Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA

A. Istilah dan Pengertian Tata Hukum Indonesia


Tata hukum berasal dari bahasa Belanda “Recht Orde” yaitu susunan
hukum, yang artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum.
Pengertian “memberikan tempat yang sebenarnya” adalah menyusun dengan
baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pengalaman hidup masyarakat agar
dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap
perbuatan hukum yang terjadi.
Tata atau susunan akan berlangsung selama ada pergaulan hidup manusia
yang berlanjut, karena dalam tata hukum terdapat aturan hukum yang berlaku
pada waktu tertentu dan di tempat tertentu, yang disebut “Hukum Positif” atau
“Ius Coustitutum”. Selain itu ada pula aturan hukum sejenis yang pernah berlaku
dan tetap dinamakan hukum (recht).
Dapat disimpulkan bahwa di dalam tata hukum, terdapat :
a. Hukum positif; dan
b. Aturan-aturan hukum yang pernah berlaku dan sudah diganti dengan
aturan hukum yang baru, yang sejenis dan berlaku sebagai hukum
positif baru.
Hukum positif sebagai aturan hukum yang berlaku pada waktu dan
tempat tertentu, ditaati oleh manusia dalam pergaulan hidupnya. Hal ini akan
terjadi apabila ketentuan itu dibentuk berdasarkan keinginan untuk hidup
bermasyarakat dan untuk mencapai keadilan.
Kalau terjadi peristiwa hukum, misalnya terjadi transaksi jual beli dimana
pihak penjual dan pembeli telah mempunyai kata sepakat tentang harga dan
barang, maka mulai saat itu telah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak.
Disinilah ketentuan-ketentuan hukum mulai berperan yaitu mewajibkan pihak
pembeli untuk menyerahkan atau membayar harga barang yang telah dibeli dan
berhak menerima barangnya, sedangkan penjual berhak menerima sejumlah
uang dan berkewajiban menyerahkan barang dagangannya. Apabila salah satu
pihak tidak memenuhi hak atau kewajibannya, maka ada aturan hukum lain
yang akan menyelesaikannya.
Ketentuan-ketentuan hukum akan mengikuti perkembangan dan
perubahan masyarakat karena masyarakat itu sendiri bersifat dinamis. Demikian
juga dengan hukum positifnya yang juga akan mengalami hal yang sama. Jika
hukum positif tidak sesuai lagi, maka ketentuan itu harus diganti. Penggantinya
bermula sebagai hukum yang dicita-citakan (Ius Coustinendum), harus
berdasarkan pada kesadaran hukum masyarakat. Apabila proses ini berjalan
dengan baik, maka Ius Coustituendum berubah menjadi Ius Constitutum.
Dengan demikian hukum yang lama sebagai hukum positif tidak berlaku lagi,
sedangkan hukum lama yang tidak berlaku lagi dan aturan hukum baru sebagai
hukum positif keduanya merupakan “tata hukum”.
B. Sejarah Tata Hukum Indonesia
Sejarah tata hukum Indonesia meskipun belum datang Belanda sudah ada
tata hukum yang berlaku, walaupun pada saat itu tata hukum yang tertulis masih
sukar ditemukan.
1. Masa Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) 1602 – 1799
V O C didirikan oleh para pedagang Belanda tahun 1602 dengan tujuan
menghindari terjadinya persaingan antara pedagang Belanda dalam membeli
rempah-rempah di Indonesia supaya mereka mendapat keuntungan yang
lebih besar. Karena kemajuan yang dicapai oleh VOC, pemerintah Belanda
memberikan hak-hak istimewa (octrooi), seperti bentuk angkatan perang,
hak mengadakan perdamaian hak mencetak uang dan lain-lain. Pada waktu
itu VOC melakukan penjajahan di daerah-daerah dan memaksakan aturan-
aturan hukumnya bagi orang-orang pribumi. Disamping diterapkan
ketentuan-ketentuan hukum yang dijalankan diatas kapal-kapal dagang dan
adad hukum Romawi.
Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC di Belanda memberikan wewenang
kepada Gubernur Jenderal Picter Both untuk membuat peraturan-peraturan
dalam menyelesaikan perkara istimewa yang sesuai dengan kebutuhan para
pegawai VOC di daerah yang di Indonesia yang menyangkut perkara perdata
dan pidana. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal
diumumkan melalui “plakat”. Setiap plakat yang sudah diumumkan tidak
pernah dikumpulkan dengan baik sehingga pada tahun 1635 banyak plakat
yang tidak diketahui lagi. Kemudian pada tahun 1642 disusun kembali plakat-
plakat tersebut, dan diumumkan di Batavia dengan nama “Statuta van
Batavia” (Statuta Batavia), pada tahun 1766 di perbaharui lagi dan diberi
nama Nieuwe Bataviase Statuten (Statuta Batavia Baru). Aturan Statuta yang
berlaku di daerah berdampingan dengan aturan hukum pribumi dan
pendatang lainnya di Eropa. Oleh karena perkembangan VOC ternyata selalu
dalam kerugian maka pemerintah Belanda pada tanggal 31 Desember 1799
membubarkan VOC.
2. Masa Penjajahan Pemerintah Belanda 1800 – 1942
Pada tanggal 1 Januari 1800 daerah kekuasaan VOC diambil alih oleh
pemerintah Bataafsehe Republik kemudian diubah Koninklinjk Holand.
Pemerintah Belanda yang menganut sistem pemerintahan monarkhi absolut
menunjuk Daendels sebagai Gubernur Jenderal. Daendels tidak melakukan
perubahan-perubahan dalam bidang hukum tetapi tetap memperlakukan
aturan-aturan hukum yang ada dalam masyarakat pribumi sepanjang tidak
bertentangan dengan Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1811
Daendels diganti oleh Jansens yang tidak lama memerintah, karena tidak
mampu menghadapi serangan Inggris. Kemudian Thomas Stamford Raffles
oleh Pemerintah Inggris diangkat menjadi Letnan Gubernur.
Dalam bidang hukum tidak mengalami perubahan kecuali mengenai
susunan pengadilan yang dikonkordansikan (disesuaikan) dengan susunan
pengadilan di India yaitu :
a. Divisions Court;
Pengadilan ini mempunyai wewenang mengadili perkara pelanggaran
kecil yang dilakukan oleh pihak sipil tidak melebihi 20 ropyen.
Penyelenggara Divisions Court ; Wedana dan pegawai bawahannya.
Terhadap putusan Divisions Court dapat diajukan banding kepada
Bopatis Court.
b. Districts Court (Bopatis Court);
Diketahui oleh Bupati, anggotanya Jaksa, Penghulu dan pegawai
lainnya. Wewenangnya mengadili perkara sipil. Apabila dalam
memberi putusan tidak ada persesuaian pendapat diantara para hakim
maka perkara tersebut diserahkan kepada Residents Court.
c. Residents Court;
Terdiri dari Residen, para Bupati, Hoefd Jaksa dan Hoefd penghulu.
Wewenangnya mengadili perkara pidana yang diancam dengan
hukuman mati dan dalam perkara dengan nilai minimal 50 ropyen.
d. Court of Circuit.
Sejenis pengadilan keliling yang mengadili perkara pidana diancam
hukuman mati. Pengadilan ini menganut sistem juri yang terdiri dari
5-9 orang pribumi.
Alasan Raffles tidak melakukan perubahan dalam bidang hukum karena ia
mempunyai keyakinan bahwa aturan hukum yang berlaku waktu itu identik
dengan hukum Islam. Sehingga kepada hakim diperintahkan untuk
menerapkan hukum pribumi dalam menyelesaikan perkara. Tetapi mereka
tetap beranggapan bahwa hukum adat lebih rendah derajatnya dari hukum
Eropa.
Berdasarkan hasil Konvensi London 1814 maka kepulauan Nusantara ini
oleh Inggris diserahkan kepada Belanda, pada tahun 1816. Setelah penyerahan
kekuasaan tersebut sejarah perundang-undangan dapat dibagi tiga masa,
yaitu:
i. Masa Beslniten Regerings 1814 – 1855
Menurut Pasal 36 Nederlands Gronwet 1814, Raja mempunyai
kekuasaan mutlak atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara.
Dalam menjalankan kekuasaanya raja berhak mengeluarkan atau
membuat peraturan yang berlaku umum yang disebut Algemene
Versdering (Peraturan Pusat) kemudian dinamakan Konijklijk Besluit.
Keputusan Raja diundangkan melalui Publicatei yaitu selebaran yang
diedarkan oleh Gubenur Jenderal.
Isi atau materi dari Koninklijk Besluit adalah :
a. Sebagai tindakan eksekutif, misalnya pengangkatan Gubernur
Jenderal.
b. Sebagai tindakan legislatif yaitu mengeluarkan peraturan,
mengatur penyelenggaraan Pemerintah.
Setelah Belanda merdeka dari Perancis pada tahun 1814 pemerintah
Belanda baru memikirkan tentang kodifikasi hukum perdata nasional.
Usaha ini berhasi dirumuskan pada tanggal 15 Juli 1830 yang direncanakan
berlaku antara tanggal 31 Desember 1830 dan 1 Januari 1831. Akan tetapi
karena dalam bulan Agustus 1830 terjadinya pemberontakan di bagian
selatan Belanda yang kemudian berhasil memisahkan diri, maka
pengundangan Kondifikasi hukum perdata tersebut dilaksanakan pada
tanggal 1 Oktober 1838.
Untuk Hindia Belanda juga dibutuhkan adanya Kodifikasi hukum
perdata yang akan diberlakukan bagi orang-orang Belanda setelah
diadakan penyesuaian dengan keadaan daerah jajahan. Pada tanggal 158
Agustus 1839 Menteri jajahan di Belanda dibentuklah suatu Komisi
Undang-Undang bagi Hindia Belanda ketua Mr. Schotten Van Haarlem
sedangkan Mr. I Sehreither dan Mr. I. F.H. Van Ner sebagai anggota.
Komisi ini berhasil membuat peraturan-peraturan kemudian
disempurnakan oleh Mr. H.L Wicher yang terdiri dari :
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatile (RO) atau (Peraturan
Organisasi Pengadilan)
b. Algemene Bepalingen Van Wetgeving (AB) atau (Ketentuan-
ketentuan tentang perundang-undangan)
c. Burgerlijk Wetboeck (BW) atau (KUH Perdata).
d. Wetboek Van Koopehandel (WvK) atau (KUHD).
e. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (R.V.) atau (Peraturan
tentang Hukum Acara Perdata).
Semua peraturan tersebut mulai berlaku di Hindia Belanda pada
tanggal 1 mai 1846 melalui Staats Blad 1847 : 57 dan diperlakukan sebagai
hukum positif bagi orang-orang Eropah.
ii. Masa Regering Reglement 1855 – 1926
Pada tahun 1848 di Belanda terjadi perubahan Grondwet (UUD)
sebagai akibat pertentangan Staten General (Parlemen) dengan raja.
Keadaan ini mempengaruhi sistem pelaksanaan pemerintah dari
monarkhi konsutitusional menjadi monarkhi konstitusional parlementer.
Perubahan in juga berlaku terhadap daerah jajahannya. Berdasarkan Pasal
59 ayat 1, 2 dan 4 Grondwet, “kekuasaan raja di daerah jajahan dikurangi,
pembuatan undang-undang dilakukan oleh raja bersama-sama parlemen”.
Peraturan yang mengatur daerah jajahan di Indonesia berbentuk
Undang-Undang (wet) yang dinamakan dengan Regering Reglement (RR)
diundangkan pada tanggal 1 Januari 1845 yang berlaku pada tahun 1855, S-
1855 : 2, RR yang berisi 8 bab 130 pasal merupakan sebagai UUD
Pemerintah jajahan Belanda. Politik hukumnya dicantumkan dalam pasal
75 RR yang pada dasarnya seperti tertera pada pasal 11 AB. Pembagian
penghuni tetap dalam dua golongan yaitu “yang menjajah“ dan ”yang
dijajah” (Pasal 109 RR). Jadi tidak berdasarkan perbedaan agama, kristen
dan non kristen.
Pada tahun 1920 RR mengalami perubahan terhadap beberapa pasal
kemudian setelah diubah dikenal sebagai sebutan RR (baru) yang berlaku
sejak tanggal 1 januari 1920 s/d 1926. politik hukum dalam pasal 75 RR
(baru) juga mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni
menjadi “yang didatangi”.
Sedangkan golongan dibagi dalam tiga golongan yaitu :
a. Golongan Eropah
b. Indonesia
c. Timur Asing.
Melalui S. 1866 No. 55 diundangkannya KUHP bagi orang Eropah
diselaraskan dengan code panel yang ada di Belanda. Kemudian pada
tahun 1972, ditambah dengan “Algemene Politic Strafreglement”.
Kemudian pada tahun 1915 di Hindia Belanda melalui S. 1915 No. 732 mulai
diundangkan “Wet boek van Straafrecht” dalam suatu kodifikasi yang
berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 bagi semua golongan.
iii. Masa Indische Staatregeling 1926 – 1942
Pemerintah Belanda pada tahun 1918 membentuk “Volksraad” yang
merupakan hasil perjuangan bangsa Indonesia unmtuk menentukan
nasibnya. Pada mulanya hanya sebagai penasehat pemerintah, kemudian
pada tahun 1926 diberi hak untuk turut serta membuat undang-undang.
Pemerintah Belanda bertujuan untuk merubah Regerings Rerglement
(RR). Rencana ini berhasil pada tahun 1922 setelah Grondwet Belanda
mengalami perubahan, terutama yang berkenaan dengan kekuasaan Raja
di daerah jajahan. Akibat perubahan tersebut, maka RR yang berlaku sejak
tahun 1855 diubah dan diganti menjadi Indische Staatregeling (IS)
diundangkan pada tanggal 1 Januari 1926 melalui S. 1925 : 415 dalam pasal
131 IS dicantumkan politik hukumnya yang merupakan salinan dari Pasal
75 RR baru.
3. Masa Penjajahan Kerajaan Jepang 1942
Dalam masa penjajahan Jepang (Maret 1942), Indonesia dibagi dalam dua
kekuasaan, yaitu :
a. Indonesia Barat dibawah angkatan darat dan berpusat di Jakarta.
b. Indonesia Timur dibawah angkatan laut, dan berkedaulatan di Ujung
Pandang.
Peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa pemerintah
balatentara Jepang untuk Jawa-Madura, adalah :
a. Gunseirei, sebagai pedoman pokok dalam menjalankan tata pemerintahan
di Indonesia.
b. Osamu seirei, mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintahan yang berlaku secara umum.
c. Osamu kanrei, merupakan peraturan pelaksanaan dari osamu seirei.
Namun isinya juga mengatur hal-hal yang menyangkut dengan ketertiban
dan ketentraman umum.
Sedangkan untuk daerah luar Jawa-Madura disamping Osamu seirei,
dikenal Tomi Kanrei sebagai pengganti Osamu Seirei di Jawa dan Madura,
tetapi Tomi Kanrei tidak memerlukan peraturan pelaksanaannya (perpu).
Selain itu juga ada Tomi Seirei yaitu peraturan yang dikelurkan oleh daerah-
darerah untuk mengatur kepentingan dan keamanan daerah masing-masing.
Peraturan ini dibuat oleh komandan belanda tentara Jepang.
Di bidang hukum Pemerintah Balatentara Jepang melalui Pasal 3 Osamu
Seirei No. 1 tahun 1942, masih memperlakukan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku pada masa Belanda, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan pemerintah militer Jepang. Dengan Osamu Seirei No. 1
tahun 1942, pemerintah bala tentara Jepang bermaksud untuk menjaga agar
tidak terjadi kekosongan hukum, dengan demikian politik hukum pada
zaman pemerintah Jepang masih berpegang pada pasal 131 I.S dengan
pengolongan penduduk Indonesia seperti yang diatur dalam pasal 163 I.S.
Susunan peradilan diatur berdasarkan Gunseirei No. 14 tahun 1942 yang
terdiri dari :
a. Tihoo Hooin, sebagai pengganti landraad.
b. Keizai Hooin, sebagai pengganti Landgerecht.
c. Ken Hooin, sebagai ganti dari Regentsehapgerecht.
d. Gun Hooin, sebagai pengganti Distrietsgerecht.
e. Kai Kyoo Kaatoo Hooin, sebagai ganti Hof voor Islamietise sche zaken
(MIT).
f. Sooyoo Hooin, sebagai ganti dari priesterraad.
g. Gunsei Kensatu Kyoko, sebagai pengganti dari paket voor de land reden.
h. Kootoo Hooin, (pengadilan tinggi)
i. Saiko Hooin, (Mahkamah Agung)
a.Tata Hukum Pra Kolonial

Pada masa pra kolonial hukum sudah melekat pada masyarakat Indonesia, yang
berlaku padasaat itu adalah hukum adat dan hukum agama, yang menjadi
pengadil pada masa itu biasanyaadalah seorang Raja atau kepala suku atau
pemuka agama.

Adapun bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia


sudah ada hukumadat, adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur
dengankitabnya yang disebut Civacasana.

2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut
KitabGajah Mada.

3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.

4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava

Perkembangan Hukum Indonesia yang sudah ada dan sudah jauh lebih
tertib yang disusun berdasar nilai-nilai sosio filosofik, sosio-politik dan sosio-
kultural bangsa Indonesia sendiri. Hal ini bisa kita lihat adanya beberapa kitab
hukum kuno yang telah ada dan dibuat pada zaman itu. Kira-kira tahun 1000 M,
pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa memerintahkan membentuk kitab
undang-undang yang disebut “Civacasana”, pada zaman Raja Hayam Wuruk dari
kerajaan Majapahit, Patihnya yang bernama Gajah Mada memberi judul pada
suatu kitab tentang hukum yang disusun pada saat itu dengan nama “Gajah
Mada” pada tahun 1413-1430 juga patih Kerajaan Majapahit bernama Kanaka
memberikan perintah untuk menyusun kitab hukum “Adigama”, di pulau Bali
pada tahun 1350 juga telah diketemukan adanya sebuah kitab hukum dengan
sebutan “Kutaranamava”.
A. Zaman Hindu
Agama Hindu hanya mempunyai pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali,
sedangkan di daerah lain mendapat pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”,
yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang kita masih memegang adat istiadat
asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian.

Pada zaman Hindu tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum
agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang
(khususnya dari Cina). Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain :
- Sriwijaya – Raja Syailendra (abad 7 s/d 9)
~ Pusat pemerintahan : hukum agama Budha
~ Pedalaman : hukum adat Malaio Polynesia
- Medang (Mataram)
Masa raja “Dharmawangsa” dikeluarkan suatu UU “Iwacasana – Jawa Kuno –
Purwadhigama.
Untuk mengabadikan berbagai peristiwa penting dalam bidang peradilan, telah
dibuat beberapa prasasti antara lain :
- Prasasti Bulai (860 M)
- Prasasti Kurunan (885 M)
- Prasasti Guntur (907 M)

Setelah runtuhnya kerajaan Mataram, Jawa dipimpin oleh “Airlangga” yang


membagi wilayah kerajaan atas :
- Kerajaan Jonggala
- Kerajaan Kediri (Panjalu)

Zaman raja-raja “Airlangga”, usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :


1. Adanya meterai raja yang bergambar kepala garuda.
2. Macam-macam pajak dan penghasilan yang harus dibayar kepada raja

Zaman raja “Jayabaya” usaha-usaha yang dilakukan terhadap hukum adat:


1. Adanya balai pertemuan umum.
2. Bidang kehakiman, tidak dikenal hukuman siksa badan, kecuali kejahatan
perampokan dan pencurian.
3. Hukuman yang berlaku kebanyakan hukuman denda.

- Zaman Singosari (Tumapel) – didirikan oleh Ken Arok (Rajasa)


Raja yang terkenal “Prabu Kertaqnegara” yang menghina utusan Cina (Men Gici).
Usaha yang dilakukan terhadap hukum adat :
Mendirikan prasasti “Sarwadharma” yang melukiskan tentang adanya “Tanah
Punpunan”, yaitu : tanah yang disediakan untuk membiayai bangunan suci yang
statusnya dilepaskan dari kekuasaan Thanibala atau kekuasaan sipil
(masyarakat) dengan ganti rugi.

- Zaman Majapahit – didirikan oleh Jayakatong (Jayakatwang)


Dengan adanya pemberontakan yang dilakukan oleh Raden Wijaya (Kertarajasa
Jayawardhana), Jayakatwang berhasil dibunuh. Pada masa pemerintahan Hayam
Wuruk, hukum adat mendapat perhatian berkat usaha Mahapatih Gajah Mada.
Usaha yang dilakukan :
- Membagi bidang-bidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal :
soal perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan negara.
- Keputusan pengadilan pada masa itu disebut : Jayasong (Jayapatra).
Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu : “Kitab Hukum Gajah Mada”
1. Sejarah Singkat
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada
zaman kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-
Hindu tersebut menurut ahli-ahli hukum adat adalah merupakan adat-adat
Melayu Polinesia.
Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang
masingmasing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai
tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga
Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara
peraturanperaturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan
hidupyang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi
atau“Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari :
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)
Yang tidak ditulis
(jus non scriptum) Yang ditulis (jus scriptum) Hukum Asli Penduduk
Ketentuan Hukum Agama

2. Bukti Adanya Hukum Adat Indonesia


Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah
ada hukum adat, adalah sebagai berikut :
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur dengan
kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang disebut
Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.
Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di
lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat
sebagai berikut :
1. Di Tapanuli
Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan social di tanah Batak), Patik Dohot
Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi
Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang
Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang tanah di dataran
tinggi daerah Palembang).
4. Di Minangkabau
Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang tentang hukum adat delik di
Minangkabau)
5. Di Sulawesi Selatan
Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan pengangkatan laut bagi orang-
orang wajo)
6. Di Bali
Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa (peraturan desa) yang
ditulis didalam daun lontar.
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan
semasa VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan
politik opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus
Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang
memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum
Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret 1621
yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De Carventer
yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu
disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum
“MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven
kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM”
(pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak,
dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para
hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON. Pencatatan
hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya :
1) Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang mengeluarkan
peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
2) Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia tentang
kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat. Peridesasi hukum adat pada masa
penjajahan Belanda terbagi dalam :

Anda mungkin juga menyukai