturan pidana yg umum, diatur pula dlm aturan pidana yg khusus, maka
hanya yg khusus itulah yg diterapkan.”
Contoh : Psl 1 KUHDagang:
“Selama dlm Kitab UU ini terhadap KUHPerdata tdk diadakan
penyimpangan khusus, maka KUHPerdata berlaku jg terhadap
hal-hal yg dibicarakan dlm Kitab UU ini.”
c.Lex superior derogate lege inferior, yaitu asas penafsiran
hk yg menyatakan bhw hk yg tinggi (lex superior)
mengesampingkan hk yg rendah (lex inferior). Asas ini
biasanya sbg asas hierarki.
d.lex posterior derogate lege Priori, yaitu bermakna bhw UU
(norma/aturan hk) yg baru meniadakan keberlakuan UU
(norma/aturan hukum) yg lama.
(Asas ini hanya dpt diterapkan dlm kondisi norma hk yg baru
memiliki kedudukan yg sederajat atau lebih tinggi dari norma
hk yg lama).
2. Penyertaan/deelneming Pasal 55-56 KUIHP :
a. Pleger (Orang yg melakukan). Orang ini ialah seseorang yg sendirian
telah berbuat mewujudkan segala anisir atau elemen dari peristiwa
pidana. Dlm peristiwa pidana yg dilakukan dlm jabatan misalnya orang
itu hrs pula memenuhi elemen status sbg pegawai negeri
b. Doen pleger (Orang yg menyuruh melakukan). Disini sedikitnya ada
dua orang yg menyuruh (doen pleger) dan yg disuruh (plegen). Jadi,
bukan orang itu sendiri yg melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia
menyuruh orang lain.
c. Medeplger (Orang yg turut melakukan). Turut melakukan dalam arti
bersama-sama melakukan. Sedikit-sedikitnya, harus ada dua orang,
ialah orang yg melakukan (pleger) dan orang yg turut melakukan
(medepleger) peristiwa pidana itu.
d . Uitlokker (Orang yg sengaja membujuk). Orang yg dg pemberian, salah
memakai kekuasaan dsb. dgsengaja membujuk melakukan perbuatan
itu. Orang itu hrs sengaja membujuk orang lain, sedang membujuknya
hrs memakai salah satu dari jalan-jalan spt dg pemberian, dst.
e. Medeplictige, yaitu orang yg membantu yakni orang yg memberikan
keterangan, kesempatan, sarana pada orang lain utk melakukan tindak
pidana. Pembantuan itu mensyaratkan waktu yakni sebelum atau saat
terjadinya tindak pidana. Itulah sebabnya, seseorang tdk bisa dikatakan
membantu tindak pidana ketika tindak pidana telah terjadi. “Titik tolaknya
adalah keterangan, kesempatan, atau sarana itu hanya bisa diberikan
sebelum atau pd saat tindak pidana terjadi,” Bhw tiga hal itu juga tdk
hrs berlaku semua. Cukup satu unsur terpenuhi, seseorang bisa
dikenakan psl perbantuan. “Jadi kalau kita lihat bhw ketika yg
disangkakan adalah membantu melakukan tindak pidana tentunya salah
satunya di antara tiga hal itu.
3. Bentuk Percobaan/poging (Ps 53 ayat (1) KUHP : Percobaan melakukan
kejahatan adalah pelaksanaan utk melakukan suatu kejahatan yg sudah
dimulai namun ternyata tdk sampai selesai, ataupun kehendak utk
melakukan suatu kejahatan tertentu yg telah diwujudkan suatu permulaan
pelaksanaan.
Ps 53 KUHP :
(1) Mencoba melakukan pidana, jika niat utk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tdk selesai pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan krn kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhdp kejhtn, dlm percobaan dikurangi 1/3.
(3) Jika kejht diancam dg pidana mati atau pidana penjara umur hidup,
dijatuhkan pidana penjara maksimal 15 tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dg kejht selesai.
Psal 54 KUHP, bhw mencoba melakukan pelanggaran tdk dipidana
4. Pertanggungjawaban Pidana :
Ada dua unsur dlm pertanggung jawaban pidana, yaitu : Actus reus dan
Mens rea.
- Actus Reus / perbuatan, hal yang terlihat yg bersifat phisik. Dlm hal
tertangkap tangan pun, mens rea masih penting utk dibuktikan di tahap
berikutnya.
- Mens Rea/ sikap batin (pelaku), yaitu hal yg bukan bersifat fisik- tdk selalu
terlihat dlm pemeriksaan (tahap penyelidikan). Mens rea merupakan unsur
penting utk menentukan pertanggungjawaban dari si pelaku.
Dlm sebuah tindak pidana bisa jadi menitikberatkan pd actus reus,
dari pd mens rea, misalnya dlm pembunuhan yg dilakukan dg niat
menghilangkan nyawa, maka jelas mens rea nya adalah guilty (bersalah).
Namun, dlm pembunuhan akibat dari kelalaian (misalnya, saat pengemudi
ugal-ugalan menabrak orang hingga mati), maka pelaku tetap dpt didakwa
menghilangkan nyawa orang lain, hanya saja pslnya akan berbeda
(krn mens rea nya berbeda). Pd dasarnya Actus reus dan Mens rea
adalah merupakan unsur yg hrs ada dlm pertanggungjawaban pidana.
5. Alasan Penghapus Pidana :
1) Alasan Penghapus Pidana dlm KUHP
- Dlm KUHP tdk ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan
alasan pemaaf. Bab ketiga dari buku pertama KUHP hanya
menyebutkan alasan-alasan yg menghapuskan pidana.
- Dlm teori hk pidana, menurut Ahchmad Soema alasan-alasan yg
menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:
a. Alasan pembenar, yaitu alasan yg menghapuskan sifat melawan
hknya perbuatan, sehingga apa yg dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yg patut dan benar.
b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yg menghapuskan kesalahan terdakwa.
Perbuatan yg dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hk, jadi
tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tdk dipidana, krn tdk
ada kesalahan.
- Alasan penghapus penuntutan, disini permasalahannya bukan ada
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tdk ada pikiran mengenai
sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yg melakukan perbuatan,
tetapi pemerintah menganggap bhw atas dasar utilitas atau
kemanfaatannya kpd masyarakat, sebaiknya tdk diadakan penuntutan.
- MvT dari KUHP Belanda dlm penjelasannya mengenai alasan
penghapusan pidana ini, mengemukakan apa yg disebut alasan-alasan
tdk dpt dipertanggungjawabkan seseorang atau alasan-alasan tdk dpt
dipidananya seseorang. Alasan-alasan tsb masuk dlm alasan penghapus