Anda di halaman 1dari 11

LEMBAR JAWABAN SOAL UTS HUKUM PIDANA KELAS A4.

2 SORE SEMESTER 2 (DUA)

NAMA : HENDRA
NPM : 202101374
KELAS : A4.2 SORE
SEMESTER : DUA
MK. : HUKUM PIDANA
DOSEN PENGAMPU : Harry Qurba, SH.,MH

1. Apa yang dimaksud dengan hukum materil dan hukum pidana formil ?

Jawaban:

a. Hukum pidana materiil adalah aturan hukum yang memuat tindakan pidana. Dimana di sini
termuat rumusan perbuatan pidana dan memuat syarat dan aturan untuk pelaku pidana. Sumber
hukum materiil inilah yang menentukan isi peraturan hukum yang sifatnya mengikat orang. 

b. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum yang digunakan sebagai dasar para penegak
hukum. Sederhananya, hukum pidana formil mengatur bagaimana Negara menyikapi alat
perlengkapan untuk melakukan kewajiban untuk menyidik, menjatuhkan, menuntut dan
melaksanakan pidana.

2. Jelaskan perbedaan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ?

Jawaban :

a. Hukum pidana umum merupakan hukum yang berlaku untuk semua penduduk dan warganegara
Indonesia, tanpa pengecualian. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum pidana umum inilah adalah
perundang-undangan pidana yang tertulis dalam KUHP.

b. Hukum pidana khusus adalah hukum yang diperuntukan oleh orang-orang tertentu, khususnya untuk
para sanksi pidana dan kasus di luar KUHP. Misalnya ada kasus tentang hukum pidana pajak, karena
tidak diatur dalam KUHP atau di UU Pidana, maka masuk ke hukum pidana khusus, dan tetap bisa
ditindaklanjuti.

3. Sebutkan jenis-jenis tindak pidana (delik) ?

Jawaban :
a). Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)
Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-pasal KUHP Indonesia yang
berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak menjelaskan secara tegas
apa yang dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran, juga tidak ada penjelasan mengenai
syarat-syarat yang membedakan antara delik kejahatan dengan delik pelanggaran.Secara doktrinal apa
yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang  seharusnya
dipidana karena bertentangan dengan keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-
undang. Delik kejahatan ini sering disebut mala per se atau delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran
adalah perbutan-perbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-
undang. Delik pelanggaran ini sering disebut sebagaib mala quia prohibiaatau delik undang-undang,
artinya perbuatan itu batru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undng-undang.

b). Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)
Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan itu mencocoki
rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini mensyaratkan suatu
perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa menyebut akibatnya. Atau dengan kata
lain yang dilarang undang-undang adalah perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat
yang dilarang yang ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan
menjadi soal. Atau dengan perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.

c). Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)


Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan sementara delik culpa adalah suatu
delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.

d). Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)


 Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau disyaratkan adanya
pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan maka delik itu tidak dapat
dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat dituntut tanpa membutuhkan adanya
pengaduan.

e). Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)


Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik umum ini sering disebut
gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu delik yang hanya
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat tertentu, pegawai negeri atau
anggota militer.

f). Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa


Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Apabila perbuatan yang
dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan delik commisionis. Suatu
perbuatan yang diharuskan oleh undang-undang  disbut delik ommisionis apabila perbuatan yang
diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan tidak berbuat berarti melakukan
delikommisionis. Sementara delik commisionis per ommisionem commissa adalah delik yang dapat
diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu.

g). Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut


Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja, artinya perbuatan yang
terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan atau telah selesai
menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang meliputi beberapa perbuatan
dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.

h). Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran


Menurut Konfrensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan delik politik adalah
suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga
Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delik-delik yang ditujukan untuk
kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah delik-delik yang mempunyai sifat
setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain bahwa delik ini seolah-olah Nampak
sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.

i). Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi


Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa
dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah delik yang berbentuk
khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat memperberat atau mengurangi ancaman
pidanya.

4. Jelaskan perbedaan antara delik aduan dan delik biasa?


Jawaban :
Pada dasarnya, dalam suatu permohonan pemrosesan suatu peristiwa pidana perlu diketahui terlebih
dahulu tentang apakah peristiwa pidana tersebut merupakan delik aduan (Klacht Delicten) atau delik
biasa (Gewone Delicten).

Drs. P.A.F. Lamintang, dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 217-218)


memberi pengertian delik aduan dan delik biasa, sbb :
“Delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang
yang dirugikan. Sedangkan delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan
adanya suatu pengaduan.”

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa terhadap permohonan pemrosesan peristiwa
pidana yang termasuk delik aduan hanya dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib (dalam hal ini
pemerintah yang diwakili oleh polisi, kejaksaan, dan hakim) apabila didahului dengan pengaduan dari
pihak yang merasa dirugikan, sedangkan permohonan pemrosesan peristiwa pidana yang termasuk delik
biasa dapat ditindaklanjuti oleh yang berwajib tanpa harus didahului dengan pengaduan terlebih dahulu.
Contoh peristiwa hukum yang termasuk delik aduan diantaranya adalah Pencemaran nama baik,
pencurian uang orang tua oleh anggota keluarga dan menghilangkan barang milik orang lain sedangkan
yang termasuk delik biasa diantaranya adalah pencurian, penipuan dan penggelapan uang.
Perlu diingat bahwa delik aduan memiliki batas waktu pengaduan, Pasal 74 KUHP mengatur bahwa
pengaduan hanya boleh diajukan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan apabila berdomisili di Indonesia
terhitung sejak orang yang dirugikan mengetahui adanya suatu peristiwa pidana atau dalam waktu 9
(Sembilan) bulan apabila berdomisili di luar Indonesia.

5. Jelaskan unsur delik sebagai syarat pemidanaan menurut alairan monisme dan dualisme
?
Jawaban :

Dari  perbedaan  pendapat  mengenai  penafsiran  istilah  strafbaarfeit  oleh  para  ahli  hukum  pidana, 
maka  menurut Sianturi (1986: 209) dikenal  adanya  2  (dua)  pandangan  mengenai  unsur-unsur 
delik.

A. Pandangan  Monistis/ monisme


Pandangan  ini  merumuskan  unsur-unsur  delik  sebagai  berikut:

1. Mencocoki  rumusan  delik.


2. Ada  sifat  melawan  hukum.
3. Ada  kesalahan  yang  terdiri  dari  dolus  dan  culpa  dan  tidak  ada  alasan  pemaaf.
4. Dapat  dipertanggungjawabkan.
Jadi  apabila  salah  satu  unsur  di  atas  tidak  terpenuhi  maka  seseorang  tidak  dapat  dipidana  atau 
dengan  kata  lain  tidak  ada  delik.

B. Pandangan  Dualistis/ Dualisme


Pandangan  ini  disebut  juga  aliran  modern  dan  berpendapat  bahwa  syarat-syarat  pemidanaan 
terdiri  atas  perbuatan  atau  pembuat  yang  masing-masing  memiliki  unsur  sebagai  berikut:

1. Unsur-unsur  yang  termasuk  perbuatan  adalah:

–  Mencocoki  rumusan  delik

–  Ada  sifat  melawan  hukum  (tidak  ada  alasan  pembenar)

2. Unsur-unsur  yang  termasuk  pembuat  adalah:


–  Kesalahan  (dolus  dan  culpa)
– Dapat  dipertanggungjawabkan  (tidak  ada  alasan  pemaaf)

7. Jelaskan apa yang dimaksud bentuk perbuatan delicta commisionis per omissionem commissa?

Jawaban :

   Dilihat dari cara melakukannya, delik (tindak pidana) dapat terjadi karena melakukan sesuatu tindakan
yang dilarang (commissie delict) atau tidak melakukan suatu tindakan yng diharuskan oleh undang-
undang (omissa delict) atau campuran dari keduanya (commissionis per omissionem commissa).

A. Delik commissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang undang-
undang. Delik ini dilakukan dengan aktif, misalnya membunuh (Pasal 338 KUHP), mencuri (Pasal 362
KUHP), menipu (Pasal 378 KUHP), menggelapkan (Pasal 372 KUHP), dsb.  

B. Delik omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, tidak berbuat atau
melakukan sesuatu yang diharuskan/diperintahkan. Misalnya delik yang dirumuskan dalam Pasal 164
KUHP (tidak segera melaporkan adanya suatu pemufakatan jahat yang diketahuinya), Pasal 224
KUHP (tidak memenuhi panggilan sebagai saksi ahli atau juru bahasa), Pasal 531 KUHP (tidak
menolong orang yang memerlukan pertolongan).

C. Delik commissionis per omissionem Commissa adalah delik yang berupa pelanggaran larangan tetapi
dapat dilakukan dengan tidak berbuat. Misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan
jalan tidak member makan pada anak itu.

8. Jelaskan apa yang dimaksud sifat melawan hukum materil dan sifat melawan hukum formil?
Jawaban :

Dalam Hukum Pidana Sifat melawan hukum suatu perbuatan dibedakan menjadi dua macam yaitu sifat
melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil sebagaimana dikemukakan oleh Sofjan
Sastrawidjaja dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana Sampai dengan
Alasan Peniadaan Pidana” halaman 152, antara lain sebagai berikut:[2]
a. Sifat melawan hukum formil (formele wederrchtelijkheid)
     Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan
yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah
ditentukan dalam undang-undang pula. Bagi pendapat ini melawan hukum berarti melawan undang-
undang, sebab hukum adalah undang-undang;

b. Sifat melawan hukum materil (materielewederrchtelijkheid)


Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat
melawan hukum. bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undang-undang (hukum
yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yaitu kaidah-kaidah atau kenyataan-
kenyataan yang berlaku di masyarakat.

 Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi telah merumuskan pengertian perbuatan melawan


hukum dalam persepektif hukum pidana  melalui Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli
2006 Tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang membatalkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun arti materiil, yakni meskipun        perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Maka perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat.
Maka dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melanggar ras keadilan serta
norma-norma kehidupan soial dalam masyarakat.

6. Jelaskan syarat-syarat suatu perbuatan dapat dihukum?


Jawaban :

Menurut pasal 53 KUHP, supaya percobaan pada kejahatan dapat dihukum, maka harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu.


2. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu.
3. Perbuatan kejahatan itu tidak sampai selesai karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul dari luar
kemauan penjahat itu sendiri.

X bermaksud mencuri televisi dirumah Y. Untuk melaksanakan niatnya, X membongkar dan merusak
jendela rumah Y. X masuk kerumah Y. X mengangkat dan hendak mengeluarkan televisi milik Y.
Sesaat sebelum keluar dari rumah, Y melihat X dan kemudian mengejar X. Karena beban televisi yang
berat, X lalu meletakkan televisi tersebut dan melarikan diri.

Kasus diatas merupakan contoh poging/percobaan tindak pidana. Ketiga unsur sebagai syarat poging
sudah terpenuhi, dimana niat ada, dan niat tersebut telah dilaksanakan serta perbuatan tersebut tidak
selesai karena adanya faktor lain dari luar diri si pelaku. Sanksi terhadap percobaan di atur dalam pasal
53 ayat (2)(3) KUHP :
(2) maksimal hukuman pokok atas kejahatan dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.
(3) Kalau kejahatan itu di ancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka di jatuhkan
hukuman penjara paling lama lima belas tahun.

9. Jelaskan apa konsekuensi jika unsur melawan hukum tidak dicantumkan secara tegas dalam
rumusan delik?

Jawaban :

Konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan istilah dalam bahasa Belandanya
yaitu “wederechtelijk”. Dalam tindak pidana unsur melawan hukum sangat penting karena unsur inilah
yang akan menentukan apakah seseorang layak dijatuhkan pidana atau tidak. Perbedaan pengertian
hukum dan undang-undang berakibat berbedanya pengertian “sifat melawan hukum” dan “sifat
melawan undang-undang”. Bersifat melawan undang-undang berarti bertentangan dengan undang-
undang atau tidak sesuai dengan larangan/keharusan yang ditentukan dalam undang-undang atau
menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukum
berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan atau  keharusan hukum atau
menyerang suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.

Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana tersimpul dalam pernyataan van Hamel dalam
buku Eddy O.S. Hiariej (2014:194)  yang menyatakan “Sifat melawan hukum dari suatu perbuatan
pidana adalah bagian dari suatu pengertian yang umum, pembuat undang-undang pidana tidak selalu
menyatakan bagian ini tetapi ini merupakan dugaan. Demikian pula
pendapat Noyon dan Langemeijer yang menyatakan “Pengertian melawan hukum bagaimanapun
masih menjadi perhatian sebagai unsur rumusan delik. Dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat
dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai
bersifat melawan hukum  atau selanjutnya akan dipandang demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak
bersifat melawan hukum tidak ada artinya”  

Melawan hukum sebagai syarat khusus atau Speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata “melawan
hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan hukum  merupakan syarat
tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Kemudian Simons mengatakan dalam buku S.R.
Sianturi (2002:143) pengertian dari bersifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum pada
umumnya, tetapi dalam hubungan bersifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari delik. Jika ada
perselisihan mengenai ada tidaknya sifat melawan hukum dari suatu tindakan, hakim tetap terikat pada
perumusan undang-undang. Artinya yang harus dibuktikan hanyalah yang dengan tegas dirumuskan
dalam undang-undang dalam rangka usaha pembuktian.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana itu dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu : 

1.   Sifat Melawan Hukum Formil


Sifat melawan hukum formil atau Formeel wederrechtelijkheid  mengandung arti semua bagian (unsur-
unsur) dari rumusan delik telah di penuhi. Demikian pendapat Jonkers yang  menyatakan “Melawan
hukum formil jelas adalah karena bertentangan dengan undang-undang tetapi tidak selaras  dengan
melawan hukum formil, juga melawan hukum materil, diantara pengertian sesungguhnya dari melawan
hukum, tidak hanya didasarkan pada hukum positif tertulis, tetapi juga berdasar pada asas-asas umum
hukum, pula berakar pada  norma-norma yang tidak tertulis. Sebagaimana yang diatur dengan Pasal 1
ayat (1) KUHP, untuk dipidananya setiap perbuatan menganut sifat melawan hukum formil”. Para
penganut sifat melawan hukum formil mengatakan, bahwa pada setiap pelanggaran delik sudah dengan
sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari tindakan pelanggaran tersebut.

2.   Sifat Melawan Hukum Materil


Sifat melawan hukum materil atau materiel wederrechtelijkheid   terdapat dua pandangan. Pertama.
Sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut perbuatanya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang
melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat  undang-
undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materil ini dengan sendirinya
melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara materil. Kedua. Sifat melawan hukum materil dilihat
dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis
atau hukum yang hidup  dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan
sosial dalam masyarakat.

Dengan demikian, bahwa pandangan sifat melawan hukum formilmengatakan bahwa setiap
pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum dari pelanggaran tersebut.
Berbeda dengan pandangan sifat melawan hukum materil yang menyatakan bahwa “melawan hukum”
merupakan unsur mutlak dalam perbuatan pidanaserta melekat pada delik-delik yang dirumuskan secara
materil sehingga membawa konsekuensi harus dibuktikan oleh penuntut umum.
10. Jelaskan apa maksud pembuat undang-undang dalam beberapa rumusan delik perlu
dicantumkan unsur melawan hukum?
Jawaban :
Unsur – Unsur Perbuatan Melawan Hukum

1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum yang dimaksud disini merupakan adanya perbuatan atau tindakan dari
pihak tergugat yang melawan hukum berlaku dan perbuatan hukum ini dalam menentukan suatu
perbuatan dapat dikuantifisir sebagai melawan hukum dengan dibutuhkan empat kriteria , dan empat
kriteria tersebut adalah :

 Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku


 Bertentangan dengan hak subyektif orang lain
 Bertentangan dengan kesusilaan
 Bertentangan dengan kepatutan , ketelitian , dan kehati – hatian

Namun dulu , pengertian melanggar hukum ditafsirkan sempit karena hanya hukum tertulis saja, yaitu
undang-undang. Jadi seseorang atau badan hukum hanya bisa digugat kalau dia melanggar hukum
tertulis (undang-undang) saja jadi pada intinya Perbuatan melawan hukum berarti adanya perbuatan
atau tindakan dari pelaku yang melanggar/melawan hukum. Dan sejak tahun 1919 , dimana terdapat
putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Arrest Cohen – Lindenbaum ( H.R. 31 Januari 1919 )
yang dimana telah memperluas pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada undang –
undang ( hukum tertulis saja ) tapi juga hukum yang tidak tertulis dan adapun hukum yang tidak
tertulis nya sebagai berikut :

 Melanggar Undang-Undang

Melanggar undang undang merupakan perbuatan yang dilakukan jelas-jelas melanggar undang-
undang.

 Melanggar hak subjektif orang lain

Melanggar hak subjektif orang lain disini bahwa jika perbuatan yang dilakukan telah melanggar hak-
hak orang lain yang dijamin oleh hukum (termasuk tapi tidak terbatas pada hak yang bersifat pribadi,
kebebasan, hak kebendaan, kehormatan, nama baik ataupun hak perorangan lainnya.
 Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

Bertentanga dengan kewajiban hukum si pelaku memiliki makna yang dimana  kewajiban hukum
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk hukum public .

 Bertentangan dengan kesusilaan

Yang dimaksud dengan bertentangan dengan kesusilaan yakni melanggar kaidah moral (Pasal 1335
Jo Pasal 1337 KUHPerdata)

 Bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang sepatutnya dalam masyarakat.

Kriteria ini bersumber pada hukum tak tertulis (bersifat relatif). Yaitu perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan sikap yang baik/kepatutan dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan
orang lain.

2. Adanya Kesalahan

Pada praktiknya ada dua macam yang termasuk kedalam kategori kesalahan yaitu karena kesengajaan
atau karena kealpaan . Kealpaan disini bermakna bahwa terdapat perbuatan yang mengabaikan sesuatu
yang mestinya dilakukan atau tidak berhati – hati sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain dan
beda halnya dengan kesengajaan yang dimana adanya kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu
konsekuensi dari perbuatannya yang akan merugikan orang lain . Namun demikian adakalanya suatu
kedaan tertentu yang dapat meniadakan unsur kesalahan misalnya dalam hal keadaan memaksa atau
yang lebih kenal overmacht atau si pelaku tidak sehat pikirannya ( gila )

3. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan (Hubungan Kausalitas)

Unsur adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan bermakna adanya hubungan
sebab akibat antara perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang muncul . Misalnya seperti kerugian
yang terjadi disebabkan perbuatan si pelaku atau dengan kata lain, kerugian tidak akan terjadi jika
pelaku tidak melakukan perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan kata lain perbuatan orang yang
bersangkutan menjadi sebab atas akibat berupa kerugian bagi orang yang lain.

4. Adanya Kerugian

`    Unsur perbuatan melawan hukum disini adanya kerugian yang bermakna bahwa perbuatan yang
bersangkutan memang benar – benar menimbulkan kerugian bagi orang lain . Kerugian disini dapat
dikategorikan dua macam yakni kerugiaan materiil dan kerugian immaterial . Kerugian materiil disini
merupakan sesuatu yang bisa dihitung dan dinominalkan seperti uang , tabrakan mobil , barang ,
hilangnya keuntungan dan lain lainnya dan jika kerugiaan immaterial merupakan kerugian yang
bersifat abstrak dan tidak begitu saja langsung bisa dihitung nominalnya contohnya sepertti penyesalan
, ketakutan , trauma , kekecewaan , rasa sakit dan lain sebagainya

Adapun pemberian ganti kerugian menurut KUHPerdata sebagai berikut :

1. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata)
2. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367 KUHPerdata). Pasal
1367 ayat (1) KUHPerdata, seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam pengawasannya (vicarious
liability)
3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368 KUHPerdata)
4. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369 KUHPerdata)
5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370
KUHPerdata)
6. Ganti rugi karena telah luka tau cacat anggota badan (Pasal 1371 KUHPerdata)
7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata)

KUHPerdata tidak mengatur soal ganti kerugian yang harus dibayar karena Perbuatan Melawan
Hukum sedang Pasal 1243 KUHPerdata membuat ketentuan tentang ganti rugi karena Wanprestasi.

Maka menurut Yurisprudensi ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk
menentukan ganti kerugian karena Perbuatan Melawan Hukum .

Anda mungkin juga menyukai