SEJARAH TERJADINYA SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan abad XII, hukum Inggris dan hukum Eropa kontinental masuk kedalam sistem hukum yang sama yaitu hukum Jerman. Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi, ditandai dengan hukum Romawi yang mengubah kehidupan di Eropa Kontinental sedangkan Inggris tidak terdampak dengan pengaruh tersebut. Sistem yang dianut oleh Eropa Kontinental yang berdasar Hukum Romawi biasa disebut sistem civil law. Disebut demikian karena hukum Romawi mulanya bersumber dari karya agung Kaisar Inustinianus Corpus Luris Civilis. Sistem civil law yang dianut masyarakat Eropa Kontinental juga biasa disebut sistem kontinental. Negara bekas jajahan negara Eropa Kontinental juga menganut sistem civil law. Sistem yang berkembang di Inggris adalah sistem common law. Sistem ini dianut oleh suku Anglika dan Saksa yang tinggal pada sebagian besar wilayah Inggris sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon. • Pada negara bekas jajahan Inggris hampir seluruhnya menggunakan sistem common law, akan tetapi tidak pada suku scott yaitu suku di Skotlandia yang menganut sistem civil law dan juga Amerika Serikat yang juga merupakan negara bekas jajahan Inggris. • AS megembangkan sistem sendiri namun masih menggunakan basis common law Inggris. Perkembangan ekonom, politik dan teknologi yang pesat di Amerika dibandingkan Inggris menyebabkan negara tersebut memiliki hubungan lebih intens dengan negara negara lain yang menyebabkan hukum di Amerika menjadi baseline atau landasan transaksi yang bersifat Internasional. Oleh karena itu sistem common law saat ini lebih dikenal dengan sistem Anglo-American. • Kejeniusan orang Romawi dalam menciptakan suatu perturan hukum dapat terlihat pada hasil penyelesaian suatu masalah yang terjadi pada kehidupan mereka. Penyelesaian itu merujuk pada hukum yang diberlakukan kekaisaran itu. Hukum tersebut merupakan cerminan dari perkembangan politik, soisal, budaya yang dapat memenuhi kehidupan mereka. • Kekaisaran Romawi timur memiliki arti penting bagi perkembangan hukum Romawi. Di kekaisaran Romawi Timur inilah Kaisar Iustinianus menyusun kompilasi yang terkenal sebagai Corpus Iuris Civilis yang terdiri atas Caudex, Novelle, Instituti, Digesta. • Meletusnya perang Salib pertama tahun 1096 menandai pembukaan kembali rute perdagangan eropa barat di mediterania dan terjadila ekspansi besar besaran dalam hal perdagangan yang mengakibatkan perubahan tata struktural kehidupan dalam masyarakat. Adanya perubahan ini mengharuskan hukum lama diubah menjadi hukum baru yang mana harus melalui proses panjang dan kompleks. Pada periode itu, yaitu sejak akhir abad XI hingga awal abad XIV terjadi divergensi sistem civil law yang berkembang di eropa kontinental dan common law yang berkembang di Inggris. • Civil law yang berkembang di eropa kontinental merupakan kebangkitan kembali hukum Romawi yang tertuang dalam corpus luris civilis. Sebalikanya, pada periode yang sama di Inggris raja raja membuat suatu sistem pengadilan yang efektif bagi kerajaan. • Perubahan perubahan yang tejadi pada masyarakat eropa barat saat itu tidak dapat diselesaikan dengan hukum yang ada saat itu. Corpus Iuris Civilis dianggap dapat mengatasi segala permasalaan dalam penyelesaian msalah agraris dan industri. • Corpus Iuris Civilis dipandang sebagai suatu instrument yang ideal setelah dilakukan interpretasi dan komentar dari Glossator dan Commentator, yang dapat menghadapi perkara yang terjadi masa itu. Perubahan juga berdampak pada pemahaman terhadap studi hukum, kegiatan ekonomi serta perdagangan. Hukum lokal yang berlaku dianggap tidak memadai untuk mengatasi permasalahan tersebut menyebabkan Corpus Iuris Civilis memiliki kekuatan sebagai imperium romanum. • Para commentator yang menggantikan para glossator berusaha tidak semta mata mendasarkan karyanya pada Corpus Iuris Civilis. Hukum kanonik lalu bersama sama Corpus Iuris Civilis menjadi mata kuliah yang berdampingan dan pada abad abad selanjutnya para filsuf mengkaji secara sistematis karya Aristoteles tentang Ethica dan Politeia dan mereka kembangkan secara sistematis filsafat hukum alam. Para filsuf dalam berkarya juga mengambil sudut pandang dari hukum kanonik dan sudut pandang teologi skolastik. • Dalam perkembangannya, karya para Commentator dijadikan sebuah dasar hukum pada suatu wilayah. Sebelum tahun 1200 karya tersebut telah menjadi hukum yang berlaku di Italia manakala hukum lokal tidak dapat mengatasi problematika yang terjadi. Hal ini berarti hukum Romawi diselaraskan dengan hukum lokal untuk mengatasi masalah praktis yang baru. Resepsi terhadap Corpus Iuris Civilis di Italia dan Perancis dilaksanakan dalam waktu dan cara yang berbeda beda bergantung pada problematika yang terjadi serta kondisi penduduknya. • Lain halnya dengan di Jerman, hukum Romawi baru diresepsi di Jerman pada akhir abad pertengahan dan resepsinya bersifat secara total. Alasan formal atas respsi ini sebagaimana tertuang pada Reichskammergerichtordnung 1495 sebenarnya masih misterius, suatu penjelasan yang dapat diemukakan adalah keandalan hukum Romawi dalam menghadapi masalah sosial dan ekonomi pada masa itu. Namun pandangan konstitusional yang berkembang pada abad pertengahan menyebutkan bahwa resepsi tersebut disebabkan karena Kaisar Jerman merupakan penerus Kaisar Romawi. Sebenarnya resepsi hukum Romawi oleh Jerman disebabkan beberapa faktor. Pertama, tidak adanya unifikasi hukum di Jerman dan tidak memadainya hukum yang beraneka ragam mendorong terjadinya resepsi. • Kedua, tidak adanya hukum tertulis sulit mendapat hukum yang pasti. Ketiga, tidak adanya hukum tertulis dipandang sebagai suatu penyebab utama tidak sistematis. Keempat, terfragmentasinya hukum menyebabkan aparat penegak hukum yang tidak kuat. Kelima, kebutuhan sumber daya manusia yang berlatar belakang hukum Romawi. Hukum Romawi yang diresepsi tidak hanya berasal dari Corpus Iuris Civilis tetapi juga dari produk para Glossator dan Comentator. • Sebelum terjadinya resepsi hukum Romawi abad XIII oleh Eropa Kontinental, di Inggris telah berkembang suatu peradilan nasional yang menerpakan hukum kebiasaan. Dalam fikiran feudal, Inggris merupakan suatu fief, yaitu negeri yang dapat diwarisi dari seorang tuan tanah sebagai imbalan atas pengabdian kepada tuan tanah tersebut. Oleh karena itu, harus ada suatu kekuasaan yang kuat, efektif, dan terpusat yang dapat diterima seantero negeri. • Pengadilan kerajaan bersama dengan pengadilan dibawahnya merupakan institusi politis yang paling kuat di Inggris. Oleh karena Pengadilan Kerajaan di kelola oleh pejabat pejabat yang terlatih maka membawahi pengadilan lokal dan sedikit mengatasi masalah ningrat sedangkan di pihak lain pengadilan rakyat yang lama tidak digunakan, hukum yang dikembangkan oleh pengadilan Kerajaan secara cepat menjadi satuan hukum yang umum (common) bagi semua masyarakat seantero negeri. Itulah sebabnya sistem hukum Inggris disebut Common Law. • Pada masa Raja Henry II, di Inggris dilakukan reformasi dalam organisasi peradilan dan hukum acara. Reformasi tersebut telah memodernisasi hukum Inggris. Sebenarnya apa yang saat ini merupakan common law Inggris bermula dari hukum Anglo-Norman yang dianut secara bersama sama oleh suatu kerjaan dan suatu duchy. • Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan XII, hukum Inggris dan Hukum Eropa Kontinental masuk ke dalam bilangan sistem hukum yang sama yaitu hukum Jerman. Hukum tersebut bersifat feodal baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad kemudian terjadi perubahan situasi, Hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan hukum Kanonik yang merupakan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental, sedangkan di Inggris terluput dari pengaruh tersebut, dimana masih berlaku hukum asli rakyat Inggris (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 261) • Pembentukan suatu hukum yang baru di Eropa Kontinental dan di Inggris memang melalui proses yang panjang dan kompleks. Sejarah perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari sejarah ekonomi, politik, dan intelektual Eropa Barat. Hukum yang baru terbangun dari jalinan berbagai unsur, yaitu kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang ada, kebiasaan- kebiasaan para saudagar, hukum kanonik, hukum Romawi, dan pada tahap yang paling akhir filsafat hukum alam. Banyak pihak yang mempunyai saham dalam pembentukan hukum baru tersebut, yaitu para praktisi, hakim, administrator, akademisi, pengguna hukum, kaum gerejani, dan filosof (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 266). • Sistem hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental tersebut, yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law, disebut demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus Corpus Iuris Civilis. Sedangkan sistem yang dikembangkan di Inggris, karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris, maka disebut sistem commonlaw, dikarenakan sistem common law dianut oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian Inggris, sehingga disebut juga sebagai sistem Anglo-Saxon (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 262). • Negara-negara jajahan biasanya menganut sistem hukum yang dibawa oleh negara penjajahnya, seperti halnya negara Indonesia yang dijajah oleh Belanda, dimana sistem hukum yang dianut Belanda adalah civil law, maka dengan demikian secara garis besar Indonesia juga menganut sistem civil law. Berbeda dengan negara Singapura yang merupakan negara jajahan Inggris menganut sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, yaitu sistem hukum common law. Civil Law • Civil law atau sistem hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum yang berkembang di negara Eropa Daratan yang berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Yustinianus dan disebut dengan Corpus Juris Civilis (Hasanah, 2022, hlm. 108). • Corpus Juris Civilis adalah kompilasi kasus-kasus yang diselesaikan di Romawi bagian barat dijadikan prinsip dasar dalam bahasan dan kodifikasi hukum di Negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, dan juga Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Oleh karena sistem ini dianut oleh negara Eropa Daratan (kontinental), maka hukum ini juga disebut dengan sistem Eropa Kontinental. • Prinsip dasar sistem Eropa Kontinental adalah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan yang mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi (Hartanto, 2022, hlm. 79). Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum dalam sistem civil law. Kepastian hukum dapat terwujud jika tingkah laku manusia diatur secara pasti dapat terlihat dengan bentuk tulisan. • Masih dalam pendapat yang senada, menurut Yuhelson (2017, hlm. 110) civil law adalah hukum yang memperoleh kekuatan mengikat, karena sumber-sumber hukumnya diwujudkan dalam peraturan- peraturan yang membentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu dengan prinsip utama yang dianut adalah kepastian hukum. Sumber hukum civil law berbasis pada hukum tertulis (written law) dan menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum. Dengan demikian, yang menjadi sumber hukum utama adalah undang- undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif dan kebiasaan yang hidup di masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Oleh karena itu, sistem hukum civil law juga sering disebut sebagai ”hukum adalah undang-undang”. Tentunya hal tersebut karena sumber utama dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah undang-undang yang dibentuk legislatif. Walaupun demikian, peraturan-peraturan yang dipakai sebagai pegangan kekuasaan eksekutif yang dibuat olehnya berdasarkan kewenangannya dan kebiasaan yang hidup di masyarakat yang tidak bertentangan di masyarakat juga diakui sebagai sumber hukum. Penggolongan system hukum civil law terbagi atas dua sistem utama, yaitu: 1.Hukum Publik, yang mengatur wewenang negara/ penguasa serta hubungan antara masyarakat dengan negara atau sebaliknya; dan 2.Hukum Privat, yang mengatur hubungan antara individu dengan individu dalam memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, dalam praktiknya, semakin berkembang pesat di bidang hukum dan masyarakat sekarang ini mengakibatkan batas-batas antara hukum publik dan hukum privat semakin kabur (Hartanto, 2022, hlm. 79). Artinya, banyak bidang kehidupan yang sebenarnya merupakan kepentingan perseorangan tetapi menunjukkan indikasi sebagai kepentingan umum sehingga memerlukan campur tangan pemerintah melalui kaidah-kaidah hukum publik. Contoh masalah perdagangan, perburuhan/ketenagakerjaan, perkawinan, pertanahan/agrarian, perusahaan dan lain-lain. Negara Indonesia adalah negara hukum" Pasal 1 ayat 3 konstitusi UUD 1945. Pasal tersebut memiliki makna bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan bernegara dan berbangsa diatur dengan peraturan atau hukum yang ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia. Hukum tersebut tidak hanya mengatur urusan dalam negeri (internal). Namun juga mengatur hubungan Indonesia dengan negara-negara lain (eksternal). Selain Indonesia, Negeri Paman Sam Amerika Serikat juga memiliki konstitusi nya tersendiri, yaitu Constitution of the United States, yang terkenal dengan American Dream-nya, yang kurang lebih menyatakan bahwa "all men are created equal/semua manusia diciptakan sederajat" dengan hak untuk "life, liberty and the pursuit of happiness/"hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan." • Dari kedua contoh tersebut maka terlihat bahwa setiap negara memiliki konstitusi atau hukumnya masing-masing sebagai pedoman atau acuan dalam mengatur kehidupan bernegaranya, baik ke dalam (nasional) ataupun ke luar (internasional). Namun, terlepas dari persamaanya tersebut, ternyata terdapat perbedaan sistem hukum yang dianut antara suatu negara dengan negara lainnya. Indonesia misalnya, menganut sistem hukum kontinental atau yang lebih dikenal dengan sebutan civil law system. • Sedangkan, Amerika Serikat di sisi lain menggunakan sistem hukum anglo saxon atau yang lebih dikenal dengan common law system. Lantas apa perbedaan diantara kedua sistem hukum tersebut? Dan apakah sistem hukum yang satu lebih baik dari hukum lainnya? • Sistem hukum pertama yang akan dibahas adalah sistem hukum yang digunakan salah satunya oleh Indonesia, yaitu sistem hukum kontinental atau civil law system. Civil law system merupakan sistem hukum yang memiliki ciri utama melakukan pembagian dasar hukumnya pada dua bagian hukum, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Pembagian ke dalam dua bagian hukum tersebut tidak terdapat dalam common law system. • Biasanya negara-negara yang menganut sistem hukum ini merupakan negara bekas jajahan koloni Prancis, Belanda, Jerman, Spanyol, dan Portugis. Konsep sistem hukum kontinental ini berasalah dari hukum Romawi. Common Law • Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem pemerintahan di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayah- wilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya kepada Lord tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat membentuk pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang ditetapkan oleh Lord sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai penyelewengan yang juga melahirkan pemberontakan-pemberontakan hingga akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180). Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan, yaitu: a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae; b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar membuktikan bahwa hak- hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri; c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan pada hukum kebiasaan setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi). Hal ini menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada masa itu. Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ dalam mengadili, maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada pimpinan gereja atau Lord of Chancellor. • Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum Inggris tidaklah bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court didasarkan pada common law dan hakim-hakimnya bertindak atas nama raja (fons iustitiae atau raja selaku sumber keadilan dan kelayakan). Sedangkan pengadilan Court of Chancery didasarkan pada hukum gereja atau hukum kanonik dan hakimnya adalah seorang rohaniawan. Sistem penyelesaian perkara di pengadilan ini dikenal sebagai sistem equity, yakni sistem penyelesaian perkara yang didasarkan pada hukum alam (ketuhanan) atau keadilan. • Dengan semakin banyaknya minat dari masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of Chancellor menyebabkan terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry di samping Royal Court yang telah ada. • Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi (judicature act) pada tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal Court dan Court of Chancerry. Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi berbeda, yakni perkara-perkara Common Law (cases at Common Law) maupun perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama diajukan ke salah satu pengadilan tersebut. Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-undang nyaris tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi common law dalam artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, karena di samping peradilan oleh pengadilan- pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, yakni hukum undang- undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang (legislatif). Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Eropa Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal dengan sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang berasal dari suku Angle, Saxon, dan Jute), sistem common law dikenal pula dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon. Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule of Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur: 1. Supremasi hukum (supremacy of law), 2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan 3.Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights). Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan dan hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju. Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental. Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: 1. Yurisprudensi (judicial decisions), yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip- prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent). Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan terpenting dalam sistem common law. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila dihadapkan pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini hakim berpikir secara induktif. Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare decisis et quieta non movere (pengadilan yang tingkatannya lebih rendah harus mengikuti keputusan yang lebih tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis atau disebut juga the binding force of precedent (perkara yang sama harus diproses dengan cara yang mirip atau sama). Hakim hanya terikat pada isi putusan pengadilan yang esensial atau disebut ratio decidendi, yakni berhubungan langsung dengan pokok perkara. Sedangkan dalam hal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara, yakni sebatas merupakan tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter dicto, maka hakim dapat menilai sebagai suasana yang meliputi pokok perkara menurut pandangan hakim itu sendiri. Putusan yang bersifat “binding precedent” berarti putusan tersebut memiliki kekuatan yang meyakinkan. 2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang- undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan. Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki celah-celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh. Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia II akibat desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan dengan yurisprudensi yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh Parlemen sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan sistem common law, yakni bentuknya yang berupa undang- undang (written law),dan dapat merubah putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan suatu undang-undang baru. Namun tindakan parlemen untuk mengubah yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat umum serta pendapat para sarjana hukum. Sehingga meski memiliki hukum tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat umum maupun para sarjana hukum secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas kebiasaan atau common law yang telah ada. 3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta membentuk norma- norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan). 4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma- norma hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan keputusan Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common law system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania), Hongkong, India, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru. Khusus di India dan Pakistan beberapa aspek hukum privat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama, seperti Islam, dan Hindu. Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak menyimpang, yakni bukan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang, melainkan lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law oc contract), dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts,) yang kesemuanya tersebar di dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan. • Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa Kontinental sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai civil law system. • Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh karena adanya keputusan- keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi. • Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi asing pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara- negara maju. Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. • Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara- negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah dominan. • Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan organisasi-organisasi lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama sekali tidak dikenal dalam sistem civil law. • Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidang- bidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana. Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis. • Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni civil law, common law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif. Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah pembangunan bagi masyarakat. • Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum • Adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum responsif. Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat dalam konstitusi negara UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika dihubungkan dengan arah pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat dikatakan tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. • Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah masuk ke dalam alam sistem hukum common law. • Perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada. • Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi keputusan pengadilan. Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. • Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan- peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat) yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun Indonesia juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat. Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum- hukum adat yang ada • Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa common law dan civil law memiliki perbedaan mendasar dalam cara penegakan dan pembuatan hukum. Common law memiliki kelebihan dalam fleksibilitas dan proses penciptaan hukum yang lebih cepat, sementara civil law memiliki kelebihan dalam penciptaan hukum yang jelas, konsistensi hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. • Namun, kedua sistem hukum ini juga memiliki kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, terdapat perkembangan hukum baru yang mengombinasi kedua sistem hukum ini dan disebut “mixed legal system”. Penting bagi pengadilan untuk menganalisis kasus secara hati-hati untuk memutuskan sistem hukum mana yang paling sesuai dalam menentukan keputusan hukum. kelebihan common law dan civil law Common law memiliki kelebihan dalam fleksibilitas dan proses penciptaan hukum yang lebih cepat, sementara civil law memiliki kelebihan dalam penciptaan hukum yang jelas, konsistensi hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.
Kekurangan common law dan civil law
Kekurangan common law adalah pengadopsian interpretasi hukum yang berbeda-beda pada kasus yang sama oleh pengadilan yang berbeda, sementara kekurangan civil law adalah kurangnya fleksibilitas dalam penciptaan hukum dan biaya yang cukup besar dalam penciptaan hukum.
Negara yang menganut common law
Negara-negara yang menganut common law adalah Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Negara yang menganut civil law Negara-negara yang menganut civil law adalah Perancis, Jerman, Italia, dan Spanyol.
Pengadopsian hukum internasional lebih mudah dalam
civil law Pengadopsian hukum internasional lebih mudah dalam civil law karena sistem peraturan hukum yang terstandarisasi dan mudah diimplementasikan.
Common law dan civil law digabungkan
Ya, terdapat juga sistem hukum yang mengombinasi kedua sistem hukum ini dan disebut “mixed legal system”. Judicial decision dalam common law Judicial decision adalah keputusan hukum yang dihasilkan oleh pengadilan dalam menetapkan putusan pada kasus yang diajukan.
Customary practices dalam common law
Customary practices adalah praktik kebiasaan yang telah menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar dari suatu kasus hukum
Law codes dalam civil law
Law codes adalah kumpulan peraturan hukum yang diatur dalam bentuk sistem tertulis yang telah disetujui oleh badan legislatif atau pemerintah.
Preceden dalam common law
Preceden adalah hasil keputusan pengadilan yang digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa dimasa yang akan datang.
Codified dalam civil law
Codified merujuk pada peraturan hukum yang ditulis dengan sangat terinci dan memiliki sistem tertulis yang terstandarisasi. TERIMA KASIH