Anda di halaman 1dari 17

1.

SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Sebelum meninjau secara luas tentang sejarah politik hukum adat Indonesia, ada
baiknya kita pahami terlebih dahulu variabel-variable yang terdapat pada topik
pembahasan kita pada kali ini, yaitu; politik, politik hukum, dan politik hukum adat.
Menurut pengertian yang dikemukakan oleh Loggemaan,

“Politik adalah memilih dan menetapkan tujuan negara, serta memilih dan
menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian maka Politik
Hukum adalah tindakan negara yang memilih dan menetapkan tujuan dari pada
hukum yang berlaku dalam negara, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk
mencapai tujuan itu. Selanjutnya dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan
Politik Hukum Adat adalah tindakan memilih dan menetapkan daripada tujuan
Hukum Adat, serta memilih dan menetapkan alat-alat untuk mencapai tujuan itu.”

Seperti yang sudah kita ketahui, dalam sejarah perkembangan negara kita sejak
zaman VOC hingga zaman kemerdekaan nasional saat ini, terdapat beberapa
pergantian pemerintahan dan kekuasaan. Masing-masing pemerintah itu pun
memiliki sikapnya tersendiri dalam menghadapi hidupnya Hukum Adat dalam
masyarakat Hindia Belanda/Indonesia. Maka dari itu, sejarah politik hukum adat di
Indonesia dapat dibagi secara lebih rinci menjadi 6 periode:

1. Masa Kompeni ( VOC Tahun 1596 – 1808 )


2. Masa pemerintahan Daendels (Tahun 1808 – 1811 )
3. Masa Pemerintahan Raffles ( Tahun 1811 – 1816 )
4. Masa Tahun 1848 – 1928
5. Masa Tahun 1928 – 1945
6. Masa Tahun 1945 – sekarang

I. MASA KOMPENI (VOC TAHUN 1596-1808)


Pada masa ini, VOC bermuka dua yaitu pertama sebagai pengusaha dan kedua
sebagai penguasa. VOC datang pertama kali sebagai pedagang dan kemudian
memperoleh hak octrooi; hak monopoli perdagangan, hak dalam membuat uang,
hak dalam mendirikan benteng, hak dalam melaksanakan perjanjian bersama
kerajaan yang ada di Indonesia, hak dalam membentuk tentara, dan menjadi
penguasa. Sikap inilah yang menjadi gambaran awal perlakuan VOC terhadap
hukum adat.
Di pemerintahan pusat, diputuskan bahwa akan berlaku hanya satu stelsel hukum
bagi seluruh golongan bangsa manapun, yaitu hukum belanda, baik hukum perdata,
hukum pidana dan hukum ketatanegaraan. Di wilayah tersebut, adat masyarakat
pribumi/inlander dianggap tidak ada, dan hukum adat pribumi tidak diindahkan. Di
luar wilayah pemerintahan pusat pun memiliki keadaan yang sama bagi hukum adat
pribumi yang tidak diakui. Terbentuknya susunan dan tata cara sedemikian rupa,
menurut Van Vollenhoven, merupakan suatu perwujudan dari upaya untuk
mempersatukan yang sangat sederhana “ yaitu hukum yang berlaku disamakan
begitu saja, tidak dipikirkan tentang pemecahan soal ini dengan jalan yang lain; oleh
sebab mereka beranggapan sudah semestinya dalam suatu daerah yang dikuasai
oleh VOC bukan saja susunannya (organisasi) akan tetapi juga hukum-hukum
Kompeni harus berlaku. Hal ini merupakan prinsip yang diterapkan oleh VOC,
dimana wilayah yang dikuasai oleh VOC harus berlaku hukum VOC bagi seluruh
golongan bangsa.

Namun kenyataanya tidak selaras dengan teori yang ada, karena terdapat wilayah-
wilayah pedalaman yang tidak terjangkau oleh badan peradilan Betawi. Karena hal
ini, VOC pun terpaksa untuk turut campur menetapkan hukum bagi orang Indonesia
asli/pribumi. Melalui resolusi/keputusan tanggal 21 Desember 1708, terlihat bahwa
VOC:
1. Masih belum mengakui hukum adat sebagai hukum rakyat
2. VOC mengira bahwa hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan berupa
sebuah kitab hukum.
3. VOC menjalankan suatu politik hukum adat sebagai opportunitis, yaitu apabila
keadaan memerlukan, maka prinsip bahwa di daerah yang di kuasai oleh
VOC Hukum Barat harus berlaku bagi semua penduduk daerah itu,
ditinggalkan dan ditetapkan --secara mereproduksi— Hukum Adat bagi
penduduk pribumi atau penduduk pribumi tersebut dibiarkan hidup menurut
Hukum Adat. Lain dari pada itu VOC menganggap Hukum Adat lebih rendah
dari Hukum Belanda.

II. MASA PEMERINTAHAN DAENDELS (1808-1811)

VOC dibubarkan dan pemerintahan dijalankan oleh Daendels. Pada masa


pemerintahan Daendels, ia enggan untuk mengganti hukum adat, namun ia tetap
berpendapat bahwa hukum adat memiliki kelemahannya tersendiri. Maka sebagai
solusi, ia memilih jalan tengah dimana “Pada pokoknya Hukum Adat akan
diperlakukan untuk bangsa Indonesia, hanya Hukum Adat haruslah tidak dipakai
jika:
- Hukum itu berlawanan dengan perintah umum
- Bertentangan dengan dasar-dasar utama dari keadilan dan kepatutan.
- Karenanya dalam perkara-perkara pidana kepentingan dari keamanan umum
tidak terpelihara.

III. MASA PEMERINTAHAN RAFFLES (1811-1819)

Thomas Stamford Raffles merupakan salah satu perintis penemu hukum adat,
bersama dengan Marsden dan Crawfurd. Dalam masa pemerintahannya, Raffles
mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan pengadilan, tetapi hukum
materialnya hampir tidak diubah. Untuk perkara antara orang Indonesia pada
umumnya diberlakukan hukum adat, namun dengan syarat sebagai berikut:
- Tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip kodrat yang universal dan
diakui
- Prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui

Tentang penilaian bagi hukum adat harus dibagi menjadi dua bidang. Dalam bidang
hukum pidana, terdapat aturan penjatuhan sanksi yang dicela oleh Raffles, seperti
pidana bakar hidup dan pidana tikam dengan keris. Sedangkan untuk hukum materiil
yang diperlakukan oleh Badan-Badan Pengadilan, perubahannya sedikit sekali.
Tentang hukum materiil yang diberlakukan oleh badan-badan pengadilan, berlaku
dalil “hukum dari pihak tergugat” Staatblaad tahun 1825-42.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa jika dalam sengketa antara orang Bumi Putra
dengan orang Eropa yang menjadi tergugat itu pihak Bumi Putra, maka yang
mengadili adalah Landraad, yang memperlakukan Hukum Adat. Jadi disini terdapat
kemungkinan bahwa atas orang Eropa selaku penggugat akan diterapkan Hukum
Adat. Ini berarti bahwa Hukum Adat dianggap seharkat-sederajat dengan Hukum
Barat.

IV. MASA TAHUN 1848-1928

Setelah dilakukannya kodifikasi hukum positif di Nederland pada tahun 1838, tiba
pula saatnya pemerintah Belanda melakukan kodifikasi akan hukum yang akan
diberlakukan secara tetap di daerah jajahan Belanda, termasuk Hindia belanda.
Melalui adanya asas konkordansi/Asas Concordantie : yaitu asas bahwa hukum
yang berlaku di Indonesia harus mengikuti asas-asas hukum yang berlaku di
Belanda. Dengan kata lain, Hukum Adat harus diganti dengan Hukum Tertulis,
hukum yang sama untuk seluruh Indonesia, dan hukum yang asas-asasnya sama
dengan hukum yang berlaku di Belanda.

Dampak dari upaya yang gagal untuk mengunifikasi hukum yang berlaku di Hindia
Belanda melalui kodifikasi suatu kitab undang-undang yang isinya percampuran
antara hukum adat dan hukum Eropa, pada tahun 1839 Pemerintah Belanda
membentuk suatu komisi yang disebut dengan Komisi Scholten Van Oud Haarlem.
Komisi ini bertugas membuat rencana yang diperlukan agar perundang-undangan
Nederland yang baru itu dapat ditetapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-
usul yang sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut, yang salah satunya adalah
Algemene Bepalingen Van Weigeving voor Nederlandch Indie Stbl 1847 No. 23.

Sebagai masalah dalam politik hukum, Hukum Adat diperbincangkan lebih hebat lagi
pada tahun 1848 dan pada suasana di sekitar tahun 1848, sangat dikuasai oleh
pemujaan nilai dan kepentingan kodifikasi, (yaitu berkembangnya Aliran Legisme)
suasana inilah yang mendorong atau merupakan sebab utama adanya permulaan
untuk menggantikan Hukum Adat.

V. MASA 1928-1945

Di dalam karangannya “Setengah Jalan Politik Hukum Adat Baru” Ter Haar
menggambarkan hasil perundang-undangan di lapangan Hukum Adat itu dalam
beberapa poin. Salah satunya yang berdampak besar pada perkembangan hukum
adat di Indonesia adalah bahwa, “Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari
bersejarah bagi Hukum Adat, karena pada waktu itu Raad van Justitie di Kota
Betawi didirikan suatu Adat Kamer (Kamar Adat) yang mengadili dalam tingkat
banding perkara-perkara hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraaden
di Jawa, Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan dan Bali (S. 1937 – 631).”

Pembentukan Kamar Adat itu memberi jaminan yang lebih baik kepada penerapan
Hukum Adat, sebab persoalan Hukum Adat tidak lagi dititipkan kepada Civiele
Kamer di Raad van Justitie, sehingga perhatian pada Hukum Adat dapat
dikhususkan.

VI. MASA 1945 SAMPAI SEKARANG

Menurut konsepsi Hazairin tahun 1950, yang ia kemukakan dalam sebuah pidato
dalam Konferensi Kehakiman (Salatiga, 16 Desember 1950):

1. Ia menegaskan pentingnya hukum Eropa dalam proses modernisasi


masyarakat kita dalam segala segi, sebab hukum itulah yang menjadi
jembatan bagi bangsa dan Negara kita dalam hubungannya ke luar.
2. Hukum Eropa yang berlaku di Indonesia harus dipandang sebagai hukum
nasional kita, sebab ia berlaku atas sebagian rakyat yang bukan hanya
penduduk tetapi juga warganegara, termasuk pula bangsa Indonesia asli.
3. Proses asimilasi ke arah kebudayaan barat merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindari. Tetapi menurut Hazairin, hukum adat diberikan suatu peranan
yang lebih besar dalam proses asimilasi itu.
4. Hukum Eropa dan Hukum Adat itu akan dipertautkan. Untuk itu harus dimulai
dengan hukum lalu lintas, yaitu hukum perdagangan, hukum perjanjian,
hukum utang-piutang, sebab tidak begitu erat sangkut-pautnya dengan
susunan masyarakat adat.
5. Proses mempertautkan itu harus dilakukan dengan berangsur angsur sebab
kita menghadapi 3 macam hukum yaitu: Hukum Barat / Eropa, Hukum Adat,
Hukum Agama.
Proses perkembangan hukum yang dilukiskan oleh Hazairin lebih menunjukkan jalan
yang organis dibanding yang digambarkan oleh Soepomo. Jadi pendapat hazairin
merupakan jalan tengah antara jurusan politik hukum yang dirintis Soepomo pada
tahun 1927 dan jurusan politik hukum tahun 1947+1952.

Pada masa ini pun,

Melalui penjabaran yang telah dipaparkan mengenai sejarah politik hukum dadat,
timbul beberapa rumusan permasalahan, antara lain:
- Masa mana yang merupakan masa keemasan dalam perkembangan Hukum
Adat?
- Masa mana yang merupakan masa kegelapan bagi perkembangan Hukum
Adat?

MASA KEEMASAN DALAM PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Van Vollen Hoven mencatat bahwa pada tahun 1927 dan 1928, terjadi suatu
keerpunt atau titik balik dalam politik hukum adat yang dianut oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Keerpunt itu, oleh Ten Haar dijabarkan sebagai berikut: “Atas nama
Pemerintah, mr Spit (Direktur Justisi) menjelaskan dalam sidang Volksraad bahwa
bertahun-tahun Pemerintah berkeyakinan perlunya diadakan unifikasi hukum bagi
anak negeri dan golongan rakyat lainnya, disertai dengan penunjukan kepada
hukum kebiasaan. Namun, pemerintah mulai mencari jalan lain untuk
memperhatikan kepentingan ini, karena nyatanya hasil usaha itu makin tidak dapat
dipergunakan dengan segera.

Dari lukisan tersebut, tampak bahwa Pemerintah Hindia Belanda telah melepaskan
pendapat lama, yaitu membuat suatu kodifikasi hukum bagi orang Indonesia asli
yang sedapat-dapatnya dan sebanyak-banyaknya berdasarkan pada asas-asas
hukum Eropa, dan telah menganut paham baru, yaitu hukum yang berlaku bagi
orang Indonesia asli akan ditentukan sesudah diadakannya penyelidikan akan
kebutuhan hukum mereka yang sebenarnya. Dan apabila ternyata bahwa hukum
adat itu belum dapat ditinggalkan atau diganti dengan hukum lain, mka hukum adat
yang masih diperlukan itu tetap dipertahankan.

Terjadinya keerpunt dalam politik hukum adat itu hasil gilang-gemilang perjuangan
ilmu hukum adat dibawah pimpinan Van Vollen Hoven di Nederland dan Ten Haar di
Indonesia, yang hendak melindungi dan memperkembang hukum adat.

Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa, sebaiknya diterapkan dulu hukum yang
memang selaras dengan kebutuhan masyarakat, karena jika diterapkan suatu
hukum yang tidak selaras dengan masyarakat yang akan menerapkannya, hal ini
dapat mengakibatkan pelanggaran dan terjadinya ketidaksesuaian. Maka dimana
letak kewibawaan sebuah hukum jika dapat menimbulkan berbagai pelanggaran dan
ketidaksesuaian di dalam masyarakat.

MASA KEGELAPAN BAGI PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Melalui materi yang sudah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa masa
kegelapan bagi perkembangan hukum adat adalah pada Masa Kompeni (VOC). Hal
ini dikarenakan, di wilayah pemerintahan pusat dan wilayah yang dikuasai oleh VOC
dinyatakan berlaku satu stelsel hukum yaitu hukum barat/Eropa. Walau pada
kenyataannya banyak sekali wilayah yang tidak terjangkau oleh pengadilan Betawi,
tetap saja adat pribumi dan hukum adat yang berlaku tidak diakui dan tidak
diindahkan sama sekali. Selain itu, VOC pun membuat peraturan perundang-
undangan yang mereproduksi hukum adat, yang dianggap identik dengan hukum
Islam. Dan seperti yang ketahui, faktanya bukanlah seperti itu karena itu adalah dua
hukum yang jauh berbeda.
Pembuatan peraturan-peraturan VOC pun menunjukkan sikap dimana sebenarnya
VOC masih belum menganggap hukum adat sebagai hukum rakyat, mengira bahwa
hukum adat itu terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab hukum, dan menjalankan
politik hukum adat yang oportunis.

2. Terdapat dua transaksi tanah dalam hukum adat, yaitu transaksi satu pihak dan
transaksi dua pihak. Transaksi satu pihak merupakan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu pihak, dan tidak memerlukan pihak lain. Contohnya seperti,
pendirian suatu desa, dimana sekelompok orang membuka tanah. Sedangkan
transaksi dua pihak merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua
pihak, sehingga terjadi perpindahan hak atas tanah. Contohnya seperti perjanjian
jual beli. Jual beli pun terdiri dari tiga transaksi, yaitu:
- Transaksi jual lepas: dimana penjual menjual dan melepas hak tanah untuk
selamanya kepada pembeli
- Transaksi jual tahunan: penjual menjual dan melepas hak tanah untuk jangka
waktu tertentu/sementara/beberapa kali panen.
- Transaksi jual gadai: yang menerima tanah berhak untuk mengerjakan tanah
dan memungut hasil dari tanah tersebut. Ia juga terikat pada perjanjian bahwa
tanah hanya dapat ditebus oleh yang menjual gadai. Tanah tersebut dapat
dijual gadai lagi bila yang ia sangat membutuhkan uang, namun tidak boleh
dijual lepas. Ia juga tidak dapat meminta kembali uang yang diberikan kepada
penjual gadai, kecuali ia memiliki perjanjian tertentu.

Untuk sahnya transaksi tanah pun, di mana perbuatan tersebut mendapatkan


perlindungan hukum, diwajibkan untuk meminta bantuan kepala persekutuan agar
perbuatan hukum tersebut menjadi terang. Kepala persekutuan pun lazimnya
menerima uang saksi. Jika transaksi terjadi diluar pengetahuan kepala persekutuan,
maka transaksi tersebut tidak diakui hukum adat dan maka dari itu, pihak ketiga
tidak terikat olehnya serta oleh umum, dan hak yang dimiliki si penerima tidak diakui.
Selain itu, pada umumnya suatu transaksi dilengkapi dengan suatu akta yang di cap
jempol oleh pihak yang menyerahkan, juga tanda tangan dari kepala persekutuan.
Akta pun menjadi suatu bukti dari transaksi tersebut.

Ada pula contoh lebih konkrit akan transaksi tanah dua pihak yang terjadi dalam
masyarakat adat Indonesia, yaitu PELAKSANAAN GADAI TANAH DALAM
MASYARAKAT HUKUM ADAT MINANGKABAU DI NAGARI CAMPAGO
KABUPATEN PADANG PARIAMAN. Dalam masyarakat hukum adat yang memiliki
dasar garis keturunan “matrilineal”, tanah memiliki kedudukan yang sangat penting
karena tanah merupakan satu-satunya kekayaan yang tetap dan sebagai pengikat
kaum. Garis keturunan matrilineal sendiri dapat diartikan sebagai berarti garis
keturunan ditarik dari pihak wanita (mamak), maka dari itu yang berkuasa dan
bertanggungjawab atas tanah adalah mamak. Tanah dalam masyarakat
Minangkabau merupakan harta kekayaan yang sangat dipertahankan karena
wibawa kaum bergantung pada luas tanah yang dimiliki. Kepemilikan tanah juga
menentukan asli atau tidaknya seseorang berasal dari suatu daerah. Hak
persekutuan atas tanah di Minangkabau disebut “manah”, nanum sejak masuknya
pengaruh Islam, kemudian istilah berubah menjadi “Hak Ulayat”.
Kepemilikan tanah sangat penting artinya bagi pertahanan atau pemeliharaan
kelompok bersama, dikarenakan masyarakat matrilineal Minangkabau menganut
sistem pewarisan komunal atau pewarisan bersama. Hak- hak atas tanah yang
dapat dimiliki masyarakat Minangkabau antara lain:

1. Hak ulayat nagari


2. Hak ulayat suku
3. Hak atas tanah pusaka tinggi
4. Hak atas tanah pusaka rendah
5. Hak atas tanah harta pencarian
Pemindahtanganan tanah dalam hukum adat Minangkabau pun hanya boleh
dilakukan jika ada alasan yang benar-benar mendesak. Dalam melakukan
pemindahan tangan juga harus sesuai dengan aturan “pusako salingka suku” yang
maksudnya, tanah hanya boleh dipindah tangankan kepada orang yang merupakan
anggota kaum suku yang sama.
Selain itu, karena di Minangkabau tanah merupakan tanah pusaka, maka untuk
menggadaikan tanah diperlukan persetujuan dan kesepakatan setiap ahli waris, dan
juga mendapat persetujuan atau disaksikan oleh Kepala Suku atau Penghulu.

Ada pula syarat-syarat yang perlu dipenuhi, agar tercapai persetujuan bersama,
yaitu harus ditemukannya hal-hal berikut:

1. Rumah gadang katirisan, yang artinya rumah adat sudah rusak dan perlu
diperbaiki tetapi uang simpanan suku tidak mencukupi.
2. Gadih gadang atau jando alun balaki, yang artinya ada gadis atau janda yang
sudah patut dikawinkan tetapi uang yang dimiliki belum mencukupi.
3. Mayik tabujua ditangah rumah, yang artinya tanah boleh digadaikan untuk
menutupi biaya kematian, penguburan, kenduri dan sebagainya.
4. Managakkan batang tarandam, yang artinya adat tidak didirikan di rumah atau
pada kaum itu, karena biaya tidak mencukupi.

Akan tetapi, pada kenyataannya berdasarkan adanya perkembangan masyarakat,


banyak masyarakat Minangkabau yang menggadaikan tanahnya dengan alasan lain
seperti; untuk keperluan biaya pengobatan, untuk biaya pendidikan anak, atau
karena kaumnya sudah punah atau hampir punah.
Maka dapat disimpulkan bahwa, orang menggadaikan tanah adalah sebagai sumber
kredit, dan digunakan untuk yang bersifat konsumtif.

Ada pepatah adat yang berbunyi:

“Ingek sabalun kanai, (Ingat sebelum kena)


Kulimek sabalun abih. (Hemat sebelum habis)
Adat badun sanak mamaga dunsanak, (Adat bersaudara menjaga saudara)
Adat bakampueng mamaga kampueng (Adat berkampung menjaga kampung)
Adat banagari mamaga nagari, (Adat bernagari menjaga nagari)
Adat babangso mamaga bangso, (Adat berbangsa menjaga bangsa)”

Yang mengajarkan bahwa dalam menjalankan sesuatu, yang harus diutamakan


adalah keselamatannya, bukan prestise di mata masyarakat.
Maka muncul juga pepatah sebagai reaksi langsung dari penyimpangan yang
dilakukan oleh masyarakatnya, yang berbunyi:

“Titian biaso lapuak, (jembatan biasa rapuh)


Janji biaso mungkie, (janji biasa mungkir)”.

Yang mengajarkan bahwa dalam mengikat janji, haruslah berhati-hati apakah janji
tersebut bisa ditepati atau tidak. Janganlah diadakan janji-janji, sedangkan untuk
memenuhinya saja belum bisa.

3. Dasar hukum keberlakuan Hukum Adat di Indonesia saat ini terdapat dalam
berbagai peraturan baik secara eksplisit maupun implisit. Seperti yang kita ketahui,
Hukum Adat merupakan hukum yang dianut oleh bangsa Indonesia asli, bahkan
sebelum masa-masa kolonialisme hingga saat ini. Namun, seiring
perkembangannya zaman dan masyarakat, kita telah mengalami perubahan dalam
bidang hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah; masih adakah undang-undang yang
berlaku hingga saat ini, yang masih mendasar pada Hukum Adat Indonesia?
Maka dari itu, kali ini saya akan membahas tentang beberapa undang-undang yang
berlaku bagi masyarakat Indonesia, yang masih memiliki dasar Hukum Adat.
diantaranya adalah:

a. Undang Undang Pokok Agraria (UU no.5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar-Dasar Pokok Agraria), yang diundangkan dan dinyatakan berlaku pada
tanggal 24 September 1960.

Dimana pada ketentuan Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa:


“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-
undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu
dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
- Prof. Boedi Harsono, SH dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya Jilid 1
Hukum Tanah Nasional, penerbitnya Djambatan, edisi revisi 2005, hal.179
menyatakan bahwa “Maka tidak ada alasan untuk meragukan bahwa yang
dimaksud UUPA dengan Hukum Adat itu adalah hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak
tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta
diliputi oleh suasana keagamaan.
- Dengan adanya pernyataan dalam Pasal 5 tersebut diatas, maka dapat
diartikan bahwa dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional dengan
menggunakan Hukum Adat sebagai sumber utamanya, dan Hukum Tanah
Nasional menggunakan konsep, asas-asas, dan lembaga-lembaga Hukum
Adat.
Hal ini dapat dilihat dengan lebih jelas dari konsep Hukum Adat yang
komunalistik telah diwujudkan melalui Pasal 1 UUPA ayat (1) dan ayat (2)
yang menyatakan bahwa:

Pasal 1 ayat (1) : Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
Pasal 1 ayat (2) ; Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional

Maka dapat kita lihat, apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat
(2) diatas mengantarkan kita ke dalam suasana religius Hukum Tanah
Nasional kita yang juga merupakan kekhasan Hukum Adat. Dalam Pasal 1
UUPA yang sudah saya paparkan, menyirat bahwa seluruh wilayah Indonesia
adalah tanah milik bersama milik Bangsa Indonesia, sebagaimana halnya
juga dalam Hukum Adat dimana Tanah Ulayat merupakan tanah bersama
para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Asas-asas hukum adat pun mendapat perwujudan melalui ketentuan Pasal 6


UUPA yang menyatakan: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”,
maka sifat pribadi hak-hak individu yang sekaligus mengandung unsur
kebersamaan dalam masyarakat hukum adat dirumuskan secara tegas dalam
ketentuan Pasal 6.
Asas pemisahan horizontal yang dikenal dalam hukum adat juga dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 44 ayat 1 UUPA yang memungkinkan seseorang atau
badan hukum menyewa sebidang tanah untuk keperluan mendirikan
bangunan diatasnya. Dalam keadaan demikian terjadi pemisahan horizontal
dimana pemilik tanah belum tentu sekaligus merupakan pemilik bangunan.

Lembaga-lembaga antara lain dapat ditemui pada Lembaga Jual beli Tanah
yang menganut asas terang dan tunai. Dimana, dalam transaksi jual beli
tanah dikenal adanya asas terang dan tunai, terang yang artinya peralihan
hak atas tanah harus dilakukan pembuatan akta di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah, sedangkan tunai artinya bahwa pembayaran harganya harus
dilakukan secara tunai dan tidak boleh dicicil (pada waktu pembuatan akta
jual beli, harganya sudah harus dilunasi).
b. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dimana dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 37 UU Perkawinan yang
mengatur tentang Harta Bersama atau harta gono gini, asas hukum adat pun
lekat pada peraturan ini. Asas hukum adat tentang harta gono gini semata
terbatas berlakunya hanya pada masyarakat pribumi yang menganut sistem
kekeluargaan yang bercorak parental, akan tetapi dengan berlakunya Undang
Undang No.1 tahun 1974 secara nasional, melalui ketentuan Pasal 35 dan
Pasal 37 yang berbunyi:

Pasal 35:(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi


harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan


harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 37: Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.
Ketentuan tersebut menjadi berlaku bagi semua warga nasional.

c. Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RUU KUHP);


Pasal 1
(1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau
tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam
Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Dalam Pasal 2 RUU KUHP, yang menyatakan bahwa seseorang dapat
dijatuhkan dengan pidana bukan hanya melalui ketentuan ada yang ada
Undang Undang tapi juga hukum yang hidup dalam masyarakat, sepanjang
memenuhi syarat yang dipaparkan dalam Pasal 2 ayat (2). Maka dengan
dimasukkannya ketentuan tentang hukum yang hidup di dalam masyarakat
atau living law, menunjukkan bahwa Hukum Adat diakui keberlakuannya
dalam RUU KUHP.
Namun, seperti yang kita ketahui, banyak sekali permasalahan yang timbul
dari RUU KUHP, terutama Pasal 2. Banyak pendapat dari pihak pro maupun
pihak kontra mengenai keberlakuannya living law (Hukum Adat) dalam RUU
KUHP.
Banyak pendapat dari pihak pro yang mengatakan bahwa KUHP itu
diterbitkan lewat UU no.1/1946, dengan aslinya dibentuk pada tahun 1866
oleh Belanda dan diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1918 (melewati
asas konkordasi). Sehingga dapat kita ketahui bahwa sebenarnya pembuatan
KUHP itu berdasarkan nilai-nilai dari masyarakat Belanda bukan masyarakat
Indonesia, dan tidak ada nilai-nilai murni dari Indonesia; hukum adat. Dan
Bedasarkan nilai-nilai Pancasila artinya bahwa hukum yang ada dalam
Indonesia itu harus berdasarkan nilai-nilai Indonesia yang menyerupai
kebudayaan bangsa Indonesia dan hukum adat itu bersumber dari
kebudayaan masyarakat sehingga Pancasila itu mencerminkan nilai-nilai
hukum adat yang harus tertuang KUHP kedepannya karena itu perwujudan
nilai-nilai dari Pancasila.

Akan tetapi banyak juga pendapat dari pihak kontra yang mengatakan bahwa,
RKUHP sendiri sudah memiliki sifat yang kompleks, apalagi jika dimasukkan
keberlakuan hukum adat. Selain itu, menurut Wakil Ketua Advokasi YLBHI,
Era Purnama Sari, living law atau Hukum Adat di masyarakat bersifat dinamis
dan fleksibel, sehingga akan mati jika diletakkan dalam RKUHP yang sifatnya
kaku. Ia juga berpendapat bahwa, masuknya living law seperti hukum adat
dalam RKUHP akan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.

Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa khusus untuk keberlakuan Hukum
Adat dalam RUU KUHP masih sangat diperdebatkan dalam bidang hukum
Indonesia.

4. Di Indonesia terdapat berbagai perkembangan kasus-kasus tanah adat. Banyak


sekali kasus yang terjadi di wilayah Indonesia yang diselesaikan melalui jalur yang
berbeda-beda. Kali ini saya akan membawakan sebuah kasus mengenai
SENGKETA TANAH ULAYAT ANTARA KAUM CANIAGO DI NAGARI KASANG
DENGAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL PADANG PARIMAN. Kasus ini
terjadi karena adanya konflik yang melibatkan kaum Caniago dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Padang Pariman. Konflik yang terjadi di antara dua
pihak tersebut diawali dengan keinginan anggota kaum untuk melihat sertifikat tanah
kaum mereka, yang kemudian ditolak oleh pihak BPN. Kondisi ini memicu anggota
kaum Caniago untuk mencari pengacara untuk menyelesaikan sengketa tersebut,
hingga memasuki tahap gugatan ke pengadilan PTUN. Dalam tulisan kali ini, akan
saya jelaskan secara lebih rinci alasan gugatan kaum Caniago terhadap BPN hingga
usaha penyelesaian persengketaan antara dua pihak tersebut.

Melihat kembali kepada kronologi yang memicu konflik tersebut, pada pertengahan
tahun 1997, seorang penghulu suku Caniago yang bernama Makas dan 5 anggota
kaumnya mendatangi ahli waris Nurimas. Mereka datang dengan maksud ingin
mencari tahu tentang letak tanah 2,5 Ha yang pernah dijanjikan oleh pihak Nurimas
untuk diberikan kepada pihak anggota kaum Caniago pada tahun 1981, dengan
alasan tanah tersebut akan dibagikan kepada dua anggota kaum Caniago. Akan
tetapi, kedatangan mereka tidak disambut dengan baik oleh ahli waris dari pihak
Nurimas.

Selanjutnya, pada tahun 1998, dua anggota dari kaum Caniago mengaku telah
melihat dua orang pegawai BPN yang sedang melakukan pengukuran di tanah
kaumnya, dan dua pegawai dari BPN mengaku bahwa mereka bermaksud untuk
mengukur batas-batas tanah tersebut, dengan alasan bahwa tanah tersebut sudah
dibeli oleh pihak Nurimas pada tahun 1982 dengan luas tanah 17,5 Ha. akhirnya
mereka melakukan konfirmasi dengan ninik mamak selaku pihak yang menjual
tanah tersebut pada tahun 1982, bernama Awal. Menurut pengakuan Awal, ia
mengingat telah menjual sebidang tanah, tapi ia lupa akan berapa luas tanah yang
telah ia jual, dan menyarankan untuk memastikan kepada Notaris Asmawel Amin
selaku notaris yang membuat perjanjian tersebut. Maka setelah itu, salah seorang
perwakilan dari kaum Caniago pergi menemui Notaris tersebut, namun pihak Notaris
tidak mengizinkan untuk memperlihatkan akta tersebut kecuali dengan membawa
pihak yang terlibat dalam penandatanganan perjanjian tersebut.

Setelah dipenuhi syarat yang diminta oleh pihak Notaris, dapat dilihat isi perjanjian
yang antara lain ‘Pasal 1 menyatakan bahwa pihak pertama berjanji dan mengikat
dirinya untuk menguasakah agar tanah tersebut memperoleh sertifikat dari Kantor
Agraria dan segera setelah sertifikat atas tanah tersebut keluar menjual kepada
pihak kedua dan pihak kedua berjanji untuk membeli dari pihak pertama yaitu;

- Sebidang tanah yang terletak di muaro Kasang, Kecamatan Lubuk Alung,


Kabupaten Padang Pariaman luasnya lebih kurang 10 Ha sebagaimana
diuraikan diatas
- Demikian dengan harga Rp. 500 per meter

‘Pasal 2, Pasal kedua, pada hari ini pihak pertama telah mengaku menerima uang
dari pihak kedua, sebanyak Rp. 350.000,- sebagai voorscchat (panjar) pembelian
tanah tersebut, akta ini berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau kwitansi
sedangkan sisanya sesuai dengan luas tanah setelah diukur oleh agraria akan
dibayar lunas oleh pihak kedua kepada pihak pertama dalam waktu enam bulan
setelah sertifikat tanah tersebut keluar dan tercatat atas nama pihak pertama.

‘Pasal 3, bilamana sertifikat atas tanah tersebut tidak dapat keluar, maka jika ada
gugatan dari pihak ketiga, semuanya harus ditanggung dan diurus olej pihak
pertama.

Karena adanya kejanggalan dari pernyataan BPN dalam akta tersebut, para kaum
Caniago ingin mengkonfirmasi lagi apakah tanah tersebut sudah disertifikatkan, jika
iya, anggota kaum ingin melihat warkah. Namun keinginan anggota kaum tidak
disetujui oleh BPN.

Maka pada tanggal 28 Oktober 2002, pihak kaum Caniago menggugat BPN dan ahli
waris Nurimas, namun Nurimas memberikan kuasa kepada BPN untuk mengatasi
masalah ini. Ada beberapa alasan dasar dari anggota kaum Caniago untuk
menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) antara lain:

1. Informan beranggapan telah terjadi kerjasama antara Nurimas dengan BPN


dalam mengeluarkan sertifikat tanah tersebut, karena saat BPN
mengeluarkan data kepada Polser, banyak yang tidak sesuai dengan data.
2. Dikatakan bahwa mamak kepala waris pernah menerima Rp. 25,000,000,-
dari pihak Nurimas, namun pada kenyataannya mamak kepala waris tidak
pernah menerima uang berjumlah sebanyak itu.
3. Dari warkah yang diperlihatkan polisi ketika BPN menjawab laporan, terdapat
surat jual beli yang ditandatangani oleh semua anggota kaum, akan tetapi
anggota kaum mengaku tidak pernah menekan akta jual beli tersebut.
4. Dikeluarkannya sertifikat no.212 atas nama Revolman dan Nurhayati sangat
dipertanyakan karena anggota kaum tidak ada yang mengenal 2 orang
tersebut.
5. Jika betul BPN sebelumnya pernah melakukan pengukuran terhadap tanah
tersebut, seharusnya diketahui oleh anggota kaum karena seluruh anggota
kaum sudah menguasai tanah tersebut sejak lama dan turun temurun, juga
mereka telah tinggal diatas tanah itu sejak lama.
6. Anggota kaum sampai saat ini belum pernah mengajukan surat permohonan
pendaftaran atau mendaftarkan sertifikat tanah tersebut ke Kantor Agraria
Kabupaten Padang Pariman.
7. Anggota kaum Caniago memnag pernah melakukan perjajian dengan pihak
Nurimas di hadapan Notaris Asmawel Amin, SH pada tanggal 24 Juli 1981
dengan isi perjanjian:
- Bahwa anggota kaum hendak menjual tanah seluas lebih kurang 10
Ha (sepuluh hektar) kepada pihak Nurimas dan pihak Nurimas
bermaksud untuk membeli tanah tersebut
- Bahwa jual beli tanah tersebut segera dilaksanakan setelah sertifikat
atas tanah tersebut keluar dan tercatat atas nama kaum
- Bahwa jual beli tanah tersebut akan dilaksanakan dengan syarat
antara lain : Mamak kepala waris sebagai pihak yang menerima kuasa
akan mewakili kaumnya untuk mengurus sertifikat atas nama kaum.
- Namun syarat ini belum terpenuhi karena ternyata sampai sekarang
hal tersebut belum dilakukan dan kuasa tersebut sampai hari ini belum
berlaku, maka karena tanah tersebut belum disertifikatkan, perjanjian
yang dibuat antara anggota kaum Caniago dengan Nurimas pada
tanggal 24 Juli 1981 juga tidak terlaksana tentang jual beli tanah
tersebut.
8. Anggota kaum belum pernah memerintah pihak Nurimas untuk mengurus
sertifikat tersebut.
9. Tanah tersebut masih dalam perjanjian antara kaum Caniago dan kaum Suku
Jambak, dan menurut hakim pihak agraria tidak dapat melayani permohonan
penerbitan sertifikat suatu tanah yang masih terikat dalam perjanjian dengan
pihak lain.
10. Mamak kepala waris belum pernah mendatangi pihak agraria maupun camat
untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan keperluan sertifikat atas nama
kaum Caniago tersebut.

Maka dapat disimpulkan bahwa gugatan dari pihak kau Caniago adalah atas dasar
kecurigaan bahwa terjadi kerjasama antara pihak BPN dengan pihak Nurimas dalam
mengeluarkan kedua sertifikat tersebut, baik sertifikat atas nama Nurimas dan
sertifikat yang dipegang oleh pegawai yang berjumlah kurang lebih 400 orang.

Dalam upaya penyelesaian sengketa tersebut, digunakan mekanisme masyarakat


mufakat para pihak yang berkonflik.

Sebelum anggota kaum Caniago memproses gugatan ke pengadilan, terdapat


upaya penyelesaian dari pihak BPN yang tidak ingin sengketa tersebut dibawa ke
hadapan hakim, dimana dua anggota BPN mendatangi kaum Caniago untuk
melakukan musyawarah mufakat. Anggota kaum merenima permintaan anggota
BPN dengan syarat tertentu yakni pihak BPN harus mampu untuk mengumpulkan
semua pemegang sertifikat pecahan yang berjumlah 400. Namun pihak BPN tidak
mampu untuk memenuhi persyaratan tersebut. Maka anggota kaum Caniago
melanjutkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sehingga
penyelesaian sengketa ini dilakukan melalui jalur hukum.

Oleh karena itu pada tanggal 7 November 2002, dimasukkan perkara ini ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang. Sedangkan pada tanggal 8
November 2002 baru perkara tersebut diterima oleh PTUN dengan No
25/G/2002/PTUN-PGD. Berdasarkan beberapa kali sidang dengan mendatangkan
saksi dari kedua belah pihak, kasus sengketa tanah dimenangkan oleh Kaum
Caniago.

Pihak BPN telah melakukan upaya naik banding, namun kasus sengekta tanah tetap
dimenangkan oleh kaum Caniago, dan dalam upaya terakhir, pihak BPN melakukan
kasasi ke Mahkamah Agung yang mana kasusnya hingga saat ini belum
terselesaikan.

Menurut pendapat saya, berdasarkan materi yang sudah dipelajari selama waktu
perkuliahan, diketahui bahwa agar suatu transaksi tanah menjadi sah, wajib
dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan agar perbuatan hukum ini menjadi
terang, dan dalam kasus yang sudah saya paparkan, mamak kepala waris adalah
seorang yang ditunjuk untuk mewakili kaumnya, dan nyatanya ia belum pernah
mendatangi pihak agraria atau camat untuk mengurus hal-hal yang berkaitan
dengan keperluan sertifikat atas nama kaum Caniago.

Selain itu, telah saya pelajari juga bahwa pada umumnya untuk transaksi yang
dibuatkan suatu akta, memerlukan adanya tanda tangan kepala suka dan juga saksi-
saksi, namun salah satu alasan kaum Caniago menggugat pihak BPN adalah karena
terdapat surat yang ditandatangani seluruh anggota kaum Caniago, di saat pada
nyatanya tidak ada satupun anggota yang merasa pernah menekan akta jual beli
tersebut.

Untuk usulan upaya penyelesaian sengketa tersebut, saya berpendapat bahwa


melalui negosiasi dan musyawarah mufakat, diharapkan kedua pihak dapat
membentuk suatu kesepakatan yang dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Seperti yang sudah dilakukan oleh pihak kaum Caniago, mereka menerima upaya
musyawarah mufakat dengan persyaratan tertentu. Namun disaat pihak BPN
bahkan tidak mampu untuk memenuhi syarat tersebut, dengan tegas saya
mengatakan bahwa jalur yang paling pantas untuk menyelesaikan sengketa tersebut
adalah melalui jalur hukum; dengan membawa permasalahan tersebut ke hadapan
pengadilan. Dengan itu, sengketa dapat diselesaikan dengan dasar hukum, apalagi
pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut merupakan badan nasional yang
merupakan lembaga negara. Maka sebaiknya sengketa antara kaum Caniago dan
BPN diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

Anda mungkin juga menyukai