Anda di halaman 1dari 10

RANGKUMAN SEJARAH KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Disusun Oleh:
Rivaldi Rizqianda Pratama (1806182870)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
Menurut Moeljatno, hukum pidana merupakan adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut, menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan, menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.1

Dalam perkembangannya hingga saat ini hukum pidana materiil yang berlaku
saat ini di Indonesia khususnya kodifikasinya yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) telah melalui berbagai proses sejarah yang panjang hingga saat ini.
Sebelum mengenal hukum pidana sekarang yang diadopsi dari negara barat,
Indonesia telah lebih dulu menggunakan hukum pidana adat yang berlaku di
beberapa daerah seperti di Aceh dan Bali. Namun, mayoritas tidak tertulis ini
bersifat lokal yaitu berlaku di daerah tersebut saja. Selain itu, Permasalahan lain
yang timbul adalah dikarenakan Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan
yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).2 Metode
pemisahan yang lebih jelas dan secara tegas baru didapatkan bangsa Indonesia
setelah bersentuhan dengan hukum Eropa yang diadopsi hingga kini dikarenakan
metodenya yang lebih sistematis dan tertulis secara jelas.

Di beberapa daerah contohnya di Aceh, Ujung Pandang, dan Padang hukum


pidana adat yang berlaku secara tidak langsung terpengaruhi oleh hukum Islam
sebagai agama mayoritas di wilayah tersebut. Begitu pulau di Bali dengan hukum
adat Agama Hindu yang dianut mayoritas warga lokal Pulau Bali. Hal tersebut
pula lah yang membuat Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yaitu “History of
Java” sangat menghormati dan tidak sedikit pun bermaksud menindas hukum adat
yang berlaku di Indonesia, hal tersebut dikarenakan sikap Raffles terhadap raja-raja,
bupati, dan keluarga mereka sangat berhati-hati. Karena sikap itu pula lah ia

1
Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana, (Surabaya: AUP, 2012), hlm. 3.
2
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 43.
menganggap hukum adat serupa dengan hukum Islam, maka Raffles tidak berani
untuk mengubah hukum adat yang berlaku . Karena ia takut dapat menyakiti
perasaan raja-raja,bupati-bupati, dan keluarganya.3

2. Sejarah Hukum Pidana Tertulis Saat Era VOC

Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda


datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa
peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Sejak
dahulu, hukum yang berlaku bagi orang Belanda di Indonesia sebanyak-banyaknya
disamakan dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda berdasarkan asas
konkordasi berdasarkan pasal 131 ayat 2 sub a Indische Staatsregeling (IS).Jadi
sejak awal kedatangan belanda hukum pidana tertulis dikonkordansika dengan
hukum yang berlaku di negeri Belanda walupun pada awalnya dikhususkan untuk
orang Belanda saja.4 Pada mulanya hukum yang digunakan oleh VOC adalah
hukum kapal (scheepsrecht) yang terdiri atas dua bagian yaitu hukum belanda kuno
dan azas-azas hukum Romawi.

Seiring berjalannya waktu Belanda merasa bahwa hukum kapal tidak lagi
dapat dipergunakan secara efektif dan maksimal. Sampai kemudian VOC diberikan
hak istimewa oleh kerajaan belanda dengan persyaratan tetap menjalakan instruksi
yang diberikan oleh kerajaan. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten
General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan
perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC
memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam rangka menjamin
bahwa instruksi kerajaan untuk membentuk suatu administratif yang baik dengan
pengadilan sebagai bagian didalamnya maka VOC membuat peraturan-peraturan
oraganik yang diumumkan dalam plakat-plakat (plakaten) yang kemudian Pada
tahun 1642 Joan Maetsuycker mendapat tugas dari Gubernur Jenderak van Diemen
merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statuten van

3
Ernst Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum pidana. Vol. 1. (Bandung : Penerbitan
Universitas, 1962.), hlm. 28
4
Ibid., hlm. 8
Batavia. Pada tahun 1850 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventie (Komite
Ekzsekutif VOC).5 Pada awalnya aturan-aturan tersebut berlaku di wilayah kota
Batavia saja yang kemudian berkembang ke wilayah-wilayah dimana VOC
membuka kantor-kantor dagang barunya.

Menurut Utrecht Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC
terbagi menjadi 3 yaitu :

1. Hukum statuta ( yang termuat dalam statute Batavia)


2. Hukum Belanda yang kuno
3. Azas-azas hukum Romawi

Beberapa hukum di daerah pun terpengaruh oleh hukum yang dibuat oleh VOC
contohnya adalah Pepakem Cirebon. Pada tahun 1866 Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan
dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866. Hal tersebut secara langsung meresmikan
berlakunya KUHP bagi orang-orang Eropa khususnya Belanda di Indonesia,
Disusul oleh Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872
untuk meresmikan KUHP untuk kaum pribumi.6 Namun berita yang menyedihkan
bagi VOC adalah pada tahun 1798 akhirnya VOC resmi dibubarkan dan seluruh
kekayaan,wilayah jajahan serta hutangnya dialihkan kepada pemerintah Bataafse
Republik.

Pada tahun 1808 Daendels dikirim ke Indonesia dengan tugas


mereorganisasikan pemerintahan, justisi dan polisi. Dalam mengeluarkan seluruh
kebijakannya Daendels amat dipengaruhi dengan Charter yang dikeluarkan
Republik tahun 1804.Tahun 1810 secara signifikan perubahan Daendels lakukan
dengan membuat suatu peraturan yang komperhensif mengenai hukum dan
pengadilan, dalam hal ini juga ia membahass golongan hukum (rechtsgroep) Eropa
berlaku statute Betawi baru sedangkan golongan pribumi menggunakan hukum
adatnya masing masing dengan pengecualian atas tiga hal yaitu : (1) hukuman

5
Ibid., Hlm. 11
6
Ibid., Hlm. 16
dianggap tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan,(2) hukum adat tidak
menyelesaikan suatu perkara, (3) sebelu hukuman mati dilakukan maka perlu
diperoleh “fiat executie” dari gubernur jenderal, hukuman mati dengan metode
diantara lain. Dibakar hidup-hidup,dipukul dengan rantai,dimatikan menggunakan
keris.7 Daendels sengaja melakukan hal tersebut dan bertindak ganas , karena ia
dibebani tugas yang berat untuk mempertahankan pulau jawa dari serangan Inggtris
sehingga ia sangat ttakut timbulnya pemberontakan dari dalam disaat angkatan
perang Inggris melakukan invansi ke wilayah nusantara. Selain hal tersebut
Daendels juga membuat kebijakan untuk hakim dalam kasus-kasus pidana boleh
menyimpang dari pidana adat karena tiga hal : (1) apabila dalam hukum pidana adat
tidak ada hukuman atas suatu delik, (2) apabila hukuman yang dijatuhkan menurut
hukum pidana tidak sesuai dengan prinsip keadilan, (3) apabila alat-alat pembuktian
(bewijsmiddelen) menurut hukum adat belum cukup, hal tersebut dikarenakan
menurut daendels hukum adat itu tidak cukup baik dan berada di bawah hukum
pidana orang eropa.8

3. Zaman Penjajahan Inggris ( Thomas Stamford Raffles)

Raffles sangat menghargai hukum adat jawa hal tersebut tercermin dari
buku yang ia tulis “History of Java”.9 Pemerintah Inggris juga melakukan
perubahan signifikan dari hukum acara dan susunan pengadilan yang mengadopsi
pengadilan inggris di India. Raffles juga melakukan perubahan dalam pidana
materiil khususnya dalam meringankan hukuman-hukuman diantaranya : letnan
gubernur berhak memberikan grasi dan remisi , seorang warga negara inggris tidak
boleh dipidana lebih berat menurut pidana hukum inggris, dan hukuman mati hanya
boleh dilakukan setelah dilaporkan kepada letnan gubernur.Raffles tak berlangsung
ia hanya bertahan 5 tahun di Indonesia dan kekuasaannya dikembalikan kembali
kepada kolonial Belanda.

7
Ibid., Hlm. 19
8
Ibid., Hlm. 21
9
Ibid., Hlm. 26
4. Masa kembali ke Kolonial Belanda ( dari waktu para komisaris jendral
sampai tahun 1848 ).

Berdasarkan konvensi London tahun 1814 seluruh wilayah jajahan inggris


bekas kolonial Belanda dikembalikan kepada Pemerintah Belanda.. Dalam
pelaksanaannya dikirim tiga komisaris jenderal ke hindia belanda dan diberi suatu
instruksi yang terkenal pada saat itu dengan nama Regeerings Reglement (RR)
tahun 1815.10Untuk pemeriksaan dan penyidikan yang nyata mengenai keadaan
masyarakat setelah penjajahan inggris, maka para komisaris jenderal berpendapat
bahwa untuk sementara waktu diumumkan pengakuan sah akan berlakunya
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris di Hindia Belanda. Mengenai
perubahan dalam hukum yang berlaku bagi orang belanda diputuskan bahwa
menunggu selesainya pembuatan kodifikasi hukum yang sedang dilakukan di
Belanda. Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering
(BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru.11

Setelah menyelesaikan tugasnya komisaris jenderal meyerahkan pimpinan


tertinggi di Indonesia kepada Gubernur Jenderal Van Der Capellen. Namun pada
tahun 1826 ia menyerahkan kekuasaan tertinggi itu kepada komisaris jenderal Du
Bus De Gisignies, tugasnya ialah menjalankan politik agrarian tertentu karena pada
saat itu Belanda sedang menyiasati kekosongan kas negara akibat pendudukan
Perancis.12 Sistem hukuman yang berlaku saat itu disesuaikan dengan tujuan dari
politik agraria itu sendiri, untuk itu mereka membuat suatu hukuman kerja paksa
demi memaksimalkan tujuan tersebut. Kerja paksa yang ada dibagi menjadi 2
golongan yaitu yang dihukum dengan kerja-rantai (kettingarbeid ) dan yang
dihukum dengan kerja paksa yang diberi upah maupun tidak.

5. Waktu dari tahun 1848 sampai 1918 (Kodifikasi dan unifikasi hukum
pidana )

Belanda tetap menginginkan adanya kodifikasi hukum namun tetap mengacu


dan bercermin kepada asas konkordansi yang pada saat itu sedang dibuat suatu

10
Ibid., Hlm. 29
11
J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), Hlm. 15
12
E. Utrecht,Rangkaian Sari Kuliah…., Hlm. 31
kodifikasi hukum di negeri Belanda sehingga diputuskan untuk menunda kodifikasi
tersebut selesai terlebih dahulu.13 Pada tahun 1848 dibuat peraturan hukum pidana
yang cukup terkenal yaitu “interimaire strafbepalingen” pada intinya tetap
meneruskan keadaan hukum pidana yang sudah ada namun dengan beberapa
penyempurnaan.

Namun sampai tahun 1848 tata hukum pidana tertulis masih sangat
beraneka-warna. Untuk primer masih berlaku hukum di Statuta Betawi, sekunder
nya terdapat Belanda kuno dan azas-azas hukum Romawi,dan masih dipakai juga
Kolonial Verslag.Belanda tetap melanjutkan kodifikasi hukum setelah tahun 1848
demi mencapai adanya kepastian hukum pidana yang merupakan sangsi
istimewa,karena pada saat itu kepastian hukum bagi mereka yang memerintah
tergolong primer sedangkan yang diperintah tergolong sekunder.14Setelah
mendapat nasehat dari Wichers, gubernur jenderal memutuskan untuk membuat
suatu panitia yang diberi tugas membuat suatu rencana kitab hukum pidana,namun
karena tidak dapat menjalankan tugasnya dengan efektif panitia ini dibubarkan.
Pada tahun 1860 dibentuk panitia baru yang terdiri atas Junius van Hemert,
Francois,Keijser,dan De pinto. Dalam waktu kurang dari 1 tahun mereka dapat
menyelesaikan tugasnya. KUHPidana bagi bangsa eropa ini merupakan
mengadopsi banyak dari Code Penal milik Perancis yang saat itu menjadi hukum
positif di Belanda, perbedaan yang paling terlihat dari struktur keduanya adalah
KUHPidana bagi orang eropa terdiri atas 2 buku sedangkan Code Penal Perancis
terdiri dari 4 buku sekaligus.15

Setelah selesai kodifikasi hukum bagi bangsa eropa, Kolonial Belanda


mulai memikirkan untuk golongan non eropa karena mereka merasa keadaan
hukum pidananya sangat beraneka-warna dan jauh dari kepastian hukum. Pada
tahun 1811 di negeri Belanda diselesaikan Kodifikasi hukum pidana nasional
menggantikan Code Penal milik Perancis pada tanggal 1 September 1886.16

13
Ibid., hlm. 34
14
Ibid., hlm. 39
15
Ibid., hlm. 43
16
Ibid., hlm. 46
Setelah itu Belanda merasa perlu untuk menyesuaikan kodifikasi hukum
pidana di Indonesia dengan hukum pidana di negeri Belanda. De Pauly akhirnya
diberi tugas untuk itu dan memerhatikan azas konkordansi dengan KUHPer
Belanda. Pada tahun 1891 ia berhasil menyelesaikan tugasnya.17 Setelah itu Koloni
Belanda berencana membuat suatu kodifikasi hukum bagi golongan Non Eropa
yang diberlakukan bersamaan dengan kodifikasi hukum golongan Eropa di Hindia
Belanda. Setalahnya, Slingenberg diberi tugas untuk menjalankan perintah dan
membuat suatu kodifikasi hukum bagi golongan non-eropa.Burgh berpendapat
bahwa hukum pidana Indonesia harus diunifikasi menjsi satu kitab hukum pidana
yang utuh untuk golongan Eropa maupun non Eropa.18 Oleh karenanya dibentuk
suatu panitia khusus untuk mempersatukan hal tersebut. Pada Oktober 1915
KUHPidana tersebut selesai dan diundangkan dalam LNHB 1915, tetapi
keberlakuan KUHPidana tersebut ditunda hingga 1 Januari 1918 untuk dijadikan
berlaku Bersama-sama dengan peraturan baru mengenai penjara.19

6. KUHPidana Tahun 1915-Sekarang

Dari tahun 1915 hingga saat ini KUHPidana masih tetap sama dan belum
diganti oleh suatu kitab hukum nasional Indonesia. Manfaat berlaku dari
KUHPidana itu sendiri kurang sesuai dengan kondisi saat ini dan bias dikatakan
terbelakang, KUHpidana sendiri di kopi dari Nederlands Strafwetboek yang 34
tahun lebih tua dari KUHPidana itu sendiri.20 Ditinjau dari aspek sosial,politik, dan
ekonomi pun biarpun ketentuan yang bersifat colonial telah dihapuskan oleh
Undang-Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1946 namun KUHPidana tetap
dirasa kurang memuaskan dan sangat terbelakang karena tidak adanya
pembaharuan yang signifikan.21

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana Indonesia


merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan penjajahan atas
Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai bangsa yang merdeka sejak

17
Ibid., Hlm. 47
18
Ibid., hlm. 49
19
Ibid.,
20
Ibid., hlm. 52
21
Ibid., hlm.54
17 Agustus 1945, maka selayaknya hukum pidana Indonesia adalah produk dari
bangsa Indonesia sendiri. Namun idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan
realitasnya. Hukum pidana Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan
hukum pidana warisan Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan
hukum pidana kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa
Indonesia. Benar adanya seruan dari Iwa Kusuma Sumantri bahwa Indonesia harus
merevolusionisasikan hukum yang berlaku khususnya hukum pidana yang telah
berumur lebih dari 1 abad ini.22 agar terciptanya suatu hukum yang lebih kolektif
dan nasional serta tetap memerhatikan hukum adat yang dijalankan berdasarkan
azas unifikasi (Pasal 102 UUDS) yang akan melahirkan suatu kesatuan hukum
nasional ciptaan bangsa Indonesia asli.23

22
Iwa Kusumasumantri. Revolusionisasi hukum Indonesia: pidato pelantikan Presiden
Universitas" Padjadjaran" sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, diutjapkan di Bandung pada
tanggal 2 April 1958. Inter Documentation Company, 1958.
23
E.Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana….,Hlm. 56
DAFTAR PUSTAKA

Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana. Surabaya:AUP , 2012

Kanter,Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.


Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982

Kusumasumantri, Iwa . “Revolusionisasi hukum Indonesia” pidato pelantikan


Presiden Universitas" Padjadjaran" sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Pidana,
diucapkan di Bandung pada tanggal 2 April 1958. Inter Documentation
Company, 1958

Ernst Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum pidana. Vol. 1. Bandung :


Penerbitan Universitas, 1962.

Anda mungkin juga menyukai