Moeljatno
S.H
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melaranggar larangan
tersebut.
2 2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada
orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
(1) Interprestasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub
dalam aturan-aturan hukum. Pengertian objektif adalah mungkin berbeda dengan pengertian
subjektif dari pejabat-pejabat ketika membuat aturan. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan
hukum lalu dirasa sebagai penghalang perkembangan masyarakat.
(2) Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur
yang tertentu, dengan tujuan agar apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan pengertian
yang jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik misalnya adalah suatu konstruksi yuridis.
Misalnya: pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang orang lain,
dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang
dapat dimasukkan dalam konstruksi ini itulah yang menurut hukum dianggap sebagai pencurian.
(3) Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau
seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya ialah agar supaya peraturan-peraturan yang
banyak dan beraneka warna itu, tidak merupak hutan belukar yang sukar lagi berbahaya untuk
diambil kemanfaatannya, tetapi supaya merupakan tanaman yang teratur dan indah sehingga
memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.
Dengan mengerti akan makna objektif dari hukum pidana yang berlaku serta
mempergunakan sarana konstruksi dan sistematik, maka dalam menetapakan (teopassen) hukum
itu, baik sebagai pegawai kepolisian, pamongpraja, jaksa, hakim, maupun sebagai pengacara dan
pembela, orang lain bukan saja tahu akan adanya aturan hukum yang berlaku, tetapi juga tahu
akan maksudnya, baik sebagai suatu aturan khusus , maupun dalam rangkaiannya dengann lain-
lain aturan, yang merupakan bentukan atau konstruksi hukum yang tertentu, dengan tujuan yang
tertentu pula, ataupun justru sebagai pengecualian dari aturan-aturan lain.
Di samping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat juga dinamakan: ilmu tentang
hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi.
Kecuali objeknya berlainan, tujuannya pun berbeda. Kalau objek ilmu hukum pidana adalah
aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya
agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka objek
kriminologi adalah orang yang melakukan kejahtan (si penjahat) itu sendiri. Adapun tujuannya:
agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sehingga sampai berbuat jahat itu.
Berhubung dengan ini, terutama di negeri-negeri Angelsaks, kriminologi biasanya dibagi
menjadi tiga bagian: Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan
sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya; Criminal sosiology,
yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berada
(dalam milieunya); Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan
supaya orang lain tidak berbuat demikian.
Pada umunya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi di samping
ilmu hukum pidana pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian
orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun
tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahtan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga
memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan
masyarakat dan penjahatnya itu sendiri.
Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, lalu merupakan
pasangan, merupakan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman
dicakup dengan nama: Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan dalam negeri-negeri
Angelsaks: Criminal science.
BAB 4 HUKUM PIDANA UMUM, HUKUM PIDANA MILITER, DAN HUKUM PIDANA
FISKAL
Hukum Pidana material yang saya sebutkan terdahulu dinamakan hukum pidana umum,
het gemeenestrafrecht, yaitu berlaku untuk umum.
Saya katakan berlaku untuk umum, karena itu juga berlaku bagi para militer, meskipun
bagi mereka itu khusus berlaku pidana militer (S. 1934-167 jo. Undang-Undang 1947 No. 39).
Bahwa hukum pidana sipil ini juga berlaku bagi anggota-anggota tentara, antara lain ternyata
dalam Pasal 1 dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga Bab IX KUHP pada
umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer.
Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, disitu ada keadaan yang tertentu yang
dilarang, misalnya dalam pembunuhan: adanya orang yang mati. Untuk dapat menuntut
seseorang karena disangka membikin mati A tadi maka harus dibuktikan bahwa karena kelakuan
orang itu lalu timbul akibat, yaitu matinya A. Dikatakan bahwa antara matinya A dan orang tadi
harus ada hubungan kausal. Juga dapat dikatakan bahwa kelakuan orang tadi menjadi musabab
matinya A.
Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi maka penentuan hubungan
kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg
gequalifiseerde delikten), yaitu dimana karena timbulnya suatu akibat yang tertentu, ancaman
pidana terhadap delik tersebut diberatkan. Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang
tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi maka tidak dapat
dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan
kepadanya.
Ada penulis yang mengatakan (Vos hlm. 74) bahwa juga dalam menghadapi delik
dirumuskan secara formal ada kalanya hubungan kausal diperlukan, yaitu apabila elemen
kelakuan dan akibat terpisah menurut waktu. Jadi, timbulnya akibat yang tertentu baru kemudian
daripada saat terjadinya kelakuan. Seperti contoh pemalsuan surat, pencurian gas dengan
mengebur lubang dipipa gas tetangga.
BAB 32. Kesengajaan Atau Kealpaan Mengenai Sesuatu Unsur Delik Yang Tertentu, Pro
Parte Dolus, Pro Parte Culpa, Kesengajaan Berwarna.
Kesengajaan atau kealpaan terhadap suatu unsur delik yang tertentu yang masing-masing
merupakan delik dolus dan delik culpa dengan ancaman pidana yang berbeda-beda, dalah KUHP
dijumpai juga rumusan delik dimana terhadap suatu unsur yang tertentu berlaku berbareng
kesengajaan atau kealpaan, dengan ancaman pidana yang sama. Contohnya, dalam pasal 480
disebutkan bahwa untuk adanya penadahan, benda yang dibeli, disewa dan sebagainya, oleh
terdakwa, harus diketahui atau sepatutnya harus diduga (redelijkerwijs moeten vermoeden)
bahwa berasal dari kejahatan, bukan saja disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup juga ada
kealpaan terhadapnya.
Cintih lain adalah mengenai kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pasal: 283, 287,
288,290,292, dan 293 KUHP.
Dalam tahun 1990, konstruksi tersebut masih demikian janggalnya, sehingga ketika
diajukan usul antara lain mengenai pasal 140 (169 KUHP) supaya terhadap hal bahwa
perkumoulan tujuannya adalah melakukan kejahatan, terdakwa harus mengetahui atau
selayaknya harus menduga (dolus atau culpa), orang lebih setuju meneruskannya sebagai unsur
yang di obyektifkan daripada menerima konstruksi seperti demikian itu.
Bagaimana tentang hubungan batin anatara terdakwa dan sifat melawan hukumnya
perbuatan?
Dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana diambil sebagai pendiri bahwa,
meskipun biasanya unsur melawan hukum tidak disebut dalam rumusan delik, namun sifat itu
merupakan syarat mutlak baginya, sehingga manakala tidak disebut dengan nyata-nyata dalam
rumusan, sifat melawan hukum tersebut dianggap dengan diam-diam selalu ada. Sebab justru
karena adanya sifat itulah maka perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana.
Bertalian dengan ini, dilihat dari segi batin orang yang melakukan perbuatan melawan
hukum, untuk adanya kesalahan sudah barang tentu, selain daripada adanya hubungan batin
dengan unsur-unsur perbuatannya, yang mungkin berbentuk kesengajaan (dolus) atau kealpaan
(culpa) perlu pula adanya hubungan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Sebab kalau
tidak, jadi kalau terdakwa tidak insyaf bahwa dia telah melakukan perbuatan yang keliru (dolus)
atau setidak-tidaknya, kalau tidak insyafnya akan sifat kelirunya perbuatan tidak disebabkan
kealpaan (culpa), dimana lalu letak kesalahannya? Dan bagaimana lalu dapat meneruskan celaan
yang secara obyektif ada pada perbuatannya, juga secara subyektif kepada orang yang
melakukan perbuatan tadi?
Konsepsi bahwa adanya kesalahan, hubungan batin dengan sifat melawan hukumnya
perbuatan, bukan selalu harus berbentuk kesengajaan, tapi cukup pula kalau berbentuk kealpaan.
BAB 34 KEALPAAN
Pada umumnya kejahatan terjadi karena kesengajaan ,tetapi ada kalanya seandainya
pidana itu terjadi karena kealpaan atau sebuah lkelalaian.Dalam kaalpaan dalam pudana ini
bukan semata-mata menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang
itu.Tetapi subjek hukum tidak mengindahkan larangan. Ini ternyata dalam perbuatannya , ia
alpa,lalai ,teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jika subjek hukum tadi mengindahkan
larangan tadi waktu bmelakukan perbuatan itu kausal menimbulkan hal yang dilarang ,dia tentu
tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang
tadi.Oleh karena itu kesalahan ini termasuk rumusan delik,maka juga harus dibuktikan .
Ada juga yang menyebut kesengajaan yaitu kesediaan secara sadar untuk melakukan
kejahatan terhadap subjek hukum yang dilindungi oleh hukum . Dan kealpaan adalah
kekurangan perhatian terhadap objek tersebut dengan tidak disadari. Kesengajaan adalah
kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Dasarnya adalah sama,yaitu :
1) Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
2) Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab,
3) Tidak ada alasan pemaaf.
Tetapi ada bentuk lain .Dalam kesengajaan sikap orang secara bati itu menentang larangan
.Dalam kealpaan ,kurangmengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
sesuatu perbuatan yang objektif kausala menimbulkan keadaan yang dilarang.
Van Hamel (cetakan ke-6 ,halaman 267) tentang ini mengatakan bahwa kealpaan itu
mengandung dua syarat ,yaitu :
1) Tidak mengunakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaiman yang diharuskan ole hukum .
Simons (cetakan ke-6 ,halamn 267) tentang ini mengatakan :
“Isis kealpaaan adalah tidak adanya penghati-hati disamping dapat diduga-duga akan timbul
akibat”.
Jadi kira-kira sama dengan van Hamel diatas. Ini memang dua syarat yang menunjukkan
bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau
ditinjau dari sudut masyarakat,bahwa dia kurang memperhatian akan larangan –larangan yang
berlaku dalam masyarakat.
A. Tidak Mengadakan Penduga-duga yang Perlu Menurut Hukum