BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perbandingan hukum adalah lmu pengetahuan yang usianya masih relatif muda di Indonesia.
Dari sejarah diketahui bahwa perbandingan hukum sejak dahulu sudah dipergunakan orang tetapi
baru secara insidental. Perbandingan hukum baru berkembang secara nyata pada akhir abad ke-
19 atau permulaan abad ke-20. lebih-lebih pada saat sekarang di mana negara-negara di dunia
saling berinteraksi dengan Negara yang lain dan saling membutuhkan hubungan yang erat.
Perbandingan hukum menjadi lebih diperlukan karena dengan perbandingan hukum, kita dapat
mengetahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya. Dan dengan saling
mengetahui hukum suatu negara, sengketa dan kesalahpahaman dapat dihindari sehingga
tercapailah perdamaian dunia.
Perbandingan hukum mempunyai peranan penting di bidang hukum secara nasional maupun
internasional. Oleh karena itu semakin perlu diketahui atau dipelajari karena mempunyai
berbagai manfaat antara lain, dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum nasional
disamping mempunyai peranan penting dalam rangka hubungan antar bangsa dan sebagainya.
Pendeknya perbandingan hukum mempunyai peranan penting di segala bidang kajian hukum.
Pernyataan diataslah yang melatar belekangi pentingnya perbandingan hukum dalam tatanan
hukum di Indonesia.
Rumusan Masalah
1. Menjelaskan secara singkat perbandingan hukum perdata
2. Menjelaskan pengertian dewasa yang ada di hukum belanda dan indonesia
3. Menjelaskan pengertian pengampuan yang ada di hukum belanda dan Indonesia
4. Menjelaskan pengertian domisili yang ada di hukum belanda dan indonesia
1. Tujuan penulisan
Adapun tujuan saya dalam menyusun makalah ini adalah agar saya sebagai mahasiswa mampu
memahami tentang masalah perbandingan hukum, khusus nya dalam ilmu hukum perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada awalnya hukum yang berlaku di masing-masing negara di Eropa Kontinental adalah hukum
kebiasaan. Namun dalam perkembangan jaman hukum kebiasaan tersebut menjadi lenyap oleh
karena adanya penjajahan oleh bangsa Romawi dan adanya anggapan bahwa
hukum Romawi lebih sempurna daripada hukum asli negara mereka sendiri, sehingga
diadakanlah resepsi (perkawinan/percampuran) hukum.
Hukum Romawi dianggap lebih sempurna karena sejak abad ke-1 ahli hukum Yunani Gajus
Ulpanus telah menciptakan serta mempersembahkan suatu sistem hukum kepada bangsa dan
negaranya, bahkan pada abad ke-6, Kaisar Romawi Timur Justinian I dapat menyajikan
kodifikasi hukum Romawi dalam kitab yang diberi nama Corpus Juris Civils. Anggapan
hukum Romawi sempurna timbul atas hasil penelitian para Glossatoren (pencatat/peneliti) dalam
abad pertengahan.
Faktor penyebab lainnya hukum Romawi diresepsi oleh negara-negara di Eropa
Kontinental adalah karena banyaknya mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara yang belajar
khususnya hukum Romawi di Perancis Selatan dan di Italia yang pada saat itu merupakan pusat
kebudayaan Eropa Kontinental. Sehingga para mahasiswa tersebut setelah pulang dari
pendidikannya mencoba menerapkannya dinegaranya masing-masing walaupun hukum negara
asalnya telah tersedia.Selain itu kepercayaan pada Hukum alam yang asasi juga merupakan
faktor yang mendukung diresepsinya hukum Romawi, karena hukum alam dianggap sempurna
dan selalu berlaku kapan saja dan di mana saja. Hukum alam ini pada saat itu selalu disamakan
dengan hukum Romaw
Sebelum adanya unifikasi hukum oleh Kaisar Napoleon Bonaparte, Hukum yang berlaku
di Perancis bermacam-macam yaitu hukum Germania (Jerman) dan hukum Romawi. Di bagian
utara dan tengah berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum
kebiasaan Perancis kuno yang berasal dari hukum Jerman, sedangkan pada daerah selatan yang
berlaku adalah hukum Romawi (pays de droit ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris
Civils dari Kaisar Romawi Justinian I. Di samping hukum perkawinan adalah hukum yang
ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonici dan berlaku di
seluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai hukum tersebut, maka di Perancis dirasakan tidak adanya kepastian
hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu timbul kesadaran akan pentingnya kesatuan
hukum/unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini akan dituangkan ke dalam suatu buku yang
bernama Corpus de lois Gagasan unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV
(Raja Louis XI) yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai parlemen propinsi pada abad XVI dan
para ahli hukum seperti Charles Doumolin (1500 – 1566), Jean Domat (1625 – 1696), Robert
Joseph Pothier (1699 – 1771), dan Francois Bourjon.Namun pada akhir abad XVIII dapat
diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang diberi nama ordonansi
daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah L’ordonance sur les
donations (1731), L’ordonance sur les testaments (1735), dan L’ordonance sur les substituions
fideicommisaires (`1747).
Tanggal 21 Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis dengan nama Code Civil des
Francais yang diundangkan sebagai Code Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi hukum ini
merupakan karya besar dari Portalis selaku anggota panitia pembentuk kodifikasi hukum
tersebut, selain itu kodifikasi hukum ini merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan
terlengkap serta dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga pada
saat itu timbulah paham Legisme dengan mottonya “Di luar undang-undang tidak ada hukum”.
Sumber hukum kodifikasi tersebut merupakan campuran asas-asas hukum Jerman dan hukum
Greja
(hukum Kanonik) yaitu hukum kebiasaan (coutumes), terutama kebiasaan Paris (coutume de
Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau, tulisan-tulisan dari pakar hukum seperti Poithier,
Domat, dan Bourjon, serta hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya
kodifikasi hukum tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di negara Perancis yang semula
memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun 1807
dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des Francais atau Code Napoleon yang
merupakan kodifikasi hukum yang pertama di dunia.
Seperti halnya di Perancis, di negara Belanda, hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum
kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Namun akibat penjajahan Perancis (1806 – 1813)
terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper
untuk
menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Belanda. Konsep kode hukum
Belanda menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak disepakati
oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari negara Belanda), karena
mereka lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya
kode hukum Belanda sebagian besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum
Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code Napoleon,
melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus Juris Civils yang terdiri dari
empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak berdasar pada hukum Perancis melainkan berdasar pada
peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang kemudian menjadi himpunan hukum yang
berlaku khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini
sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis, hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang
saja (kelompok gilde). Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada
abad XVI – XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara perniagaan,
pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yan belum sepenuhnya dilaksanakan, tahun
1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert, dan tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis, kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk
yang bukan pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau
dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.Mengenai kodifikasi dapat diketengahkan,
bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum secara resmi dalam suatu
sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus berkembang, sehingga hukumnya dituntut
untuk ikut terus berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi
adalah hukum selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-
maslaah yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan dari
”Burgerlijk Wetboek” (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas konkordansi (azas persamaan hukum). Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859.Hukum
perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian
1. Dewasa
Di belanda, sesuai dengan pasal 1:233 BW, dikatakan bahwa anak-anak yang belum dewasa
ialah orang yang belum mencapai usia delapan belas tahun. Jadi dapat dikatakan bahwa
seseorang dapat disebut sebagai subjek hukum yang memiliki kecapakan di muka hukum apabila
orang tersebut telah menginjak usia dewasa yaitu 18 tahun. Namun terdapat pengecualian dari
pasal tersebut, yang mana disebutkan pada pasal 1:234 BW. Yaitu anak-anak yang belum dewasa
sudah kompeten secara hukum jika mereka bertindak dengan persetujuan dari kuasa hukum
mereka. Dan menurut pasal 1:234(3) BW, persetujuan tersebut dapat diasumsikan telah diberikan
ketika anak yang belum dewasa itu melakukan tindakan hukum yang umumnya diterima menjadi
suatu perbuatan yang anak-anak seusianya dapat melakukannya secara mandiri. Dan jika suatu
perbuatan dilakukan tanpa persetujuan orang tua maka hal tersebut dapat dibatalkan berdasarkan
pasal 3:32 BW.
Ketika seorang anak bertumbuh dan kemudian menginjak usia dewasa, kewenangan sebagai
orang tua atau perwalian pun berakhir. Seorang pewaris yang ingin mendukung seorang anak
yang belum dewasa dalam wasiatnya memiliki pilihan – pilihan untuk pengaturan pengelolaan
atas bagian dalam warisan dari anak yang belum dewasa tersebut (Pasal 4:153dst.BW). Hak
pengelolaan ini bisa berlanjut sampai setelah anak kecil tersebut mencapai usia dewasa
(misalnya, sampai anak tersebut menginjak usia 23 atau 25 tahun, meskipun kewenangan sebagai
orang tua wali telah berakhir)
Ada pengecualian untuk aturan yang ditetapkan dalam Pasal 1:234 BW. Khususnya, jika seorang
anak yang belum dewasa telah mencapai usia enam belas tahun maka ada lebih
banyak kemungkinan. Misalnya, dari titik itu dan seterusnya anak yang belum dewasa dapat
membuat wasiat yang sah secara hukum (Pasal 4:55 BW). Dari usia enam belas dan seterusnya
seorang anak yang belum dewasa juga secara legal kompeten untuk menjadi pihak dalam sebuah
kontrak kerja (Pasal 7:612 BW). Sehubungan dengan kontrak kerja itu, anak yang belum dewasa
tersebut sama dengan orang yang sudah berusia penuh (dewasa) dalam segala hal dan boleh
masuk dalam proses hukum tanpa bantuan dari kuasa hukumnya. Jika dikaitkan dengan
perkawinan, anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih boleh menikah dengan syarat bahwa
pihak wanita mengajukan sertifikat medis yang menyatakan bahwa ia hamil atau telah memiliki
anak, berdasarkan pasal 1:31 BW.
Di Indonesia, jika kita berbicara mengenai apa itu dewasa dalam lingkup subjek hukum, maka
yang harus dibicarakan pertama kali ialah mengenai kecakapan dari subjek hukum itu sendiri.
Dalam pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan kondisi apa saja yang termasuk kedalam kategori
ketidakcakapan dimuka hukum. yaitu:
Orang yang belum dewasa
Orang yang berada dibawah pengampuan
Wanita yang telah bersuami (tidak berlaku lagi berdasarkan putusan MA no. 3/1963)
Sehingga sebagai seorang subjek hukum yang ingin dikatakan cakap hukum, maka syarat
utamanya ialah subjek hukum tersebut haruslah dewasa. Namun terdapat ketidakseragaman
mengenai pengaturan usia yang dapat dikatakan seseorang telah menjadi dewasa di mata hukum.
Pada pasal 330 KUHPerdata, disebutkan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Namun terdapat suatu
upaya yang dapat membuat orang yang belum genap berusia 21 tahun untuk dikatakan dewasa.
Yaitu ada yang dinamakan pendewasaan, yang aturannya terdapat pada pasal 419 – 432
KUHPerdata. Defisini dari pendewasaan ialah suatu upaya hukum untuk mempersamakan
kedudukan seseorang yang masih dibawah umur dengan seseorang yang dewasa baik untuk
seluruh hak maupun untuk sebagian hak untuk bertindak dalam lalu lintas hukum.
Jadi perbedaan hukum perdata Belanda dengan hukum perdata Indonesia mengenai pengaturan
usia dewasa, dalam hukum perdata Belanda usia orang yang dikatakan dewasa ketika sudah
berumur 18 tahun sedangkan dalam hukum perdata Indonesia usia seseorang yang sudah
dikatakan dewasa ketika berumur 21 tahun.
1. Pengampuan (Curatele)
Pengampuan atau curatele dapat dikatakan sebagai lawan dari Pendewasaan (handlichting).
Karena adanya pengampuan, seseorang yang sudah dewasa (meerderjarig) karena keadaan-
keadaan mental dan fisiknya dianggap tidak atau kurang sempurna, diberi kedudukan yang sama
dengan seorang anak yang belum dewasa (minderjarig).Menurut ketentuan Pasal 433 Burgerlijk
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), ada 3 alasan untuk pengampuan, yaitu:
1. Keborosan (verkwisting)
2. Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen), misalnya imbisil atau debisil
3. Kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan
dungu disertai sering mengamuk (razernij).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 436 Burgerlijk Wetboek, yang berwenang untuk menetapkan
pengampuan adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman orang
yang akan berada di bawah pengampuan. Sedangkan menurut Pasal 434 Burgerlijk Wetboek,
orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengampuan adalah:
1. Untuk keborosan oleh setiap anggota keluarga sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke
samping sampai derajat ke-4 dan istri atau suaminya.
2. Untuk lemah akal budinya oleh pihak yang bersangkutan sendiri apabila ia merasa tidak
mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri
3. Untuk kekurangan daya berpikir oleh: setiap anggota keluarga sedarah dan istri atau
suami & Jaksa, dalam hal ia tidak mempunyai istri atau suami maupun keluarga sedarah
di wilayah Indonesia
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus. Sedangkan orang yang menjadi
pengampu disebut curator. Pengampuan mulai berlaku sejak hari diucapkannya putusan atau
ketetetapan pengadilan. Dengan adanya putusan tersebut maka curandus yang berada di bawah
pengampuan karena alasan kekurangan daya berpikir dinyatakan tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum dan semua perbuatan yang dilakukannya dapat dinyatakan batal. Sedangkan
bagi curandus yang berada di bawah pengampuan karena keborosan, maka ia hanya tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan. Sedangkan untuk
perbuatan hukum lainnya, misalnya perkawinan tetap sah. Untuk curandus yang berada di bawah
pengampuan karena alasan lemah akal budinya, terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli
hukum. Sebagian berpendapat bahwa curandus hanya tidak cakap dalam melakukan perbuatan
hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan saja. Namun yang lainnya berpendapat bahwa
curandus tidak cakap dalam melakukan segala perbuatan hukum. Sekalipun curandus tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum, namun apabila curandus melakukan perbuatan melanggar
hukum (onrechtmatige daad), ia tetap harus bertangung gugat dengan membayar ganti rugi untuk
kerugian yang terjadi karena kesalahannya.
1. Domisili
Dalam Hukum Belanda yang diatur dalam Dutch Civil Law atau BW Belanda, dalam buku 1
hukum tentang orang dan keluarga dalam bab 1.3 tentang domisili menyatakan dalam pasal 1:10
BW, bahwa domisili seseorang ialah terletak pada tempat tinggalnya yang sudah biasa/lama
ditinggali dan apabila tidak ditemukan, maka domisili orang tersebut adalah tempat tinggal
sebenarnya. Dalam pasal selanjutnya dapat dikatakan bahwa seseorang kehilangan tempat
tinggalnya dengan memperlihatkan niat untuk menelantarkannya. Di dalam peraturan ini juga
terdapat pengaturan mengenai domisili dari orang yang tidak memiliki kecakapan hukum seperti
orang yang dibawah pengampuan sebagaimana diatur dalam pasal 1:12 BW, dinyatakan domisili
orang dibawah pengampuan adalah alamat yang sama dengan curator dari orang yang dibawah
pengampuan tersebut. Selanjutnya dalam pasal 1:15 BW seseorang dapat memilih domisilinya,
maksudnya orang tersebut dapat memlilih domisili yang berbeda dari domisili yang sebenarnya
apabila hukum memaksanya untuk hal itu.
Mengenai domisili atau tempat kediaman dari subjek hukum, di Indonesia diatur pada pasal 17 –
25 KUHPerdata. Pada pasal 17 KUHPerdata dijelaskan bahwa “setiap orang dianggap
mempunyai tempat tinggal dimana dia menempatkan pusat kediamannya. Bila tidak ada tempat
kediaman yang demikian, maka tempat kediaman yang sesungguhnya dianggap sebagai tempat
tinggalnya.” Tempat kediaman sesungguhnya dibedakan atas :
Tempat kediaman sukarela yaitu dimana seseorang dengan bebas menurut kehendaknya
sendiri menciptakan keadaan-keadaan ditempat tertentu.
Tempat kediaman wajib yaitu didasarkan padanya hubungan antara sesorang dengan
orang lain.
Ada 4 golongan orang yang mempunyai tempat tinggal wajib :
1. Istri dianggap bertempat tinggal ditempat tinggal suami yang tidak dalam keadaan
berpisah meja dan tempat tidur.
2. Anak dibawah umur dianggap bertempat tinggal ditempat tinggal orang tuanya atau
walinya.
3. Mereka yang dibawah pengampunan bertempat tinggal ditempat tingal pengampunnya.
4. Buruh (pekerja) bertempat tinggal di tempat tinggal majikannya. Kalau mereka tinggal
disitu (ps 22). Tetapi buruh wanita yang telah bersuami tempat kediamannya tetap di
tempat tinggal suaminya walaupun tinggal ditempat tinggal majikannya (ps 21).
Fungsi dari domisili itu sendiri ialah berhubungan dengan masalah kompetensi pengadilan untuk
mengadili seseorang dan pengadilan nama seseorang untuk mengajukan gugatan, jika seseorang
dipanggil atau menghadap yang berwajib atau pengadilan
Jadi perbedaan hukum perdata belanda dengan hukum perdata Indonesia mengenai pengaturan
mengenai domisili adalah dalam hukum perdata Belanda, tidak ada pengaturan mengenai
penggolongan penduduk yang harus memiliki domisili, sedangkan dalam hukum perdata
Indonesia ada pengaturan mengenai empat golongan yang wajib memiliki tempat tinggal yaitu
istri, anak dibawah umur, anak yang berada dibawah pengampuan dan buruh atau pekerja.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Jadi terdapat beberapa perbedaan antara hukum perdata Indonesia dan hukum perdata Belanda
diantaranya mengenai pengaturan usia dewasa, dalam hukum perdata Belanda usia orang yang
dikatakan dewasa ketika sudah berumur 18 tahun sedangkan dalam hukum perdata Indonesia
usia seseorang yang sudah dikatakan dewasa ketika berumur 21 tahun. Perbedaan selanjutnya
terletak pada pengaturan mengenai pengampuan, dalam hukum perdata Belanda orang yang
diberikan pengampuan termasuk juga orang-orang yang mabuk karena alkohol dan permintaan
untuk mendapatkan pengampuan diajukan oleh orang yang bersangkutan, sedangkan dalam
hukum perdata Indonesia orang yang mabuk karena alcohol tidak diberikan pengampuan dan
permintaan untuk mendapatkan pengampuan diajukan oleh wali dari orang yang akan diampu.
Perbedaan yang antara hukum perdata Belanda dan hukum perdata Indonesia yang terakhir
terletak pada pengaturan mengenai domisili, dalam hukum perdata Belanda, tidak ada
pengaturan mengenai penggolongan penduduk yang harus memiliki domisili, sedangkan dalam
hukum perdata Indonesia ada pengaturan mengenai empat golongan yang wajib memiliki tempat
tinggal yaitu istri, anak dibawah umur, anak yang berada dibawah pengampuan dan buruh atau
pekerja.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Leon, W.D. Kolkman, et al. Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di
Belanda dan Indonesia, Denpasar: Pustaka Larasan, 2012
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2003.
1991. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga
(Personen en Familie-Recht), Surabaya: Airlangga University Press, 1991.