Anda di halaman 1dari 12

TEORI HUKUM DALAM SISTEM HUKUM

A. Sejarah Sistem Hukum Civil Law dan Common Law


Bidang studi sejarah hukum adalah disiplin ilmu yang masih tergolong muda.
Sebagiamana dikatakan oleh Van Apeldorn, keberadaan suatu mazhab yang disebut
hukum alam yang rasionalah yang pada suatu periode tertentu menguasai pemikiran
hukum para pakar hukum yang melihat hukum itu bukan gejala sejarah, akan tetapi
merupakan suatu produk rasio atau akal. 1 Disamping itu cara berpikir normatif yang
amat kuat dari kalangan ini yang melihat hukum itu sebagai ketentuan yang mengatur
tingkah laku manusia di kemudian hari menyebabkan tak perlu memperhatikan masa
lalu, adalah merupakan suatu pemikiran yang keliru.2
Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de
Droit Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa
semakin ia memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa
sejarah hukum lebih dahulu daripada logika karena sejarah hukum mampu
menjelaskan mengapa dan bagaimana lembaga-lembaga hukum kita muncul ke
permukaan seperti keberadaannya saat ini.3 Hakim Amerika Serikat dan pakar sejarah
Holmes mengutarakan bahwa perjalanan yang ditempuh hukum bukanlah jalur dan
ruas logika melainkan rel pengalaman.4
Oleh karena itu pendapat para pemikir hukum tersebut diatas dapat menjadi
alasan mengapa kami mengambil perspektif sejarah sebagai langkah awal dalam
memahami dua sistem hukum besar dunia saat ini.

Sistem Hukum Civil Law


Civil Law adalah sistem hukum yang saat ini dianut oleh Negara-negara Eropa
Kontinental atas dasar resepsi corpus iuris civilis. Sistem hukum civil law merupakan
proses romanisasi hukum Romawi dalam rangka mengisi kekosongan-kekosongan
1
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, hlm. ix
2
Ibid, hlm. ix.
3
Dikutip oleh Coing H., epochen der Rechtsgeschichte in Deutschland, Munchen, Beck, 1976.
4
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, hlm. 3.

1
hukum dalam perundang-undangan dan kebiasaan-kebiasaan hukum pribumi di Eropa
Barat.5 Romanisasi hukum Romawi pada umumnya berlangsung dalam tempo yang
lamban. Perembesan hukum Romawi tidak berlangsung dengan kekuatan yang sama,
dengan kata lain derajat Romanisasi bervariasi dari Negara ke Negara, dimana
Romanisasi yang lebih mendasar berlangsung di Italia, Jerman, dan Belanda, sedang
Perancis tidak terjadi resepsi secara resmi karena hukum Romawi diterima hanya
sebagai ratio scripta (akal tertulis)6, namun sebagian besar Code Civil tahun 1804
sesungguhnya dipengaruhi secara langsung oleh hukum Romawi. Berbeda dengan
Inggris hampir sama sekali tidak dipengaruhi oleh Romanisasi karena hukum pribumi
yakni common law telah berkembang sejak Negara tersebut ditaklukan oleh Willem
sang Penakluk tahun 1066.7
Meskipun proses Romanisasi tidak merata, namun pada akhir abad
pertengahan dan memasuki zaman-zaman modern unsur-unsur dan pemakaian
terminologi hukum bersama atas hukum Romawi telah ditafsirkan pada saat sekarang
ini sebagai tatanan hukum benua Eropa (continental / civil law).8
Karena proses Romanisasi tidak berlangsung secara merata di Negara-negara
Eropa Kontinental, maka sangat wajar bila hukum di benua Eropa Kontinental tidak
terselenggara suatu unifikasi hukum, kendatipun ilmu pengetahuan hukum di semua
Negara Eropa Kontinental mempergunakan pengertian-pengertian yang hampir sama,
namun hukum positif dari Negara yang satu dengan Negara yang lain menunjukkan
perbedaan-perbedaan yang mencolok sebagai akibat sejarah lahirnya sendiri dan
evolusi masing-masing.9

Sistem Hukum Common Law


Sistem hukum common law adalah sistem hukum yang berkembang di Negara
Persemakmuran Inggris (Amerika Utara, Kanada, Amerika Serikat). Pada awalnya
yakni abad I sampai dengan abad V, Inggris merupakan bagian dari Negara Romawi,
namun proses Romanisasi di dalam hukum dan institusi-institusi boleh dibilang tidak
meninggalkan bekas-bekasnya dalam periode-periode berikutnya.10

5
Ibid, hlm. 336.
6
Ibid, hlm. 301.
7
Ibid, hlm. 351.
8
Ibid, hlm. 304.
9
Ibid, hlm. 305.
10
Van Caenegem menamakan periode Romawi tersebut “halaman kosong” di dalam sejarah Inggris.

2
Setelah jatuhnya Negara Roma Suci Barat, di Inggris pun sejak abad VI, telah
terbentuk sejumlah kerajaan-kerajaan Germania, sebagai akibat penyerangan-
penyerangan kaum-kaum Angel-Sekson dan Denmark, sehingga pencatatan-
pencatatan hukum dilakukan. Namun suatu perbedaan yang besar dengan Negara
Eropa Kontinental bahwa pencatatan hukum yang dilakukan di Inggris tidak dengan
bahasa latin, melainkan dengan bahasa rakyat setempat.11
Pada tahun 1066 Inggris ditaklukan oleh Hertog Normandia, William sang
Penakluk (1028-1087) dalam pertempuran di Hasting, dan dalam kemenangannya
William menyatakan tidak akan mengubah hukum dan kebiasaan penduduk pribumi,
namun memasukkan tatanan feodal yang lazim berlaku di Eropa Kontinental. 12 Dalam
abad XII, kebiasaan tetap merupakan sumber satu-satunya hukum Inggris, kebiasaan-
kebiasaan lokal Angglo-sekson, kebiasaan-kebiasaan kota yang baru didirikan,
kebiasaan-kebiasaan kaum pedagang kota London tetap dipertahankan.13
Dari tahun 1485 sampai dengan 1832, berkembang suatu sistem kaedah lain
dalam sistem common law yaitu “kaedah equity”, kaedah equity berfungsi untuk
melengkapi dan kadang-kadang mengkoreksi common law yang dalam perjalanannya
telah menjadi kurang lengkap dan ketinggalan.14 Selain itu kekhususan sistem hukum
common law adalah terletak pada peranan penting yang dimainkan oleh juri di dalam
institusi peradilan, dan kaedah – kaedah yang dibuat oleh hakim (judge made law)
mengikat untuk umum.
Inggris adalah Negara tanpa undang-undang dasar dan tanpa kitab undang-
undang seperti Amerika Serikat dan banyak Negara-negara Eropa dan bukan Eropa.
Constitusional Law Inggris bertumpu pada kebiasaan dan pada preseden-preseden,
maupun pada beberapa naskah undang-undang seperti halnya beberapa ketentuan
Magna Charta tahun 1215, Bill of Rights tahun 1689 dan Acts of Union antara Inggris
dan Skotlandia (1707). 15

B. Teori-teori hukum yang mempengaruhi Civil Law dan Common Law.


Setelah mengurai secara singkat sistem hukum civil law dan sistem hukum
common law dari perspektif sejarah, ternyata dalam setiap periodesasi

11
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, hlm. 350.
12
Ibid, hlm. 351.
13
Ibid, hlm. 351.
14
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 249.
15
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, hlm.365.

3
perkembangannya, dua sistem hukum besar tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa
pemikir hukum dengan teori-teori hukum yang dianutnya. Perbedaan antara dua
sistem hukum tersebut pada periode ini seakan mulai mengabur dan mengalami
percampuran (mixing). Oleh karenanya dalam sub judul ini kami mencoba
menguraikan bias-bias perbedaan dua sistem hukum tersebut dari perspektif teori
hukum.

Civil Law
Teori hukum alam selalu mengisi sejarah perkembangan hukum dari jaman
kuno hingga jaman sekarang. Kritik tajam hingga mengalami kemunduran dan masa
kebangkitannya kembali, telah menunjukkan bahwa hukum alam adalah ruh atau
tujuan dari hukum itu sendiri yaitu keadilan. Rudolf Stammler mengatakan bahwa
semua hukum positif adalah suatu usaha untuk menuju kepada hukum yang adil. 16
Di negara-negara Eropa Kontinental seperti Italia, Perancis, Jerman, dan
Austria pengaruh hukum alam adalah sangat kental. Di Italia dikenal seorang pemikir
cemerlang yang mensintesiskan hukum alam dengan hukum positif yaitu Thomas
Aquinas. Di Perancis telah dikenal beberapa tokoh pemikir hukum yang
mempengaruhi meletusnya revolusi Perancis tahun 1789, seperti John Locke, J.J.
Rousseau dan Montesquie, dimana revolusi tersebut menjadi pedoman pelatakan
prinsip dasar Hak Asasi Manusia. Di Jerman terdapat pemikir hukum alam seperti
G.W.F Hegel, dan di Austria diketahui bahwa hukum alam telah mempengaruhi
sistem hukum meraka, hal ini didasarkan dalam Kitab Undang-Undang Austria tahun
1811 menyatakan bahwa:17
Jika suatu kasus tidak dapat diputuskan menurut kata-kata atau semangat yang terdapat
dalam Undang-Undang, maka pengadilan dapat mempertimbangkan pengaturan
terhadap kasus-kasus yang serupa, atau motif yang disarankan oleh hukum lain yang
serupa. Akan tetapi, jika masih terdapat keraguan tentang putusan terhadap kasus
yang bersangkutan, maka putusan harus dijatuhkan dengan berdasarkan kepada
hukum alam (the law of nature), dan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di
sekitar kasus bersangkutan dan dengan mempertimbangkannya secara keseluruhan.

Namun dari pada itu, aliran pemikiran Positivisme juga mendapat tempat
dalam sistem hukum Eropa Kontinental bahkan sangat mempengaruhi. Tentu hal
tersebut tidak terlepas dari faktor sejarah sebagaimana telah dijelaskan dalam sub
judul sebelumnya dan juga pengaruh dari filsafat Positivisme Aguste Comte. Dalam

16
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 262.
17
Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar Dalam Hukum, Jakarta: kencana Prenadamedia Group, hlm. 25

4
positivisme hukum dipostulatkan bahwa hukum harus terbebas dari anasir-anasir
moral dan etika termasuk juga politik dan ideologi. Hukum adalah perintah menurut
pandangan H.LA. Hart dan hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu Negara menurut Jhon Austin. Untuk mencapai tujuan hukum
maka perlu dilakukan kodifikasi agar terdapat kepastian hukum, oleh karenanya bagi
Negara-negara Eropa Kontinental menganggap Kodifikasi hukum adalah suatu
keharusan, dan Undang-Undang tertulis adalah norma-norma yang valid karena
dibentuk oleh penguasa yang berdaulat.
Di Jerman, hukum bukan hanya bersumber dari kodifikasi-kodifikasi rasional,
hukum kebiasaan lama Jerman juga diakui keberadaannya. Hal ini tidak terlepas dari
pengaruh pemikiran Von Savigny yang mengatakan bahwa hukum bertumbuh
kembang dalam pengakuan setiap bangsa dan membawa serta kepadanya ciri-ciri khas
yang unik adalah kesadaran nasional bangsa (jiwa bangsa), dimana jiwa bangsa ini
muncul secara alami kepermukaan di dalam hukum kebiasaan setiap bangsa.18
Akan tetapi dalam abad ke 20 pemikiran-pemikiran hukum alam kembali
menjadi perhatian, salah satu tokohnya adalah Lon L. Fuller. Fuller melihat ada
hubungan antara hukum dan moralitas, dan dia mendalilkan bahwa peraturan-
peraturan hukum itu perlu tunduk pada internal morality.19
Oleh karena itu maka prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Civil Law
adalah, bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan
yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. 20
Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam
pergaulan hidup diatur dengan peraturan yang tertulis, maka adigium “tidak ada
hukum selain undang-undang” adalah adigium yang lazim disematkan dalam sistem
hukum ini, yang artinya bahwa hukum selalu diidentikan dengan undang-undang 21.
Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim
hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang
ada padanya. Putusan hakim tidak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak
yang berperkara.22

18
Jhon Gilissen dan Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, hlm.15
19
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 266.
20
J.B. Daliyo, 2001, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Prenhallindo, hlm. 36.
21
Ibid, hlm. 36.
22
Ibid, hlm. 36.

5
Namun pendapat tersebut diatas tidak serta merta menegasikan teori hukum
lain, karena dalam sistem hukum civil law di beberapa Negara Eropa Kontinetal juga
mengadopsi paham hukum alam dan hukum kebiasaan dalam sistem hukumnya.

Common Law
Hukum alam menjadi salah satu pondasi pelatakan sistem hukum common
law, sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum tersebut berkembang pada awalnya
di Inggris. Magna Charta tahun 1215 dan Bill of Rights tahun 1689 adalah tonggak
perubahan sistem monarki menjadi sistem monarki konstitusional, 23 dalam sistem
hukum Inggris. Hal ini tentu menjadi bukti nyata bahwa hukum alam telah diadopsi
dalam sistem hukum Inggris pada awal abad 13.
Sistem hukum common law juga bersumber dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat, sebagaimana bukti sejarah yang menuliskan bahwa ketika
William sang Penakluk (1028-1087) menaklukan Inggris Ia menyatakan tidak akan
mengubah hukum dan kebiasaan penduduk pribumi. Hingga sekarang ini kebiasaan-
kebiasaan tersebut tetap diakui sebagai sumber hukum dan di jadikan azas hukum
yaitu doctrine of precedent, dan azas judge made rule.
Selain itu para pemikir positivis hukum seperti H.L.A Hart, John Austin,
bahkan Jeremy Bentham - yang seharusnya layak menyandang bapak ilmu hukum
Inggris karena dialah yang dengan gigih memperjuangkan untuk merombak hukum di
Inggris yang kacau menurutnya dengan melakukan kodifikasi 24 - adalah pemikir
positive hukum yang berkebangsaan Inggris. Tokoh-tokoh pencetus aliran
positivisme hukum tersebut yang mempengaruhi dan membentuk sistem hukum civil
law pada abad modern di Eropa Kontinental. Namun gagasan mereka tidak diterapkan
dalam sistem hukum Inggris sebagaimana perjuangan Jeremy Bentham untuk
melakukan kodifikasi di Inggris mengalami kegagalan. Oleh karenanya, Inggris selain
mengakui hukum kebiasaan sebagai sumber hukum dalam sistem hukumnya, juga
pula mengakui hukum tertulis seperti Magna Charta, Bill of Rights, dan Acts of
Union, walaupun pada dasarnya Inggris tidak memiliki undang-undang yang
terkodifikasi.

23
Munir Fuady, 2013, Teori-teori Besar Dalam Hukum, Jakarta: kencana Prenadamedia Group, hlm. 51
24
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 269.

6
C. Sistem Hukum Indonesia
Sistem hukum Indonesia memiliki karakteristik yang unik, disamping
memiliki kencenderungan menganut sistem hukum civil law, sistem hukum adat pun
tetap diakui dalam pelaksanaanya. Oleh karena itu menurut hemat kami penting
kiranya mengulas secara singkat faktor-faktor yang mempengaruhi sistem hukum di
Indonesia, yaitu antara lain:

Faktor Sejarah (sejarah hukum)


Pada tahun 1602 – 1799 perusahaan dagang Belanda atau yang dikenal dengan
nama Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) memiliki kewenangan lebih yang
diberikan oleh Pemerintahan Belanda atas wilayah daerah jajahannya. Kewenangan
tersebut salah satunya adalah menerapkan aturan-aturan yang dibawa dari negeri
asalnya untuk ditaati oleh orang-orang pribumi Nusantara, termasuk dalam hal
memutuskan perkara-perkara perdata dan pidana. Alhasil pada tahun 1766 VOC
mampu menyusun aturan-aturan secara sistemik yang dikenal dengan nama Satuta
Batavia Baru,25 yang kemudian dilakukan kodifikasi oleh Freijer dan menghasilkan
kitab hukum yang dinamakan Kompendium Freijer, akan tetapi hukum adat masing-
masing wilayah pribumi Nusantara masih tetap berlaku.26
Pada tahun 1838 Pemerintah Belanda telah berhasil mengkodifikasi hukum
perdatanya, atas dasar itu muncul gagasan dari komisi undang-undang bentukan
menteri jajahan di Belanda untuk mengkodifikasi peraturan di wilayah Hindia-
Belanda. Kodifikasi tersebut menghasilkan Peraturan Organisasi Pengadilan,
Ketentuan-Ketentuan Umum Tentang Perundang-Undangan, KUHPerdata, KUHD,
dan Peraturan tentang Hukum Acara Perdata, yang diundangkan pada tanggal 1 Mei
1848.27 Pada masa itu tata hukum Hindia-Belanda terdiri dari perturan-peraturan
tertulis yang dikodifikasikan, peraturan-peraturan tertulis yang tidak dikodifikasikan,
peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang berlaku bagi orang bukan
golongan Eropa.28
Selanjutnya pada tahun 1922 Pemerintahan Hindia-Belanda menetapkan
bahwa dalam menyelesaikan perkara perdata maka hakim diperintahkan untuk
25
J.B. Daliyo, 2001, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Prenhallindo, hlm. 13
26
Ibid, hlm. 13
27
Ibid, hlm. 16.
28
Ibid, hlm. 16.

7
menggunakan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata adat
bagi orang bukan Eropa,29 dan penerapan kebijakan tersebut tetap berlanjut hingga
masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Dari uraian singkat tersebut diatas dapat diketahui bahwa selama periode
penjajahan Belanda dan Penjajahan Jepang sistem hukum Indonesia telah tersistemasi
dan terkodifikasi namun belum terjadi unifikasi hukum karena adanya golongan-
golangan dalam strata sosial kemasyarakatan. Selain itu sistem hukum adat yang
bersumber dari alkulturasi agama Islam (teori resepsi) dan kebiasaan masyarakat
pribumi di masing-masing wilayah di Indonesia pada saat itu juga masih diakui
keberadaannya.

Faktor Politik (politik hukum)


Lahirnya sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari pernyataaan tegas di
dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
yang berbunyi “kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan
Indonesia”, dan di dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “...Kemudian
daripada itu disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia…”. Menurut Drs. C.S.T. Kansil, S.H.,
pernyataan tersebut diatas mengandung arti: pertama, menjadikan Indonesia suatu
Negara yang merdeka dan berdaulat. Kedua, pada saat itu juga menetapkan sistem
hukum Indonesia, di dalam Undang-Undang Dasar Negara yang tertulis.30
Konsekuensi logis dari berdaulatnya Negara Republik Indonesia maka harus
sesegera mungkin disusun suatu rencana dari tujuan Negara. Menurut Prof. DR. Moh.
Mahfud M.D, untuk mencapai tujuan Negara maka diperlukan politik hukum (legal
policy) dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan atau tidak
diberlakukan. Hal senada juga dikemukakan oleh Sunaryati Hartono “hukum sebagai
alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan
langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara.31
Berdasarkan Pasal II dan Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan
bahwa hukum yang lama “…masih langsung berlaku selama belum diadakan yang

29
Ibid, hlm. 17.
30
C.S.T. Kansil, 1977, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 169.
31
CFG.Sunaryati Hartono,1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:Alumni, hlm. 1

8
baru…”, merupakan cerminan politik hukum Pemerintahan pertama Negara Republik
Indonesia dalam menetapkan sistem hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia pada
saat itu. Namun tentunya hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
kekosongan hukum karena hukum-hukum baru yang sesuai dengan idealita dan realita
belum sempat dibuat, sehingga pemberlakuan produk hukum lama tidak dapat
dipandang sebagai politik hukum yang bermaksud melanjutkan kebijaksaan hukum
Pemerintah Hindia Belanda.32

D. Pengaruh Beberapa Teori Hukum dalam Sistem Hukum Indonesia


Faktor sejarah dan faktor politik sebagaimana tersebut diatas dapat dijadikan
landasan atas pembentukan sistem hukum Indonesia hingga sekarang ini.
Kolonialisasi dan teori resepsi (alkulturasi hukum islam dan hukum adat) tetap diakui
dengan dikukuhkannya azas konkordansi dalam politik hukum Pemerintah pada saat
itu.
Teori hukum alam diadopsi dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1964
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 ayat 1 yang
berbunyi “Peradilan dilakukan Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa", Kata ‘demi’ dalam irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, menurut Sudikno Mertokusumo, berarti “untuk kepentingan”, lebih tepat
daripada “atas nama”, karena tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan.
Pengakuan Hak Asasi Manusia yang mana merupakan salah satu produk hukum alam
juga diadopsi dalam sistem hukum Indonesia, baik diatur dalam pasal-pasal di UUD
1945 dan diatur juga di dalam KUHAP. KUHAP telah mengadopsi konsep hebeas
corpus yang merupakan konsep hukum dalam sistem hukum common law yaitu
dengan dibentuknya lembaga praperadilan.
Kemudian teori mahzab historis Von Sovigny dan teori Grundnorm Hans
Kelsen di adopsi ke dalam butir-butir Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 dan dikukuhkan dalam Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang
fungsi kekuasaan kehakiman “yang berdasar pada Pancasila sebagai jiwa bangsa”,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara Hukum Republik Indonesia.”
32
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm. 18.

9
Selain itu dalam sistem hukum Indonesia juga mengakui hukum kebiasaan
yang berkembang dimasyarakat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.” Berpijak dari Undang-Undang tersebut diatas maka dalam
mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim akan bertindak sebagai
berikut: 33
a. Dalam kasus yang hukumnya atau Undang-Undangnya sudah jelas tinggal
menerapkan saja hukumnya.
b. Dalam kasus dimana hukumnya tidak atau belum jelas maka hakim akan
menafsirkan hukum atau Undang-Undang melalui cara/metoda penafsiran yang
lazim berlaku dalam ilmu hukum.
c. Dalam kasus yang belum ada Undang-Undang/hukum tertulis yang mengaturnya,
maka hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Namun disisi lain dalam hukum pidana Indonesia mengenal azas legalitas
yang diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHPidana yang berbunyi “tiada suatu perbuatan
yang boleh dihukum, melainkan atas ketentuan pidana dalam undang-undang yang
ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Artinya hukum Pidana Indonesia sejalan
dengan adigium “tidak ada hukum selain undang-undang” yang artinya bahwa
hukum selalu diidentikan dengan undang-undang. Hakim dalam hal ini tidak bebas
dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan
peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.
Selain itu lahirlah juga lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi
RI berdasarkan perubahan ke-3 UUD 1945 tanggal 9 November 2001 pasal 24 C yang
salah satu kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
(judicial review). Dapat dikatakan bahwa Negara yang pertama kali Membentuk
Mahkamah Konstitusi adalah Austria pada tahun 1920, yang memiliki karakter sistem
hukum civil law. Namun demikian, jauh sebelum gagasan pembentukan lembaga
Mahkamah Konstitusi itu dikembangkan, sebenarnya ide constitutional review itu
sendiri sudah dipraktikkan oleh pengadilan Amerika Serikat sejak awal abad ke-19.
Tepatnya, dalam perkara Marbury versus Madison yang diputus oleh Mahkamah

33
Mahkamah Agung RI, Bina Yustisia, Jakarta, 1994.

10
Agung Amerika Serikat pada tahun 1803,34 yang memiliki karakter sistem hukum
common law. Saat ini model judicial review telah diterapkan di 78 negara diseluruh
dunia.35
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka sistem hukum Indonesia menganut
beberapa teori hukum yang pada prinsipnya juga diterapkan dalam sistem hukum
common law dan sistem hukum lainnya, artinya sistem hukum common law dan
sistem hukum civil law hampir tidak memiliki ciri atau karakter yang tegas dalam
sistem hukum di Indonesia. Lalu menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dampak dari
sistem hukum Indonesia yang mencampurkan beberapa sistem hukum lain, bila
dikaitkan dengan tiga komponen sistem hukum menurut Lawrence Friedman
khususnya dalam penerapan norma hukum di Lembaga Peradilan di Indonesia? Untuk
itu, maka akan dibahas lebih lanjut di Bab III dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Bassiouni, Cherif, Crimes Against Humanity in International Criminal Law, 2nd revised
edition, Kluwer Law International, 1999.

34
 Jimly Asshiddiqie, http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-
pembentukan-mk/
35
Ibid.

11
Bhakti, Yudha, dkk, Laporan Akhir Tim Kompilasi Bidang Hukum Tentang “Asas
Retroaktif”, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Tahun 2006.
Daliyo, J.B., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Prenhallindo, 2001.
Dressler, Joshua, Understanding Criminal Procedur, 2nd edition, by Matthew Bender &
Company Incorporated, USA, 1996.

Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System ; A
Social Science Perspective), Bandung: Nusa Media, 2009.

Fuady, Munir, Teori-Teori Besar (grand theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013.
Gilissen, Jhon, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005.
Hartono, CFG.Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:
Alumni, 1991.
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1977.
Kelsen, Hans, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media, 2008.
Mahfud MD, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Mahkamah Agung RI, Bina Yustisia, Jakarta, 1994.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Liberty: Yogyakarta, 1986.
Wignyosobroto, Soetandyo, dalam makalahnya Positivisme; Paradigma Ke Arah
lahirnya Teori Sosial dan Teori Hukum Modern Berikut Kritik-Kritiknya.

Internet:
JimlyAsshiddiqie,http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-
gagasan-pembentukan-mk/

12

Anda mungkin juga menyukai