Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN
1.4 LATAR BELAKANG MASALAH

Salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam perubahan UUD
1945 adalah prinsip negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa ‘Negara Indonesia adalah negara hukum’.
Bahkan secara historis negara hukum (Rechtsstaat) adalah negara yang diidealkan
oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD
1945 sebelum perubahan tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan
bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Prinsip-prinsip negara hukum senantiasa berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
semakin kompleksnya kehidupan masyarakat di era global, menuntut
pengembangan prinsip-prinsip negara hukum.
Demokrasi sebagai dasar hidup berbangsa pada umumnya memberikan pengertian
bahwa adanya kesempatan bagi rakyat untuk ikut memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijakan pemerintah, oleh karena kebijakan tersebut menentukan kehidupannya.
Dengan kata lain dalam suatu negara demokrasi terdapat kebebasan-kebebasan
masyarakat untuk berpartisipasi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Dengan terlibatnya masyarakat dalam penentuan kebijakan publik merupakan
pencerminan suatu negara merupakan negara yang menganut hukum dan
demokrasi yang berjalan seiring dan saling melengkapi. Negara sebagai organisasi
masyarakat yang mempunyai tujuan ideal yang ingin dicapai tidak akan
mengkesempingkan perananan masyarakat dalam merumuskan dan
mengimplementasikan tujuan bersama tersebut.
Negara yang berhasil menerapkan demokrasi adalah negara yang mampu
memelihara keseimbangan antara kebebasan, penegakan hukum, pemerataan
pendidikan dan perbaikan ekonomi. Dari empat sokongan itu, keseimbangan
antara kebebasan dan penegakan hukum akan memperkuat dua pilar berikutnya.
Diperlukan upaya meningkatkan peran dan kualitas demokrasi dari tingkat
prosedural ke level substansial.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
permasalahan tentang bagaimanakah hubungan antara negara hukum dan
demokrasi.

1.5 PERUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian negara hukum ?


2. Bagaimana hubungan antara negara hukum dan demokrasi ?
3. Bagaimana ciri-ciri negara hukum ?
4. Apa prinsip-prinsip negara hukum ?
1.6 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah KAPSEL
HTN dan ingin lebih mengetahui dan mengkaji tentang hukum dan demokrasi serta
untuk mengetahui hubungan negara hukum yang demokratis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Pengertian Negara Hukum
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte,
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan
dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl,
konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.
Secara sederhana yang dimaksud negara hukum adalah negara yang
penyeleggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Di dalamnya
negara dan lembaga-lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus
dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dalam
negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan
hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum. (Mustafa Kamal Pasha,2003).
Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi
(supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak
boleh mengabaikan tiga dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Oleh karenanya negar dalam melaksakan hukum harus memperhatikan tiga hal
tersebut. Dengan demikian hukum tidak hanya sekedar formalitas atau prosedur
belaka darikekuasaan. Apabila negara berdasarkan hukum maka pemerintahan
negara itu harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai
landasan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi negara merupakan sarana
pemersatu bangsa. Hubungan antar warga negara dengan negara, hubungan anatar
lembaga negar dan kinerja masing-masing elemen kekuasaan berada pada satu
sistem aturan yang disepakati dan dijunjung tinggi.
2.2 Ciri-ciri Negara Hukum
Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Kontinental memberikan
ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut.
1. Hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasai manusia
yang biasa dikenal sebagai Trias Politika
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Adapun AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan
ciri-ciri Rule of Law sebagai berikut.
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan
sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi
pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia dalam undang-undang atau keputusan
pengadilan.
Di samping perumusan ciri-ciri negara hukum seperti di atas, ada pula berbagai
pendapat mengenai ciri-ciri negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli.
Menurut Montesquieu, negara yang paling baik ialah negara hukum, sebab di
dalam konstitusi di banyak negara terkandung tiga inti pokok, yaitu
1. Perlindungan HAM
2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, dan
3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Mustafa Kamal Pasha (2003) menyatakan adanya tiga ciri-ciri khas negara hukum,
yaitu
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
2. Peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain dan tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau
unsur-unsur dari negara hukum, yakni:
1. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya
negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh
hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai hak
terhadap penguasa.
2. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan terlebih
dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
1. Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan
kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan,
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam
satu tangan.
2.4 Prinsip-Prinsip Negara Hukum
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari
negara hukum diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum,
asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent,
peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata
negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk
mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial.
1. Tujuan Negara Hukum
Seperti kita ketahui bahwa masalah negara hukum pada hakikatnya
tidak lain daripada persoalan tentang kekuasaan. Ada dua sentra kekuasaan. Di
satu pihak terdapat negara dengan kekuasaan yang menjadi syarat mutlak
untuk dapat memerintah. Di lain pihak nampak rakyat yang diperintah segan
melepaskan segala kekuasaannya. Kita menyaksikan bahwa apabila penguasa
di suatu negara hanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan
sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kebebasan rakyatnya, maka lenyaplah
negara hukum. Dengan demikian nyatalah betapa penting tujuan suatu negara
dalam kaitannya dengan persoalan kita.
Menurut Van Apeldoorn tujuan hukum ialah mengatur tata tertib
masyarakat secara damai dan adil. Perdamaian diantara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan
manusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta dan sebagainya
terhadap yang merugikannya. Kepentingan dari perorangan dan kepentingan
golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan selalu menyebabkan pertikaian. Bahkan peperangan antara semua
orang melawan semua orang, jika hukum tidak bertindak sebagai perantara
untuk mempertahankan kedamaian. Hukum mempertahankan perdamaian
dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan
mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai
tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang
adil. Artinya, peraturan yang mengandung keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi sehingga setiap orang memperoleh
sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Menurut Montesqueu, negara yang paling baik ialah negara hukum,
sebab di dalam konstitusi di banyak negara mempunyai tiga inti pokok yaitu:
1. Perlindungan HAM
2. Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara
3. Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Disamping itu salah satu tujuan hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya
kepastian hukum (rechtzeker heid). Kepastian hukum menjadi makin
dianggap penting bila dikaitkan dengan ajaran negara berdasar atas hukum.
Telah menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu hukum bahwa hukum tertulis
dipandang lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan hukum
tidak tertulis.
Negara Indonesia sudah menjadi negara hukum yang demokratis. Langka
h
pertama untuk membuktikan bahwa jawaban ini beralasan adalah mencari
kriteria tentang negara hukum yang demokratis.
Menurut Konperensi The International Commision of Yurist di Bangkok
pada
1965, dikemukakan syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi oleh Repres
entative
Government Under The Rule of Law (Negara hukum yang demokratis)
adalah:
1. Adanya proteksi konstitusional.
Proteksi konstitusional adalah adanya perlindungan dari negara kepada
rakyatnya mengenai hak-hak asasi
manusia secara konstitusional. Hal ini termasuk adanya
jaminan dalam hukum, cara memperoleh perlindungan tersebut.
2. Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
Lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak adalah adanya
lembaga kehakiman yang mandiri, dan di dalam melaksanakan proses
peradilan tidak akan mendapatkan pengaruh dari mana pun dan tidak
boleh memihak kepada siapa pun, termasuk kepada penguasa.
3. Adanya pemilihan umum yang bebas.
Pemilihan umum yang bebas adalah terselenggaranya pemilihan u
mum dengan tanpa adanya paksaan dan penekanan kepada rakyat
yang melakukan hak pilihnya.
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
Kebebasan menyatakan pendapat adalah rakyat berhak dan
memperoleh jaminan
dalam hukum untuk dapat mengeluarkan pendapat baik secara tert
ulis maupun lisan, baik sendiri maupun bersama-sama.
5. Adanya kebebasan berserikat dan melakukan oposisi.
Kebebasan berserikat dan melakukan oposisi adalah adanya jaminan
dalam hukum
bagi rakyat untuk mendirikan perserikatan atau partai politik yang
didirikan tersebut, dan
rakyat mempunyai kebebasan melakukan oposisi atau kritik yang
membangun baik melalui wakil rakyatnya (dalam forum lembaga
perwakilan rakyat) maupun tidak, asalkan menurut peraturan
perundang-undangan.
6. Adanya pendidikan civic.
Pendidikan civic ialah dilakukannya pendidikan
kewarganegaraan kepada rakyat,
sehingga rakyat dapat mengetahui dan mengerti hak apa saja yang
dimiliki dan
kewajiban apa saja yang harus dilakukan berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku (Toto Pandoyo, 1983: 98)
Berdasarkan beberapa kriteria tersebut di atas, kami akan mengurai
satu per satu
kreteria yang dapat dipakai sebagai alasan bahwa hipotesa kami y
aitu secara formal Indonesia sudah menjadi negara hukum yang
demokratis, adalah benar. Namun, secara meteriil masih perlu
didiskusikan.
Adanya perlindungan konstitusional
Kalau kita membaca UUD 1945 sebelum diamandemen pada 2000, di sana hanya ada tujuh butir ketentuan
yang mengatur tentang HAM, yaitu pasal 27 ayat (1), Pasal 27
ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan pasal 34.
Pasal-pasal tersebut jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan saja yang memang
benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan,
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama
sekali bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak
warga negara atau the citizens’ rights. Jika jumlah pasal yang mengatur tentang HAM
antara sebelum UUD 1945 diamandemen dan sesudah UUD 1945 diamandemen tentu sangat jauh beda
jumlahnya. Hal demikian ini karena sejarahnya.
Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak
Pasal 1 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia’.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung
pengertian didalamnya kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara
lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudicial,
kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh undang-
undang. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicial tidaklah mutlak sifatnya,
karena tugas dari Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang
jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusan mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia”. UU ini
merupakan pelaksanaan dari Pasal 24 UUD 1945, dibuat pada masa Orde Baru , diundangkan pada
17 Desember 1970 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto.
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan dan intervensi kekuatan di luarnya merupakan masalah
yang sangat esensial dalam penegakan hukum. Kalau kita membaca Pasal 1 UU Nomor 14
Tahun 1970, maka kita akan percaya bahwa hakim pasti akan menegakkan hukum dan keadilan. Namun
kenyataannya, selama Orde Baru jaminan UUD dan undang-undang atas kekuasaan kehakiman yang
merdeka, tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Dalam berbagai perkara yang berkaitan dengan eksistensi, kebijakan atau
kewibawaan kekuasaan, majelis hakim bukan saja dituntut bertindak hati- hati, tetapi adakalanya wajib
mengikuti kehendak yang berkuasa.
Di suatu tempat di Jawa Barat, seorang pelajar di hadapkan ke pengadilan pidana, hanya karena ada yang
mendengar pelajar tersebut sambil bermain dengan kawan-kawannya mengomentari gubernur yang sedang
berkampanye. Dalam memeriksa perkara-perkara gugatan PDI pimpinan Megawati, pengadilan menerima
pesan bahkan arahan agar tidak
memberi peluang beracara apalagi memenangkan gugatannya. Kekuasaan menjelma menjadi sesuatu
yang tidak pernah dapat bersalah apalagi dipersalahkan. Kelompok “Petisi Lima Puluh” bertahun-tahun
dikucilkan dan dicabut berbagai kebebasannya (berniaga, bepergian, menghadiri pertemuan, dan lain-lain),
hanya karena menyampaikan pendapat yang dianggap mengusik kekuasaan yang tidak boleh disentuh oleh
perbedaan pendapat dan kritik. (Bagir Manan, 2005: 121)
Peristiwa sebagaimana dicontohkan oleh Bagir Manam tersebut, karena sebelum
amandemen UUD 1945, secara struktural kekuasaan kehakiman tidak dapat lepas dari
kekuasaan lembaga eksekutif. Dengaan adanya Departemen Kehakiman dapat timbul
pandangan bahwa kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya merdeka. Kiranya tidak
proposional apabila para hakim itu dibina oleh satu unit organisasi yang bernaung di bawah lembaga
eksekutif seperti Departemen Kehakiman, meskipun itu hanya menyangkut
administrative dan finansial. Paling tidak ada kesan bahwa para hakim itu menjadi bawahan eksekutif.
Posisi hakim terhadap eksekutif dapat dibaca dalam Pasal 11 ayat (1)
UU Nomor 14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa ‘Badan-badan yang melakukan
peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administrative, dan finansial ada di bawah
kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan’. Para hakim yang berada di bawah
Departemen menurut undang-undang tegas hanya dalam bidang organisatoris,
administrative dan financial, namun tetap ada kekhawatiran akan gangguan kebebasan hakim
menjadi alasan. Karena bagaimana pun karier para hakim akan bergantung juga kepada departemen.
Meskipun secara formal hakim memiliki kebebasan dalam menangani suatu perkara, namun mungkin
terjadi bahwa sebagai pegawai negeri secara psikologis
hakim tidak berani mengambil sikap untuk membuat keputusan-keputusan yang
bertentangan dengan kebijakan pemerintah yeng merupakan induk korpsnya. Kekhawatiran akan
terhambatnya karier atau dimutasikan ke daerah-daerah yang kering dapat saja memengaruhi hakim dalam
menangani suatu perkara, apalagi jika perkara itu menyangkut kepentingan instansi pemerintah atau oknum
pejabat atau keluarganya.
Keinginan agar pembinaan badan peradilan di bawah satu atap dengan Mahkamah Agung, sudah
dimulai pada awal Orde Baru yaitu ketika Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)
Jawa Tengah menyampaikan pendapat agar badan-badan peradilan baik secara organisatoris
maupun secara administrative dan financial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat
perlengkapan negara yang berdiri sendiri, dan sejalan dengan itu Departemen Kehakiman tidak diperlukan
lagi.
Namun, jika tugas-tugas Departemen Kehakiman selain pembinaan badan-badan peradilan masih
dipandang perlu dilakukan oleh sebuah departemen, maka departemen itu jangan bernama Departemen
Kehakiman melainkan diberi nama lain misalnya Departemen
Hukum dan Perundang-undangan atau nama lain. Gagasan IKAHI Jawa Tengah ini kemudian diambil
alih menjadi sikap Pengurs Puasat IKAHI melalui putusan tanggal 16
Juni 1996 yang ketika itu mendapat dukungan dari Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun ciri negara hukum yang demokratis ialah sebagai berikut
1. Adanya proteksi konstitusional.
2. Adanya lembaga pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya pemilihan umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat.
5. Adanya kebebasan berserikat dan melakukan oposisi.
6. Adanya pendidikan civic.

3.2 Saran
Sebagai Negara hukum sudah sepatutnya hukum itu harus dipatuhi dan
di taati agar terciptalah Negara yang sejahtera, agar demikian masyarakat yang
ada didalam dapat terlindungi hukum dari hal-hal yang meresahkan dan tidak
mengenakan, sebagai Negara hukum Indonesia adalah salah satu Negara yang
menjunjung hukum agar ketentraman di Negara Indonesia senantiasa terjaga
dan terpelihara agar terciptalah kesejahteraan dan ketentraman dalam
bermasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai