Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA

DIKTAT

Materi Kedua Mata Kuliah


Hukum pidana

Oleh;
BAHORI,SH.MH.
Dosen Tetap

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM PAINAN


TANGERANG 2021
SEJARAH HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Masa Pra Sejarah


 
Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang
sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut
tertuang dalam keputusan para raja ataupundengan kitab
hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi
bahwaadagium ubi societas ibi iussangatlah tepat. Karena di
manapun manusia hidup,selama terdapat komunitas dan
kelompok maka akan ada hukum.

Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan


hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala
belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum
lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada
campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang
sangat pesat dalam masyarakat.Hukum pidana yang berlaku
saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku
aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar
macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun
menerapkan aturan hukum pidana.Kitab peraturan seperti
Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram,
jayalengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku
dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga
menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati
oleh masyarakat nusantara.

1
Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh
agama dan kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai
peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu.
Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari
konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus
lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agama Islam
mempengaruhi prakti hukum pidana tradisional
pada masaitu.

Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang


tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat).
Pemisahan yang tegas antara hukum perdata  yang bersifat
privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari
sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang
diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi
satu.

Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental


dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara
mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum
pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang
sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga
hukum pidana adat Bali yang sangatterpengaruh oleh ajaran-
ajaran Hindu.

2
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan
dengan agama yangdipeluk oleh mayoritas penduduk,
karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum
pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang
tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-memurun melalui cerita, perbincangan, dan
kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang
bersangkutan Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara,
hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk
tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai
contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum
pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi
hukum pidana adat Bali.

B. Masa Hindia Belanda

Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814


Indonesia pernah jatuhdari tangan Belanda ke tangan Inggris.
Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas
koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda. Pemerintahan
Inggris diserah terimakan kepada Komisaris Jenderal yang
dikirim dari Belanda.

Dengan Reegerings Reglement 1815


dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815)
maka hukum dasar pemerintah colonial tercipta.

3
Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka
dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5
yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap
dipertahankan. Pada umumnya masih berlaku Statuta Betawi,
dan untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui
asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui
dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari
pemerintah.

Kepada Bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa


kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828
Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu
1. Yang di pidana kerja rantai.
2. Yang di pidana kerja paksa.

Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi


upah. Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan
dengan tiga cara :
1. Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan; 
2. Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
3. Kerja paksa tanpa dirantai tetapi dibuang.

Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu


tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa
tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di
Negeri Belanda tapi berbeda dari sumber tersebut, yang

4
berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku, sedangkan
Code Penal terdiri atas 4 buku.

KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga


saduran dari KUHP yang brlaku bagi golongan Eropa, tetapi
diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun,
pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh
karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas
perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda. Pertama kali ada
kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya
Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809.

Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di


dalamnya menurut Vos,yaitu :
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam p
emberian pidana
2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja;
3. Penghapusan perampasan umum.
Tetapi kodifikasi ini umumnya singkat, karena masuknya
Perancis dengan Code Penalnya Negeri Belanda pada tahun
1811. Sistem pidana di dalam Code Penal lain sekali jika
dibanding dengan kodefikasi 1809. Diperkanalkan lagi
perampasan umum. Dengan Gouf, Besluit 11 Desember 1813
diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampsan
umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan
pidana mati dengan cara Prancisguillotine dig anti dengan
penggantungan menurut sistem Belanda kuno.

5
Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan,
juga mengusahakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil,
kecuali perubahan-perubahan sebagian-sebagian. Pidana
sistem sel yang brlaku dengan undang-undang 28 Juni 1851
Stbl 68 diperluas dengan undang-undang 29 Juni 1854 Stbl
102, pidana badan dihapus, jumlah pidana mati
dikurangi,sejumlahkejahatan dijadikan kejahatan ringan (wan
bedrijf), pidana terhadap percobaan
Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia
Negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.
Pada tahun 1879 Menetri Smidtmengirim rancangan tersebut
ke Tweede Kamer. Diperdebatkan didalam diperingan
dibanding dengan delik selesai.Kemudian, 17 September 1870
Stbl 162 pidana mati dihapus.

Staten Generaal dengan Menteri Modderman yang


sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu, dan kemudian
pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru,
yangmulai berlaku pada tanggal 1 September 1886.

Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda


selama 5 tahun karena dengan sistem pidana sel perlu
dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu
diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang
kepenjaraan dan lain-lain.

Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda


pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh Pemerintah Belanda,
6
bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang
banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis, perlu
diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.

Berdasarkan asas konkordasi (concordantie) menurut


Pasal 75 Regerings Reglement, dan 131 Indische
Staatsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus
di berlakukan pula di daerah jajahan seperti di Hindia Belanda
dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat.

Semula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-


masing untuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera yang
baru. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898
dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan Eropa.

Setelah selesai kedua rancangan tersebut, menteri


jajahan Belanda Mr. Idenburg berpendapat bahwa
bahwa sebaiknya ada 1 KUHP di Hindia Belanda, jadi berupa
unifikasi. Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka
dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya pada tahun
1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober1915 dan diundangkan
pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek
vanstrafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk
seluruh golongan penduduk. Dengan Invoeringsver ordening
berlakulah pada tanggal 1 Januari WvSI tersebut.

Peralihan dari masa dualisme, yaitu 2 macam WvS untuk


2 golongan penduduk menurut Jonkers lebih brsifat formel

7
dari pada materiel. Ide unifikasi bukan hal yang baru.
Statuta Betawi 1642 dan ketentuan pidana interimair 1848
berlaku untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua
WvS 1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua
merupakan salinan dari yang pertama kecuali sistem
pidananya. Tetapi perbedaan antara kedua golongan
penduduk, yaitu golongan Eropa dan Bumiputera-Timur Asing
mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam WvS
tersebut, misalnya pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki
hanya belaku bagi golongan Eropa (yang tinduk pada Pasal 27
BW).

C. Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepanag selama 3,5 tahun, pada


hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia
tidak mengalami perubahan yang yang angsignifikan.
Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon)
memberlakukan kembali peraturan zaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer
Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1Tahun 1942.
Pasal 3 Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua
badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk
sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan
pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui
bahwa hukum yang mengatur pemerintah dan lain-lain,
termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan
8
hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo.
Pasal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum
pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk
sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling,
dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163
Indische Staatregeling. Untuk melengkapi hukum pidana yang
telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di
Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.

Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei N omor 25 Tahun


1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor
istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun
1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942
mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa
ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena
wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah
dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi.
Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut
Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia
Barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang
berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal
terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing
wilayah.

9
D. Masa Kemerdekaan-sekarang

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah


proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi
empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum
Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi
Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemerdekaan dengan
konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia
menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik
Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan
konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa
Indonesia kembali kepada UUD 1945.

1. Tahun 1945-1949

Dengan diproklamasikannya negara Indonesia sebagai


negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan
berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan
tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi
sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas
dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan
menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar
dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang
Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita

10
bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata
hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional
bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat
diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem
tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang
dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada
sekedar memproklamasikan diri sebagai bangsa yang
merdeka. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan
hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum
dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam
Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki
untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan
-peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa
Indonesia belum merdeka.Sambil menunggu adanya tata
hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang
telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan
diberlakukan sementara.

Hal ini juga berarti Funding Fathers bangsa Indonesia


mengamanatkan kepada generasi penerus untuk
memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum
nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali
mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun
1945 tangal 10 Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal,
yaitu Pasal 1: Segala badan-badan Negara dan peraturan-
11
peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan
yang baru menurut Undang Undang Dasar, masih tetap
berlaku asal saja tidak bertentangan dengan dengan
Undang Undang Dasar tersebut. Pasal 2: Peraturan ini
mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres
ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan
tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.

Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana


warisan kolonial sebagai hukum pidana positif Indonesia,
keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara
tegas menyatakan: Dengan menyimpang seperlunya dari
Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa peraturan-
peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal
8 Maret 1942.

Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan


Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti
semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh
pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan oleh
panglima tertinggi balatentara Hindia Belanda (NICA)
setelah tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya
tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga
12
menyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8
Maret 1942 panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
mengeluarkan Verordeningen van het militergezag. Secara
lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah
sebagai berikut. Semua peraturan hukum pidana yang
dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dulu (Verordeningen van het militer gezag) dicabut.

Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan


ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentangPeraturan
Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan.
Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik bangsa
Indonesia atas penjajahan Belanda belum selesai. Secara de
jure memang Indonesia telah memproklamasikan diri
sebagai bangsa yang merdeka, namun secara de facto
penjajahan Belanda atas Indonesia masih berkelanjutan
melalui aksi terror yang dilancarkan oleh NICA Belanda
maupun Negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya,
Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi
kolonialismenya di Indonesia. Bahkan pada tanggal 22
September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan
pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen
van Strafrecht (Ketentuan-ketentuan Sementara yangLuar
Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor
135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober
1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
13
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang
menyangkut ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban,
perluasan daerah berlakunya pasal-pasal tertentu
dalamKUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar
peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa
maksud ketentuan ini untuk memerangi pejuang
kemerdekaan. Dengan adanya dua peraturan hukum
pidana yang diberlakukan di Indonesia oleh dua “penguasa”
yang bermusuhan ini, maka munculah dua hukum pidana
hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di
Indonesia. Oleh para ahli hukum pidana, adanya dua
hukum pidana ini disebut masa dualisme KUHP.

2. Tahun 1950-1959

Setelah negara Indonesia menjadi negara yang


berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari,
sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali menjadi negara republik-kesatuan.Dengan
perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah
yakni diganti dengan UUD Sementara.Sebagai peraturan
peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa
sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD
Sementara menyebutkan: Peraturan-peraturan undang-
undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan
tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-

14
ketentuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar
peraturan peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah ataudiubah oleh undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang
Undang Dasar ini. Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD
Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih
tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek
van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang
muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya
UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU
Nomor 73Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut


dinyatakan: “Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga
kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum
Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek
Strafrecht voor Indonesia(Staatblad 1915 Nomor 732
seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali
tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka
keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa
UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia”. Dengan demikian,
permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan
15
di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan
bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia.
 
3. Tahun 1959-sekarang

Setelah di keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli


1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya
kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi
Negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD
1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan
Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama,
termasuk di sini hukum
pidana. Pemberlakuan hukum pidana indonesia dengan
dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut
sampai sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat
pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi,
ternyata sumberutama hukum pidana tidak mengalami
perubahan, yaitu tetap pada Wetboek vanStrafrecht  (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) walaupun
pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan
peralihan pada masing-masing konstitusi. “Adalah
dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia
masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana
menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht
16
voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti
beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu
ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1
Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia”.

Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang


diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan
ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh
wilayah Republik Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai