Anda di halaman 1dari 9

TUGAS HUKUM ADAT

(PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM ADAT DI INDONESIA)

oleh :
Kadek Puri Gita Pertiwi (1904551060)
Kelas A (Reguler Pagi)
Semester 2

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
PERKEMBANGAN SEJARAH HUKUM ADAT DI INDONESIA

Hukum Adat di Indonesia sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tentunya Hukum Adat
tersebut terus mengalami perkembangan seiring perkembangan zaman. Perkembangannya
dapat dilihat saat sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan terbagi lagi ke
dalam beberapa masa yaitu masa pendudukan VOC, masa Hindia Timur, masa kekuasaan
Inggris, dan masa kekuasaan Jepang, selanjutnya dilanjutkan dengan perkembangan Hukum
Adat pada zaman setelah kemerdekaan. Berikut penjelasannya perkembangan sejarah Hukum
Adat di Indonesia:

SEBELUM KEMERDEKAAN

a. Masa Pendudukan VOC


Pada tanggal 20 Maret 1602 atas aturan van Oldenbarnevelt, orang Belanda
mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sebagai gabungan dari
semua maskapai dagang Belanda. Selanjutnya untuk menjaga ketertiban umum,
tindakan kepolisian dan peradilan, VOC berhak mengangkat “officieren van justitie”
atau pegawai penuntut keadilan yang juga bertindak sebagai hakim dalam perkara
perdata maupun pidana. Dalam melaksanakan tindakan-tindakan kehakiman, VOC
harus menyesuaikannya dengan Undang-undang Kehakiman dan disampaikan kepada
laksamana armada yang dating dari Negeri Belanda.
Daerah pertama yang dikuasai oleh VOC adalah daerah Jakarta yang dulu
disebut Batavia. Pada hakikatnya di wilayah tersebut adalah hukum VOC yang
diberlakukan dalam bentuk plakat berupa pengumuman atau berupa ordonnantie
(undang-undang). Di masa Gubernur Jenderal van Diemen, peraturan-peraturan itu
dikodifikasikan kitab undang-undang (wetboek) yang disebut dengan “Ordonnantien
en Statuten van Batavia” yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1642. Namun pada
kenyataannya, peraturan-peraturan VOC tersebut hanya berlaku di Jakarta dan
sekitarnya, sedangkan di daerah pedalaman tetap berlaku hukum adat.
VOC hanya mencampuri penyelesaian perkara pidana, karena ia memerlukan
adanya ketenteraman umum di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Pepakem
Cirebon. Selain itu VOC terhadap hukum perdata baik di Jakarta maupun di daerah-
daerah membiarkan saja berlakunya hukum adat. Mengenai hukum waris untuk
Bangsa Indonesia yang beragama Islam harus diberlakukan hukum adat bukan hukum
Belanda. VOC terpaksa berbuat demikian dikarenakan masyarakat Jakarta tetap saja
berpegang dalam menyelesaikan perkara warisannya menurut hukum adat. Dengan
demikian VOC mengumumkan berlakunya plakat mulai tertanggal 16 Juni 1625
dengan ketentuan syarat bahwa berlakunya hukum sipil itu dapat dilaksanakan apabila
ia dapat dilakukan atau apabila menurut keadaan dapat dilakukan.

b. Masa Hindia Timur


Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC dibubarkan. Kemudian Herman Willem
Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Timur periode 1808-1811 oleh
Raja Louis Napoleon. Menurut Charter Aziatische Raad yang disahkan pada 27
September 1804 menentukan bahwa semua lembaga yang sudah baik akan tetap
dipertahankan, kecuali yang dianggap perlu untuk dilakukan perubahan-perubahan.
Selanjutnya menurut Pasal 86 Charter 1804 dinyatakan bahwa susunan pengadilan
untuk orang Indonesia akan tetap menurut hukum serta adat mereka, sedangkan
pemerintah Hindia akan menjaga dengan alat-alatnya yang pantas. Ketentuan-
ketentuan charter tersebut memengaruhi Daendels dalam mengadakan perubahan-
perubahan tentang susunan pengadilan di beberapa wilayah. Pertama, di daerah
Jakarta/Priangan, berdasarkan keputusan 8 Agustus 1808 untuk sidang dan memutus
perkara pidana dibentuk pengadilan bergerak yang disebut “Ambulant Landgerecht”.
Menurut Pasal 10 aturan Ambulant Landgerecht dikatakan bahwa pengadilan ini
mengadili menurut hukum serta adat Indonesia apabila keadaannya mengizinkan.
Serta menurut Pasal 1 peraturan Ambulant Landgerecht dikatakan bahwa untuk
memutus perkara sipil dan perkara rumah tangga dibiarkan seperti apa adanya
(menurut hukum adat setempat). Yang dimaksud perkara rumah tangga ialah perkara
kecil yang akan dijatuhi hukuman “pukulan rotan”, “denda kecil”, dana tau “tahanan
singkat”. Kedua, di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, kedudukan “landraad”
Semarang yang semula meliputi daerah pesisir utara dan Jawa Timur dipecah dengan
mengadakan pengadilan pembantu yang berkedudukan di Surabaya untuk peradilan di
daerah Jawa Timur.
Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur memiliki jalan pikiran
tersendiri mengenai hukum adat. Ia memakai hukum adat jika tidak bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan dan kepatutan. Sebaliknya hukum adat itu tidak akan
dipakai apabila dipakainya hukum adat itu akan berakibat si penjahat dapat menarik
diri dari hukumannya, apabila hukuman yang dijatuhkan tidak sebanding dengan
perbuatan kejahatan atau hukuman itu tidak cukup untuk menjamin keamanan umum,
dan apabila hukum acara adat tidak mungkin dipakai untuk mendapatkan pembuktian
atau untuk menjadi dasar keinsafan hakim. Jadi jalan pikiran Daendels banyak
membuat perubahan dalam hukum adat pidan, tidak saja terbatas bagi golongan
penduduk orang pribumi tetapi juga golongan penduduk non pribumi seperti terhadap
orang-orang cina dengan dikeluarkannya resolusi 13 Maret 1809 yang semata-mata
mengatur untuk mengadili golongan cina di Bogor. Selanjutnya pasal 2 aturan acara
perkara bagi drosaard di daerah Jakarta dan sekitarnya mengatakan “Dalam
pemeriksaan dan penyelesaiian sesuatu perkara mengenai agama, adat, perkawinan
bagi orang yang tidak beragama Kristen harus sedapat-dapatnya diperhatikan hukum
adat mereka agar ia dapat dipakai sebagai dasar keputusan”. Walaupun Daendels
menempatkan kedudukan Hukum Adat untuk menyelesaikan perkara orang-orang
Indonesia, tetapi jika disbanding kedudukannya dengan Hukum Eropa maka hukum
adat dianggapnya lebih rendah. Hal mana dapat dilihat bahwa jika terjadi perkara
kejahatan yang dilakukan oleh orang Eropa bersama-sama orang Indonesia maka
pengadilan yang berhak mengadili adalah Raad van Justitie di mana hukum Eropa
yang dipakai.

c. Masa Kekuasaan Inggris


Pada tanggal 16 Mei 1811 Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan
Willem Janssens. Namun selama masa kekuasaan Janssens pemerintahan Hindia
Timur banyak mengalami kesulitan karena musuh-musuh dari luar ataupun dalam
negeri. Kemudian Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur pada tanggal 11
September 1811 dan diadakan beberapa perbaikan :
1. Politik bermurah hati dan sabar terhadap rakyat.
2. Susunan pemerintahan lama akan diadakan perubahan.
3. Lembaga-lembaga VOC yang diteruskan Daendels oleh karena bersifat “biadab
feodal”.
4. Sistem pajak yang dibayar benda dan kerja paksa akan dihapuskan.

Untuk perbaikan tersebut harus diadakan penelitian terlebih dahulu. Raffles adalah
orang yang suka banyak teori, maka sering kali ia membuat peraturan-peraturan tanpa
menghiraukan hasil penelitian. Akibatnya peraturan jadi tinggal peraturan, oleh
karena di dalam kenyataannya tidak bias berlaku karena tidak sesuai dengan keadaan
masyarakat. Dipakainya hukum adat untuk mengadili bangsa Indonesia yang
dilakukan oleh orang Indonesia di masa Raffles tidak berarti bahwa para hakim
(wedana atau bupati) itu dapat bertindak secara “arbitrair”.
Pada dasarnya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh komisaris-komisaris
jenderal masih bersifat sementara oleh karena kitab undang-undang perdata dan
pidana serta acara perdata dan acara pidana yang akan dibuat di negeri Belanda itu
belum juga dibuat. Komisaris-komisaris jenderal dibuatlah peraturan mengenai
“Justitie” yang semuanya diumumkan dengan keputusan No 6 Tanggal 10 Januari
1819 (stb.1819 No 20) dengan kalimat permulaan dalam konsiderannya dinyatakan
tentang “asas konkordansi”. Selanjutnya konsiderans itu menunjukkan dasar-dasar
pengaturan kehakiman. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh para komisaris
jenderal itu adalah untuk melanjutkan peraturan-peraturan Inggris yang ada dengan
sendi-sendinya dan dengan perubahan-perubahan yang dipandang perlu saja.
Perhatian dan karangan-karangan tentang hukum adat dari orang-orang Barat
di masa pemerintahan komisaris-komisaris jenderal sampai tahun kodifikasi 1848
dapat kita catat sebagai berikut :

1. Mr. C. Th. Elout (1816-1819)


Sebagai tenaga utama dari komisaris-komisaris jenderal yang mengambil alih
pemerintahan dari Inggris, Elout ini tidak tertarik pada hukum adat, pandangannya
terhadap tanah didasarkan pada hukum tata negara, di mana tanah itu adalah
miliki negara.
2. V. D. Capellen (1819-1825)
Wali negeri ini pada tahun 1824 mengumumkan peraturan untuk daerah Sulawesi
Selatan, isinya menunjukkan tidak adanya perhatian terhadap hukum adat. Tetapi
di masa kekuasaanya itu ada seorang Belanda yang bertugas di Solo pada tahun
1824 bernama J. W. Winter menulis tentang “Undang-Undang Raja” (dari tahun
1818). Kemudian dia ini dipecat oleh pemerintah pada tahun 1819 dikarenakan
melakukan pemerasan terhadap pembesar-pembesar keratin.
3. Du Bus (1826-1830)
Du Bus ini sudah mempunyai pengertian tentang hukum adat. Dalam hukum adat
itu adalah bagian-bagian hukum Indonesia asli (inheemsche bestanddelen). Yang
menarik perhatian di masa Du Bus ialah diangkatnya G. C. Hageman menjadi
ketua Hooggerechtshof Hindia Belanda pada tanggal 30 Juli 1830. Dengan tugas
tersebut maka Hageman akan mempertimbangkan terhadap Bangsa Indonesia
akan terus diperlakukan dengan hukum adatnya ataukah dimasukkan pula ke
lingkungan asas konkordansi.
4. Van Den Bosch (1830-1833)
Gubernur jenderal yang meninggalkan halaman hitam dalam sejarah Indonesia
karena kultuur stelsel ini,mempunyai pandangan yang tidak menentu terjadap
hukum adat. Di masa kekuasaannya ini ada seorang ahli Bahasa bernama Gericke
pada tahun 1831 menerbitkan buku-buku bacaan Jawa yang mengandung hukum
adat.
5. Jean Chretien Baud (1833-1836)
Wali negeri ini banyak memberikan perhatian terhadap hukum adat. Ia memahami
tentang hak ulayat desa sebagai “Hakulloh” dan dia tidak sependapat dengan
Domain-Teori Raffles. Baud ini menerima dan mengikuti nasihat dari Mr. P.
Merkus mengenai hak-hak atas tanah rakyat dan hak ulayat desa dan menaruh
perhatian terhadap hak-hak tersebut terhadap kepentingan orang-orang Eropa.
6. Mr. P. Merkus (1842-1844)
Gubernur jenderal ini adalah penentang dari Van den Bosch, dikarenakan banyak
membela kepentingan rakyat Indonesia terhadap tanah-tanahnya. Di masa
kekuasaannya sebenarnya sudah banyak hasil-hasil penelitian mengenai hukum
adat yang dapat diketahui misalnya dari akademi delft yang dibentuk pada tahun
1842.

d. Masa Pendudukan Jepang


Untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan, pemerintah militer Jepang
(1942-1945) mengeluarkan Undang-Undang No 1 menyatakan bahwa semua badan
pemerintahan dengan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah
Hindia Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan
dengan peraturan militer Jepang. Dengan adanya peraturan peralihan ini maka hukum
adat masih tetap berlaku sebagaimana dinyatakan oleh Indische Staatsregeling
Belanda pasal 131 ayat (2) sub b. Walaupun dalam praktik sehari-hari pemerintah
fasis Jepang tidak benar-benar menghormati hukum adat.
Pada masa penjajahan Jepang juga terdapat regulasi yang mengatur hukum
adat di Indonesia, yaitu pada pasal 3 Undang-Undang No 1 Tahun 1942 yang
menjelaskan bahwa semua badan pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan UU dari
pemerintah yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu saja, asal tidak
bertentangan dengan peraturan militer. Arti dari pasal tersebut adalah hukum adat
yang diatur pada saat masa penjajahan Jepang sama ketika pada masa Hindia Belanda,
tetapi harus sesuai dengan peraturan militer Jepang dan tidak boleh bertentangan.

SETELAH KEMERDEKAAN

Pasal II Aturan Peralihan UUD , mengakui keberadaan hukum adat, yang


yang menyatakan segala badan negara dan peraturan yang masih berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar. Dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Konstitusi RIS juga mengatur mengenai hukum adat
antara lain dalam Pasal 144 ayat (1) tentang hakim adat dan hakim agama, Pasal 145
ayat (2) tentang pengadilan adat, dan Pasal 146 ayat (1) tentang aturan hukum adat
yang menjadi dasar hukuman.
Dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950), juga terdapat penjelasan mengenai dasar berlakunya hukum adat. Pasal
tersebut menjelaskan bahwa, segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-
alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-Undang dan
aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.
Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor II/MPRS/1960,
memberikan pengakuan abadi hukum adat, yaitu :
a. Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan hukum adat.
b. Dalam usaha homogenitas di bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat.
c. Dalam penyempurnaan Undang-Undang Hukum Perkawinan dan Waris, supaya
diperhatikan faktor-faktor agama, adat, dll.
Kemudian juga, dalam penyusunan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), juga berdasarkan pada azas hukum
adat. Undang-undang tersebut juga mengakui keberadaan hukum adat, seperti
pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat Pasal 5 UUPA menyatakan: “Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan pengakuan bahwa, “Hukum yang dipakai
oleh kekuasaan kehakiman adalah hukum yang berdasarkan Pancasila, yakni yang
sidatnya berakar pada kepribadian bangsa”. Seterusnya, dalam Pasal 17 ayat (2) yang
menjelaskan bahwa berlakunya hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Peraturan
perundang-undangan tersebut dengan nyata menyebutkan keberadaan dalam
keberlakuan hukum adat dalam masyarakat Indonesia.
Setelah amandemen ke-dua Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Pasal
18 ayat (2) menjadi dasar pengakuan hukum adat dalam konstitusi Negara Indonesia,
yaitu: “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat
berserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”.
DAFTAR PUSTAKA

DR Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Adat. Unimal Press.

Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam.

Utomo, Laksanto. 2017. Hukum Adat. Depok: PT Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai