Anda di halaman 1dari 33

Sejarah Perkembangan Sistem

Civil Law dan Common Law

Dr. Hj. Mia Amalia, SH, MH


SEJARAH TERJADINYA SISTEM CIVIL LAW DAN COMMON LAW
Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan abad XII, hukum
Inggris dan hukum Eropa kontinental masuk kedalam sistem hukum yang
sama yaitu hukum Jerman. Satu abad kemudian terjadi perubahan
situasi, ditandai dengan hukum Romawi yang mengubah kehidupan di
Eropa Kontinental sedangkan Inggris tidak terdampak dengan pengaruh
tersebut.
Sistem yang dianut oleh Eropa Kontinental yang berdasar Hukum
Romawi biasa disebut sistem civil law. Disebut demikian karena hukum
Romawi mulanya bersumber dari karya agung Kaisar Inustinianus
Corpus Luris Civilis. Sistem civil law yang dianut masyarakat Eropa
Kontinental juga biasa disebut sistem kontinental. Negara bekas jajahan
negara Eropa Kontinental juga menganut sistem civil law. Sistem yang
berkembang di Inggris adalah sistem common law. Sistem ini dianut oleh
suku Anglika dan Saksa yang tinggal pada sebagian besar wilayah
Inggris sehingga disebut juga sistem Anglo-Saxon.
• Pada negara bekas jajahan Inggris hampir seluruhnya menggunakan sistem
common law, akan tetapi tidak pada suku scott yaitu suku di Skotlandia yang
menganut sistem civil law dan juga Amerika Serikat yang juga merupakan negara
bekas jajahan Inggris.
• AS megembangkan sistem sendiri namun masih menggunakan basis common law
Inggris. Perkembangan ekonom, politik dan teknologi yang pesat di Amerika
dibandingkan Inggris menyebabkan negara tersebut memiliki hubungan lebih intens
dengan negara negara lain yang menyebabkan hukum di Amerika menjadi baseline
atau landasan transaksi yang bersifat Internasional. Oleh karena itu sistem common
law saat ini lebih dikenal dengan sistem Anglo-American.
• Kejeniusan orang Romawi dalam menciptakan suatu perturan hukum dapat terlihat
pada hasil penyelesaian suatu masalah yang terjadi pada kehidupan mereka.
Penyelesaian itu merujuk pada hukum yang diberlakukan kekaisaran itu. Hukum
tersebut merupakan cerminan dari perkembangan politik, soisal, budaya yang dapat
memenuhi kehidupan mereka.
• Kekaisaran Romawi timur memiliki arti penting bagi perkembangan hukum Romawi.
Di kekaisaran Romawi Timur inilah Kaisar Iustinianus menyusun kompilasi yang
terkenal sebagai Corpus Iuris Civilis yang terdiri atas Caudex, Novelle, Instituti,
Digesta.
• Meletusnya perang Salib pertama tahun 1096 menandai pembukaan kembali rute perdagangan eropa barat di mediterania
dan terjadila ekspansi besar besaran dalam hal perdagangan yang mengakibatkan perubahan tata struktural kehidupan
dalam masyarakat. Adanya perubahan ini mengharuskan hukum lama diubah menjadi hukum baru yang mana harus
melalui proses panjang dan kompleks. Pada periode itu, yaitu sejak akhir abad XI hingga awal abad XIV terjadi divergensi
sistem civil law yang berkembang di eropa kontinental dan common law yang berkembang di Inggris.
• Civil law yang berkembang di eropa kontinental merupakan kebangkitan kembali hukum Romawi yang tertuang dalam
corpus luris civilis. Sebalikanya, pada periode yang sama di Inggris raja raja membuat suatu sistem pengadilan yang
efektif bagi kerajaan.
• Perubahan perubahan yang tejadi pada masyarakat eropa barat saat itu tidak dapat diselesaikan dengan hukum yang ada
saat itu. Corpus Iuris Civilis dianggap dapat mengatasi segala permasalaan dalam penyelesaian msalah agraris dan
industri.
• Corpus Iuris Civilis dipandang sebagai suatu instrument yang ideal setelah dilakukan interpretasi dan komentar dari
Glossator dan Commentator, yang dapat menghadapi perkara yang terjadi masa itu. Perubahan juga berdampak pada
pemahaman terhadap studi hukum, kegiatan ekonomi serta perdagangan. Hukum lokal yang berlaku dianggap tidak
memadai untuk mengatasi permasalahan tersebut menyebabkan Corpus Iuris Civilis memiliki kekuatan sebagai imperium
romanum.
• Para commentator yang menggantikan para glossator berusaha tidak semta mata mendasarkan karyanya pada Corpus
Iuris Civilis. Hukum kanonik lalu bersama sama Corpus Iuris Civilis menjadi mata kuliah yang berdampingan dan pada
abad abad selanjutnya para filsuf mengkaji secara sistematis karya Aristoteles tentang Ethica dan Politeia dan mereka
kembangkan secara sistematis filsafat hukum alam. Para filsuf dalam berkarya juga mengambil sudut pandang dari hukum
kanonik dan sudut pandang teologi skolastik.
• Dalam perkembangannya, karya para Commentator dijadikan sebuah dasar hukum pada suatu
wilayah. Sebelum tahun 1200 karya tersebut telah menjadi hukum yang berlaku di Italia manakala
hukum lokal tidak dapat mengatasi problematika yang terjadi. Hal ini berarti hukum Romawi
diselaraskan dengan hukum lokal untuk mengatasi masalah praktis yang baru. Resepsi terhadap
Corpus Iuris Civilis di Italia dan Perancis dilaksanakan dalam waktu dan cara yang berbeda beda
bergantung pada problematika yang terjadi serta kondisi penduduknya.
• Lain halnya dengan di Jerman, hukum Romawi baru diresepsi di Jerman pada akhir abad
pertengahan dan resepsinya bersifat secara total. Alasan formal atas respsi ini sebagaimana tertuang
pada Reichskammergerichtordnung 1495 sebenarnya masih misterius, suatu penjelasan yang dapat
diemukakan adalah keandalan hukum Romawi dalam menghadapi masalah sosial dan ekonomi pada
masa itu. Namun pandangan konstitusional yang berkembang pada abad pertengahan menyebutkan
bahwa resepsi tersebut disebabkan karena Kaisar Jerman merupakan penerus Kaisar Romawi.
Sebenarnya resepsi hukum Romawi oleh Jerman disebabkan beberapa faktor. Pertama, tidak adanya
unifikasi hukum di Jerman dan tidak memadainya hukum yang beraneka ragam mendorong terjadinya
resepsi.
• Kedua, tidak adanya hukum tertulis sulit mendapat hukum yang pasti. Ketiga, tidak adanya hukum
tertulis dipandang sebagai suatu penyebab utama tidak sistematis. Keempat, terfragmentasinya
hukum menyebabkan aparat penegak hukum yang tidak kuat. Kelima, kebutuhan sumber daya
manusia yang berlatar belakang hukum Romawi. Hukum Romawi yang diresepsi tidak hanya berasal
dari Corpus Iuris Civilis tetapi juga dari produk para Glossator dan Comentator.
• Sebelum terjadinya resepsi hukum Romawi abad XIII oleh Eropa Kontinental, di Inggris telah
berkembang suatu peradilan nasional yang menerpakan hukum kebiasaan. Dalam fikiran
feudal, Inggris merupakan suatu fief, yaitu negeri yang dapat diwarisi dari seorang tuan tanah
sebagai imbalan atas pengabdian kepada tuan tanah tersebut. Oleh karena itu, harus ada
suatu kekuasaan yang kuat, efektif, dan terpusat yang dapat diterima seantero negeri.
• Pengadilan kerajaan bersama dengan pengadilan dibawahnya merupakan institusi politis
yang paling kuat di Inggris. Oleh karena Pengadilan Kerajaan di kelola oleh pejabat pejabat
yang terlatih maka membawahi pengadilan lokal dan sedikit mengatasi masalah ningrat
sedangkan di pihak lain pengadilan rakyat yang lama tidak digunakan, hukum yang
dikembangkan oleh pengadilan Kerajaan secara cepat menjadi satuan hukum yang umum
(common) bagi semua masyarakat seantero negeri. Itulah sebabnya sistem hukum Inggris
disebut Common Law.
• Pada masa Raja Henry II, di Inggris dilakukan reformasi dalam organisasi peradilan dan
hukum acara. Reformasi tersebut telah memodernisasi hukum Inggris. Sebenarnya apa yang
saat ini merupakan common law Inggris bermula dari hukum Anglo-Norman yang dianut
secara bersama sama oleh suatu kerjaan dan suatu duchy.
• Sejak awal abad pertengahan sampai pertengahan XII, hukum Inggris dan Hukum Eropa
Kontinental masuk ke dalam bilangan sistem hukum yang sama yaitu hukum Jerman. Hukum
tersebut bersifat feodal baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad kemudian terjadi
perubahan situasi, Hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan hukum Kanonik
yang merupakan hukum acara telah mengubah kehidupan di Eropa Kontinental, sedangkan di
Inggris terluput dari pengaruh tersebut, dimana masih berlaku hukum asli rakyat Inggris
(Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 261)
• Pembentukan suatu hukum yang baru di Eropa Kontinental dan di Inggris memang melalui
proses yang panjang dan kompleks. Sejarah perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
sejarah ekonomi, politik, dan intelektual Eropa Barat. Hukum yang baru terbangun dari
jalinan berbagai unsur, yaitu kebiasaan-kebiasaan dan praktik-praktik yang ada, kebiasaan-
kebiasaan para saudagar, hukum kanonik, hukum Romawi, dan pada tahap yang paling akhir
filsafat hukum alam. Banyak pihak yang mempunyai saham dalam pembentukan hukum baru
tersebut, yaitu para praktisi, hakim, administrator, akademisi, pengguna hukum, kaum
gerejani, dan filosof (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 266).
• Sistem hukum yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental tersebut,
yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem civil law, disebut
demikian karena hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya
agung Kaisar Iustinianus Corpus Iuris Civilis. Sedangkan sistem yang
dikembangkan di Inggris, karena didasarkan atas hukum asli rakyat Inggris,
maka disebut sistem commonlaw, dikarenakan sistem common law dianut
oleh suku-suku Anglika dan Saksa yang mendiami sebagian Inggris, sehingga
disebut juga sebagai sistem Anglo-Saxon (Peter Mahmud Marzuki, 2009 :
262).
• Negara-negara jajahan biasanya menganut sistem hukum yang dibawa oleh
negara penjajahnya, seperti halnya negara Indonesia yang dijajah oleh
Belanda, dimana sistem hukum yang dianut Belanda adalah civil law, maka
dengan demikian secara garis besar Indonesia juga menganut sistem civil law.
Berbeda dengan negara Singapura yang merupakan negara jajahan Inggris
menganut sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia, yaitu sistem hukum
common law.
Civil Law
• Civil law atau sistem hukum Eropa Kontinental adalah sistem hukum
yang berkembang di negara Eropa Daratan yang berasal dari
kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Yustinianus dan disebut
dengan Corpus Juris Civilis (Hasanah, 2022, hlm. 108).
• Corpus Juris Civilis adalah kompilasi kasus-kasus yang diselesaikan
di Romawi bagian barat dijadikan prinsip dasar dalam bahasan dan
kodifikasi hukum di Negara-negara Eropa daratan seperti Jerman,
Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, dan juga Indonesia pada masa
penjajahan Belanda. Oleh karena sistem ini dianut oleh negara Eropa
Daratan (kontinental), maka hukum ini juga disebut dengan sistem
Eropa Kontinental.
• Prinsip dasar sistem Eropa Kontinental adalah bahwa hukum itu
memperoleh kekuatan yang mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis dalam
kodifikasi (Hartanto, 2022, hlm. 79). Kepastian hukumlah yang
menjadi tujuan hukum dalam sistem civil law. Kepastian hukum dapat
terwujud jika tingkah laku manusia diatur secara pasti dapat terlihat
dengan bentuk tulisan.
• Masih dalam pendapat yang senada, menurut Yuhelson (2017, hlm.
110) civil law adalah hukum yang memperoleh kekuatan mengikat,
karena sumber-sumber hukumnya diwujudkan dalam peraturan-
peraturan yang membentuk undang-undang dan tersusun secara
sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu dengan prinsip
utama yang dianut adalah kepastian hukum.
Sumber hukum civil law berbasis pada hukum tertulis (written law) dan
menuangkan semaksimal mungkin norma ke dalam aturan hukum.
Dengan demikian, yang menjadi sumber hukum utama adalah undang-
undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif dan
kebiasaan yang hidup di masyarakat sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada.
Oleh karena itu, sistem hukum civil law juga sering disebut sebagai
”hukum adalah undang-undang”. Tentunya hal tersebut karena sumber
utama dalam sistem hukum Eropa Kontinental adalah undang-undang
yang dibentuk legislatif. Walaupun demikian, peraturan-peraturan yang
dipakai sebagai pegangan kekuasaan eksekutif yang dibuat olehnya
berdasarkan kewenangannya dan kebiasaan yang hidup di masyarakat
yang tidak bertentangan di masyarakat juga diakui sebagai sumber
hukum.
Penggolongan system hukum civil law terbagi atas dua sistem utama, yaitu:
1.Hukum Publik,
yang mengatur wewenang negara/ penguasa serta hubungan antara
masyarakat dengan negara atau sebaliknya; dan
2.Hukum Privat,
yang mengatur hubungan antara individu dengan individu dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
Akan tetapi, dalam praktiknya, semakin berkembang pesat di bidang hukum
dan masyarakat sekarang ini mengakibatkan batas-batas antara hukum
publik dan hukum privat semakin kabur (Hartanto, 2022, hlm. 79).
Artinya, banyak bidang kehidupan yang sebenarnya merupakan kepentingan
perseorangan tetapi menunjukkan indikasi sebagai kepentingan umum
sehingga memerlukan campur tangan pemerintah melalui kaidah-kaidah
hukum publik. Contoh masalah perdagangan, perburuhan/ketenagakerjaan,
perkawinan, pertanahan/agrarian, perusahaan dan lain-lain.
Negara Indonesia adalah negara hukum" Pasal 1 ayat 3 konstitusi UUD
1945. Pasal tersebut memiliki makna bahwa segala hal yang terkait
dengan kehidupan bernegara dan berbangsa diatur dengan peraturan
atau hukum yang ditetapkan dan diberlakukan di Indonesia. Hukum
tersebut tidak hanya mengatur urusan dalam negeri (internal). Namun
juga mengatur hubungan Indonesia dengan negara-negara lain
(eksternal).
Selain Indonesia, Negeri Paman Sam Amerika Serikat juga memiliki
konstitusi nya tersendiri, yaitu Constitution of the United States, yang
terkenal dengan American Dream-nya, yang kurang lebih menyatakan
bahwa "all men are created equal/semua manusia diciptakan
sederajat" dengan hak untuk "life, liberty and the pursuit of
happiness/"hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan."
• Dari kedua contoh tersebut maka terlihat bahwa setiap negara
memiliki konstitusi atau hukumnya masing-masing sebagai pedoman
atau acuan dalam mengatur kehidupan bernegaranya, baik ke dalam
(nasional) ataupun ke luar (internasional). Namun, terlepas dari
persamaanya tersebut, ternyata terdapat perbedaan sistem hukum
yang dianut antara suatu negara dengan negara lainnya. Indonesia
misalnya, menganut sistem hukum kontinental atau yang lebih dikenal
dengan sebutan civil law system.
• Sedangkan, Amerika Serikat di sisi lain menggunakan sistem hukum
anglo saxon atau yang lebih dikenal dengan common law system.
Lantas apa perbedaan diantara kedua sistem hukum tersebut? Dan
apakah sistem hukum yang satu lebih baik dari hukum lainnya?
• Sistem hukum pertama yang akan dibahas adalah sistem
hukum yang digunakan salah satunya oleh Indonesia, yaitu
sistem hukum kontinental atau civil law system. Civil law
system merupakan sistem hukum yang memiliki ciri utama
melakukan pembagian dasar hukumnya pada dua bagian
hukum, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Pembagian
ke dalam dua bagian hukum tersebut tidak terdapat dalam
common law system.
• Biasanya negara-negara yang menganut sistem hukum ini
merupakan negara bekas jajahan koloni Prancis, Belanda,
Jerman, Spanyol, dan Portugis. Konsep sistem hukum
kontinental ini berasalah dari hukum Romawi.
Common Law
• Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem pemerintahan di Inggris bersifat
feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayah- wilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan
rakyat harus menyewanya kepada Lord tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia
dapat membentuk pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang ditetapkan oleh Lord
sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai penyelewengan yang juga melahirkan
pemberontakan-pemberontakan hingga akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180).
Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan, yaitu:
a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar mendapatkan kepastian hukum
kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus
Angliae;
b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar membuktikan bahwa hak-
hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri;
c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan pada hukum kebiasaan
setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah
diputus oleh hakim (yurisprudensi). Hal ini menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada
masa itu.
Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ dalam mengadili,
maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada pimpinan gereja atau Lord of
Chancellor.
• Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum Inggris tidaklah
bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court didasarkan pada common law dan
hakim-hakimnya bertindak atas nama raja (fons iustitiae atau raja selaku sumber keadilan dan
kelayakan). Sedangkan pengadilan Court of Chancery didasarkan pada hukum gereja atau
hukum kanonik dan hakimnya adalah seorang rohaniawan. Sistem penyelesaian perkara di
pengadilan ini dikenal sebagai sistem equity, yakni sistem penyelesaian perkara yang
didasarkan pada hukum alam (ketuhanan) atau keadilan.
• Dengan semakin banyaknya minat dari masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of
Chancellor menyebabkan terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry di
samping Royal Court yang telah ada.
• Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi (judicature act) pada
tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal Court dan Court of Chancerry.
Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi berbeda, yakni perkara-perkara Common Law
(cases at Common Law) maupun perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama diajukan
ke salah satu pengadilan tersebut.
Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk
oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang
diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim.
Undang-undang nyaris tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common
law ini. Akan tetapi common law dalam artian ini tidak mencakup seluruh
tatanan hukum Inggris, karena di samping peradilan oleh pengadilan-
pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law, yakni hukum undang-
undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang (legislatif).
Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara
fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum
Eropa Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal
dengan sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang berasal dari suku
Angle, Saxon, dan Jute), sistem common law dikenal pula dengan istilah
sistem hukum Anglo-Saxon.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule of
Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok
ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan
3.Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on
individual rights).
Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan dan
hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan
dalam masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju.
Sumber-sumber hukum dalam sistem Anglo-Saxon pun memiliki
perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara sistematik
dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.
Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi:
1. Yurisprudensi (judicial decisions), yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk
menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip- prinsip hukum baru yang
berguna sebagai pegangan bagi hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis (hukum
hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam
putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan terpenting dalam sistem common
law. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila dihadapkan
pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini hakim berpikir secara induktif. Asas keterikatan hakim
pada precedent disebut stare decisis et quieta non movere (pengadilan yang tingkatannya lebih
rendah harus mengikuti keputusan yang lebih tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis atau
disebut juga the binding force of precedent (perkara yang sama harus diproses dengan cara
yang mirip atau sama). Hakim hanya terikat pada isi putusan pengadilan yang esensial
atau disebut ratio decidendi, yakni berhubungan langsung dengan pokok perkara.
Sedangkan dalam hal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara, yakni
sebatas merupakan tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter dicto, maka hakim dapat menilai
sebagai suasana yang meliputi pokok perkara menurut pandangan hakim itu sendiri. Putusan
yang bersifat “binding precedent” berarti putusan tersebut memiliki kekuatan yang
meyakinkan.
2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-
undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber hukum kedua setelah
yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat perangkat peraturan pelaksanaan oleh
instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan. Fungsi Statute Law sebatas pelengkap
common law yang terkadang memiliki celah-celah, dan tidak ditujukan untuk
mengatur suatu permasalahan secara menyeluruh. Pembentukan hukum melalui
statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia II akibat desakan perubahan
peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan dengan yurisprudensi yang
dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh Parlemen sebenarnya merupakan
bentuk penyimpangan sistem common law, yakni bentuknya yang berupa undang-
undang (written law),dan dapat merubah putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan
suatu undang-undang baru. Namun tindakan parlemen untuk mengubah
yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat umum serta pendapat para sarjana hukum.
Sehingga meski memiliki hukum tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat umum
maupun para sarjana hukum secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas
kebiasaan atau common law yang telah ada.
3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga
menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta membentuk norma-
norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam putusan pengadilan. Di Inggris
dikenal dua macam custom, yaitu local custom (kebiasaan setempat) dan commercial
custom (kebiasaan yang menyangkut perdagangan).
4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber
hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma
hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang
diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law
ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-
norma hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para
hakim dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan
keputusan
Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common
law system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania),
Hongkong, India, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru.
Khusus di India dan Pakistan beberapa aspek hukum privat banyak
dipengaruhi oleh Hukum Agama, seperti Islam, dan Hindu.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal
juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang
diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang
diberikan oleh sistem hukum Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum
privat pengertiannya agak menyimpang, yakni bukan sebagai kaidah-kaidah
hukum perdata dan hukum dagang, melainkan lebih ditujukan kepada
kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang
orang (law of persons), hukum perjanjian (law oc contract), dan hukum
tentang perbuatan melawan hukum (law of torts,) yang kesemuanya tersebar
di dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.
• Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut Indonesia tidak lepas
dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun lamanya.
Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum yang mengadopsi Codex Napoleon
yang bersumber dari hukum Romawi. Karena sistem ini yang berkembang kali pertama
adalah hukum perdatanya yang mengatur hubungan individu semua anggota masyarakat,
maka sistem hukum Eropa Kontinental sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di
Indonesia disebut sebagai civil law system.
• Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami berkali-kali
perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme pembentukan
berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan
KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh karena adanya keputusan-
keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran terhadap undang-undang tersebut dan
akhirnya menjadi yurisprudensi.
• Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi asing pada tahun
1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke pasar dunia, dan berusaha
mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negara- negara maju. Akibatnya lambat laun
pengaruh common law secara disadari atau tidak menginfiltrasi perkembangan hukum di
Indonesia.
• Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi
internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai perjanjian antara para pengusaha, lahirnya
institusi-institusi keuangan baru, hingga pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-
negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam sistem
hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi anggota berbagai konvensi
internasional, di mana sistem common law adalah dominan.
• Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan organisasi-organisasi lingkungan hidup
internasional secara tidak langsung pada ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan
masyarakat terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara dalam gugatan
pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan terbatas atas nama perusahaan. Semua
penyelesaian hukum tersebut sama sekali tidak dikenal dalam sistem civil law.
• Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat,
Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman
sistem hukum yang ada menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu
unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidang- bidang hukum yang
netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana. Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan
pada bidang-bidang yang bersangkutan dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk
mati, hak untuk menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.
• Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni civil law, common law, dan
socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua model strategi pembangunan hukum, yaitu
ortodoks (preventif) dan responsif. Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri
keterlibatan sangat dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan
arah pembangunan bagi masyarakat.
• Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara dengan sistem hukum civil law dan socialist law.
Sedangkan strategi pembangunan hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga
peradilan dan partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam
menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya produk hukum
yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam masyarakat. Dalam pengertian
demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum
• Adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum responsif.
Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat dalam konstitusi negara
UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika dihubungkan dengan arah pembangunan
hukum di Indonesia yang cenderung dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala
nasional di Indonesia yang menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat
dikatakan tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
• Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan bersikap aktif dalam menggali
dan menemukan hukum (rechtsvinding dan rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga
merupakan unsur yang cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat
hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah masuk ke dalam alam
sistem hukum common law.
• Perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan
sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang
ada.
• Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui universitas-universitas, sistem common
law hidup dan berkembang secara turun temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat. Sumber hukum
tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi keputusan
pengadilan. Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara Inggris ketika itu adalah sebuah judge
made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh
kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim.
• Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi yakni hakim mempunyai
wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan- peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip
hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis,
statute law yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang dalam
sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris sehingga
menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat) yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber
hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang didasarkan
pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk memperlakukan
sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun Indonesia
juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya
berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran
hukum Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun
pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Akibatnya di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat,
Hukum Islam, Civil Law dan Common Law yang kesemuanya hidup
berdampingan. Sehingga perkembangan hukum di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum
yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-
hukum adat yang ada
• Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa common law
dan civil law memiliki perbedaan mendasar dalam cara penegakan dan
pembuatan hukum. Common law memiliki kelebihan dalam fleksibilitas
dan proses penciptaan hukum yang lebih cepat, sementara civil law
memiliki kelebihan dalam penciptaan hukum yang jelas, konsistensi hukum,
dan perlindungan hak asasi manusia.
• Namun, kedua sistem hukum ini juga memiliki kekurangan masing-masing.
Oleh karena itu, terdapat perkembangan hukum baru yang mengombinasi
kedua sistem hukum ini dan disebut “mixed legal system”. Penting bagi
pengadilan untuk menganalisis kasus secara hati-hati untuk memutuskan
sistem hukum mana yang paling sesuai dalam menentukan keputusan
hukum.
kelebihan common law dan civil law
Common law memiliki kelebihan dalam fleksibilitas dan proses penciptaan
hukum yang lebih cepat, sementara civil law memiliki kelebihan dalam
penciptaan hukum yang jelas, konsistensi hukum, dan perlindungan hak asasi
manusia.

Kekurangan common law dan civil law


Kekurangan common law adalah pengadopsian interpretasi hukum yang
berbeda-beda pada kasus yang sama oleh pengadilan yang berbeda, sementara
kekurangan civil law adalah kurangnya fleksibilitas dalam penciptaan hukum
dan biaya yang cukup besar dalam penciptaan hukum.

Negara yang menganut common law


Negara-negara yang menganut common law adalah Amerika Serikat, Kanada,
Inggris, Australia, dan Selandia Baru.
Negara yang menganut civil law
Negara-negara yang menganut civil law adalah Perancis, Jerman, Italia, dan
Spanyol.

Pengadopsian hukum internasional lebih mudah dalam


civil law
Pengadopsian hukum internasional lebih mudah dalam civil law karena sistem
peraturan hukum yang terstandarisasi dan mudah diimplementasikan.

Common law dan civil law digabungkan


Ya, terdapat juga sistem hukum yang mengombinasi kedua sistem hukum ini
dan disebut “mixed legal system”.
Judicial decision dalam common law
Judicial decision adalah keputusan hukum yang dihasilkan oleh pengadilan dalam menetapkan putusan pada
kasus yang diajukan.

Customary practices dalam common law


Customary practices adalah praktik kebiasaan yang telah menjadi hukum yang dapat dijadikan sebagai dasar
dari suatu kasus hukum

Law codes dalam civil law


Law codes adalah kumpulan peraturan hukum yang diatur dalam bentuk sistem tertulis yang telah disetujui
oleh badan legislatif atau pemerintah.

Preceden dalam common law


Preceden adalah hasil keputusan pengadilan yang digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan kasus-kasus
serupa dimasa yang akan datang.

Codified dalam civil law


Codified merujuk pada peraturan hukum yang ditulis dengan sangat terinci dan memiliki sistem tertulis yang
terstandarisasi.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai