Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan digunakan
dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum dihadapkan pada pilihan-
pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar norma-norma agama. Menjadi
menarik karena semua cara penyelesaian tersebut tidak jarang digunakan antara satu
dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang berbeda, atau bahkan di wilayah yang
sama untuk kasus sama dengan waktu dan penduduk yang berbeda generasi. Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa
dilepaskan dari kenyataan pengakuan hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain
hukum negara.
Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak memiliki
kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki peraturan
perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah terkodifikasi maupun
parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut civil law. Namun pada
pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan eksistensinya tatkala
dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk menerapkan hukum
mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang dihadapi. Padahal perilaku
hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan sistem Common Law. Belum lagi
dalam beberapa persoalan pembagian harta, masyarakat Indonesia yang mayoritas
muslim dihadapkan pada pilihan pembagian menurut peraturan negara ataukah secara
agama yang penyelesaiannya tentu pada ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas
konkordasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda yang
terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata (Burgerlijk
Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum
Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut lantas menjadikan sistem
hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum tentu! Karena pengaruh bukanlah
identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
Lantas dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah Indonesia,
atau beberapa konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep sistem hukum
Anglo Saxon, seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua konsekuensi ekonominya
sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan penyelesaian sengketa melalui
proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi dan arbitrase, yang semuanya tidak
dikenal dalam civil law system, apakah lantas membuat Indonesia dianggap menganut
common law system? Tentu juga tidak!
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa sarjana
hukum mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum Indonesia itu
sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi,
bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada. Hingga kemudian lahirlah Teori
Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH CIVIL LAW SYSTEM


Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa.
Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam penggunaan aturan-aturan
hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Awal perkembangannya di
daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental. Sistem ini
kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah jajahannya 1.
Civil law dikenal juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem
hukum Romawi-Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang sangat
dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu. Sebagai sistem
hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law merupakan sistem hukum
tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.
Berawal sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan peraturan
tertulis pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem hukum Romawi
ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring meluasnya Kerajaan Romawi. Sepuluh
abad kemudian, atau pada akhir abad V M oleh kaisar Romawi Justinianus kumpulan-
kumpulan peraturan ini dikodifikasikan sebagai Corpus Juries Civilize (hukum yang
terkodifikasi), yang penulisannya selesai pada tahun 534 M. 2 Ada empat hal yang dimuat
dalam Corpus Juries Civilize, yaitu:
1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat oleh para kaisar sebelum
Justinianus,
2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa kekaisaran
Justinianus sendiri,
3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan sebagai pengantar bagi
mereka yang baru belajar hukum,
4. Digesta, yakni sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu mengenai
ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum yang mengatur warga
Negara Romawi.
Menurut sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya
hukum dalam suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum Romawi
digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara 3.

1
Joseph Dainow, The Civil Law and The Common Law: Some Points of Comparison,
TheAmerical Journal of Comparative Law, Vol. 15, No. 3 (1966-1967), hlm. 419.
2
Ibid, hlm.424

2
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas wilayah jajahan
Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi KUHPerdata pada tahun
1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan sebagai KUHDagang Belanda.
Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan sebagai undang-undang keperdataan
dan perdagangan di negara-negara jajahan Belanda, termasuk di Indonesia sejak tahun
1848 dan berlaku hingga sekarang.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah,
bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Model sistem seperti
ini dipelopori oleh diantaranya Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl.Menurut Stahl
konsep sistem hukum ditandai oleh empat unsur pokok:
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori trias politika,
3.Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur),
dan
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh penerintah.
Prinsip hukum melalui keempat unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau
kompilasi tertentu. Tidak ada hukum selain undang-undang, yang tujuannya untuk
menciptakan kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat diwujudkan
jika pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan peraturan-peraturan
hukum yang tertulis4.
B. SEJARAH COMMON LAW SYSTEM
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-
universitas, sistem common law hidup dan berkembang melalui pengajaran turun temurun
secara lisan dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat. Common law system diterapkan
dan mulai berkembang sejak abad XVI di Negara Inggris. Di dukung keadaan geografis
serta perkembangan politik dan sosial yang terus menerus, sistem hukum ini dengan pesat
berkembang hingga di luar wilayah Inggris, seperti di Kanada, Amerika, dan negara-
negara bekas koloni Inggris (negara persemakmuran / commonwealth)5.
Dalam sistem ini tidak dikenal sumber hukum baku. Sumber hukum tertinggi
hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan / telah menjadi
keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah yang kemudian
menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri Written Law (hukum
tidak tertulis).

3
Lihat Pendapat Jeremy Bentham dalam Anthony D’Amato, Analytic JurisprudenceOntology,
Ohio: Anderson Publishing Co., 1996, hlm. 39.

4
Vincy Fon and Fransico Parisi, Judicial Precedent in Civil Law System: A dynamic Analysis
,International Review of Law and Economics, (2006), hlm. 522.
5
Joseph Dainow, Op.cit, hlm. 424.

3
Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem pemerintahan
di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayah wilayah yang
dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya kepada Lord tersebut.
Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat membentuk pengadilan
sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini menjalankan tugasnya
berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang ditetapkan oleh Lord sendiri.
Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai penyelewengan yang juga melahirkan
pemberontakan-pemberontakan hingga akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180) 6

Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan, yaitu:


a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar
mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh Glanvild
chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae;
b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar
membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian tergugat
mendapat kesempatan untuk membela diri;
c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan pada
hukum kebiasaan setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan suatu
unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi). Hal ini
menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada masa itu.
Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ dalam
mengadili, maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada pimpinan gereja
atau Lord of Chancellor.
Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum Inggris
tidaklah bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court didasarkan pada
common law dan hakim hakimnya bertindak atas nama raja (fons iustitiae atau raja selaku
sumber keadilan dan kelayakan). Sedangkan pengadilan Court of Chancery didasarkan
pada hukum gereja atau hukum kanonik dan hakimnya adalah seorang rohaniawan.
Sistem penyelesaian perkara di pengadilan ini dikenal sebagai sistem equity, yakni sistem
penyelesaian perkara yang di dasarkan pada hukum alam (ketuhanan) atau keadilan.
Dengan semakin banyaknya minat dari masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord
of Chancellor menyebabkan terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry
di samping Royal Court yang telah ada.
Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi (judicature
act) pada tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal Court dan Court
of Chancerry. Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi berbeda, yakni perkara-
perkara Common Law (cases at Common Law) maupun perkara-perkara Equity (cases at
Equity) sama-sama diajukan ke salah satu pengadilan tersebut.
6
Lihat Pendapat John Chipman Gray dalam Anthony D’Amato, Op.cit, hlm. 47.

4
Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan
kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-undang nyaris tidak
memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi common law dalam
artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, karena di samping peradilan
oleh pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, yakni hukum
undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang (legislatif) 7.
Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara fundamental
berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Eropa Kontinental.
Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal dengan sebutan Anglo-Saxon
(karena penduduknya yang berasal dari suku Angle, Saxon, dan Jute), sistem common
law dikenal pula dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon8.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule of
Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on
individual rights).
Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan dan
hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam
masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan
perkembangan masyarakat yang semakin maju. Sumber-sumber hukum dalam sistem
Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara
sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental 9.
Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi:
1. Yurisprudensi (judicial decisions), yakni hakim mempunyai wewenang yang luas
untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsipprinsip hukum
baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan
perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam hal ini hakim
terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-
perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan terpenting dalam
sistem common law. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan
terdahulu apabila dihadapkan pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini hakim berpikir
secara induktif. Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare decisis et quieta
non movere (pengadilan yang tingkatannya lebih rendah harus mengikuti keputusan
yang lebih tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis atau disebut juga the binding
7
Vincy Fon and Fransico Parisi, Op.cit, hlm. 520
8
Joseph Dainow, Op.cit, hlm. 425.

9
Martin Kryger, Law as Tradition, Journal of Law and Philosophy, Vol. 5 No. 2 August
1986,hlm. 240.

5
force of precedent (perkara yang sama harus diproses dengan cara yang mirip atau
sama). Hakim hanya terikat pada isi putusan pengadilan yang esensial atau disebut
ratio decidendi, yakni berhubungan langsung dengan pokok perkara. Sedangkan
dalam hal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara, yakni
sebatas merupakan tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter dicto, maka hakim dapat
menilai sebagai suasana yang meliputi pokok perkara menurut pandangan hakim itu
sendiri. Putusan yang bersifat “binding precedent” berarti putusan tersebut memiliki
kekuatan yang meyakinkan.
2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya
undang-undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum
kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat
peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan.
Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki celah-
celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh.
Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia II akibat
desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan dengan yurisprudensi
yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh Parlemen sebenarnya merupakan
bentuk penyimpangan sistem common law, yakni bentuknya yang berupa undang-undang
(written law),dan dapat merubah putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan suatu
undang-undang baru. Namun tindakan parlemen untuk mengubah yurisprudensi ini
dibatasi oleh pendapat umum serta pendapat para sarjana hukum. Sehingga meski
memiliki hukum tertulis, masih dibatasi pendapat pendapat umum maupun para sarjana
hukum secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas kebiasaan atau common
law yang telah ada10.
3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga
menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta membentuk norma
norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan pengadilan. Di Inggris
dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan setempat) dan commercial
custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan).
4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber hukum jika
sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang
ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu memberikan
penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason merupakan cara
penemuan hukum dalam sistem common law ketika menghadapi masalah-masalah hukum
yang tidak ditemukan norma-norma hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain.
Dengan reason, para hakim dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk
memberikan keputusan.

Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common law
system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania), Hongkong, India,
Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru. Khusus di India dan Pakistan
beberapa aspek hukum privat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama, seperti Islam, dan
Hindu. Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal juga
pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan kepada hukum
publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa

10
10.5281/zenodo.1250119

6
Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak menyimpang, yakni
bukan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang, melainkan lebih
ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum
tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law oc contract), dan hukum tentang
perbuatan melawan hukum (law of torts,) yang kesemuanya tersebar di dalam peraturan
tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan 11.
C. Sistem Hukum yang dianut di Indonesia
Apabila ditinjau dari sejarahnya, sistem hukum Indonesia bercirikan sistem
hukum civil law karena Indonesia merupakan jajahan dari Belanda yang
menggunakan sistem hukum civil law hasil adopsi dari sistem hukum  civil
law Prancis. Namum dalam kenyataannya, sistem hukum Indonesia tidaklah
murni menganut sistem civil law karena secara bersamaan Indonesia juga
menganut sistem hukum common law12.
Pembentuk peraturan perundang-undangan yaitu Presiden RI/ Eksekutif/
Kepala Negara dan DPR RI/Legislatif memang memberikan wewenang pada
Hakim/Yudikatif untuk melakukan penemuan hukum manakala tidak ada dasar
hukumnya dalam peraturan perundangan. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menegaskan “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa
dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Hakim di
Indonesia pada umumnya harus berpatokan kepada peraturan perundang-
undangan sebagai sumber hukum positif utama di Indonesia, namun apabila tidak
ada dasar hukumya hakim harus melakukanrechtfinding13 .
 Jadi sebenarnya sumber hukum utama di Indonesia tetaplah peraturan
perundangan namun guna mengisi kekosongan hukum, pembentuk undang-
undang kekuasaan kehakiman memberikan wewenang kepada hakim untuk
melakukan rechtfindingapabila belum ada dasar hukum atas perkara tersebut.
Walupun demikian putusan hakim tetap berbeda dengan peraturan perundangan.
Letak perbedaannya adalah putusan hakim tidak diundangkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia layaknya peraturan perundangan. Apabila peraturan
perundangan berlaku umum, putusan hakim hanya berlaku bagi para pihak yang
berperkara. Indonesia juga tidak menganut asas precedent (hakim dalam memutus
harus berdasarkan putusan-putusan hakim terdahulu). Jadi Hakim Indonesia
dalam memutus suatu perkara pada dasarnya harus tetap berpatokan pada
peraturan perundangan, bukan pada putusan-putusan hakim terdahulu14.
Sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum campuran antara civil
law dancommon law. Menurut penulis hal ini merupakan upaya para penyelengara
Negara untuk menggabungkan kelebihan-kelebihan masing-masing sistem hukum
yaitu kepastian hukum (civil law) dan penemuan hukum yang responsif (common
11
Lihat H. Mustagfirin, Op.Cit., hlm. 91.
12
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 74-76.
13
Esin Orucu, “What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion”, Electronic Journal of
Comparative Law, Vol.12, No.1, May (2008), hlm. 2
14
Said Agil Husein Al Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Kaifa,
2004), hlm. 176.

7
law) . Pada dasarnya hal ini memang diperbolehkan, karena kendatipun sistem
hukum kita menganut warisan kolonial belanda yang berciri civil law, namun
tidak ada kewajiban kita harus saklek/mutlak menganut sistem hukum civil
law karena tentunya setiap Negara memiliki sejarah dan kebutuhan masyarakat
yang berbeda satu sama lainnya. Belum tentu sistem hukum yang cocok
diterapkan di suatu Negara juga cocok apabila diterapkan di Indonesia.
D. PENGARUH SISTEM HUKUM COMMON LAW DALAM
PERKEMBANGAN INDONISIA
Sistem hukum Common Law memiliki Pengaruh sangat besar untuk membentuk
perkembangan hukum di indonisia yaitu seperti ketika sistem hukum Common Law di
terapkan di indonisia maka sangat terlihat sangat responsif terhadap  perubahan di
masyarakat indonisia sendiri. Apabila ada peristiwa hukum yang belum pernah diputus
oleh hakim terdahulu, maka hakim dapat karena pembentuk hukum selalu melakukan
penafsiran hukum terhadap peristiwa tersebut. Dan putusan hukum yang seperti itu
sebenarnya lebih mengena terhadap maksud dan tujuan di tegakkanya hukum terhadap
masyarakat pada saat itu. Karen sebenarnya hukum itu muncul untuk merespont sebuah
permasalahan pada konteks di mana masalah itu muncul, sehingga hukum itu di nilai
sangat kontekstual. Sebaliknya sebuah sistem yang di waristkan secara tertulis
kadangkala kaku dan kurang responsif terhadap kenyataan-kenyataan yang timbul di
masyarakat. Hakim hanya berfungsi sebagai corong undang-undang padahal pada
umumnya peraturan perundangan seringkali tertinggal dari perubahan masyarakatnya.

BAB III
KESIMPULAN

Terdapat lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum
Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan sistem hukum
negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem hukum tersebut, civil law system

8
dan common law system merupakan dua sistem hukum yang mendominasi sistem-sistem
hukum di negara-negara belahan dunia.
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa.
Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis
dalam sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan Eropa Timur
sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental. Dalam sistem Hukum Eropa
Kontinental, kodifikasi hukum merupakan sesuatu yang sangat penting untuk
terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa
kontinental adalah bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan.
Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan
peraturanperaturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim
dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja.
Sumber hukum dalam sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan,
kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama
tidak bertentangan dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan
yurisprudensi yakni putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan Bertolak belakang
dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-universitas, sistem common
law hidup dan berkembang secara turun temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di
masyarakat. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan
di pengadilan dan telah menjadi keputusan pengadilan. Hakekat common law
sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu
hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh
kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim.

2 Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi yakni hakim
mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturanperaturan hukum dan
menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–
hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law yakni peraturan yang dibuat
oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem kontinental, custom
yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi
sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat) yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika
sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang
ditangani oleh hakim Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang
didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan
sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun Indonesia juga
memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya berlaku hukum adat
sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam yang di beberapa
daerah turut mempengaruhi hukum adat. Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya
investasi asing, lambat laun pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum
di Indonesia. Akibatnya di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat,
Hukum Islam, Civil Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan.
Sehingga perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman
agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu
sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

9
Joseph Dainow, The Civil Law and The Common Law: Some Points of Comparison,
TheAmerical Journal of Comparative Law, Vol. 15, No. 3 (1966-1967),.

Ibid,

Lihat Pendapat Jeremy Bentham dalam Anthony D’Amato, Analytic


JurisprudenceOntology, Ohio: Anderson Publishing Co., 1996,.

Vincy Fon and Fransico Parisi, Judicial Precedent in Civil Law System: A dynamic
Analysis ,International Review of Law and Economics, (2006),

Joseph Dainow, Op.cit,

Lihat Pendapat John Chipman Gray dalam Anthony D’Amato, Op.cit,

Vincy Fon and Fransico Parisi, Op.cit,

oseph Dainow, Op.cit,

Martin Kryger, Law as Tradition, Journal of Law and Philosophy, Vol. 5 No. 2 August 1986,hlm.
240.

10.5281/zenodo.1250119

Lihat H. Mustagfirin, Op.Cit., hlm. 91.

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1999),

Esin Orucu, “What is a Mixed Legal System: Exclusion or Expansion”, Electronic Journal
of Comparative Law, Vol.12, No.1, May (2008),

Said Agil Husein Al Munawwar, Islam dalam Pluralitas Masyarakat Indonesia, (Jakarta:
Kaifa, 2004),.

10

Anda mungkin juga menyukai