Anda di halaman 1dari 30

RESUME LENGKAP BUKU : AZAS-AZAS HUKUM PIDANA Prof.

Moeljatno
S.H

BAB 1 TENTANG HUKUM PIDANA DAN ILMU HUKUM PIDANA

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melaranggar larangan
tersebut.
2 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Ilmu Hukum Pidana


Ini adalah ilmu atau pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yaitu
hukum pidana.Objek dari ilmu ini adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di suatu
negara, bagi kita hukum pidana Indonesia. Hukum Pidana yang berlaku dinamakan hukum
pidana positif.
Apakah tujuannya? Tujuannya ialah menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana
positif. “Rechtswissenschaft ist die Wissenschaft vom obyektiven sinn des positiven Rechts”,
demikian Prof. Radbruch dalam Vorschule der Rechtsfilosofie (1948).
Penyelidikan tersebut melalui tiga fase, tiga StufenI, yaitu:
( 1) Interprestasi.
( 2) Konstruksi.
( 3) Sistematik.

(1) Interprestasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub
dalam aturan-aturan hukum. Pengertian objektif adalah mungkin berbeda dengan pengertian
subjektif dari pejabat-pejabat ketika membuat aturan. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan
hukum lalu dirasa sebagai penghalang perkembangan masyarakat.
(2) Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur
yang tertentu, dengan tujuan agar apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan pengertian
yang jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik misalnya adalah suatu konstruksi yuridis.
Misalnya: pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang orang lain,
dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang
dapat dimasukkan dalam konstruksi ini itulah yang menurut hukum dianggap sebagai pencurian.
(3) Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau
seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya ialah agar supaya peraturan-peraturan yang
banyak dan beraneka warna itu, tidak merupak hutan belukar yang sukar lagi berbahaya untuk
diambil kemanfaatannya, tetapi supaya merupakan tanaman yang teratur dan indah sehingga
memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.
Dengan mengerti akan makna objektif dari hukum pidana yang berlaku serta
mempergunakan sarana konstruksi dan sistematik, maka dalam menetapakan (teopassen) hukum
itu, baik sebagai pegawai kepolisian, pamongpraja, jaksa, hakim, maupun sebagai pengacara dan
pembela, orang lain bukan saja tahu akan adanya aturan hukum yang berlaku, tetapi juga tahu
akan maksudnya, baik sebagai suatu aturan khusus , maupun dalam rangkaiannya dengann lain-
lain aturan, yang merupakan bentukan atau konstruksi hukum yang tertentu, dengan tujuan yang
tertentu pula, ataupun justru sebagai pengecualian dari aturan-aturan lain.

BAB 2 ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

Di samping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat juga dinamakan: ilmu tentang
hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi.
Kecuali objeknya berlainan, tujuannya pun berbeda. Kalau objek ilmu hukum pidana adalah
aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya
agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka objek
kriminologi adalah orang yang melakukan kejahtan (si penjahat) itu sendiri. Adapun tujuannya:
agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sehingga sampai berbuat jahat itu.
Berhubung dengan ini, terutama di negeri-negeri Angelsaks, kriminologi biasanya dibagi
menjadi tiga bagian: Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan
sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya; Criminal sosiology,
yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berada
(dalam milieunya); Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan
supaya orang lain tidak berbuat demikian.
Pada umunya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi di samping
ilmu hukum pidana pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian
orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun
tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahtan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga
memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan
masyarakat dan penjahatnya itu sendiri.
Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, lalu merupakan
pasangan, merupakan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman
dicakup dengan nama: Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan dalam negeri-negeri
Angelsaks: Criminal science.

BAB 3HUKUM PIDANA INDONESIA


Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah
dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-
undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem
yang tertentu.
Selain daripada hukum pidana kita telah dikodifikasi maka bagian hukum ini juga telah
diunifikasi, yaitu berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme lagi seperti
dalam hukum perdata, di mana bagi golongan rakyat Bumiputera berlaku hukum yang lain
daripada yang berlaku bagi golongan Eropa.
Pernyataan bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang ini telah dikodifikasi dan
diunifikasi, sesungguhnya adalah kurang tepat, sebab belum begitu lama berselang; untuk
beberapa daerah di luar jawa dahulu masih ada pengadilan-pengadilan adat dan pengadilan
swapraja yang untuk mereka yang yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga masih
berlaku hukum adat.
Setelah pengadilan adat dan pengadilan swapraja berdasar Undang-Undang Darurat 1951
No. 1 secara berangsur-angsur dihapus maka pernyataan yang timbul ialah:
Apakah jika pengadilan adat dan swapraja telah dihapuskan sehingga orang-orang yang
yustisiabel kepadanya lalu masuk kekuasaan pengadilan negeri, hukum pidana adat sekaligus
lalu tidak berlaku lagi bagi mereka itu? Dalam Undang-Undang Darurat Tahun 1951 No. 1,
dalam Pasal 5 ayat 3 hanya disebutkan bahwa pengadilan negeri masih dapat menggunakan
hukum pidana adat yang masih hidup.
Adapun ancaman pidananya ditentukan sebagai berikut:
Perbuatan pidana yang tidak ada bandingannya dengan pidana dalam KUHP, dianggap
diancam dengan pidana penjara tidak lebih dan 3 bulan dan/atau denda Rp 500,-.
Perbuatan pidana yang ada bandingannya dalam KUHP dianggap diancam dengan pidana
yang sama dengan bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan pidana tadi.
Akibat dari perbedaan/pendirian ini, ialah bahwa semua peraturan yang menambah atau
mengubah KUHP, sesudah 8 Maret 1942, dan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda di
daerah-daerah yang dikuasainya dahulu tidak berlaku bagi kita, sehingga dari segi ini dulunya
juga masih ada dualisme. Baru dengan adanya Undang-Undang 1958 No. 73 yang pokoknya
memperlakukan Undang-Undang 1946 No. 1, untuk seluruh wilayah Indonesia, dualisme tadi
menjadi hapus.
Seluruh wilayah Indonesia di sini artinya seluruh wilayah Hindia Belanda dahulu, jadi
termasuk Irian Barat, sekalipun pada saat tersebut (berlakunya Undang-Undang 1958-73) Irian
Barat masih dalam kekuasaan pemerintah kolonial dan baru tanggal 1 Mei 1962 sebagai hasil
Trikori masuk dalam kekuasaan kita (soal ini, dahulu sama saja dengan misalnya daerah Jakarta
Raya dan Sumatera Timur sebelum 1950). Jadi sekarang untuk seluruh wilayah Indonesia
berlaku KUHP (Undang-Undang No. 1 th. 46 jo. Swb. Nederlands-Indie). Nama KUHP adalah
resmi, tersebut Pasal VI undang-undang tersebut yaitu: W.v.S. atau KUHP, maka Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana kita punya “akta kelahiran yang tersendiri”. Lain halnya dengan KUHD
dan KUHPerdata dan sebagainya, yang tidak punya akta kelahiran seperti KUHPidana.

BAB 4 HUKUM PIDANA UMUM, HUKUM PIDANA MILITER, DAN HUKUM PIDANA
FISKAL
Hukum Pidana material yang saya sebutkan terdahulu dinamakan hukum pidana umum,
het gemeenestrafrecht, yaitu berlaku untuk umum.
Saya katakan berlaku untuk umum, karena itu juga berlaku bagi para militer, meskipun
bagi mereka itu khusus berlaku pidana militer (S. 1934-167 jo. Undang-Undang 1947 No. 39).
Bahwa hukum pidana sipil ini juga berlaku bagi anggota-anggota tentara, antara lain ternyata
dalam Pasal 1 dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga Bab IX KUHP pada
umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer.

Hukum Pidana Fiskal


Hukum pidana fiskal berupa aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut
dalam perundang-undangan (alg. Verord) mengenai penghasilan dan persewaan negara (s Lands
middelen en pachten) yang sistemnya berlainan dengan sistem KUHP oleh karena sebelum
KUHP ada, itu sudah ada, dan dilangsungkan berlakunya sesudah ada KUHP oleh Pasal 4
Invoeringsverordening v.h. Wetboek w. Strafrecht (Engelbrecht tahun 1950 hal. 1082). Dalam
pasal ini ditentukan: Pada saat berlakunya W.v.S. masih tetap berlaku ketentuan tentang hal-hal
yang diatur dalam buku I s.d VIII dan ketentuan pidana yang tersebut dalam perundang-
undangan umum mengenai penghasilan dan persewaan negara. Jadi, di sini ternyata bahwa
sistem yang dipakai dalam KUHP fiskal sebelum ada KUHP, masih terus dipakai.
Perbedaan sistem antara lain ternyata dalam Pasal 4 Ayat 4 Inv. Verord tadi, yang
menentukan bahwa dalam hal ditentukan denda, dan terhukum tidak bisa membayar jumlah itu
dapat diambil dan penjualan barang-barangnya terhukum atau barang-barang yang ada dalam
aturan yang berangkutan dinyatakan executabel untuk bayar denda tersebut. Jadi, eksekusi
pidana denda dalam hukum pidana fiskal dilakukan seperti dalam perkara perdata, jika yang
kalah tidak bisa membayar kerugian yang ditetapkan oleh hakim.
Ini berlainan dengan sistem KUHP di mana dalam Pasal 30 Ayat 2 ditentukan bahwa jika
denda tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan pengganti (vervangende
hechtenis).
Peraturan-peraturan pidana dalam hukum fiskal dipandang sebagai pelanggaran, tetapi
perihal:
a. Menyerahkan terpidana pada pemerintah jika belum berumur 16 tahun;
b. Percobaan dan pembantuan;
c. Tenggang (termijn) kedaluwarsa (verjaring).
Untuk penentuan dan penjalanan pidana, tidak diikuti aturan-aturan mengenai hal itu yang
berlaku bagi pelanggaran, tetapi yang berlaku bagi kejahatan.
Oleh karena perbuatan-perbuatan pidana fiskal, jika tidak ditentukan lain, dipandang
sebagai pelanggaran, maka dalam pembuktian juga diurut pembuktian yang berlaku bagi
pelanggaran, yaitu bahwa pada umumnya tidak perlu dibuktikan tentang kesalahan terdakwa,
cukup bahwa dibuktikan terdakwa melakukan perbuatan pidana itu.

BAB 5 ASAS HUKUM DELICTUM NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE


Telah dikatakan, bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah
melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika tidak ada
kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang
telah dilakukannya. Jadi, mengenai criminal responsibility atau criminal liability.
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai
perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu: asas
legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praaevia legi
(tidak ada dilik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia legi ini berasal dan von Feuerbach,
sarjana hukum pidana Jerman (1775 – 1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin
tadi dalam bukunya: Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).
Perumusan asas legalitas dan von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan
berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen Zwang”,
yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga
tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang
akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan
dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya,
dalam psychenya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan
perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah
disetujuinya sendiri. Jadi pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori
pembalasan (retribution).
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
(2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogis (kias).
(3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

BAB 6 PERUBAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM PIDANA


MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN
Sekarang yang menjadi soal ialah: bagaimanakah jika setelah perbuatan dilakukan, akan
tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan dalam aturan hukum? Pasal 1 Ayat 2 KUHP
menetukan: “jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa)”. Dengan
ketentuan ini, maka pada lex temporis delicti di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa
asas itu tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan
dilakukan dan sebelum perkara diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili ialah
aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Bagaimana apabila aturan hukum yang lama dihapuskan oleh yang baru? Apakah dalam
hal demikian juga dapat dikatakan ada aturan yang paling ringan? Sebagai contoh misalnya
arrest HR tahun 1921 (tersebut dalam kumpulan arrest hukum pidana, van Bemmelen hal 35), di
mana ditentukan bahwa: Apabila dengan perbuatan dalam sesuatu aturan, perbuatan yang
dulunya merupakan perbuatan pidana, kemudian lalu tidak menjadi perbuatan pidana lagi, maka
aturan itu harus dipandang sebagai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Bagaimana apabila aturan yang baru itu bersifat penarikan kembali atau penghapusan
berlakunya aturan yang memang dalam sifatnya hanya dimaksud untuk sementara waktu saja
Arrest HR tahun 1936 (lihat kumpulan v. Bemmelen hal. 38 Wet tentang krisis pertanian,
Lanbouw Crisiswet, menentukan Penarikan kembali atau perubahan aturan yang karena sifatnya
memang hanya berlaku untuk sementara waktu saja, tidak dapat dipandang sebagai perubahan
dalam perundang-undangan seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Adapun duduk
perkaranya adalah sebagai berikut: Menurut Pasal 9 Landbouwcrisiswet, dalm waktu-waktu
tertentu, mengangkut bahan makanan itu diharuskan pakai izin. Adapun penentuan waktu
tertentu itu, diserahkan kepada Koninklijk besluit. Pasal 31 dari wet itu, mengancam dengan
pidana, orang yang melanggar aturan tersebut. Di sini ternyata bahwa tidak tiap-tiap perubahan
perundang-undangan dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal
1 Ayat 2 KUHP. Harus dilihat lebih dulu apakah yang mendorong pembuat undang-undang
untuk mengadakan perubahan.
Jika yangmendorong adalah perubahan pandangan tentang patut atau tidak patut
dipidananya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perubahan yang dimaksud
dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP.
Dalam KUHP Swiss tidak diadakan aturan hukum transistoir (peralihan) pada umumnya,
tetapi hanya hukum transistoir pada waktu mulai berlakunya KUHP. Pasal 2 KUHP Swiss ini
menentukan: Jika seseorang melakukan kejahatan (Verbrechen oder Vergehen) pada saat
sebelum berlakunya undang-undang ini, tetapi baru diadili sesudahnya berlaku, maka undang-
undang ini hanya digunakan jika lebih ringan bagi terdakwa.
Meskipun demikian, asas retroactivite’des lois plus douces kiranya juga diambil sebagai
pedoman dalam hukum transitoir pada masa kemudian, oleh karena dasar itu dikatakan dengan
hukum kebiasaan (hukum yang tidak tertulis).
Yang perlu mendapat perhatian ialah catatan seseorang penulis (Blakemore) pada Pasal 6
itu. Dikatakan bahwa, meskipun pengurangan menurut undang-undang pada maksimum pidana
yang diancamkan terhadap suatu kejahatan, tidak berlaku surut (does noy apply retroactively)
bagi orang-orang yang telah menjalani pidananya menurut aturan yang lama, namun biasanya hal
itu merupakan dasar untuk mengadakan pengurangan secara administratif.

BAB 7. BATAS-BATAS BERLAKUNYA PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM


MENURUT TERJADINYA PERBUATAN
Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya
perundang-undangan hukum menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2
sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan peraturan-peraturan mengenai batas berlakunya
perundang-undangan hukum pidana menurut tempat perbuatan.
Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian yaitu :
Pertama: Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi
dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warganya sendiri maupun oleh orang asing (azas
teritorial)
Kedua: perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang
dilakukan oleh warga negara dimana saja,juga diluar wilayah negara (azas personal) juga
dinamakan prinsip nasionalitas aktif.
Dalam azaz pertama, titik berat ditujukan kepada terjadinya perbuatan di dalam wilayah
negara. Siapa yang melakuakannya atau orang asing, tidak menjadi soal. Dalam azas kedua, titik
beratnya diletakan kepada orang yang melakuakan perbuatan pidana, tempat terjadinya delik
adalah tidak penting.
Azas pertamalah yang pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan negara-negara, juga
Indonesia. dan ini sudah sewajarnya. Tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah negara harus
tunduk kepada peraturan negara,
Azas kedua tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada
dalam wilayah negara lain yang kedudukannya gecoordineerd, artinya yang sama-sama
berdaulat, karena bertentangan dengan kedaulatan negara ini, apabila ada orang asing di dalam
wilayahnya, tidak diadili menurut hukum negara itu. Hanya jika orang itu ada dalam wilayah
negara yang gesubordineerd dengan negaranya sendiri, azas ini dapat digunakan, sebagai contoh
yang dekat ialah sewaktu pendudukan Jepang disini.

BAB 8. ISTILAH PERBUATAN PIDANA


Di muka telah saya katakan, bahwa perbuatan pidana adalah perbuata yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barangsiapa melangggar pelanggaran tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dengan ancaman pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada
hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan bukan orang. Dan
orang tidak dapat diancam hukum pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.
Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu
suatu pengertian absrtrak yang menunjukan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya
kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
Karena itulah, hemat saya, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu
digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam pasal 14 ayat 1 UUD sementara dahulu,
yang memakai istilah “peristiwa pidana” sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit,
yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya : matinya orang.
Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya orang
mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang itu
karena keadaan alam entah karena penyakit, entah karena sudah tua, maka peristiwa itu tidak
penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu karena
binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan kelakuan orang lain, disitulah peristiwa
tadi penting bagi hukum pidana.
Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana.” Istilah ini,
karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan.
Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi tindak tidak menunjuk kepada hal
yang abstrak dari perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dalam
peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap
jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tingkah laku,gerak-gerik dan
bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak” . oleh karena tindak sebagai yang
menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam
penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

BAB 9. UNSUR-UNSUR ATAU ELEMEN-ELEMEN PERBUATAN PIDANA


Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir. Oleh
karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkannya, adalah suatu
dalam keadaan lahir.
Disamping kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan
adanya hal ikhwat atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van
Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan
dan yang diluar si pembuat.
Contoh-contoh dari yang pertama adalah: hal menjadi pejabat negara (pegawai
negeri)yang diperlukan dalam delik delik jabatan seperti dalam pasal 413 KUHP dan seterusnya
(yang terkenal: 418,419). Kalau hal menjadinya pejabat negara tidak ada, tidak mungkin ada
perbuatan tersebut. Contoh dari hal ke-2 misalnya dalam pasal 160 KUHP, penghasutan harus
dilakukan ditempat umum. Dalam pasal 332 (Schaking, melarilan wanita) disebut bahwa
perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orangtuanya tidak
menyetujuinya.
Kadang-kadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu, dijumpai adanya ikhwal
tambahan yang tertentu pula; misalnya dalam pasal 164, 165: kewajiban untuk melapor kepada
yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan, Orang yang tidak melapor baru
melakukan perbuatan pidana, kalau kehatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Hal kemudian
terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
Pasal 331. Keharusan memberi pertolongan pada yang sedang menghadapi bahaya maut.
Jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana kalau orang yang
dalam bahaya tadi kemudian lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang tertentu seperti yang
dicontohkan diatas dalam buku-buku Belanda dinamakan :Bijkomende voorwarden van
Strafbaarheid” yaitu syarat-syarat tambahan untuk dipidananya (strafbaar) seseorang.
Keadaan-keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan,
dinamakan: unsur tambahan, karena rationya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut
ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan
pengganguan ketertiban masyarakat, sehingga tidak perlu adanya sanksi pidana.
Kemudian perlu diketahui juga bahwa ada keadaan-keadaan tambaha lain yang
ditimbulkan sesudah dilakukan perbuatan yang tertentu tapi tidak merupakan “bijkomende
voorwaarde van Strafbaarheid” seperti diatas. Berbeda dengan hal diatas, disini tanpa adanya
keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang dapat dituntut
untuk dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Tapi dengan adanya keadaan tambahan tadi,
ancaman pidana lalu diberatkan. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-unsur
yang memberatkan pidana.
Biasanya dengan adanya perbuatan yang ditentukan seperti yang dirumuskan dengan
adanya unsur-unsur diatas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan
wajar.

BAB 10. CARA ATAU TEKHNIK UNTUK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA


Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-
rumusan perbuatan beserta fungsinya yang dimaksud untuk menunjukan perbuatan perbuatan
mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai
dengan menentukan beberapa Elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari
larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai : mengambil milik orang
lain. Tetapi tidak tiap-tiap mengambil milik orang lain adalah pencurian, sebab ada orang yang
mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang
orang lain, maka dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen
lain yaitu : dengan maksud dimilikinya secara melawan hukum.
Jadi rumusan pasal pencurian dalam pasal 362 tadi terdiri atas unsur-unsur:
1. Mengambil barang orang lain dan
2. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

BAB 11. PEMBAGIAN PERBUATAN PIDANA DALAM KEJAHATAN DAN


PELANGGARAN
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita bagi atas Kejahatan (misdrijven)
dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-
nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain
dari pasal 4,5,39,45, dan 53 buku ke-1. Buku II adalah melulu tentang kejahatan dan buku III
tentang pelanggaran.
Menurut M.v.T (Smidt I hlm 63 dan seterusnya) pembagian atas dua jenis tadi
didasarkan atas perbedaan prinsipiil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechdelicten” yaitu
perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang, sebagai perbuatan
pidana, telah dirasakan sebagai Onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
Pelanggaran sebaliknya adalah “Wetsdelijktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat
daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:
1. Pidana penjara diancamkan pada kejahatan saja.
2. Jika mengahadapi kejahatan maka dibentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang
diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu
tidak usah. Berhubungan dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan dolus dan culpa
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54) juga pembantuan pada
pelanggaran tidak dipidana (pasal 60)
4. Rengang kadaluawarsa, baik untuk menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi
pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun
dan dua tahun.
5. Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan.
Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 65,66-70)
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi untuk menentukan
pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya, seperti dahulunya, oleh karena sekarang semua
diadili oleh pengadilan negeri. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam acara mengadili.
BAB 12. PEMBAGIAN-PEMBAGIAN LAIN DARI PERBUATAN PIDANA
Perbuatan pidana. Selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya
dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:
(1) Delik dolus dan delik culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan: misalnya pasal 338 KUHP “dengan sengaja
menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan delik culpa, orang juga dapat dipidana bila
kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya
orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaanya.
(2) Delik comissionis dan delikta omnis
Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh
aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372) menipu(378)
yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya
berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal 164. Mengetahui suatu permufakatan jahat
(samenspanning) untuk melakukan kejahatan tersebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu
untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang
yang terkena.
Pasal: tidak mengindahkan kewajiban menurut Undang-undang sebagai saksi atau ahli.
Ada pula yang dinamakan delikta commisionis per omissinem commisa, yaitu delik yang
umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya
seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan:tidak memberi makan pada anak itu.

(3) Delik biasa dan delik yang dikualisifir


Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan
ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam
melakukan delik biasa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang
khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.

(4) Delik menerus dan tidak menerus.


Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus,
misalnya pasal 333 KUHP yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah
(wederrchtlijke vrijheidhs-beroving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai korban
dilepas atau mati.

BAB 13LOCUS DELICTI, TEMPUS DELICTI


Locus delicti perlu diketahui untuk:
1. Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau
tidak.
2. Menentukan kejaksaan dan pegadilan mana yang harus mengurus perkaranya.
Tempus delicti adalah penting berhubung dengan:
1. Pasal 1 KUHP: Apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan
diancam dengan pidana?
2. Pasal 44 KUHP: Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab?
3. Pasal 45 KUHP: Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau
belum?
4. Pasal 79 (verjaring atau kadaluwarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
5. Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad)
Menurut teori, biasanya tentang locus delicti ini ada 2 aliran, yaitu:
1. Aliran yang menentukan disatu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
2. Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula
tempat akibat. Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah arrest HR di Nederland tahun
1889 tentang penipuan (lihat kumpulan arrest hukum pidana Bemmelen kaca 40 no 14). Aliran
pertama ini antara lain dianut oleh Pompe (hlm 72 dan 73) dan Langemeyer (jilid I hlm 62).
Menurut aliran kedua, locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai
dengan kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat.
Mezger (hlm 64) berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini tidak mungkin diadakan
jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud daripada
peraturan:
1. Untuk keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu ialah waktu perbuatan seluruhnya
terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
2. Untuk keperluan: apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk penentuan
apakah mampu bertangggung jawab atau tidak, atau ada atau tidaknya perbuatan bersifat
melawan hukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang berwajib), tempus delicti adalah waktu
melakukan kelakuan dan waktu terjadinya akibat disini tidak mempunyai arti.
BAB 14 TENTANG KELAKUAN ATAU TINGKAH LAKU
Dikatakan bahwa dalam hukum pidana, kelakuan atau tingkah laku itu ada yang positif
dan ada yang negatif. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal
negatif dia tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Dahulu umumnya dikatakan, bahwa
kelakuan (handeling) positifadalah gerakan otot yang dikehendaki (een gewilde spierbeweging)
yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat (simons hlm 140 van Hamel hlm 187).
Menurut Pompe makna gedraging (kelakuan) dapat ditentukan 3 syarat, yaitu: suatu
kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang tampak keluar, dan yang diarahkan kepada
tujuan yang menjadi objek hukum. Van Hattum (hlm 152) sebaliknya mengatakan, bahwa
gedraging itu harus dipandang sebagai psysiek substraat (dasar yang fisik) dari tiap-tiap delik,
yaitu semata-mata harus dipandang dari sudut jasmani saja, tanpa ditambah unsur subjektif
maupun normatif. Bagi beliau kelakuan adalah pengertian yang kleurloos, tidak berwarna. Jadi
juga tidak perlu dikehendaki atau disadari.
Saya lebih condong kepada pendapat Vos, yaitu hanya sikap jasmani yang disadari
sajalah yang masuk dalam pengertian kelakuan. Tetapi batasan “yang disadari” ini jangan
diartikan bahwa sikap itu selalu dan untuk seluruhnya harus tegas kita insafi, tetapi harus
diartikan secara negatif, yaitu tidak termasuk kelakuan jika sikap jasmani yang tertentu betul-
betul tidak disadari. Sesungguhnya, syarat batin ”disadari” disamping syarat lahir “sikap
jasmani” untuk adanya kelakuan.

BAB 15 TENTANG AKIBAT DAN HUBUNGAN KAUSAL

Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, disitu ada keadaan yang tertentu yang
dilarang, misalnya dalam pembunuhan: adanya orang yang mati. Untuk dapat menuntut
seseorang karena disangka membikin mati A tadi maka harus dibuktikan bahwa karena kelakuan
orang itu lalu timbul akibat, yaitu matinya A. Dikatakan bahwa antara matinya A dan orang tadi
harus ada hubungan kausal. Juga dapat dikatakan bahwa kelakuan orang tadi menjadi musabab
matinya A.
Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi maka penentuan hubungan
kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg
gequalifiseerde delikten), yaitu dimana karena timbulnya suatu akibat yang tertentu, ancaman
pidana terhadap delik tersebut diberatkan. Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang
tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi maka tidak dapat
dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan
kepadanya.
Ada penulis yang mengatakan (Vos hlm. 74) bahwa juga dalam menghadapi delik
dirumuskan secara formal ada kalanya hubungan kausal diperlukan, yaitu apabila elemen
kelakuan dan akibat terpisah menurut waktu. Jadi, timbulnya akibat yang tertentu baru kemudian
daripada saat terjadinya kelakuan. Seperti contoh pemalsuan surat, pencurian gas dengan
mengebur lubang dipipa gas tetangga.

BAB 16 TEORI CONDITIO SINE QUA NON


Ada aliran yang mengatakan bahwa tidak mungkin ditetapkan secara positif apa yang
menjadi musabab dari suatu akibat. Yang mungkin hanyalah menentukan secara negatif yaitu
apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab atau hal tersebut menjadi
musabab dari akibat itu. Teori ini dalam hukum pidana diajukan oleh von Buri dan dinamakan
teori Conditio sine qua non (syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut beliau, musabab adalah
setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat.
Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya setiap
syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya
tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab. Teori ini dahulu dianut oleh antara lain
Reichsgericht Jerman, yaitu mahkamah tertinggi Jerman sebelum kalah dalam perang dunia
kedua. Di negara Belanda penganutnya antara lain adalah Van Hamel.
Karena pandangan van Hamel tersebut tidak mungkin dipakai, apabila menghadapi delik-
delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, dimana untuk memberi pemberatan pidana tidak
diperlukan adanya kesalahan pada terdakwa terhadap timbulnya akibat yang memberatkan tadi,
cukup jika secara objektif dapat ditentukan bahwa akibat timbul karena perbuatannya. Dalam
mencari batasan antara syarat dan musabab ini ada dua pandangan yang berlaina, yaitu:
a. Mereka yang mengadakan batasan secara umum (menggeneralisasi) yaitu secara abstrak, jadi
tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu mengambil pendirian pada saat
timbulnya akibat (ante faktum).
b. Mereka yang mengadakan batasan tersebut secara pandangan khusus (mengindividualisasi),
tidak meninjau secara abstrak dan umum, tetapi secara konkret mengenai perkara yang tertentu
itu saja.
Golongan a) adalah golongan teori-teori yang menggeneralisasi dan golongan b) adalah
golongan teori-teori yang mengindividualisasi

BAB 17 TEORI YANG MENGGENERALISASI


Yang paling terkenal dalam golongan ini adalah teori adequat, yang diajukan oleh J. Von
Kries seorang sarjana matematika Jerman. Menurut teori ini, musabab dari suatu kejadian adalah
syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu
menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Simons, 6e druk hlm 144 no 4). Ada yang
mengatakan (Vos hlm 79) bahwa menurut von Kries yang dimaksud dengan normal ialah
sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan-keadaan disekitar
akibat.
Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal digolongkan disini,
berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum
mengenal pengalaman manusia (naar de algemene regelen der menselijke ervaring) patut
diadakan kemungkinan, bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat. Pompe
(hlm 81) mengenai hal ini berpendapat sebagai berikut: musabab adalah hal yang mencenderung
atau yang mengandung kekuatan umtuk menimbulkan akibat didalam keadaan itu.
Keberatan saya terhadap teori yang menggeneralisasi ialah, bahwa mereka dalam mencari
batasan antara syarat dan musabab, berpikir secara abstrak dan umum, sehingga dengan
demikian sesungguhnya telah melepaskan diri dari perkara yang konkret, yang tertentu, dan yang
penyelesaiannya justru diharapkan dari penentuan batas tersebut. Hemat saya, dalam menghadapi
suatu perkara, untuk memberi putusan yang tepat, tidak dapat dipakai sebagai dasar keadaan-
keadaan yang abstrak dan umum, tetapi memerlukan penelitian yang rapi terhadap perkara
tertentu, yang konkrit dihadapi itu; agar seluruh fakta yang mungkin diketahui secara objektif
diwaktu itu, dan mempunyai pengaruh pada terjadinya akibat, ikut dipertimbangkan dalam
penentuan batas antara syarat dan musabab.

BAB 18.TEORI YANG MENGINDIVIDUALISIR


Yang terkenal dalam golongan ini adalah teori yang diajukan oleh Birkmeyer beliau
mengambil sebagai pangkal bertolak teori Conditio sine qua non.Di dalam rangkaian syarat-
syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah yang
dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadianya akibat (meist
wirksam).Karenanya maka teori ini dinamakan Theory der meistwirksame Bedingung.
Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah:bagaimana dapatnya mengukur kekuatan
sesuatu syarat untuk menentukan nama yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada
timbulnya akibat. Birkmayer sendiri tidak memberikan jawaban atas soal ini.
Beliau hanya memberi contoh-contoh terhadap mana selalu dapat pula diajukan contoh-
contoh lain yang justru menunjukkan sebaliknya, sehingga dari situ dapat ternyata bagaimana
sukarnya membanding-bandingkan kuantitas daripada masing-masing syarat.
Dalam golongan “Ubergewitchs-theori” yang diajukan oleh Karl Binding. Menurut teori
ini: Musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat-syarat positif untuk
melebihi syarat-syarat negatif.
“Menyebabkan sesuatu perubahan adalah sama dengan perubahan daripadakeseimbangan
antara syarat-syarat yang membantunya, sehingga menjadi lebih berat syarat-syaratnya.
Dalam golongan ini dapat disebut teori yang diajukan oleh Schepper, guru besar hokum
pidana R.H.S. Batavia dahulu (Jaarboekje R.H.S. 1927). Hal-hal yang penting dalam pandangan
beliau adalah:
1. Hubungan kausal letaknya di lapangan sein, lapangan lahir, hal mana yang harus dipisahkan
dari pertanggung jawaban yang ada di lapangan Sollen, lapangan bathin.
2. Musabab adalah kelakuan yang mengadakan factor perubahan dalam suasana keseimbangan
yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan yang
memberi arah dalam proses alam, menuju kepada akibat yang dilarang.
3. Meskdan kepastiannyaipun ukuran: Faktor perubahan yang menuju arah akibat tersebut dalam
hanya relative saja, tetapi secara negatif sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu bahwa:
manakala untuk kejadian itu selain daripada hubungan yang kita dapatkan, masih ada lain
kemungkinan untuk menerangkannya (andree verklarings mogelijkheid) yang sama kuatnya atau
melebihi dari hubungan yang didapatkan tadi, maka disitulah ternyata, bahwa hubungan yang
pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar dari delik.

BAB 19.TEORI OBJEK NACHTRAGLICHE PROGNOSE


Teori adequate von Kries dan juga teori menggeneralisir lainnya, sedikit atau banyak
dalam menentukan ukuran untuk adanya hubungan kausal adalah kurang obyektif, masih
kecampuran pandangan subyektif (pengetahuan terdakwa).Oleh karena itupandangannya
dinamakan subyektive prognose(peramalan yang subyektif).Di samping ada teori adequate yang
berpendirian atas peramalan obyektif, yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah
terjadinya akibat. (obyektif nachtragliche prognose).
Menurut Rumelin dalam menentukan apakah suatu kelakuan menjadi musabab dari
akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah: Apakah akibat itu, dengan mengingat semua
keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan
timbul dari kelakuan itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat
dikatakan pula, bahwa teori Rumelin ini tergolong teori yang meng-individualisir, sehingga
perbedaan antara hari ini dengan teori yang saya ajukan di atas ialah mengena: Ukuran apakah
yang dipakai untuk meramalkan akan timbulnya akibat dari kelakuan yang tertentu, (dalam
formulereng saya istilahnya bukan meramalkan tetapi menetapkan mesti timbulnya akibat).

BAB 25. ALASAN PEMBENAR ,PEMAAF dan alasan penghapus penuntutan.


Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title
ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan
menjadi :
1. Alasan pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2. Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana,
tetapi tidak bisa dipidana karna tidak ada kesalahan.
3. Alasan penghapus penuntutan : dalam hal ini tidak ada alasan pembenar maupun alasan
pemaafjadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang
melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau
kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.
Menurut M.v.T. alasan-alasan penghapus pidana dibagi menjadi :
1. Alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa yaitu pasal 44 KUHP.
2. Alasan-alasan yang diluar yaitu pasal 48-51 KUHP.
Tetapi dalam teori pembagian yang dilakukan M.v.T. ini di dalam teori tidak ada yang
memakainya sebab tidak tepat, yaitu diantara alasan-alasan yang diluar ada yang lebih tepat jika
dimasukkan dalam alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa.
Selain alasan-alasan penghapus pidana yang umum dan title 3 buku pertama KUHP, dalam
buku kedua masih ada alasan-alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku
terhadap perbuatan yang tertentu saja misalnya pasal 310 (3).
Biasanya dalam title 3 buku pertama yang di pandang sebagai alasan pembenar adalah :
 Pasal-pasal 49 (1) mengenai pembelaan terpaksa ( noodweer)
 Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang.
 Pasal 50 (1) mengenai melaksanakan perintah dari alasan.
Alasan pemaaf : Pasal 49 (2) tentang pembelaan yang melampaui batas.
Alasan penghapus : pasal 51 (2) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wenang.

BAB 26. Tentang daya paksa ( overmacht ).


Dalam pasal 48 berbunyi : barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh dayapaksa
tidak dipidana. Kata dayapaksa ini adalah salinan kata belanda “overmacht” yang artinya
kekuatan atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut seperti berikut : tidak
boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.
Yang menajadi persoalan sekarang ialah apakah daya paksa yaitu daya yang memaksa
merupakan paksaan pisik terhadap mana orang yang terkena tak dapat menghindarkan diri, atau
merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap mana meskipun secara pisik orang masih
dapat menghindarkannya, namun daya daya itu adalah demikian besarnya sehingga dapat
dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Kekuatan pisik yang kuat yang tidak dapat
dihindari dinamakan visabsoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan viscompulvisa, karena
sekalipun tidak memaksa secara mutlak tetapi memaksa juga.
Umumnya dikatakan bahwa vis absoluta tidak masuk dalam pasal 48 tapi hanya vis
compulsive saja. Sebabnya ialah dalam vis absoluta orang yang berbuat bukan yang terkena
paksaan tetapi orang yang member paksaan pisik. Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi
dalam daya paksa dalam arti sempit ( overmacht in enge zin ) dimana sumber atau musababnya
paksaan keluar keluar dari orang lain, dan keadaa darurat ( noodtoestand ) dimana daya tadi tidak
disebabkan oleh orang lain tetapi timbul dari keadaan-keadaan tertentu.
Dalam dayapaksa yang sempit inisiatif untuk berbuat kea rah perbuatan yang tertentu ada
pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang terkena bebas
untuk memilih perbuatan mana yang dilakukan, inisiatif ada padanya sendiri.
Contoh dari dayapaksa yang sempit adalah kalau orang ditodong dengan pistol untuk
melakukan sesuatu perbuatan pidana dalam keadaan darurat biasanya dikatakan ada 3
kemungkinan yaitu :
 Orang terjepit antara 2 kepentingan dengan kata lain disini ada konflik antara kepentingan yang
satu dengan kepentingan yang lain. Contoh karneades ketika kapalnya tenggelam dapat
menyelamatkan diri dengan pegangan pada suatu papan yang terapung di air dimana juga ada
orang lain pegangan tetapi malangnya papan tersebut hanya bisa mengangkat satu orang saja.
Untuk menyelamatkan dirinya ia mendorong orang lain tersebut lepas dari papan sehingga
tenggelam di laut. Disini dia mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan dirinya.
 Orang terjepit dianatara kepentingan dan kewajiban. Jadi ada konflik antara kepentingan dan
kewajiban. Contoh karena sudah tidak makan beberapa hari orang mencuri sebuah roti. Disatu
pihak kepentingan sendiri mendesak untuk segera mendapatkan makanan di lain pihak adalah
kewajibannya untuk mentaati larangan mencuri akhirnya kepentingan sendiri dituruti.
 Ada konflik antara dua kewajiban. Orang dapat panggilan untuk hadir di pengadilan pada hari
yang sama dimana dia juga harus dating pada pengadilan kota lain. Kewajiban yang pertama
diabaikan untuk menunaikan kewajiban yang kedua
Apakah dayapaksa merupakan alasan pembenar atau pemaaf ? menurut van hattum dalam
pasal 48 hanya ada alasan pemaaf perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum tetapi
kesalahannya bisa di maafkan karena pengaruh dayapaksa tadi. Dalam dayapaksa yang sempit
orang yang melakukan perbuatan tidak dapat bebas menentukan kehendaknya akibat adanya
tekanan psychis dari orang lain tapi ada kalanya juga karena keadaan.
BAB 27. pembelaan terpaksa ( noodweer ).
Pasal 49 ayat 1 berbunyi barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan melakukan
perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan
hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid )
atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana. Kalimat ini masih dapat disingkat
sebagai berikut : barang siapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada serangan atau ancaman
serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri, kehormatan kesusilaan atau harta benda
baik kepunyaan sendiri maupun orang lain tidak dipidana.
Yang menjadi soal pertama adalah perbuatan yang dimaksud dalam pasal 49 ayat 1 KUHP
harus berupa pembelaan artinya lebih dahulu harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan
perbuatannya. Hal-hal iyu dalam pasal tadi di rumuskan sebagai adanya serangan atau ancaman
serangan.
Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harus seketika itu yaitu antara
saat melihatnya ada serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang
lama. Begitu orang mengerti adanya serangan begitu dia mengadakan pembelaan ini ketentuan di
Nederland.
Buat Indonesia saat dimulainya lebih di ajukan lagi yaitu dengan menambah kata “ ancaman
“ sehingga dalam pasal ini ada oogenblikkelijke aanranding ( ancaman serangan ketika itu ). Jadi
disini dimana orang boleh mengadaka pembelaan kalau sudah dimulai dengan adanya serangan,
tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja sudah boleh. Ini disebabkan atas pertimbangan
bahwa dalam Negara yang begitu luas dengan alat-alat Negara yang terbatas sekali pemerintah
harus lebih member kebebasan kepada penduduk untuk menjaga keselamatannya masing-
masing.
Jika direnungkan sejenak hal-hal diatas mengenai saat adanya serangan baik mulainya
maupun akhirnya maka kalau yang di pakai sebagai ukuran hanya soal waktu sebelum atau
sesudah adanya serangan saja kiranya kurang mencukupi. Ukuran yang pokok harus diambilkan
dari kata “ terpaksa “ yaitu pembelaannya harus bersifat terpaksa artinya tidak ada jalan lain bagi
yang terkena untuk pada saat-saat itu menghalaukan serangan. Jika demikian maka dalam kata “
terpaksa melakukan pembelaan “ ada 3 pengertian yaitu :
 Harus ada serangan atau ancama serangan.
 Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu.
 Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan ancaman serangan.
Soal kedua mengenai kepentingan macam apa saja yang harus diserang sehingga dibolehkan
pembelaan ? ada 3 hal yang masing-masing baik kepunyaan sendiri maupun kepunyaan orang
lain yaitu :
 Diri atau badan orang.
 Kehormatan, kesusilaan
 Harta-benda orang .
Bagaimana kalau orang mengira ada serangan atau mengira bahwa serangannya itu melawan
hukum padahal senyatanya tidak dan mengadakan pembelaan menurut pasal 49 ayat 1 ? ini
dinamakan pembelaan terpaksa yang putative yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi
sesungguhnya tidak ada. Bagi orang yang demikian itu tidak mungkin ada alasan pembenar.
Perbuatannya tetap keliru hanya saja pidana dapat dikurangi bahkan ditiadakan kalau salah
sangka atau salah terkanya tadi dapat dimegerti dan dapat diterima.
BAB 28. tentag melaksanakan undang-undang dan perintah jabatan.
Dalam pasal 50 : barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang tidak dipidana.
Pasal 51 ayat 1 : barangsiapa melaukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang wewnang tidak dipidana.
Dalam kedua hal itu ada alasan pembenar sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa benar
dan sudah semestinya.
Pasal 51 ayat 2 : perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana
kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Disini perlu kiranya mengajukan sebagai perintah jabatan yang diberi oleh pembesar yang
tidak berhak, tidak membebaskan dari hukuman, kecuali kalau dengan hati jujur pegawai yang di
bawahnya menyangka bahwa pembesar itu berhak akan memberi perintah itu dan
menjalankannya terletak dalam lingkungan kewajiban pegawai yang di bawahnya itu.
Mengenai isi ayat 2 pasal 51 yang pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa disitu
meskipun tidak secara terang-terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak tiap-tiap
pelaksanaan perintah jabatan melepas orang yang diperintah dari tanggung jawab atas perbuatan
yang dilakukan. Dengan kata lain disitu termasuk dari apa yang dinamakan disiplin bangkai.
Pemerintah kita mengutuk orang yang secara membuta tanpa dipikir-pikir lebih dahulu
menjalankan begitu saja perintah dari atasannya.
Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tanggungjawab atas perbuatannya menurut
ayat tersebut ada 2 syarat :
 Yang subyektif yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya
adalah sah baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah maupun dari segi
macamnya perintah. Tetapi meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah
sah tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka
disitu unsure dengan itikad baik tidak ada.
 Jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah atau berwenang maka apa yang diperintahkan
itu secara obyektif yaitu dalam kenyataannya harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Contoh seorang agen polisi diperintahkan oleh atasannya supaya orang tahanan yang selalu
berteriak-teriak di pukuli. Karena seorang agen polisi bukan untuk menyiksa orang tapi hanya
untuk menangkap, menggeledah badannya, atau memeriksa perkaranya maka apa yang
diperintahkan tadi tidak masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Kalau hakim menentukan bahwa pasal 49 ayat 2 berlaku bagi orang yang diperintah sehingga
dia tidak dapat dipidana apakah disitu ada alasan pembenar juga seperti halnya dengan pasal 49
ayat 1 ? sama sekali tidak. Ii adalah konsekuensi dari pendirian pokok bahwa kita tidak
menginginkan pelaksanaan perintah jabatan secara buta. Akibatnya ialah bahwa perbuatan yang
dilakukan karena perintah tanpa wewenang tadi tetap bersifat keliru atau melawan hukum
sehingga tidak mungkin merupakan alasan pembenar. Karenanya kebanyakan kali dikatakan
disitu ada alasan pemaaf.
BAB 29. pertanggung jawaban dalam hukum pidana.
Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan bahwa dalam
istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apaah orang yang melakukan
perbuatan kemudian juga di jatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan ini tergantung dari soal
apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam
pertanggungjawaban dalam hukum pidanan ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer
van het meteriele feit ( fait materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya
arrest susu dari H.R. 1916 nederland hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtredingen,
berlaku asas tanpa kesalahan tak mungkin dipidana.
Apa arti kesalahan ? menurut simons kesalahan adalah adanya adanya keadaan psychis
yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara
keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat
dicela karena melakukan perbuatan tadi. Untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal
disamping melakukan perbuatan pidana :
 Adanya keadaan psychis ( batin ) yang tertentu.
 Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
hingga menimbulkan celaan.
Dalam kebanyakan KUHP Negara-negara lain ada ditentukan bahwa terhadap anak dibawah
umur yang tertentu misalnya 10 tahun tidak dapat diajukan tuntutan pidana. Contoh KUHP swiss
6 tahun, 6-14 tahun ada aturannya sendiri jerman 14 tahun.
Dalam KUHP anehnya ketentuan yang demikian tidak ada. Dahulu pada tahun 1885 ada
pasal 38 yang menentukan bahwa anak-anak di bawah umur 10 tahun tidak dapat dikenai pidana.
Tapi pasal ini pada tahun 1905 dihapus. Maksunya ialah agar terhadap anak-anak di bawah 10
tahun dimungkinkan penuntutan, tidak supaya dipidana tapi diadakan tindakan ( matregelen ).
Akibat perbaikan tersebut adalah sebagai berikut :
 Dengan hilangnya batas umur tersebut tidaklah berarti bahwa anak-anak dibawah umur tersebut
sekalipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk harus
dipidana.
 Terhadap anak-anak itu tentunya lebih lekas dianggap tak ada kesengajaan/kealpaan daripada
orang dewasa.
 Kalau memang anak tersebut belum mempunyai penginsyafan tentang makna perbuatannya
maka atas dasar tak dipidana jika tak ada kesalahan dia dapat diperkecualikan. Jadi tidak dapat
dipidananya anak yang demikian itu tidak didasarkan atas suatau pasal dalam wet melainkan atas
hukum yang tertulis.
Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya ( atau
dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan ) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa
kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan ( dolus ) dan kealpaan ( culpa ) adalah
bentuk-bentuk kesalahan ( schuldvormen ). Diuar dua bentuk ini KUHP kita ( dan kiranya juga
lain-lain Negara ) tidak mengenal macam kesalahan lain.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa intinya kesalahan adalah pernilaian dari keadaan
psychologis itu dinamakan “ nomatief schuldbegrip “ ( paham kesalahan yang normative ).
Begitu pula waktu menyelidiki batin orang yang melakukan perbuatan. Bukan bagaimana
sesungguhnya keadaan batin orang itu yang menjadi ukuran, tapi bagaimana penyelidik ( hakim )
mempernilai keadaan batinnya menilik fakta-fakta yang ada disitu.
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan
kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUHP sistemnya ialah bahwa delik-delik dolus diancam
dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa, contoh pasal 338
(pembunuhan (dolus ) 15 tahun, pasal 359 menyebabkan mati karna kealpaan 1 tahun penjara,
pasal 354 penganiyaan berat 8 tahun, pasal 360 menyebabkan dengan luka berat 8 bulan penjara.
( mengenai pasal-pasal ini diadakan perubahan dalam tahun 1860 diancam pidana dijadikan 5
tahun ).
Dengan demikian untuk adanya kesalahan terdakwa harus :
 Melakukan perbuatan pidana.
 Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
 Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
 Tidak adanya alasan pemaaf.

BAB 30. Kemampuan Bertanggung Jawab


Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggun jawab dengan singkat
diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat.Marilah sekarang keadaan
batin yang normal itu kita tinjau lelbih dalam.
Dalam KUHP kita tidak ada, keuntungan tentang arti kemampuan bertanggung jawab.
Yang berhubungan dengan ituialah pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang
terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggung jawabkan itu disebabkan karena hal
lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak
daoat dipakai.
Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:
1. Kemampuan untuk mebeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai
hokum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya
perbuatan tadi.
Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau
kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas
nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sebegai konsekuensi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan
dan kalau melakukan pidana.Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggung
jawabkan.Menurut pasal 44 KUHP tadi ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-
alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya.
Dalam merumuskan KUHP ketidak mampuan bertanggung jawab sebagai hal yang
menghapuskan pidana, orang dapat menempuh 3 jalan, yaitu:
1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan
2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan
3. Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan penyakit itu
harus sedemikian rupa padanya (deskriptif I normative).
Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur (elemen) kesalahan.Karenanya
mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula.Ini sangat
sukar, karena pada umumnya orang-orang adalah normal batinnya, diam selalu ada, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal.

BAB 31. Kesengajaan


Tentang apakah arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP. Lain
halnya dengan KUHP Swiss di mana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa
melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan
itu dengan sengaja.
Definisi seperti ini, dalam Memorie van Toelicting Swb. Adapula: “Pidana pada
umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang,
dengan dikehendaki dan diketahui”.
Soalnya sekarang ialah, apakah arti dikehendaki dan diketahui?Dalam teori tentang hal
ini ada dua aliran, yaitu:
A. Teori kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan masa timbulnya teori yang lain
mendapat pembelaan kuat dan von Hippel guru besar di Gottingen, Jerman. Dinegeri Belanda
antara lain dianut oleh Simons.
B. Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, guru
besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dan von listiz. Di Nederland
penganutnya antara lain adalah von Hamel.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving
gerichte wil), sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak utnuk berbuat dengan
mengetahui unsur-unsur yang diperlakukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj
voorstelling van de tot de wettelijke omsch).
Selanjutnya tentang kedua teori tersebut Pompe menulis bahwa perbedaan tidak terletak
pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan (positif maupun negatif) itu sendiri yang oleh
dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur
lainnya (sejauh harus diliputi kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.
Mengenai kesengajaan terhadap unsur-unsur ini yang satu mengatakan tentang
pengetahuan (mempunyai gambaran tentang pa yang ada dalam kenyataan, jadi mengetahui
mengerti) sedangkan yang lain mengatakan tentang kehendak.
Dalam corak kesengajaan sebagai kepastian/keharusan biasanya tidak timbul
kesukaran.Akibat/keadaan yang menyertai diketahui betul akan adanya baik hal itu memang
yang dikehendaki. Yang menimbulkan kesulitan adalah corak kesengajaan sebagai
kemungkinan, yang umumnya terkenal dengan anama dolus eventualis.
Mengenai dolus eventualis itu, teori yang dikenal sebagai “inkauf nehmen” (op den koop
toe nemen) adalah yang paling jelas.Teori inkauf nehmen adalah teori mengenai dolus
eventualis, bukan mengenai kesengajaan. Disini ternyata bahwa sesungguhnya akibat atau
keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak disetujui. Tapi meskipun demikian,
untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan disamping
maksudnya itupun diterima. Maka dari itu teori ini dinamakan inkauf nehmen. Munurut teori
inkauf nehmen untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
A. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik.
B. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat
disetujui dan berani pukul resikonya.
Mengenai A hal ini dapat dibuktikan dari kecerdasan pikirannya yang dapat disimpulkan
antara lain dari pengalaman, pendidikannya atau lapisan masyarakat Dimana terdakwa hidup.
Sedangkan, mengenai B antara lain dapat dibuktikan dari ucapan-ucapan terdakwa disekitar
perbuatan, tidak mengadakan usaha untuk mencegah akibat yang tidak diingin dan sebagainya.
Teori dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud
2. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan
3. dolus eventualis

BAB 32. Kesengajaan Atau Kealpaan Mengenai Sesuatu Unsur Delik Yang Tertentu, Pro
Parte Dolus, Pro Parte Culpa, Kesengajaan Berwarna.
Kesengajaan atau kealpaan terhadap suatu unsur delik yang tertentu yang masing-masing
merupakan delik dolus dan delik culpa dengan ancaman pidana yang berbeda-beda, dalah KUHP
dijumpai juga rumusan delik dimana terhadap suatu unsur yang tertentu berlaku berbareng
kesengajaan atau kealpaan, dengan ancaman pidana yang sama. Contohnya, dalam pasal 480
disebutkan bahwa untuk adanya penadahan, benda yang dibeli, disewa dan sebagainya, oleh
terdakwa, harus diketahui atau sepatutnya harus diduga (redelijkerwijs moeten vermoeden)
bahwa berasal dari kejahatan, bukan saja disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup juga ada
kealpaan terhadapnya.
Cintih lain adalah mengenai kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pasal: 283, 287,
288,290,292, dan 293 KUHP.
Dalam tahun 1990, konstruksi tersebut masih demikian janggalnya, sehingga ketika
diajukan usul antara lain mengenai pasal 140 (169 KUHP) supaya terhadap hal bahwa
perkumoulan tujuannya adalah melakukan kejahatan, terdakwa harus mengetahui atau
selayaknya harus menduga (dolus atau culpa), orang lebih setuju meneruskannya sebagai unsur
yang di obyektifkan daripada menerima konstruksi seperti demikian itu.
Bagaimana tentang hubungan batin anatara terdakwa dan sifat melawan hukumnya
perbuatan?
Dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana diambil sebagai pendiri bahwa,
meskipun biasanya unsur melawan hukum tidak disebut dalam rumusan delik, namun sifat itu
merupakan syarat mutlak baginya, sehingga manakala tidak disebut dengan nyata-nyata dalam
rumusan, sifat melawan hukum tersebut dianggap dengan diam-diam selalu ada. Sebab justru
karena adanya sifat itulah maka perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana.
Bertalian dengan ini, dilihat dari segi batin orang yang melakukan perbuatan melawan
hukum, untuk adanya kesalahan sudah barang tentu, selain daripada adanya hubungan batin
dengan unsur-unsur perbuatannya, yang mungkin berbentuk kesengajaan (dolus) atau kealpaan
(culpa) perlu pula adanya hubungan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Sebab kalau
tidak, jadi kalau terdakwa tidak insyaf bahwa dia telah melakukan perbuatan yang keliru (dolus)
atau setidak-tidaknya, kalau tidak insyafnya akan sifat kelirunya perbuatan tidak disebabkan
kealpaan (culpa), dimana lalu letak kesalahannya? Dan bagaimana lalu dapat meneruskan celaan
yang secara obyektif ada pada perbuatannya, juga secara subyektif kepada orang yang
melakukan perbuatan tadi?
Konsepsi bahwa adanya kesalahan, hubungan batin dengan sifat melawan hukumnya
perbuatan, bukan selalu harus berbentuk kesengajaan, tapi cukup pula kalau berbentuk kealpaan.

BAB 33 ERROR IN PERSONA DAN ABERATIO ICTUS


Error in persona adalah suatu dwaling ,suatu paham atau kekeliruan dari pihak terdakwa
terhadap orang yang akan dituju .jadi salah paham tentang objeknya perbuatan,umpamanya:
Apabila yang akan dibunuh itu A ,padahal sesungguhnya yang dianggap A itu adalah B.
Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan
untuk membunuh B. Kalau begitu,apakah terdakwa tidak dapat dipidana? Tentu saja
dapat,tergantung dari bunyi dakwaan.Jika dakwaan tidak dipidana maka memang tidak ada
kesengajaan.Yang ada adalah membunuh A .Seharusnya didakwakan telah membunuh orang
lain,yang ternyata B.Rumusan pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain
(lain daripada terdakwa).Jadi error persona dalam contoh di atas tidak mengakibatkan apa-apa.
Lain halnya menghina kepala negara itu yang sesungguhnya adalah orang biasa dalam error in
persona ,terdakwa tidak dapat dipidana dengan pasal 134.Tetapi dengan pasal penghinaan yang
biasa digunakan .
Voorbedachte read (dolus praemeditatus)
Unsur ini sering diterjemahkan dengan rencana lebih dahulu,kita jumpai dalam pasal 340
KUHP,yaitu yang menentukan bahwa doodslag (pembunuhan) yang dilakukan oleh
voorbedachte raad dinamakan moord dan diancam dengan pidana lebih berat daripada
pembunuhan biasa dalam pasal338.Dalam pembunuhan biasa itu adalah 15 tahun.Tetapi ,jika
direncanakan terlebih dahulu maka bisa seumur hidup.Menurut M.v.T.(Simons II hlm
.460)voorbedachte raad yaitu pertumbuhan kehendah untuk membunuh itu secara demikian
tadi(tiba-tiba) , tetapi melakukan perbuatannya in koelen bloede (dengan hati-hati). Menurut
Jonkers unsur voorbedacthte raad biasanya dirumuskan dalam tuduhan sebagai melakukan
perbuatan sebagai direncanakan dengan pertimbangan yang tenang.Karena hal yang melakukan
perbuatan sebagi direncanakan dengan hati tenang sangat susah sekali untuk dibuktikan.

BAB 34 KEALPAAN
Pada umumnya kejahatan terjadi karena kesengajaan ,tetapi ada kalanya seandainya
pidana itu terjadi karena kealpaan atau sebuah lkelalaian.Dalam kaalpaan dalam pudana ini
bukan semata-mata menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang
itu.Tetapi subjek hukum tidak mengindahkan larangan. Ini ternyata dalam perbuatannya , ia
alpa,lalai ,teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jika subjek hukum tadi mengindahkan
larangan tadi waktu bmelakukan perbuatan itu kausal menimbulkan hal yang dilarang ,dia tentu
tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang
tadi.Oleh karena itu kesalahan ini termasuk rumusan delik,maka juga harus dibuktikan .
Ada juga yang menyebut kesengajaan yaitu kesediaan secara sadar untuk melakukan
kejahatan terhadap subjek hukum yang dilindungi oleh hukum . Dan kealpaan adalah
kekurangan perhatian terhadap objek tersebut dengan tidak disadari. Kesengajaan adalah
kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Dasarnya adalah sama,yaitu :
1) Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
2) Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab,
3) Tidak ada alasan pemaaf.
Tetapi ada bentuk lain .Dalam kesengajaan sikap orang secara bati itu menentang larangan
.Dalam kealpaan ,kurangmengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang objektif kausala menimbulkan keadaan yang dilarang.
Van Hamel (cetakan ke-6 ,halaman 267) tentang ini mengatakan bahwa kealpaan itu
mengandung dua syarat ,yaitu :
1) Tidak mengunakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaiman yang diharuskan ole hukum .
Simons (cetakan ke-6 ,halamn 267) tentang ini mengatakan :
“Isis kealpaaan adalah tidak adanya penghati-hati disamping dapat diduga-duga akan timbul
akibat”.
Jadi kira-kira sama dengan van Hamel diatas. Ini memang dua syarat yang menunjukkan
bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau
ditinjau dari sudut masyarakat,bahwa dia kurang memperhatian akan larangan –larangan yang
berlaku dalam masyarakat.
A. Tidak Mengadakan Penduga-duga yang Perlu Menurut Hukum

Mengenai ini ada dua kemungkian ,yaitu


1) Atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya ,padahal pandangan
itu kemudian ternyata tidak benar.
2) Atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin
timbul karena perbuatannya . Dalam hal yang pertama kekeliruan terletak pada salah satu pikir
atau pandang ,yang seharusnya disingkiri.Dalam hal kedua terletak pada tidak mempunyai
pikiran sama sekali bahwa akibatnya mungkinakan timbul ,hal mana adalah sikap yang
berbahaya.

B. Tidak Mengadakan Penghati-hati Sebagaimana Diharuskan oleh Hukum


Van Hemel menerangkan bahwa “ ini antara lain adalah tidak mengadakan penelitian
,kebijakasaan ,kemahiran atau usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan-keadaan yang
tertentu atau dalam caranya melkukan perbuatan”. Jadi yang menjadi objek peninjauan dan
penilaian bukan batin terdakwa tetapi apa yang dilakukan atau tingkah lakuterdakwa sendiri.
Jonkers dalam hal ini tidak jelas bagaimana hubungan antara sifat melawan hukum perbuatan
dan kealpaan. Beliau mengatakan : “sebagai unsur adanya kealpaan biasanya diperlukan
wederrrechtelijkheid,vermijdbaarheid,dan verwijtbaaeheid. Ketiga unsur belakangan ini
mencampurkan diri satu sama lain . Akibat yang diduga-duga akibatnya dapat
disingkiri.Sekalipun disingkiri tetap dilakukan ,sehingga timbul akibat yang dilarang. Disitu ada
verwijtbaarheid sifat melawan huku sebaliknya adalah unsur sifat kealpaan yang berdiri
sendiri.Hanya dapat dikatakan adanya kealpaan , jika diperhitungkan atau dilarang oleh undang –
undang”.

BAB 35 KEALPAAN YANG DISADARI DAN YANG TIDAK DISADARI


Pada waktu W.v.S ., dibentuk maka bewuste schuld adalah corak yang lebih berat
daripada kealpaan yang tidak disadari.Hal ini ternyata dalam ucapan Modderman yang
mengatakan :”Corak kealpaan yang paling enteng ialah bahwa orang melakukan pelanggaran
hukum dengan tidak diinsafi sama sekali”. Dia tidak tahu tidak berpikir lebih panjang atau tidak
bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan bewuste schuld,yaitu
kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah
diinsafi,tetapi karena kepandainnya atau diadakannya tindakan –tindakan yang mencegahnya
kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul (Smidt I,88) .Pandangan ini pada waktu sekarang
sudah dilepaskan karena:
1) Tidak mempunyai guna yang praktis dalam masyarakat.
2) Belum tentu kalau kealpaan yang tidak disadari adalah kesalahan yang lebih enteng daripada
yang disadari (van Hattum.286)
Pendapat van Hattum ini dapat kita setujui. Dengan beralihnya ukuran dan psikologis
menjadi yang normatif, maka karenanya pandangan minister Modderman tersebut kehilangan
dasarnya.

BAB 36 DELICT CULPOOS YANG SESUNGGUHNYA DAN DELICT CULPOOS


YANG TIDAK SESUNGGUHNYA
Dalam rumusan kejahatan dalam KUHP kesalahan yang berbentuk kealpaan dinyatakan
dengan istilah “aan zijn schuld te wijten” atau “ten gevolge van onavhtzaamheid” [yaitu pasal –
pasal 188,344,360,231 (4),232(2) ]. Dalam pasal-pasal tersebut dilihat berupa menimbulkan
akibat yang tertentu;jadi delik-delik tersebut dirumuskan secra materiil.Ini bisa dinamakan delich
culpoos yang tidak sesungguhnya,yaitu doles yang salah satu unsurnya diculpakan ,misal Pasal
287:”di luar perkwinan bersetubuh dengan perempuan yang dia tahu kalau selayaknya harus
menduga bahwa umurnya belum cukup 15 tahun atau jika umurnya ternyata , belim dewasa
untuk bersetubuh(belum huwbar).
Di dalamnya ada dua bentuk kesalahan:
1) Bersetubuh dengan yang diketahui belum berumur 15 tahun (delict doleus biasa)
2) Bersetubuh dengan seseorang yang diduga selayaknya belum 15 tahun .Di sini ialah salah satu
unsur delik tersebut diculpakan.
Ada istilah lain dalam delict culpoos yang tidak sesungguhnya ,yaitu “moeten verwachten”
(seharusnya mengira) yang dipakai dalam Pasal-pasal 483 dan 484 KUHP yang mengatur
pertanggung jawab penerbit dan pencetak.Dalam pasal 61 dan 62 KUHP ditentukan bahwa
dalam hal kejahatan dengan cetakan ,penerbit atau pencetak karangan yang mengandung delik
tidak akan dituntut jika ia menyatakan namanya sendiri pada barang-barang cetakan yang
memuat karangan tersebut,dan jika ditanya oleh oleh instansi yang berwajib dapat menyebut
nama pengarang.
Perkecualian pertanggungjawwaban ini tidak berlaku jka pada waktu dirterbitkan si
pengarang tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia . Dalam hal itu berlaku pasal
483 dan 484,dimana dinyatakan bahwa “kalau penerbit tahu atau seharusnya mengira ,bahwa
perbuatannya pada saat penerbitan tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia ,dia
sendiri yang bertanggung jawab .Dengan contoh di atas maka tidak perlu apakah terdakwa betul-
betulnya ada memikirkan akan kemungkinan bahwa pengarang tidak dapat dituntut atau telah
menetap di luar negeri.

BAB 37 CULPA HAPUS KARENA KEALPAAN (KESALAHAN) ORANG LAIN ?


Pernah ada perkara yang tersebut dalam T.deel 149 kaca 707,putusan politie – rechter
Medan tahun 1938,dimana pengendara oto pada malam hari menabrak dari belakang dari
belakang satu cikar sapi yang sedang berjalan dalam jurusan yang sama ,sedang cikar itu tidak
memakai lampu sebagaimana diharuskan ,pengendara cikar mendapat luka-luka berat.
Pertimbangan politie –rechter adalah “ bahwa pada umumnya adanya kealahan pada
pihak lain tidak begitu saja lalu menghapuskan kesalahan terdakwa.Dan dalam hal ini bukanlah
tidak penting hal terdakwa melihat cikar itu sesudah terjadi tabrakan ,sehingga dapat diragukan
apakah terdakwa melihat cikar itu pada saat yang yepat andaikata cikar memakai lampu.Lebih-
lebih sebagaimana umum diketahui bahwa penerangan cikar adalag sangat jelek “.
Memang culpa tidak hapus begitu saja karena kealpaan atau kesalahan dari orang ketiga (orang
lain) van Hattum (hlm .300) ada menciteer pula putusan HR 14 Nopember 1921: yakni mengenai
pelanggaran kereta api,di mana dua orang stasiun dan tukang langsir,masing-masing terlepas satu
sama lain,telah berbuat bertentangan instruksi-instruksi.Karena pembarengan dari kalakuan yang
culpoos ini timbullah kecelakaan itu,sehingga “dalam hal-hal demikian kedua-duanya
bertanggung jawab atas akibat dari kesalahan itu,karena justru oleh karena perbuatan mereka
bersama-sama itulah kecelakaan terjadi.

Anda mungkin juga menyukai