Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia Posted on Januari 22, 2011 Ketika kita
membicarakan sebuah hal yang berkaitan dengan sejarah, maka tidak bisa pernah dipisahkan
dengan yang namanya pembabakan sejarah, sehingga dalam penulisan sejarah mengenai
Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Indonesia inipun penulis akan melakukan
pembabakan sejarah, sehingga diharapkan nantinya bisa lebih sistematis.
1. Masa Penjajahan Belanda Sebenarnya pada masa-masa kedatangan Belanda
pertama kali di Nusantara, negeri ini bukanlah sebuah negeri yang tidak memiliki hukum.
Masyarakat kita sudah memiliki peraturan-peraturan yang berlaku secara eksklusif bagi tiap-
tiap kesatuan masyarakat. Peraturan yang berlaku juga berlaku secara eksklusif kepada
anggota masing-masing kelompok masyarakat, peraturan-peraturan ini sering kita sebut
sebagai hukum adat. Umumnya dalam Hukum Adat tidak mengenal adanya pembedaan
antara Hukum Privat dengan Hukum Publik, seperti yang kita kenal dalam dunia Modern saat
ini, semuanya adalah kesatuan, baik itu yang dikenal dengan Hukum Acara Pidana ataupun
Acara perdata, semuanya dalam satu-kesatuan hukum ada begitu pula dengan lembaga-
lembaga yang mengaturnya. Lembaga seperti Kejaksaan yang menurut kebiasaan orang
dilahirkan di Perancis adalah sebuah lembaga baru yang dulu tidak terdapat dalam hukum
yang dibuat oleh masyarakat primitif. Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia
dianggap mengganggu keseimbangan yang ada dalam masyarakat adat tersebut, entah
keseimbangan yang berhubungan dengan sesama manusia ataupun dengan alam. Supomo
menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu
totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu1. Sedangkan untuk pembuktiannya
seringkali didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan atau kehendak tuhan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het
Adatrecht bagian X yang disebut juga:
a. Pengganti kerugian “immateriil” dalam berbagai bentuk seperti paksaan menikahi
gadis yang telah dicemari.
b. Membayar “ uang adat “ kepada orang yang tersakiti, dengan pembayaran yang
berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf
e. Berbagai macam hukuman badan, hingga hukuman mati
f. Pengasingan hingga dikeluarkan dari komunitas adat.
Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum
Acara Pidana telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun
secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.
Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia memiliki
sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia dimulai dari
masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Sementara itu sistem hukum belanda
sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem hukum eropa yang dimulai pada abad ke-13 yang
terus mengalami perkembangan hingga abad ke-19. Jadi perkembangan hukum acara pidana
Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa.
Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke-13 dimulai di eropa dengan
diperkenalkannya sistem inquisitoir sampai dengan pertengahan abad ke-19. peoses
pemeriksaan perkara pidana berdasarkan sistem inqusitoir dimasa itu dimulai dengan adnya
inisiatif dari penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan.
Satu-satunya pemeriksaan pada masa itu adalah untuk memperoleh pengakuan dari tersangka.
Khususnya dalam kejahatan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk
mengakui perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang
penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan. Setelah petugas
selesai melakukan tugasnya, kemudian dia akan menyampaikan berkas hasil pemeriksaanya
kepada pengadilan. Pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil
pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam berkas tersebut. Walaupun pada, masa ini telah
ada penuntut umum, namun ia tidak memiliki peranan yang berarti dalam proses
penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan lebih lanjut atau dalam
penundaaan perkara yang bersangkuatan. Apabila diteliti, akan tampak proses penyelesaian
perkara pidana pada masa itu sangat singkat dan sederhana.
Kemudian dengan timbulnya gerakan revolusi Perancis yang telah mengakibatkan banyak
bentuk prosedur lama didalam peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan
iklim social dan politik secara revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana muncul
bentuk baru yakni the mixed type,
Yang menggambarkan suatu sistem peradialan pidana modern di dataran eropa, yang dikenal
dengan the modern continental criminal procedure. Munculnya sistem baru dalam peradialn
pidana ini diprakarsai oleh para cendikiawan eropa. Pada sistem themixed type tahap
pemeriksaan pendahuluan sifatnya inquisitoir, akan tetapi proses penyelidikan dapat
dilaksanakan oleh public prosecutor. Selain itu pada sistem ini peradialan dilakukan secara
terbuka. Dalam pelaksanaannya penyelidikan terdapat seorang ”investigating judge” atau
pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki bukti-bukti dalam perkara
pidana.
Kemudian ketika bangasa belanda melakukan penjajahan di Indonesia, hukum acara pidana
di Indonesia merupakan produk dari pada pemerintahan Bangsa Belanda. Kemudian
peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan
peradilan adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau juaga dikenal dengan nama Het
Herziene inlandsch Rgelement atau H.I.R (staatsblad tahun 1941 nomor 44).
Dalam H.I.R terdapat dua macam penggolongan hukum acara pidana yaitu hukum acara
pidana bagilandraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Penggolongan hukum
acara pidana ini merupakan akibat semata dari pembedaan peradilan bagi golongan penduduk
bumi putra dan peradilan bagi golongan bangsa eropa dan timur asing di jaman hindia
belanda.
Meskipun undang-undang Nomor 1 drt. Thn 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu
hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan
yang tercantum didalamnyabelum memberikan jaminan dan tehadap hak-hak asasi manusia,
perlindungan terhadap harkat dan mertabat menusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh
suatu Negara hukum.
Oleh karena itu, demi pembangunan dalam bidang hukum and sehubungan dengan hal
sebagaimana telah dijelaskan, maka Het Herziene Inlandsch Reglement, berhubungan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 serta semua pelaksanaannya dan ketentuan yang
diatur dalam peaturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum
pidana perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan
Undang-Undang hukum acara pidana yang baru yang mempunyai cirri kodifikatif dan
unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Jadi, kesimpulannya adalah hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk hukum dari
belanda dyang dituangkan dalam bentuk Het Herziene Inlansch Reglement (H.I.R) yang
masih terpengaruh oleh sistem hukum Negara-negara eropa yang kemudian digantikan
dengan Unadang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang berlaku
sampai dengan sekarang.
Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara, negeri ini
tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum
yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik
dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata
tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk
Belanda). Tuntutan perdaata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-
lembaganya.
Jadi lembaga seperti jaksa atau penunut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat
masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Pada
bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta
adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan
suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan
kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan
harmonis yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanaya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Hukum pembuktian pada masyarakat
tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu
dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan
bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang
paling benar.Sistem pimidanaannya pun sangat sederhana. Bentuk-bentuk sanksi hukum adat
(dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga :
1. Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan
2. Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti
sebagai pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hokum
KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatau karya
agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR
ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu. Dalam usaha menengok masa
lampau itu kita terbawa oleh rus kepada perubahan penting perundang-undangan dinegeri
Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan
Prancis. Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan
hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu
itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut
ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum yang tertulis dan terbuat dengan
sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi dipedalan, yang
langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan
pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya.
Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan. Sebelum
berlakunya perunang-undangan baru dinegeri Belanda, yaitudalam tahun 1836. scholten van
Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan
baru diHindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia
memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P.
Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan
perundang-undangan baru iu di hindia Belanda.
Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman
Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau
disingkat IR. Mr Wichers mengadaan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral,
tetapi ia mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut
disahkan oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16,
dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam
Sbld 1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene
Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan
perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu
ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM)
atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah
officier van justitie dan procureur generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku
disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia),
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku
IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan
lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat
magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara
perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluru “Hindia
Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur
dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO.
Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan aasi kecuali
hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-
undang (osamu serei) nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 194,
dikelurkan aturan peralihan dijawa dan madura. Dengan demikian, cara pidana pun pada
umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta
Landgerechtsreglement berlaku untuk pengadilan negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan tinggi
(koot Hooin) den pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan
Osamu Serei nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 september 1942.
HIR:
KUHPpidana:
1. Merupakan hukum materiil
2. Kedudukannya ada pada lapangan public
3. Berlaku untuk selruh Indonesia
Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara
pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang –
undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut :
Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan alasan
sebagai berikut :
1. Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan
Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana
materiil.
2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya.
Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan.
Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan
kolonial.
Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen
Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana.
Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri
Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut
dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen
Kehakiman.
Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut
diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12
September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.
Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil
pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.
Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan
kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang –
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya
usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun
1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang –
undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.
1. Penyidik
2. Jaksa.
3. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang
– undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).
Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR
pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang
pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA
PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.
KATA PENGANTAR
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi syarat dari ujian akhir semester yang digunakan juga
sebagai bahan belajar bagi pembacanya yang memuat sejarah akan terbentuknya kitab hukum
acara pidana dari pertama kali VOC memijakkan kekuasaannya di Indonesia dan membuat
peraturan-peraturan untuk di implementasikan di Indonesia sampai dengan terciptanya kitab
hukum acara pidana yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat menjadi suatu bahan bacaan dan referensi yang berguna bagi
pembacanya. Mohon kritik dan sarannya sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat
untuk tulisan-tulisan selanjutnya.
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………………………………………. 2
Pendahuluan………………………………………………………………. 4
Permasalahan……………………………………………………………… 6
Analisis……………………………………………………………………… 7
Sejarah perkembangan hukum acara pidana Indonesia……………….. 7
Pembentukan kitab undang-undang hukum acara pidana……………… 18
Kesimpulan…………………………………………………………………. 23
Daftar pustaka……………………………………………………………… 25
I. Pendahuluan
Keadaan sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu rangkaian yang tidak terlepas
dan tak terpisahkan satu sama lainnya, maka apabila kita hendak berbicara tentang pandangan
dari hukum, ilmu hukum, perundang-undangan dan jurisprudensi tak mungkin kiranya bagi
kita untuk tidak menggambarkan tentang pandagan-pandangan tersebut tanpa melihat
perkembangan-perkembangan selama waktu-waktu terakhir dan tanpa melukiskan “de
huidige stand” dari hukum tersebut.
Hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum berlakunya undang-
undang no 8 tahun 1981, berlakunya kitab undang-undang hukum acara pidana dipengaruhi
oleh sejarah pada zaman kolonial belanda yang membawa hukum Eropa kontinental ke
Indonesia Pada waktu penjajahan Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga tata negara dan
lembaga tata hukum, Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri
yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat zaman dulu, pertumbuhan hukum yang kemudian
dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern tidak membedakan
kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dengan hukum acara pidana,
baik di Indonesia maupun di dunia Barat (termasuk Belanda). Tuntutan pidana dan perdata
merupakan satu kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Suatu pembentukan, penyusunan hukum nasional termasuk hukum pidana maupun acaranya
bukanlah usaha sendiri para legislator melainkan perlu disertai dengan pemikiran-pemikiran
sarjana lain, usaha mereka suatu usaha “joint-coorporative” dan jelas kiranya bahwa para
sarjana hukum sendiri akan lebih dapat menyempurnakan dan menyelesaikan usaha dengan
bantuan sarjana lain, sebuah penyusunan undang-undang perlu mendapat perhatian dari
kalangan luas dari para sarjana hukum yang meliputi para ilmuan hukum dikalangan
universitas.
II. permasalahan
1. Bagaimana sejarah penerapan hukum acara pidana sebelum diberlakukannya KUHAP
(kitab undang-undang no 8 tahun 1981) ?
2. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam HIR (het herziene inlandsch regelement)
menjadi KUHAP (kitab undang-undang hukum acara perdata) sehingga dapat mengikuti
perubahan masyarakat sosial yang dinamis?
3. Analisis
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Sebelum masa kolonial belanda (sebelum abad 16)
Sebelum masuknya hukum islam para penduduk tidak mengenal dengan adanya hukum
pidana dan perdata, penduduk indonesia menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan pidana maupun perdata baik di Indonesia maupun di dunia barat
(Belanda) tuntutan pidana merupakan satu kesatuan termasuk lembaga-lembaganya dan cara
pembuktiannya yang sering digunakanpun dengan menggunakan cara-cara mistis.
Sebenarnya lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat
pada masyarakat zaman dulu. Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga
itu. Disebutkan bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa
yang artinya sama dengan hakim pada jaman sekarang ini. Di Belanda pun dulu belum
dikenal istilah officer van justitie Pada awalnya dikenal dengan istilah Schout disana yang
khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri
sendiri yang disebut CPS. Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika
ada kepentingan raja di dalam perkara.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia dianggap mengganggu keseimbangan yang
ada dalam masyarakat adat tersebut, entah keseimbangan yang berhubungan dengan sesama
manusia ataupun dengan alam. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya
merupakan kesatuan. Supomo menunjukkan bahwa pandangan rakyat Indonesia mengenai
alam semesta merupakan suatu totalitas, manusia beserta mahkluk yang lain dengan
lingkungannya merupakan satu kesatuan alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat), Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Sedangkan untuk pembuktiannya
seringkali didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan, kehendak tuhan sampai ri ule
bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) dan dibawa keliling
kampung untuk dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi adat terdahulu dihimpun didalam Pandecten van het adatrecht bagian X
yaitu sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan;
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian kerohanian;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Setelah masuknya agama islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping hukum
Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai
diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa
seringkali berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.
Tujuan dari hukum acara pidana yang pernah dikeluarkan oleh menteri Kehakiman :
“Tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill
ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari suapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suaru pelanggaran hukum dan selanjurnya
meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pudana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan”.
Dahulu KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) disebut dengan inlandsch
reglement (IR) yang kemudian menjadi Herziene Inlandsch Regelement (HIR) yang pada
mulanya hanya berlaku dipulau jawa dan madura dan hanya meliputi pemeriksaan
dipengadilan tingkat pertama yaitu landraad yang tidak memiliki peraturan mengenai acara
banding dan kasasi.
Sesudah kita merdeka dengan undang-undang nomor 1 (drt) tahun 1951 (LN No. 9 tahun
1951) mulai terbentuk sejak Negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sekaligus
menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan praperadilan Indonesia seperti yang telah
disinggung diatas, terjadinya unifikasi hukum untuk melaksanakan kesatuan susunan
kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia dan
berdasarkan pasal 1 telah menghapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 badan peradilan
yang berlaku pada masa sebelumnya.
Terjadinya unifikasi hukum terhadap ketentuan hukum acara pidana cukup bervariasi hal ini
berdasarkan ketentuan pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa untuk acara pidana
sipil terhadap semua pengadilan negeri dan alat penuntut umum dan pengadilan tinggi masih
diterapkan ketentuan yang diatur didalam HIR (Herziene Inlandsch Regelement ) sedangkan
hukum acara pidana terhadap perkara ringan diterapkan Landgerechtsreglement, dan untuk
banding diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU no 1 Drt tahun 1951.
Setelah orde baru terbukalah kesempatan besar untuk membangun disegala aspek kehidupan
dan tidak lepas yang diperhatikan adalah pembangunan dibidang hukum, banyaknya undang-
undang telah dibuat dan diperuntukkan untuk mengganti undang-undang zaman kolonial
Belanda, suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern yang dapat
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan bercirikan dengan pancasila dan
Undang-undang dasar 1945.
Undang-undang dasar 1945 menjelaskan secara tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, hal itu berarti Negara Indonesia
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pembentukan IR (Inlands reglement) yang
kemudian dirubah menjadi HIR (Herziene Inlandsch Regelement) yang merupakan usaha
Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari Negara Prancis, dan
berdasarkan asas konkordansi maka perundang-undangan yang diciptakan oleh belanda
diterapkan atau diberlakukan di Indonesia.
Sewaktu Oemar Seno Adji menjabat menteri Kehakiman ia membentuk suatu tim di
departemen kehakiman untuk membuat atau menyusun tentang hukum acara pidana, dan
setelah beberapa kurun waktu penyusunan itu berhasil yang sesuai dengan seminar hukum
nasional yang diadakan di Semarang pada tahun 1968, setelah Oemar Seno Adji digantikan
kedudukannya oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1974 ia melakukan penyempurnaan
dan terjadi pembahasan oleh instansi yang berwenang yang kemudian diteruskan oleh
Moedjono yang di intensifkan pada tahun 1979 yang diadakan pertemuan antara menteri
kehakiman, jaksa agung dan beberapa instansi untuk membahas perencanaan tersebut.
Setelah rancangan tersebut dibahas di Komisi III dan I DPR yang memiliki tim khusus yaitu
tim sinkronisasi yang akhirnya membuahkan suatu persembahan suatu rancangan yang telah
disetujui oleh sidang gabungan dimuka pada tanggal 9 september 1981, akan tetapi setelah 19
tahun berlakunya KUHAP tidak ada tanda-tanda untuk melakukan peninjauan kembali akan
suatu tindak pidana khusus yang telah dicantumkan di dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP.
Sampai dengan disahkannya rancangan undang-undang didalam sidang paripurna DPR
tanggal 23 Sepember 1981 yang kemudian KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara
pidana) sebagai suatu karya agung disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang tanggal
31 September 1981.
Kesimpulan
1. bahwa perkembangan hukum acara perdata dan hukum acara pidana berawal dari hukum
adat setempat (Indonesia) yang dikumpulkan oleh Belanda dan ditambah dengan hukum yang
dibuat oleh belanda yang kemudian dikodifikasikan dan dijadikan perundang-undangan di
Indonesia, Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal
beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan organisasi
kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
b. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara
pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan
timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan ketentuan
Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
c. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum
acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
d. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan
mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
2. pembentukan panitia di departemen kehakiman untuk menyusun RUU Hukum Acara
Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam
perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR. Awalnya dibentuk
panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana UU Hukum
Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggantikan
Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan oleh Moedjono.
Tim Sinkronisasi kemudian menciptakan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan tim
bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september1981
Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
a. hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
b. diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan
KUHAP(pasal284ayat(2)).
RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan
kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981.
Sejak saat itulah kita memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang
No:8/1981,LN 1981 Nomor 76,TLN Nomor 3209) sebagai pedoman yang mengatur acara
peradilan pidana.
3. Bahwa perkembangan hukum di Indonesia sesuai dengan ajaran Von Savigny ”hukum itu
berkembang dalam sejarah, dimana hukum itu ditemukan tidak dibuat”
DAFTAR PUSTAKA
1. Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik, Penerbit
P.T. Alumni, Bandung, 2008.
2. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009.
3. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
4. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
5. P.A.F Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.