Anda di halaman 1dari 13

Tugas Kelompok

Matakuliah Sejarah Hukum

“Sejarah hukum Civil Law dan Commom law”

Disusun Oleh :

Kelompok 3
MH-3

DEWI ZAKIAH PUTRI : 0017.02.49.2018

MASTURA : 0048.02.49.2018

ADRIANA : 0057.02.49.2018

VIKY VINOLA : 0051.02.49.2018

RISKA DEWI : 0022.02.49.2018

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa


sarjana hukum mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem
hukum Indonesia itu sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan,
pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.
Hingga kemudian lahirlah Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja.
Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan
digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum
dihadapkan pada pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah
berdasar norma-norma agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian
tersebut tidak jarang digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan
budaya yang berbeda, atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama
dengan waktu dan penduduk yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara
kepulauan dengan beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari
kenyataan pengakuan hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum
negara. Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak
memiliki kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki
peraturan perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah
terkodifikasi maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan
penganut civil law.
Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan
eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat
untuk menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan
kemasyarakatan yang dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian
merupakan ciri dari penerapan sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa
persoalan pembagian harta, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim
dihadapkan pada pilihan pembagian menurut peraturan negara ataukah secara
agama yang penyelesaiannya tentu pada ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas konkordasi
oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda yang
terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut
lantas menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum
tentu!
Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
Lantas dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah Indonesia, atau
beberapa konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep sistem hukum
Anglo Saxon, seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua konsekuensi
ekonominya sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan
penyelesaian sengketa melalui proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi
dan arbitrase, yang semuanya tidak dikenal dalam civil law system, apakah lantas
membuat Indonesia dianggap menganut common law system? Belum temtujuga !
Dari uraian di atas, tampak bahwa sistematika hukum di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di beberapa masyarakat
adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari karakteristik common law
system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem hukum adat di Indonesia, diantaranya;
Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau, Mentawai, Sumatra Selatan,
Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), Sangihe-Talaud,
Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara, Maluku
Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali dan
Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda).
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH TERJADINYA SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW
a. Sejarah civil law
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di
dataran Eropa. Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam
penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika
hukumnya. Awal  perkembangannya di daratan Eropa Timur sehingga dikenal
sebagai sistem Eropa Kontinental. Sistem ini kemudian disebarkan negara-
negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah jajahannya. Civil law dikenal
juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem hukum Romawi-
Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang sangat
dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu.
Sebagai sistem hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law
merupakan sistem hukum tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.
Berawal sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan
peraturan tertulis pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”.1
 Sistem hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring
meluasnya Kerajaan Romawi. Sepuluh abad kemudian, atau pada akhir abad V M
oleh kaisar Romawi Justinianus kumpulan-kumpulan peraturan ini
dikodifikasikan sebagai Corpus Juries Civilize (hukum yang terkodifikasi), yang
penulisannya selesai pada tahun 534 M. Ada empat hal yang dimuat dalam
Corpus Juries Civilize, yaitu:
1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat oleh para
kaisar sebelum Justinianus,
2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa
kekaisaran Justinianus sendiri,
3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan sebagai pengantar
bagi mereka yang baru belajar hukum,
1
Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti.2005), hal.
235.
4. Digesta, yakni sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu
mengenai ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum
yang mengatur warga Negara Romawi.
Menurut sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya
hukum dalam suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum
Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.
Penemuan Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan
rasionalisme (abad XV-XVII M). Pandangan-pandangan para filsuf masa itu,
seperti Huge de Groot alias Grotius (1583-1645) yang menekankan pendekatan
rasional dalam struktur hukum dan perlunya penyusunan materi hukum secara
sistematis, atau Christoper Wolff (1679-1754) yang berkebangsaan Jerman
dengan usahanya membangun sebuah sistem hukum yang menyeluruh dan
rasional berdasarkan metode ilmiah, menyadarkan dan memunculkan semangat
kodifikasi di berbagai negara Eropa. Luasnya kekuasaan Romawi hingga ke Eropa
Timur yang berpusat di Konstantinopel, menjadikan pengaruh sistem hukum
romawi tidak terkikis kendati Kerajaan Romawi telah runtuh, bahkan menjadi
sumber kodifikasi hukum Eropa Kontinental. Semangat rasionalisme yang
menyebabkan revolusi Perancis, membawa negara tersebut sejak 21 Maret 1804
menjadi peletak tata hukum baru melalui diterbitkannya Code Civil yang
merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni kaidah-kaidah hukum Napoleon
Bonaparte yang terkodifikasi dalam 3 buku; code  penal, code civil, dan code de
commerce. Setengah abad kemudian di Jerman juga terbentuk code civil pada
tahun 1896.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas
wilayah jajahan Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi
KUHPerdata pada tahun 1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan
sebagai KUHDagang Belanda. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan
sebagai undang-undang keperdataan dan perdagangan di negara-negara jajahan
Belanda, termasuk di Indonesia sejak tahun 1848 dan berlaku hingga sekarang.
Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan abad XII, hukum Inggris
dan hukum Eropa kontinental masuk kedalam sistem hukum yang sama yaitu
hukum Jerman. Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi, ditandai dengan
hukum Romawi yang mengubah kehidupan di Eropa Kontinental sedangkan
Inggris tidak terdampak dengan pengaruh tersebut.2
Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya
boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang
yang melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang
berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata). Mengingat sifatnya yang berorientasi
pada unsur kedaulatan (sovereignty), termasuk dalam menetapkan hukum, maka
yang menjadi sumber hukum dalam sistem Eropa Kontinental, meliputi:
1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang
dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif (Statutes), dan terbagi
menjadi:
a. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan
mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang
tertentu.
b. Penetapan atau ketetapan ( beschikking ), yakni keputusan pemerintah
yang hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.
c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan
hukum atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.
1. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh
masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan
atau tradisi merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari
hukum di luar Undang-Undang.
Kebiasaan adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam
masyarakat setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama.
Kebiasaan menjadi suatu hukum apabila kebiasaan itu diyakini oleh

2
http://naufalhanan.blogspot.com/2017/10/sejarah-civil-law-common-law.html. .(Diakses pada
hari minngu 2019)
masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum karena dirasakan sesuai
dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu kebiasaan juga dapat
menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim dalam
putusannya.
Persyaratan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:
a. Syarat materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap
atau diulang, yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian
perbuatan yang sama dan berlangsung selama jangka waktu yang lama.
b. Syarat intelektual, yaitu kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan
umum (necessitatis) bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban
hukum. Keyakinan ini harus didukung bukan hanya dengan
keberlangsungan terus menerus, juga adanya keyakinan bahwa
memang seharusnya demikian.
c. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.
2. Traktat, yaitu perjanjian antarnegara. Traktat dibedakan antara perjanjian
antarnegara yang sifatnya penting (treaty) dan perjanjian antarnegara yang
bersifat biasa atau tidak begitu penting (agreement). Berdasarkan jenisnya
traktat dibedakan pula antara perjanjian bilateral (dilakukan hanya oleh
dua negara) dan perjanjian multilateral (dilakukan oleh lebih dari dua
negara). Perjanjian multilateral ada yang bersifat terbuka, yakni setelah
traktat itu berlaku masih terbuka kemungkinan negara-negara lain yang
tidak turut serta dalam pembentukannya untuk menjadi peserta dari traktat
tersebut, dan ada yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak
terlibat dalam pembentukannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat
termaksud. Traktat hanya dapat diselenggarakan oleh subjek-subjek
hukum pada Hukum Internasional, yaitu; negara yang berdaulat, badan-
badan internasional, dan tahta suci Vatikan (Sri Paus).
3. Yurisprudensi, dalam konteks sistem civil law merupakan putusan hakim
di semua tingkatan badan peradilan, yang kemudian dijadikan dasar untuk
menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dalam sistem
kontinental, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah
dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas
kesamaan putusan dalam sistem kontinental, maka hakim diikat oleh
undang-undang. Di sini Hakim berpikir secara deduktif, dari undang-
undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus. Perbedaan yurisprudensi
dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-
peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang tertentu saja,
sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak
karena mengikat setiap orang.3
Di samping pembagian dalam dua golongan hukum, sistem civil law yang
berjiwa sistematika hukum Romawi-Jerman cenderung memiliki kesamaan ciri
dalam strukturnya, meliputi:
a. terbaginya hukum menjadi bidang-bidang hukum tertentu, seperti:
Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria,
Hukum Perdata Internasional, dan sebagainya;
b. adanya penyatuan atau unifikasi dalam hukum menjadi satu hukum
negara yang diberlakukan untuk seluruh penduduk berdasarkan
teritorial negara bersangkutan, dengan tidak membedakan golongan,
tidak diskriminatif atau memandang setiap orang berkedudukan sama
dimuka hukum;
c. hukum-hukum tertulis yang ada disatukan dalam klasifikasi-klasifikasi
sebagai sebuah kodifikasi hukum. Kansil memberikan pengertian
kodifikasi sebagai pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi
adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum
dan kesatuan hukum. Beberapa contoh kodifikasi hukum adalah:
1. Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus Juries Civiliz (mengenai
Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari
Kerajaan Romawi Timur dalam tahun 527-565 dan dan Code Civil

3
John Gillisen & Frits Gorle , Sejarah Hukum Suatu Pengantar, yang disadur oleh Drs. Freddy
Tengker, SH. CN, (Refika Aditama, Bandung Cetakan ke V), Hal. 11.
(mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di
Perancis pada tahun 1604, juga
2. Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei
1848) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).
Beberapa negara di dunia yang sistematika hukumnya banyak
dipengaruhi civil law system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia,
Bulgaria, Brasil, Chili, Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika,
Ekuador, Estonia, Finlandia, Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia,
Italia, Jepang, Jerman, Kolombia, Kroasia, Latvia, Lituania,
Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga mendapat
pengaruh common law system, Meksiko, Norwegia, Panama, Perancis,
Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss,
Thailand, Taiwan, Vietnam, dan Yunani.4
b. Sejarah sistem hukum commum law
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui
universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang melalui
pengajaran turun temurun secara lisan dan kebiasaan-kebiasaan dalam
masyarakat.
Common law system diterapkan dan mulai berkembang sejak abad XVI di
Negara Inggris. Di dukung keadaan geografis serta perkembangan politik dan
sosial yang terus menerus, sistem hukum ini dengan pesat berkembang hingga di
luar wilayah Inggris, seperti di Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni
Inggris (negara persemakmuran /commonwealth). Dalam sistem ini tidak dikenal
sumber hukum baku. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat
yang dikembangkan di pengadilan / telah menjadi keputusan pengadilan. Sumber
hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian menjadikan sistem
hukum ini disebut Common Law System atau Uri Written Law (hukum tidak
tertulis).

4
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia. (Diakses pada hari minggu, 15 desember
2019)
Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem
pemerintahan di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian
wilayah-wilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya
kepada Lord tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat
membentuk  pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court.
Pengadilan ini menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan
hukum yang ditetapkan oleh Lord sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan
berbagai  penyelewengan yang juga melahirkan pemberontakan-pemberontakan
hingga akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180). 5
Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang
diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-
undang nyaris tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan
tetapi common law dalam artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum
Inggris, karena di samping  peradilan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan telah
berkembang pula statute law, yakni hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh
pembuat undang-undang (legislatif). Meski dalam common law dikenal adanya
statute law, tetapi secara fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan
tatanan-tatanan hukum Eropa Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang
sejak abad X dikenal dengan sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang
berasal dari suku Angle, Saxon, dan Jute), sistem common law dikenal pula
dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon.
 Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon
Rule of Law, yang dipelopori oleh  A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga
tolak ukur :
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law), Dan

5
https://www.academia.edu/35539181/
A._Sejarah_Perkembangan_dan_Penyebaran_Civil_Law_System_dan_Common_Law_System.
(Diakses pada hari senin, 16 Desember 2019)
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution
based on individual rights).
Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan
dan hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan
dalam masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju. Sumber-
sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental
dengan tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam
sistem Eropa Kontinental.
Adapun yang menjadi Ciri-ciri atau karakteristik dari sistem Common Law
adalah:
1.    Yurisprudensi sebagai sumber hukum utama
2.    Dianutnya Doktrin Stare Decicis/Sistem Preseden
3.    Adversary System dalam proses peradilan
Dalam perkembangannya, sistem hukum  Anglo-Saxon di Amerika mengenal
juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan
kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem
hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak
menyimpang, yakni bukan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum
dagang, melainkan lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak
milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian
(law oc contract), dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts,)
yang kesemuanya tersebar di dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan
hukum kebiasaan.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem yang dianut oleh Eropa Kontinental yang berdasar Hukum Romawi
biasa disebut sistem civil law. Disebut demikian karena hukum Romawi mulanya
bersumber dari karya agung Kaisar Inustinianus Corpus Luris Civilis. Sistem civil
law yang dianut masyarakat Eropa Kontinental juga biasa disebut sistem
kontinental. Negara bekas jajahan negara Eropa Kontinental juga menganut sistem
civil law. Sistem yang berkembang di Inggris adalah sistem common law.sistem
ini dianut oleh suku Anglika dan Saksa yang tinggal pada sebagian besar wilayah
Inggris sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon. Pada negara bekas jajahan
Inggris hampir seluruhnya menggunakan sistem common law, akan tetapi tidak
pada suku scott yaitu suku di Skotlandia yang menganut sistem civil law dan juga
Amerika Serikat yang juga merupakan negara bekas jajahan Inggris.
Nanum AS megembangkan sistem sendiri namun masih menggunakan
basis common law Inggris. Perkembangan ekonom, politik dan teknologi yang
pesat di Amerika dibandingkan Inggris menyebabkan negara tersebut memiliki
hubungan lebih intens dengan negara negara lain yang menyebabkan hukum di
Amerika menjadi baseline atau landasan transaksi yang bersifat Internasional.
Oleh karena itu sistem common law saat ini lebih dikenal dengan sistem Anglo-
American.
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu
berlaku umum dan isinya mengikat keluar.Sifat yang berlaku umum itulah yang
membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku
secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Gillisen, John. & Frits Gorle , Sejarah Hukum Suatu Pengantar, yang
disadur oleh Drs. Freddy Tengker, SH. CN, (Refika Aditama, Bandung Cetakan
ke V).
Rahardjo, Satjipto. dalam bukunya Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.2005).

http://naufalhanan.blogspot.com/2017/10/sejarah-civil-law-common-
law.html. .(Diakses pada hari minngu 2019).

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia. (Diakses pada hari


minggu, 15 desember 2019).

https://www.academia.edu/35539181/
A._Sejarah_Perkembangan_dan_Penyebaran_Civil_Law_System_dan_Common_
Law_System. (Diakses pada hari senin, 16 Desember 2019)

Anda mungkin juga menyukai