PERTEMUAN 11
Trias Politica
A. TUJUAN BELAJAR
B. URAIAN MATERI
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai
negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara
tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di
lembaga-lembaga negara yang berbeda. Salah satu ciri Negara hukum, yang dalam
bahasa inggris disebut dengan legal state atau based on the rule of law, dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara. Meskipun kedua istilah tersebut itu memiliki
latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide
pembatasan kekuasaan1. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan
kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif
adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang
melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya
pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika
ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun
yang melanggar undang-undang. Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang
berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari
korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and
balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Walaupun demikian, jalannya Trias Politika
di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan. Pengertian pembagian
kekuasaan pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah
dalam beberapa bagian, baik menganai orangnya maupun menganai fungsinya.
Kenyataan menunjukkan bahwa suatu pemisahan kekuasan yang murni tidak dapat
dilaksanakan seperti tidak dapat diuraikan di bawah ini, karena pembagian kekuasaan
yang berarti kekuasaan itu bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa
1
Jimly Asshiddiqie, Prof.,DR., SH., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo
Persada, 2009, Jakarta, hal 281
bagian, tetapai tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-
bagian itu dimungkinkan adanya kerjasama. Jika kita berbicara tentang teori yang pertama
kita bicarakan yaitu John Locke dalam bukunya yang terkenal “Two Trites on Civil
Governemtn” dimana dalam bab XII yang berjudul “Of Legislatif Executive aand
federative”. Kekuasaan legislative kekuasaan untuk membuat UU, eksekutif kekuasaanh
untuk melaksanakan UU sedangkan federative adalah kekuasaan yuang meliputi
kekuasaan untuk menganai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta
segala tindakan dengan nama orang dan badan-badan di luar negeri. Adanya kekuasan
federative yang mempunyai kekuasaan yang banyak hubungannya dengan negara lain,
disebabkan karena negara-negara Inggris pada waktu itu mempunyai banyak jajahan.
Pendapat John Lock diperkuat oleh Montesquuieu dalam bukunya “L Esprit des
lois” mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan
yaitu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kekuasaan Eksekutif sama seperti John Lock
diartikan sebagai kekuasaan yang menjalankan UU hanya kekuasaan Yudikatif kekuasaan
yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari eksekutif. Kekuasaan untuk mengadili
dilakukan oleh kekuasaan yudikatif. Dengan demikian pada hakekatnya pendapat John
Lock dan Pendapat Montesqueiu tidak berbeda jauh, namuan hanya penekanannya pada
kepentingan untuk di negara RI kita mengenai dengan sebutan “Trias Politika” kenapa
demikian. Karena praktek ketatanegaraan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pembuatan
UU yang seharusnya merupakan tugas legislative saja, eksekutif juga telah diikutsertakan.
Keadaan ini sudah merupakan tuntutan jaman, kenapa demikian karena eksekutiflah yang
mempunyai banyak tenaga ahli, jika dibandingkan dengan legislative karena pengalaman
dan beberapa hal karena pengalaman dan banyak data-data yang diperlukan.
Maka eksekutif pulalah yang mempunyai fasilitas yang cukup untuk memikirkan
dan menyusun suatu RUU. Yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya dan
sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang
sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan
hidup antara warga negaranya. Bagi Aristoteles yang memerintahkan dalam negara
bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang
menentukan baik dan tidaknya suatuperaturan UU dan membuat UU adalah sebagian dari
kaca pan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu kata Aristoteles, bahwa
yang terpenting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari
sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya, dengan demikian
ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idam-idaman bagi para negarawan
guna menciptakan negara hukum. Suatu negara akan bisa dikatakan berjalan dengan
baik, apabila di suatu negara tersebut adanya terdapat sebuah wilayah atau daerah
teritorial yang sah, dimana didalamnya terdapat suatu pemerintahan yang sah diakui dan
berdaulat secara konstitutif, serta diberikan kekuasaan yang sah untuk mengatur setiap
rakatnya2. Karena banyak campur tangan pemerintah terhadap urusan penyelenggaraan
kepentingan umum yang harus ditanggulangi sehubungan dengan pesatnya
perkembangan kebutuhan masyarakat, maka seringkali tugas membuat UU itu
ketinggalan jaman, sedangkan selain pihak pemerintah harus bertindak cepat, sehingga
azas negara hukum dalam arti sempit yaitu mencegah campur tangan pmerintah dalam
urusan kesejahteraan rakyat ditinggalkan. Akibarnya maka sering terjadi pergeseran
kekuasaan karena pemerintah tidak dapat menunggu UU yang dibuat badan legislatif
sehingga dalam kenyataannya pada negara semacam ini (welfare state) kekuasaan
legislative berpindah kepada pemerintah, dan supremasi dari legislatif bergeser
padasupremasi dari eksekutif. Lain dari pada negara Eropa Barat, di Inggris sebutan bagi
negara hukum (rechtstaat) adalah “The Rule of Law” sedangkan Amerika Serikat
diucapkan sebagai “Government of Law but not or man”. The Rule of Law ini antara lain
dikemukakan oleh A.V. Dicey yang meliputi tiga unsur yaitu:
c. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-
hak azasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegas
bahwa hak asasi itu harus dilindungi.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu
kekuasaan atau kekuatan apapun juga.
2
Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi ,Paradigma, Yogyakarta,
2010, hal 78
Pada masa lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya
mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala
suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik
yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh
para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-
dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika
yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada
perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah.
Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Namun,
keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami
pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki
atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu
orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya. Pada abad Pertengahan
(kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki
(raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda
perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai
koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di
kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan
pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau,
Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang
seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2
pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah
John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari
Perancis.
perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah,
maupun kastil. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari
serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi
tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di
tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut
adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
1) Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-
undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah
bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk
situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya.
Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah
masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata
tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya.
Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan
untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3
kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum
bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias
Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan
Perancisnya, Montesquieu.
b. Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan
pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya
termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai
berikut “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif;
kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum
antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung
pada hukum sipil.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-
negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini.
Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-
konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih
(Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para
pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d
400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban
amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting
bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan
di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Supervision and
Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya
pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera
Kesimpulan
Soal :
1. Apa yang saudara ketahui tentang Trias Politica ?
2. Jelaskan kekuasan Trias Politica di Indonesia dengan Negara lain
3. Bagaimanakah pendapat saudara tentang pelaksanaan Trias Politica di Indonesia?
4. Adakah kesamaan pandangan pendapat John Locke dengan Montesquieu
5. Apa yang dimaksud fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif
D. DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, Prof.,DR., SH., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo
Persada, 2009, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan :