Anda di halaman 1dari 24

Sejarah KUHAP

Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia Posted on Januari 22, 2011 Ketika kita
membicarakan sebuah hal yang berkaitan dengan sejarah, maka tidak bisa pernah dipisahkan
dengan yang namanya pembabakan sejarah, sehingga dalam penulisan sejarah mengenai
Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana Indonesia inipun penulis akan melakukan
pembabakan sejarah, sehingga diharapkan nantinya bisa lebih sistematis.
1. Masa Penjajahan Belanda Sebenarnya pada masa-masa kedatangan Belanda
pertama kali di Nusantara, negeri ini bukanlah sebuah negeri yang tidak memiliki hukum.
Masyarakat kita sudah memiliki peraturan-peraturan yang berlaku secara eksklusif bagi tiap-
tiap kesatuan masyarakat. Peraturan yang berlaku juga berlaku secara eksklusif kepada
anggota masing-masing kelompok masyarakat, peraturan-peraturan ini sering kita sebut
sebagai hukum adat. Umumnya dalam Hukum Adat tidak mengenal adanya pembedaan
antara Hukum Privat dengan Hukum Publik, seperti yang kita kenal dalam dunia Modern saat
ini, semuanya adalah kesatuan, baik itu yang dikenal dengan Hukum Acara Pidana ataupun
Acara perdata, semuanya dalam satu-kesatuan hukum ada begitu pula dengan lembaga-
lembaga yang mengaturnya. Lembaga seperti Kejaksaan yang menurut kebiasaan orang
dilahirkan di Perancis adalah sebuah lembaga baru yang dulu tidak terdapat dalam hukum
yang dibuat oleh masyarakat primitif. Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia
dianggap mengganggu keseimbangan yang ada dalam masyarakat adat tersebut, entah
keseimbangan yang berhubungan dengan sesama manusia ataupun dengan alam. Supomo
menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu
totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu1. Sedangkan untuk pembuktiannya
seringkali didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan atau kehendak tuhan.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het
Adatrecht bagian X yang disebut juga:
a. Pengganti kerugian “immateriil” dalam berbagai bentuk seperti paksaan menikahi
gadis yang telah dicemari.
b. Membayar “ uang adat “ kepada orang yang tersakiti, dengan pembayaran yang
berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
c. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf
e. Berbagai macam hukuman badan, hingga hukuman mati
f. Pengasingan hingga dikeluarkan dari komunitas adat.

A. Perubahan Undang-Undang Di Belanda Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


yang dipandang sebagai salah satu Undang-undang yang dibuat oleh bangsa Indonesia
sendiri, merupakan sebuah lanjutan dari asas-asas Hukum Acara Pidana yang ada
dalam Herzein Inlandsch Reglement (HIR) ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih
moderen itu. Untuk mencari kejelasan sejarah, kita harus kembali membuka memori
pada masa lalu, tepatnya pada masa maraknya perubahan perundang-undangan dinegeri
Belanda pada tahun 1838. Saat itu mereka baru saja terlepas dari penjajahan yang di
lakukan oleh Perancis. Pada saat itu, kelompok legis atau kelompok yang memandang
bahwa seharusnya semua peraturan hukum harus dibuat dalam bentuk undang-undang
sangat kuat. Pada masa itu berlaku ketentuan bahwa kebiasaan-kebiasaan bukanlah
sebuah hukum kecuali kebiasaan tersebut mendapatkan kekuatan hukum dari Undang-
undang ( aturan hukum yang yang tertulis dan terbuat dengan sengaja ). Pada tahun
1747 di Indonesia VOC telah membentuk sebuah lembaga peradilan yang dikhususkan
untuk mengadili masyarakat pribumi. Lembaga tersebut langsung melakukan penelitian
terhadap hukum-hukum adat yang ada di Jawa sehingga proyek ini dikenal dengan
sebutan “Javasche Wetten” (Undang-undang Jawa). Penelitian tersebut dilanjutkan pula
oleh Daendels dan Raffles untuk mendalami hukum adat sepanjang dengan apa yang
dipahaminya, tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini
ditangguhkan. Sebelum berlakunya Undang-undang baru dinegeri Belanda, pada tahun
1836, Scholten van OudHaarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan
Undang-undang baru di Hindia-Belanda. Dengan jabatan sebagai Presidan
Hooggerechtshof yang ia peroleh pada tahun 1837, bersama dengan Mr. van Vloten dan
Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur Jendral de Eerens sebagai panitia untuk
mempersiapkan sebuah Undang-undang baru di Hindia-Belanda.
B. Inlands Reglement kemudian Herziene Inlands Reglement Berdasarkan pengumuman
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tanggal 3 Desember 1847 Staatblad Nomor 57,
salah satu peraturan yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1948 adalah
Inlands Reglement atau disingkat IR. Mr. Wichers melakukan beberapa kali perubahan
atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi pada umumnya ia tetap mempertahankan hasil
karyanya tersebut. Akhirnya, Reglemenn tersebut disahkan oleh Gubernur Jendral, dan
diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Staatblad nomor 16, serta dikuatkan dengan
Firman Raja Belanda tanggal 29 september 1849 nomor 93, diumumkan dalam
Staatblad 1849 nomor 63. Pada tahun 1941 dengan Staatblad 1941 nomor 44 Inlands
Reglement digantikan dengan Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang menjadi
titik penting dari perubahan IR ke HIR adalah adanya lembaga Openbaar Ministerie
(OM) atau penuntut umum, yang pada masa IR ditempatkan dibawah kekuasaan
Pamong Praja. Dengan perubahan ini maka Openbaar Ministerie dibuat secara bulat
dan tidak lagi terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah naungan Officier
Van Justitie dan Procureur General. Meskipun seperti itu, dalam prakteknya ternyata IR
masih berlaku disamping HIR, terutama didaerah Jawa dan Madura. Sedangkan HIR
berlaku dikota-kota besar seperti Jakarta (Batavia), Bandung, Semarang, Surabaya,
Malang, dan lain-lain. Untuk golongan bumiputera atau pribumi, selain berlaku
ketentuan yang ada dalam IR dan HIR, masih ada pengadilan lain seperti
districhtsgerecht, regentshapsgerecht. Untuk daerah luar Jawa dan Madura terdapat
pengadilan yang dinamakan magistraatsgerecht, yang menurut ketentuan Reglement
Buitengewesten dipergunakan untuk memutus perkara perdata yang kecil. Sebagai
pengdilan yang tertinggi yang meliputi seluruh wilayah Hindia-Belanda, dibentuklah
sebuah lembaga peradilan yang dinamakan Hooggerechtshof yang putusan-putusannya
disebut Arrest. Tugas dari Hooggerechtshof ini diatur dalam pasal 158 Indische
Staatsregeling (IS) dan RO

2. Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang Pada masa penjajahan


Jepang, sebenarnya tidak terjadi sebuah perubahan yang mendasar dalam Hukum Acara
Pidana, kecuali penghapusan Raad van Justitie yang biasanya digunakan sebagai sebagai
pengadilan untuk golongan Eropa. Undang-undang (Osamu Serei) Nomor 1 tahun 1942 yang
mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942, dikelurkanlah sebuah aturan peralihan khusus di
wilayah Jawa dan Madura. Dengan demikian ketentuan Hukum Acara Pidana pada umumnya
tidak berubah, sehingga HIR dan Reglement voor de Buitengewesten beserta
Landgerechtsreglement dinyatakan berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin),
Pengadilan Tinggi (Koot Hooin) den Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Adapun susunan
pengadilan ini diatur melalui Osamu Serei Nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 september 1942.
3. Acara Pidana Pada Zaman Kemerdekaan sampai Sekarang Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka Indonesia telah memiliki
dasar hukum yang paling utama bagi sebuah negara untuk membentuk sebuah undang-
undang sendiri yang disesuaikan dengan kepentingan dan keperluan serta berdasarkan Local
Wisdom Indonesia sendiri. Aturan-aturan yang berlaku di Indonesia pada zaman penjajahan
berdasarkan asas Konkordansi, termasuk juga didalamnya peraturan yang mengatur mengenai
masalah Acara Pidana, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945) dinyatakan masih berlaku sebagai Hukum Nasional Indonesia selama belum ada
Undang-Undang atau peraturan lain yang mencabutnya. Dengan berdasarkan pada ketentuan
tersebut maka ketentuan ketentuan yang ada dalam HIR masih berlaku dan bisa dipergunakan
sebagai Hukum Acara Pidana di Pengadilan-pengadilan diseluruh Indonesia. Hal ini
kemudian diperkuat dengan ketentuan pada pasal 6 Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun
1951. Adanya UU Nomor 1 Drt. 1951 ini dimaksudkan untuk mengadakan Unifikasi dalam
bidang Hukum Acara Pidana, yang sebelum adanya UU ini terdiri dari dua hal yakni Hukum
Acara Pidana bagi Landraad serta Hukum Acara Pidana bagi Raad van Justice. Adanya
dualisme hukum dalam Hukum Acara Pidana ini merupakan akibat dari adanya perbedaan
antara Peradilan bagi golongan penduduk Bumi Putri dan Peradilan bagi golongan Eropa.
Walaupun UU No. 1 Drt. 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu Hukum Acara
Pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia yaitu RIB, akan tetapi ketentuan yang ada
dalam UU tersebut ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusi (HAM), perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana
wajarnya dimiliki oleh sebuah negara yang menyatakan diri sebagai sebuah Negara Hukum.
Dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwasannya Indonesia adalah sebuh negara
yang didasarkan atas hukum (Rechstaat) dan bukan didasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (yang didasarkan pada Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978), maka
wawasan untuk mencapa sebuah tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara
yang dalam bidang hukum menyatakan bahwa seluruh kepulauan Nusantara ini sebagai
kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional. Oleh karena itu perlu diadakan pembangunan serta pembaharuan
hukum dengan menyempurnakan peraturan perundang-undangan serta dilanjutkan dengan
sebuah usaha untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum dalam bidang tertentu dengan
memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat yang berkembang ke arah modernisasi.
Dengan segala pertimbangan seperti yang telah penulis tuliskan diatas, maka pada tahun 1981
Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Peerwakilan Rakyat Republik
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia seperti yang ada dalam konsideran undang-undang
tersebut adalah bahwa Hukum Acara Pidana yang termuat dalam Het Herziene Inlandsch
Reglement (Staatsblad tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan Undang-undang nomor 9,
(Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan
ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepenjang hal itu
mengenai Hukum Acara Pidana, Perlu dicabut, karena sudah tidak sesuai dengan cita-cita
hukum nasional. Undang-Undang tersebut didasarkan pada : a. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat
(1) dan pasal 27 (1) Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indoensia Nomor IV/MPR/1978; c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembara Negara Nomor 2951). Dengan keluarnya UU No. 8/1981
Tentang Hukum Acara Pidana, maka dengan tegas UU ini juga mencabut berlakunya Het
Herziene Inlandsch Reglement (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) dihubungkan dengan UU
No. 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 81) beserta semua peraturan pelaksanaannya. SEJARAH HUKUM ACARA
PIDANA INDONESIA Posted by hariswandi on Oktober 20, 2011 Berlakunya Undang-
Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana telah
Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun secara implemental
terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia. Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn
1981, hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya.
Hukum acara pidana di Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda terhadap bangsa
Indonesia. Sementara itu sistem hukum belanda sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem
hukum eropa yang dimulai pada abad ke-13 yang terus mengalami perkembangan hingga
abad ke19. Jadi perkembangan hukum acara pidana Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem
hukum Eropa. Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke-13 dimulai di
eropa dengan diperkenalkannya sistem inquisitoir sampai dengan pertengahan abad ke-19.
peoses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan sistem inqusitoir dimasa itu dimulai dengan
adnya inisiatif dari penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Satu-satunya
pemeriksaan pada masa itu adalah untuk memperoleh pengakuan dari tersangka. Khususnya
dalam kejahatan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk mengakui
perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang penderitaan
tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan. Setelah petugas selesai
melakukan tugasnya, kemudian dia akan menyampaikan berkas hasil pemeriksaanya kepada
pengadilan. Pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil
pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam berkas tersebut. Walaupun pada, masa ini telah
ada penuntut umum, namun ia tidak memiliki peranan yang berarti dalam proses
penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan lebih lanjut atau dalam
penundaaan perkara yang bersangkuatan. Apabila diteliti, akan tampak proses penyelesaian
perkara pidana pada masa itu sangat singkat dan sederhana. Kemudian dengan timbulnya
gerakan revolusi Perancis yang telah mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama didalam
peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan iklim social dan politik secara
revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana muncul bentuk baru yakni the mixed
type, Yang menggambarkan suatu sistem peradialan pidana modern di dataran eropa, yang
dikenal dengan the modern continental criminal procedure. Munculnya sistem baru dalam
peradialn pidana ini diprakarsai oleh para cendikiawan eropa. Pada sistem themixed type
tahap pemeriksaan pendahuluan sifatnya inquisitoir, akan tetapi proses penyelidikan dapat
dilaksanakan oleh public prosecutor. Selain itu pada sistem ini peradialan dilakukan secara
terbuka. Dalam pelaksanaannya penyelidikan terdapat seorang ”investigating judge” atau
pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki bukti-bukti dalam perkara
pidana. Kemudian ketika bangasa belanda melakukan penjajahan di Indonesia, hukum acara
pidana di Indonesia merupakan produk dari pada pemerintahan Bangsa Belanda. Kemudian
peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan
peradilan adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau juaga dikenal dengan nama Het
Herziene inlandsch Rgelement atau H.I.R (staatsblad tahun 1941 nomor 44). Dalam H.I.R
terdapat dua macam penggolongan hukum acara pidana yaitu hukum acara pidana
bagilandraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Penggolongan hukum acara
pidana ini merupakan akibat semata dari pembedaan peradilan bagi golongan penduduk bumi
putra dan peradilan bagi golongan bangsa eropa dan timur asing di jaman hindia belanda.
Meskipun undang-undang Nomor 1 drt. Thn 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu
hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan
yang tercantum didalamnyabelum memberikan jaminan dan tehadap hak-hak asasi manusia,
perlindungan terhadap harkat dan mertabat menusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh
suatu Negara hukum. Oleh karena itu, demi pembangunan dalam bidang hukum and
sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan, maka Het Herziene Inlandsch
Reglement, berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 serta semua
pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peaturan perundang-undangan lainnya,
sepanjang hal itu mengenai hukum pidana perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita
hukum nasional dan diganti dengan Undang-Undang hukum acara pidana yang baru yang
mempunyai cirri kodifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar
1945. Dengan diberlakuaknnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-
Undang No.8 tahun 1981) di Indonesia maka segala peraturan perundang-undangan
sepanjang mengatur tentang pelaksanaan daripada hukum acara pidana dicabut. Di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diletakkan dasar-dasar humanisme dan
merupakan suatu era baru dalam lingkungan peradilan di Indonesia. Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Di Indonesia merupakan hukum yang berlaku secara
nasional yang didasrkan pada falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi,
kesimpulannya adalah hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk hukum dari
belanda dyang dituangkan dalam bentuk Het Herziene Inlansch Reglement (H.I.R) yang
masih terpengaruh oleh sistem hukum Negara-negara eropa yang kemudian digantikan
dengan Unadang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang berlaku
sampai dengan sekarang.

A. ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL


Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara,
negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta
hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik
dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata
tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk
Belanda). Tuntutan perdaata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-
lembaganya. Jadi lembaga seperti jaksa atau penunut umum adalah lembaga baru. Tidak
terdapat masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga
itu. Pada bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa
Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini. Supomo
menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu
totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanaya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Hukum pembuktian pada masyarakat
tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu
dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan
bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang
paling benar.Sistem pimidanaannya pun sangat sederhana. Bentuk-bentuk sanksi hukum adat
(dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga : 1.
Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan 2. Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda
yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 3. Selamatan (korban) untuk membersihkan
masyarakat dan segala kotoran gaib 4. Penutup malu, permintaan maaf 5. Pelbagai rupa
hukuman badan, hingga hukuman mati 6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan
orang diluar tata hokum 1. B. PERUBAHAN PERUNDANG-UNDANGAN DINEGERI
BELANDA YANG DENGAN ASAS KONKORDANSIDIBERLAKUKAN PULA
DIINDONESIA KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang
menyebutkannya suatau karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara
pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu. Dalam
usaha menengok masa lampau itu kita terbawa oleh rus kepada perubahan penting
perundang-undangan dinegeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja
terlepas dari penjajahan Prancis. Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang
bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat.
Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali
bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum
yang tertulis dan terbuat dengan sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi
peradilan pribumi dipedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-
undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum
adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka
usaha ini ditangguhkan. Sebelum berlakunya perunang-undangan baru dinegeri Belanda,
yaitudalam tahun 1836. scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk
mempersiapkan perundang-undangan baru diHindia Belanda disamping jabatannya sebagai
presidan Hooggerechtshof. Ia memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama
dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai
panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru iu di hindia Belanda. 1. C.
INLANDS REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS REGLEMENT Salah satu
peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur
Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR.
Mr Wichers mengadaan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia
mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan
oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan
dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld
1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene Inlands
Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan
perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu
ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM)
atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah
officier van justitie dan procureur generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku
disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia),
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku
IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan
lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat
magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara
perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluru “Hindia
Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur
dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO. 1. D. ACARA PIDANA PADA ZAMAN
PENDUDUKAN JEPANG DAN SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN Pada
zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan aasi kecuali hapusnya
Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-undang (osamu
serei) nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 194, dikelurkan aturan
peralihan dijawa dan madura. Dengan demikian, cara pidana pun pada umumnya tidak
berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtsreglement berlaku
untuk pengadilan negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan tinggi (koot Hooin) den pengadilan
Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan Osamu Serei nomor 3 tahun
1942 tanggal 20 september 1942. Perbandingan antara HIR dan KUHPidana HIR: A. Hukum
formal atau mengatur bagaimana penegakan atau pelaksanaan BW B. Kedudukannya ada
pada lapangan hukum privat C. Berlaku sebagian daerah (p.Jawa dan Madura) KUHPpidana:
A. Merupakan hukum materiil B. Kedudukannya ada pada lapangan public C. Berlaku untuk
selruh Indonesia 1. E. HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG
NOMOR 1 (DRT) TAHUN 1951 Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah
diadakan unifikasi hukum acara pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam
sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang – undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut : 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. Mahkamah Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya. Appelraad di
Makasar. Apeelraad di Medan. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru)
dan alat penuntut umum padanya. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum
padanya. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah). Segala pengadilan kabupaten 8.
Segala raad distrik. 9. Segala pengadilan negorij. 10. Pengadilan swapraja. 11. Pengadilan
adat. Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan
alasan sebagai berikut : 1. Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana
sedangkan HIR dan Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan
hukum pidana materiil. 2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya. 1. F. LAHIRNYA
KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Setelah lahirnya orde baru
terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan. Puluhan undang – undang
diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial. Sejak Oemar Seno
Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen Kehakiman yang
bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana. Pada waktu
Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri Kehakiman,
penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut dilimpahkan kepada
Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu Mahkamah Agung,
Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen Kehakiman. Setelah
Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut
diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12
September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979. Yang terakhir menjadi masalah dalam
pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian
dikenal dengan Pasal 284. Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan
perubahan peninjauan kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang
terdapat dalam Undang – undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi kenyataannya
setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya usaha untuk meninjau
kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun 1983 telah ditegaskan
oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang – undangan pidana khusus
tersebut, dilakukan oleh berikut ini. 1. Penyidik 2. Jaksa. 3. Pejabat Penyidik yang berwenang
yang lain, berdasarkan peraturan perundang – undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun
1983). Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna
DPR pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang –
undang pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG
ACARA PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN
Nomor 3209. Bukti dalam pengertian sehari-hari adalah segala hal yang dipergunakan untuk
meyakinkan pihak lain yang dapat dikatakan macamnya tidak terbatas asalkan bukti tersebut
bisa meyakinkan pihak lain tetang pendapat, peristiwa, keadaan. Tetapi Pengertian bukti
menurut hukum adalah sudah ditentukan menurut UU, apa saja? Yuk kita simak dibawah ini:
Didalam ilmu hukum acara perdata, untuk membuktikan suatu dalih tentang hak dan
kewajiban didalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh UU yaitu: 1. alat
bukti tertulis 2. alat bukti saksi 3. alat bukti persangkaaan 4. alat bukti pengakuan 5. alat bukti
sumpah Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat
bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian
yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya.
(Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW) Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat
bukti dalam hukum acara pidana yang urut-urutan alat bukti itu sebagai berikut: 1.
Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa. Jadi
keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama. Kenapa? Karena seseorang didalam
melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara
pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi. (KUHAP, Pasal 184 ayat 1)
Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan
teknologi telah diatur dalam pasal 26 A UU No.31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah
dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 188 ayat 2 UU No.8 tahun 1981
tentang KUHAP, khususnya untuk tidak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap
rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun
selain kertas, maupun yang terekan secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Semua alat
bukti tersebut tentunya untuk dipergunakan membuktikan peristiwa yang dikemukakan
dimuka sidang. Sumber: http://id.shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat-
bukti/#ixzz1oKK25swi A. Alat Bukti Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (”KUHAP”) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian
hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman
Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di
luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. B. Barang
Bukti Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas
tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP
disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu: a. benda atau tagihan tersangka
atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. d. e. benda yang digunakan untuk
menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung
dengan tindak pidana yang dilakukan, Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita
seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti
(Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, hal. 14). Selain itu di dalam
Hetterziene in Landcsh Regerment (”HIR”) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal
42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan
mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas
barangbarang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang
didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang
perlu di-beslag di antaranya: a. b. c. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana
(corpora delicti) Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta delicti) d.
Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau
meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti) Selain dari pengertian-pengertian yang
disebutkan oleh kitab undang-undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga
dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah
mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik
tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai
untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik (Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 254). Ciri-ciri benda yang dapat menjadi
barang bukti : a. b. c. d. Merupakan objek materiil Berbicara untuk diri sendiri Sarana
pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya Harus
diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa Menurut Martiman
Prodjohamidjojo, barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal
181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan
menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu,
hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut. Ansori Hasibuan berpendapat barang
bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai
hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan. Jadi,
dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan
barang bukti adalah : a. b. c. d. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana Benda yang
menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana Benda yang dihasilkan dari suatu
tindak pidana e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak
pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara f. Barang bukti yang
merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu
perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana,
karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan
barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna
Nurul Afiah, Barang Bukti, hal.19). Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law
seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure
Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence,
documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice (Andi Hamzah). Dalam
sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling
bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum
acara pidana kita. Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan
antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan
pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa fungsi barang
bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut: 1. Menguatkan kedudukan alat bukti
yang sah (Pasal 184 ayat [1] KUHAP); 2. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas
perkara sidang yang ditangani; 3. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah
maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang
didakwakan JPU. Dasar hukum: 1. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44) 2. Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
SEJARAH HUKUM ACARA
PIDANA INDONESIA
SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

Berlakunya Undang-Undang RI No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum
Acara Pidana telah Menimbulkan perubahan fundamental baik secara konsepsional maupun
secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara di Indonesia.

Sebelum berlakunya UU RI No.8 thn 1981, hukum acara pidana di Indonesia memiliki
sejarah panjang dalam perkembangannya. Hukum acara pidana di Indonesia dimulai dari
masa penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia. Sementara itu sistem hukum belanda
sedikit banyak juga dipengaruhi oleh sistem hukum eropa yang dimulai pada abad ke-13 yang
terus mengalami perkembangan hingga abad ke-19. Jadi perkembangan hukum acara pidana
Indonesia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa.

Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke-13 dimulai di eropa dengan
diperkenalkannya sistem inquisitoir sampai dengan pertengahan abad ke-19. peoses
pemeriksaan perkara pidana berdasarkan sistem inqusitoir dimasa itu dimulai dengan adnya
inisiatif dari penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan.

Satu-satunya pemeriksaan pada masa itu adalah untuk memperoleh pengakuan dari tersangka.
Khususnya dalam kejahatan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela untuk
mengakui perbuatannya atau kesalahannya itu, maka petugas pemeriksa memperpanjang
penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan sampai diperoleh pengakuan. Setelah petugas
selesai melakukan tugasnya, kemudian dia akan menyampaikan berkas hasil pemeriksaanya
kepada pengadilan. Pengadilan akan memeriksa perkara tersangka hanya atas dasar hasil
pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam berkas tersebut. Walaupun pada, masa ini telah
ada penuntut umum, namun ia tidak memiliki peranan yang berarti dalam proses
penyelesaian perkara, khususnya dalam pengajuan, pengembangan lebih lanjut atau dalam
penundaaan perkara yang bersangkuatan. Apabila diteliti, akan tampak proses penyelesaian
perkara pidana pada masa itu sangat singkat dan sederhana.

Kemudian dengan timbulnya gerakan revolusi Perancis yang telah mengakibatkan banyak
bentuk prosedur lama didalam peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan perubahan
iklim social dan politik secara revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana muncul
bentuk baru yakni the mixed type,

Yang menggambarkan suatu sistem peradialan pidana modern di dataran eropa, yang dikenal
dengan the modern continental criminal procedure. Munculnya sistem baru dalam peradialn
pidana ini diprakarsai oleh para cendikiawan eropa. Pada sistem themixed type tahap
pemeriksaan pendahuluan sifatnya inquisitoir, akan tetapi proses penyelidikan dapat
dilaksanakan oleh public prosecutor. Selain itu pada sistem ini peradialan dilakukan secara
terbuka. Dalam pelaksanaannya penyelidikan terdapat seorang ”investigating judge” atau
pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki bukti-bukti dalam perkara
pidana.
Kemudian ketika bangasa belanda melakukan penjajahan di Indonesia, hukum acara pidana
di Indonesia merupakan produk dari pada pemerintahan Bangsa Belanda. Kemudian
peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan
peradilan adalah Reglemen Indonesia yang dibaharui atau juaga dikenal dengan nama Het
Herziene inlandsch Rgelement atau H.I.R (staatsblad tahun 1941 nomor 44).

Dalam H.I.R terdapat dua macam penggolongan hukum acara pidana yaitu hukum acara
pidana bagilandraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Penggolongan hukum
acara pidana ini merupakan akibat semata dari pembedaan peradilan bagi golongan penduduk
bumi putra dan peradilan bagi golongan bangsa eropa dan timur asing di jaman hindia
belanda.

Meskipun undang-undang Nomor 1 drt. Thn 1951 telah menetapkan, bahwa hanya ada satu
hukum acara pidana yang berlaku di seluruh Indonesia yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan
yang tercantum didalamnyabelum memberikan jaminan dan tehadap hak-hak asasi manusia,
perlindungan terhadap harkat dan mertabat menusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh
suatu Negara hukum.

Oleh karena itu, demi pembangunan dalam bidang hukum and sehubungan dengan hal
sebagaimana telah dijelaskan, maka Het Herziene Inlandsch Reglement, berhubungan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 serta semua pelaksanaannya dan ketentuan yang
diatur dalam peaturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum
pidana perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan
Undang-Undang hukum acara pidana yang baru yang mempunyai cirri kodifikatif dan
unifikatif berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.

Dengan diberlakuaknnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang- Undang


No.8 tahun 1981) di Indonesia maka segala peraturan perundang-undangan sepanjang
mengatur tentang pelaksanaan daripada hukum acara pidana dicabut. Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah diletakkan dasar-dasar humanisme dan
merupakan suatu era baru dalam lingkungan peradilan di Indonesia. Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana Di Indonesia merupakan hukum yang berlaku secara
nasional yang didasrkan pada falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi, kesimpulannya adalah hukum acara pidana di Indonesia merupakan produk hukum dari
belanda dyang dituangkan dalam bentuk Het Herziene Inlansch Reglement (H.I.R) yang
masih terpengaruh oleh sistem hukum Negara-negara eropa yang kemudian digantikan
dengan Unadang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, yang berlaku
sampai dengan sekarang.

1. ACARA PIDANA SEBELUM ZAMAN KOLONIAL

Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara, negeri ini
tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum
yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.

Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik
dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata
tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk
Belanda). Tuntutan perdaata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-
lembaganya.

Jadi lembaga seperti jaksa atau penunut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat
masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Pada
bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta
adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini.

Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan
suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan
kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan
harmonis yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanaya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Hukum pembuktian pada masyarakat
tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu
dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan
bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang
paling benar.Sistem pimidanaannya pun sangat sederhana. Bentuk-bentuk sanksi hukum adat
(dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga :

1. Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis
yang telah dicemarkan
2. Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti
sebagai pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hokum

1. B. PERUBAHAN PERUNDANG-UNDANGAN DINEGERI BELANDA


YANG DENGAN ASAS KONKORDANSIDIBERLAKUKAN PULA
DIINDONESIA

KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatau karya
agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR
ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu. Dalam usaha menengok masa
lampau itu kita terbawa oleh rus kepada perubahan penting perundang-undangan dinegeri
Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan
Prancis. Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan
hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu
itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut
ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yanghukum yang tertulis dan terbuat dengan
sengaja ). Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi dipedalan, yang
langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan
pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya.
Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan. Sebelum
berlakunya perunang-undangan baru dinegeri Belanda, yaitudalam tahun 1836. scholten van
Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan
baru diHindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia
memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P.
Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan
perundang-undangan baru iu di hindia Belanda.

1. C. INLANDS REGLEMENT KEMUDIAN HERZIENE INLANDS


REGLEMENT

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman
Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau
disingkat IR. Mr Wichers mengadaan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral,
tetapi ia mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut
disahkan oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16,
dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam
Sbld 1849 nomor 63. Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene
Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan
perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu
ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM)
atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah
officier van justitie dan procureur generaal. Dalam praktek IR masih masih berlaku
disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia),
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku
IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan
lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat
magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara
perdata yang kecil-kecil. Sebagai pengadilan yang tertinggi meliputi seluru “Hindia
Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur
dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO.

1. D. ACARA PIDANA PADA ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG DAN


SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

Pada zaman pendudukan jepang, pada umumnya tidak terjadi perubahan aasi kecuali
hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan undang-
undang (osamu serei) nomor 1 tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 maret 194,
dikelurkan aturan peralihan dijawa dan madura. Dengan demikian, cara pidana pun pada
umumnya tidak berubah, HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta
Landgerechtsreglement berlaku untuk pengadilan negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan tinggi
(koot Hooin) den pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadilan ini diatur dengan
Osamu Serei nomor 3 tahun 1942 tanggal 20 september 1942.

Perbandingan antara HIR dan KUHPidana

HIR:

1. Hukum formal atau mengatur bagaimana penegakan atau pelaksanaan BW


2. Kedudukannya ada pada lapangan hukum privat
3. Berlaku sebagian daerah (p.Jawa dan Madura)

KUHPpidana:
1. Merupakan hukum materiil
2. Kedudukannya ada pada lapangan public
3. Berlaku untuk selruh Indonesia

1. E. HUKUM ACARA PIDANA MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 1


(DRT) TAHUN 1951

Dengan undang – undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara
pidanadan susunanpengadilan yang beraneka ragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 undang –
undang tersebut dihapus yaitu sebagai berikut :

1. Mahkamah Yustisi di Makasar dan alat penuntut umum padanya.


2. Appelraad di Makasar.
3. Apeelraad di Medan.
4. Segala pengadilan Negara dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum
padanya.
5. Segala pengadilan kepolisian dan alat penuntut umum padanya.
6. Segala pengadilan magistraad (pengadilan rendah).
7. Segala pengadilan kabupaten
8. Segala raad distrik.
9. Segala pengadilan negorij.
10. Pengadilan swapraja.
11. Pengadilan adat.

Hakim perdamaian desa yang diatur oleh Pasal 3a RO itu masih berhak hidup dengan alasan
sebagai berikut :

1. Yang dicabut oleh KUHAP ialah yang mengenai acara pidana sedangkan HIR dan
Undang – undang Nomor 1 (drt) 1951 juga mengatur acara perdata dan hukum pidana
materiil.
2. Undang – undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman juga tidak menghapusnya.

1. F. LAHIRNYA KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Setelah lahirnya orde baru terbukalah kesempatan untuk membangun segala segi kehidupan.
Puluhan undang – undang diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan
kolonial.

Sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri Kehakiman, dibentuk suatu panitia di departemen
Kehakiman yang bertugas menyusun suatu rencana undang – undang Hukum Acara Pidana.
Pada waktu Mochtar Kusumaatmadja menggantikan Oemar Seno Adji menjadi Menteri
Kehakiman, penyempurnaan rencana itu diteruskan. Pada Tahun 1974 rencana terseut
dilimpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas olehwmpat instansi, yaitu
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Hankam termasuk didalamnya Polri dan Departemen
Kehakiman.

Setelah Moedjono menjadi Menteri Kehakiman, kegiatan dalam penyusunan rencana tersebut
diitensifkan. Akhirnya, Rancangan Undang – undang Hukum Acara Pidana itu disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12
September1979 Nomor R.08/P.U./IX/1979.

Yang terakhir menjadi masalah dalam pembicaran Tim Sinkronisasi dengan wakil
pemerintah, ialah pasal peralihan yang kemudian dikenal dengan Pasal 284.

Pasal 284 ayat (2) menjajikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan
kembali terhadap hukum acara pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam Undang –
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tapi kenyataannya setelah 19 tahun berlakunya KUHAP, tidak ada tanda – tanda adanya
usaha untuk meninjau kembali acara khusus tersebut, bahkan dengan PP Nomor 27 Tahun
1983 telah ditegaskan oleh Pemerintah bahwa penyidikan delik – delik dalam perundang –
undangan pidana khusus tersebut, dilakukan oleh berikut ini.

1. Penyidik
2. Jaksa.
3. Pejabat Penyidik yang berwenang yang lain, berdasarkan peraturan perundang
– undangan (Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983).

Rancangan Undang – Undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh siding paripurna DPR
pada tanggal 23 September 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi undang – undang
pada tanggal 31 Desember 1981 dengan nama KITAB UNDANG – UNDANG ACARA
PIDANA (Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN Nomor 3209.

SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA (HUKUM ITU BERKEMBANG DAN


TUMBUH DALAM MASYARAKAT, HUKUM TIDAK DIBUAT
MELAINKAN DITEMUKAN)

KATA PENGANTAR

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi syarat dari ujian akhir semester yang digunakan juga
sebagai bahan belajar bagi pembacanya yang memuat sejarah akan terbentuknya kitab hukum
acara pidana dari pertama kali VOC memijakkan kekuasaannya di Indonesia dan membuat
peraturan-peraturan untuk di implementasikan di Indonesia sampai dengan terciptanya kitab
hukum acara pidana yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat menjadi suatu bahan bacaan dan referensi yang berguna bagi
pembacanya. Mohon kritik dan sarannya sehingga dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat
untuk tulisan-tulisan selanjutnya.

DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………. 2
Pendahuluan………………………………………………………………. 4
Permasalahan……………………………………………………………… 6
Analisis……………………………………………………………………… 7
Sejarah perkembangan hukum acara pidana Indonesia……………….. 7
Pembentukan kitab undang-undang hukum acara pidana……………… 18
Kesimpulan…………………………………………………………………. 23
Daftar pustaka……………………………………………………………… 25
I. Pendahuluan

Keadaan sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu rangkaian yang tidak terlepas
dan tak terpisahkan satu sama lainnya, maka apabila kita hendak berbicara tentang pandangan
dari hukum, ilmu hukum, perundang-undangan dan jurisprudensi tak mungkin kiranya bagi
kita untuk tidak menggambarkan tentang pandagan-pandangan tersebut tanpa melihat
perkembangan-perkembangan selama waktu-waktu terakhir dan tanpa melukiskan “de
huidige stand” dari hukum tersebut.
Hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum berlakunya undang-
undang no 8 tahun 1981, berlakunya kitab undang-undang hukum acara pidana dipengaruhi
oleh sejarah pada zaman kolonial belanda yang membawa hukum Eropa kontinental ke
Indonesia Pada waktu penjajahan Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga tata negara dan
lembaga tata hukum, Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri
yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat zaman dulu, pertumbuhan hukum yang kemudian
dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern tidak membedakan
kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dengan hukum acara pidana,
baik di Indonesia maupun di dunia Barat (termasuk Belanda). Tuntutan pidana dan perdata
merupakan satu kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Suatu pembentukan, penyusunan hukum nasional termasuk hukum pidana maupun acaranya
bukanlah usaha sendiri para legislator melainkan perlu disertai dengan pemikiran-pemikiran
sarjana lain, usaha mereka suatu usaha “joint-coorporative” dan jelas kiranya bahwa para
sarjana hukum sendiri akan lebih dapat menyempurnakan dan menyelesaikan usaha dengan
bantuan sarjana lain, sebuah penyusunan undang-undang perlu mendapat perhatian dari
kalangan luas dari para sarjana hukum yang meliputi para ilmuan hukum dikalangan
universitas.

II. permasalahan
1. Bagaimana sejarah penerapan hukum acara pidana sebelum diberlakukannya KUHAP
(kitab undang-undang no 8 tahun 1981) ?
2. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam HIR (het herziene inlandsch regelement)
menjadi KUHAP (kitab undang-undang hukum acara perdata) sehingga dapat mengikuti
perubahan masyarakat sosial yang dinamis?

3. Analisis
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Sebelum masa kolonial belanda (sebelum abad 16)
Sebelum masuknya hukum islam para penduduk tidak mengenal dengan adanya hukum
pidana dan perdata, penduduk indonesia menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan pidana maupun perdata baik di Indonesia maupun di dunia barat
(Belanda) tuntutan pidana merupakan satu kesatuan termasuk lembaga-lembaganya dan cara
pembuktiannya yang sering digunakanpun dengan menggunakan cara-cara mistis.
Sebenarnya lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat
pada masyarakat zaman dulu. Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga
itu. Disebutkan bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa
yang artinya sama dengan hakim pada jaman sekarang ini. Di Belanda pun dulu belum
dikenal istilah officer van justitie Pada awalnya dikenal dengan istilah Schout disana yang
khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri
sendiri yang disebut CPS. Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika
ada kepentingan raja di dalam perkara.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia dianggap mengganggu keseimbangan yang
ada dalam masyarakat adat tersebut, entah keseimbangan yang berhubungan dengan sesama
manusia ataupun dengan alam. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya
merupakan kesatuan. Supomo menunjukkan bahwa pandangan rakyat Indonesia mengenai
alam semesta merupakan suatu totalitas, manusia beserta mahkluk yang lain dengan
lingkungannya merupakan satu kesatuan alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis
yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut
merupakan pelanggaran hukum (adat), Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum
mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya
berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Sedangkan untuk pembuktiannya
seringkali didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan, kehendak tuhan sampai ri ule
bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) dan dibawa keliling
kampung untuk dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi adat terdahulu dihimpun didalam Pandecten van het adatrecht bagian X
yaitu sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan;
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian kerohanian;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Setelah masuknya agama islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping hukum
Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai
diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa
seringkali berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.

Periode kolonial belanda


Pada tahun 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang
menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis
berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala dari
Sumatra dan Maluku. Pada tahun 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat
asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sunda
kelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nahkoda-nahkoda Jawa, armada itu tiba di
Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis
memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor.
Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama
Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata
rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai setengah dunia ini
(separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun
1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat
Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah
Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang
ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan
dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke
Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah
kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka
berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
pada tahun 1602 dibentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada masa tersebut
orang-orang diterapkan tentang hukum kapal (scheepsrecht) yang terdiri dari hukum Belanda
kuno dengan asas-asas hukum Romawi dan kemudian dibentuk plakat-plakat dan dihimpun
menjadi 17 jilid sedangkan untuk orang Indonesia atau bumi putera diterapkan hukum adat
(hukum tidak tertulis), Tahun 1642, gubernur Jend. Van diemen memerintahkan menghimpun
seluruh plakat dengan nama statuen van Batavia
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1747 telah mengatur
organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javasche
wetten (undang-undang jawa), hal itu juga diteruskan oleh Daendels dan Raffles untuk
menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya, akan tetapi dengan kejadian di negeri
Belanda tersebut maka usaha ini ditangguhkan.
Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda yaitu pada tahun 1836,
Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-
undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai Presiden Hooggrechshof, ia
memangku jabatan itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr. P. Mijer
ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-
undangan baru di hindia belanda.
Belanda baru saja terlepas penjajahan dari Negara Prancis pada Tahun 1838 yang pada waktu
itu golongan legis memandang bahwa semua peraturan seharusnya dalam bentuk undang-
undang sangatlah kuat berlaku ketentuan pada saat itu, yaitu ketentuan yang tertulis dan
dibuat dengan sengaja
Pada tahun 1838 Scholten van Oud-Harlem dikembalikan ke negeri belanda untuk
menggantikan panitia di Hindia belanda, pada tahun 1839 dibentuk kembali panitia baru oleh
menteri jajahan Van den bosch. Hasil dari karyanya adalah sebuah rancangan peraturan tata
peradilan sebuah rancangan kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang
hukum dagang, di Hindia belanda rancangan undang-undang tentang tata peradilan itu diolah
lagi oleh J.Van der Vinne, Mr. Hoogeveen, Mr. Hultman dan Mr. Visscher.
pada waktu dibubarkannya panitia Scholten di negeri Belanda pada tahun 1845. Mr. H.L.
Wichers diangkat oleh raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di hindia belanda merangkap
komisaris khusus mengatur mulai berlakunya undang-undang itu. Adapun ketentuan-
ketentuan yang dibuat sesuai dengan perintah raja Belanda pada tangal 16 Mei 1846 Nomor 1
pada saat itu adalah :
1. ketentuan umum tentang perundang-undangan (AB);
2. peraturan tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan pengadilan (RO);
3. kitab undang-undang hukum perdata (BW);
4. kitab undang-undang hukum dagang (WvK).
Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa
kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan organisasi
kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
2. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara
pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan
timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan ketentuan
Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
3. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum
acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
4. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan
mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
Ketentuan yang mengatur tentang hukum acara pidana tersebut mulai dipublikasikan pada
tanggal 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848 yang diperuntukkan untuk
golongan bumi putera daerah Jawa dan madura sedangkan untuk daerah luar daerah tersebut
diberlakukan peraturan yang berbeda dalam bentuk Ordonansi-ordonanasi antara lain :
1. ordonanasi tanggal 26 maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat;
2. Ordonanasi tanggal 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu;
3. Ordonanasi tanggal 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung;
4. Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang;
5. Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi;
6. Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera;
7. Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh;
8. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau;
9. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka;
10. Ordonansi tanggal 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung;
11. Ordonansi tanggal 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat;
12. Ordonansi tanggal 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan timur;
13. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado;
14. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi;
15. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku;
16. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate;
17. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor;
18. Ordonansi tanggal 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.
18 Ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu dengan nama Recht-reglement
buitengewesten (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227), dalam perkembangan
selanjutnya Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki kekhawatiran terhadap
diberlakukannya Reglemen tersebut bagi orang Bumi putera, sehingga Reglemen tersebut
masih dalam percobaan.
Mr.Wichers mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur tersebut dan terjadi
beberapa kali perubahan sampai akhirnya dengan Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali
dengan nama Herziene Inlands Regelement atau HIR, dan bagian yang terpenting adalah
adanya perubahan-perubahan yang tidak sedikit hal ini dapat dilihat dalam aspek-aspek yaitu
:
1. Dalam IR belum ada badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada meskipun
belum volwaardigh;
2. Regen, patih dan kepala afdeeling (Residen atau asisten Residen dalam IR adalah Penyidik
dalam HIR tidak);
3. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan syarat-syarat
tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;
4. Kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut sistem lama) diganti dengan
penangkapan (gevangenhouding) selama 30 hari, yang jika perlu setiap kali dapat
diperpanjang untuk 30 hari oleh ketua landraad;
5. Baik penahan sementara maupun penangkapan hanya diperbolehkan pada tindak pidana
yang berat-berat (yang diancam dengan pidana penjara selam 5 tahu atau dipidana yang lebih
berat pasal 62 HIR;
6. Untuk penggeledahan rumah pada umumnya diperlukan izin ketua landraad, kecuali dalam
hal tertangkap tangan dan dalam hal mendesak sekali, Pasal 77 dan 78 HIR;
7. Wewenang untuk menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan kepada
pegawai penuntut umum yang dalam HIR diatur khusus dalam pasal.
Hal-hal diatas tersebut perlu di garis bawahi bahwa dalam HIR muncullah lembaga penuntut
umum tidak lagi dibawah pamongpraja tetapi secara bulat dan tidak terpisah-pisah dibawah
officer van justitie dan procuceur general.
Sejalannya dengan praktek diberlakukannya HIR di Jawa dan madura eksistensi IR masih
sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Malang dan lain-lain sedangkan kota-kota lain berlaku IR.
Periode kependudukan Jepang
Pada zaman kependudukan Jepang perundang-undangan hukum acara pidana Indonesia tidak
terjadi banyak perubahan seperti yang diatur dalam pasal 6 UU no 14 tahun 1942 yang
berbunyi “ hukum acara pidana masa sebelumnya masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak diatur oleh peraturan lain” kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan
golongan Eropa.
Dengan undang-undang Osamu Sirei no 4 tahun 1942 yang berlaku mulai tanggal 7 Maret
1942 maka ditetapkan semua putusan pengadilan harus memakai kepada Atas Nama Jendral
Balatentara perubahan ini berlaku pula terhadap semua badan peradilan dari pemerintahan
Hindia Belanda kecuali Residentiegerecht (dihapuskan dengan Osamu Sirei No 4 tahun 1942)
dan susunan nama pengadilannya diganti. Setelah diberlakukannya undang-undang no 34
tahun 1942 maka undang-undang no 14 tahun 1942 dicabut yang kemudian dikenal adanya
Kootoo Hooin yang merupakan pengadilan tinggi dan kelanjutan dari Raad Van Justitie dan
Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) yang merupakan kelanjutan dari Hooggerechtshof.
Semua badan peradilan pada zaman ini diterapkan hukum acara pidana dengan menggunakan
ketentuan Het Herziene Inlndsch Reglement (HIR, Stb 1941 No 44) kecuali untuk Keizai
Hooin yang menggunakan ketentuan Landgerechtreglement (Stb. 1914 No 137 jo Stb 1917
No. 323), sedangkan Kootoo Hooin dan Saikoo Hoin hukum acara pidananya diterapkan oleh
Raad van justitie dan Hooggerechtshof yang mengacu kepada Reglement op de
Strafvordering (Stb. 1849 No 63), pada tingkat banding diatur dalam Osumei Seihi No 1573
tahun 1942, semua putusan pengadilan rendahan pada pokoknya dapat dimintakan banding
pada Kootoo Hooin.
1. Periode 17 Agustus 1945
Pada saat proklamasi kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat, tetapi dengan kemerdekaan Indonesia tidak serta merta mengganti
peraturan-peraturan yang telah diterapkan di Indonesia ini terlihat pada pasal II aturan
peralihan Undang-undang dasar 1945 disebutkan bahwa :
“segala badan Negara da peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang ini”
yang kemudian dipertegas dengan peraturan presiden No 2 tanggal 10 Oktober 1945 pada
pasal 1 yang menyebutkan :
“segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Indonesia
pada tanggal 17 agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang
dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut”.
Pada masa ini mengenai hukum acara telah lahir 2 undang-undang untuk melaksanakan
peradilan umum yakni undang-undang no 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa
dan Madura serta undang-undang no 21 tahun 1947 tentang pemeriksaan perkara pidana
diluar hadirnya terdakwa. Konsekwensi yang diakibatkan terbentuknya Undang-undang no
20 tahun 1947 adalah tidak berlakunya peraturan peradilan ulangan yang dimuat dalam
Osamu Seihi no 1573 tahun 1942 yang berlaku pada masa balatentara Jepang.
Selain itu juga pada periode kemerdekaan hukum acara pidana yang telah diterapkan pada
praktik peradilan cukup variatif dalam artian diberlakukannya Het Herziene Inlandsch
Reglement (HIR, Stb 1941 No 44), Reglement op de Buitengewesten (RBg Stb 1927 No 227)
dan Landgerechtsreglement (Stb 1914 no 317 jo Stb 1917 no 323).
Namun keberlakuan hal tersebut tidak berlangsung lama dengan dibentuknya Republik
Indonesia Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti menjadi Mahkamah Agung (UU no
1 tahun 1950; LN 1950 no 30), kemudian landgerecht dan Appelraad diganti menjadi
pengadilan negeri dan pengadilan tinggi (UU Drt No 18 tahun 1950 (LN 1950 no 27) tanggal
18 April 1950.

3.2 PEMBENTUKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA


Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat
dibandingkan dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara Belanda
memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh
karena itu menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih
tepat daripada istilah Belanda.
Ada istilah lagi yang pernah popular di Indonesia yaitu criminal justice system yang
diterjemahkan menjadi sistem peradilan pidana, dan juga “sistem peradilan pidana terpadu”
sebagai salinan istilah integrated criminal justice system Prof. Mochtar Kusumaatmadja
pernah merencanakan mengganti mata kuliah hukum acara pidana menjadi sistem peradilan
pidana yang kemudian dibagi dua yaitu sistem peradilan pidana Indonesia dan sistem
peradilan umum. Tetapi perlu diingat kalau penggunaan istilah “sistem peradilan pidana” itu
sangatlah luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan “hukum acara pidana” karena ruang
lingkupnya hanya meliputi mencari kebenaran,penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada
pelaksanaan pidana oleh jaksa.
KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara perdata) tidak memberikan definisi tentang
hukum acara pidana tetapi memberikan definisi akan bagian-bagian atau tahapan-tahapannya
seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum,
penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan lain sebagainya, ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa pakar hukum antara lain :
1. Minkenhoft : hukum acara pidana adalah sejak dimulainya penyidikan, dan mempunyai
peraturan mengenai terjadinya antara saat timbulnya dugaan bahwa suatu delik telah
dilakukan dan dilaksankannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa;
2. Van Bemmelen : hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan
oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana;
3. Wirjono Prodjodikoro : hukum acara berhubungan era dengan adanya hukum pidana maka
dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan
pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Dengan terbentuknya KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) yang berfungsi
untuk menjalankan hukum acara pidana substansif (materiil) dan mengatur tentang
bagaimana Negara melalui perangkatnya melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana,
menurut Van Bemmelen ia mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana antara lain
sebagai berikut :
1. Mencari dan mengemukakan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap
dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi (pembatalan) di
Mahkamah Agung bahkan sampai kepada PK ( peninjauan kembali).

Tujuan dari hukum acara pidana yang pernah dikeluarkan oleh menteri Kehakiman :
“Tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill
ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari suapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suaru pelanggaran hukum dan selanjurnya
meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pudana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat
dipersalahkan”.

Dahulu KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) disebut dengan inlandsch
reglement (IR) yang kemudian menjadi Herziene Inlandsch Regelement (HIR) yang pada
mulanya hanya berlaku dipulau jawa dan madura dan hanya meliputi pemeriksaan
dipengadilan tingkat pertama yaitu landraad yang tidak memiliki peraturan mengenai acara
banding dan kasasi.
Sesudah kita merdeka dengan undang-undang nomor 1 (drt) tahun 1951 (LN No. 9 tahun
1951) mulai terbentuk sejak Negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sekaligus
menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan praperadilan Indonesia seperti yang telah
disinggung diatas, terjadinya unifikasi hukum untuk melaksanakan kesatuan susunan
kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia dan
berdasarkan pasal 1 telah menghapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 badan peradilan
yang berlaku pada masa sebelumnya.
Terjadinya unifikasi hukum terhadap ketentuan hukum acara pidana cukup bervariasi hal ini
berdasarkan ketentuan pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa untuk acara pidana
sipil terhadap semua pengadilan negeri dan alat penuntut umum dan pengadilan tinggi masih
diterapkan ketentuan yang diatur didalam HIR (Herziene Inlandsch Regelement ) sedangkan
hukum acara pidana terhadap perkara ringan diterapkan Landgerechtsreglement, dan untuk
banding diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU no 1 Drt tahun 1951.
Setelah orde baru terbukalah kesempatan besar untuk membangun disegala aspek kehidupan
dan tidak lepas yang diperhatikan adalah pembangunan dibidang hukum, banyaknya undang-
undang telah dibuat dan diperuntukkan untuk mengganti undang-undang zaman kolonial
Belanda, suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern yang dapat
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan bercirikan dengan pancasila dan
Undang-undang dasar 1945.
Undang-undang dasar 1945 menjelaskan secara tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, hal itu berarti Negara Indonesia
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pembentukan IR (Inlands reglement) yang
kemudian dirubah menjadi HIR (Herziene Inlandsch Regelement) yang merupakan usaha
Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari Negara Prancis, dan
berdasarkan asas konkordansi maka perundang-undangan yang diciptakan oleh belanda
diterapkan atau diberlakukan di Indonesia.
Sewaktu Oemar Seno Adji menjabat menteri Kehakiman ia membentuk suatu tim di
departemen kehakiman untuk membuat atau menyusun tentang hukum acara pidana, dan
setelah beberapa kurun waktu penyusunan itu berhasil yang sesuai dengan seminar hukum
nasional yang diadakan di Semarang pada tahun 1968, setelah Oemar Seno Adji digantikan
kedudukannya oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1974 ia melakukan penyempurnaan
dan terjadi pembahasan oleh instansi yang berwenang yang kemudian diteruskan oleh
Moedjono yang di intensifkan pada tahun 1979 yang diadakan pertemuan antara menteri
kehakiman, jaksa agung dan beberapa instansi untuk membahas perencanaan tersebut.
Setelah rancangan tersebut dibahas di Komisi III dan I DPR yang memiliki tim khusus yaitu
tim sinkronisasi yang akhirnya membuahkan suatu persembahan suatu rancangan yang telah
disetujui oleh sidang gabungan dimuka pada tanggal 9 september 1981, akan tetapi setelah 19
tahun berlakunya KUHAP tidak ada tanda-tanda untuk melakukan peninjauan kembali akan
suatu tindak pidana khusus yang telah dicantumkan di dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP.
Sampai dengan disahkannya rancangan undang-undang didalam sidang paripurna DPR
tanggal 23 Sepember 1981 yang kemudian KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara
pidana) sebagai suatu karya agung disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang tanggal
31 September 1981.

Kesimpulan
1. bahwa perkembangan hukum acara perdata dan hukum acara pidana berawal dari hukum
adat setempat (Indonesia) yang dikumpulkan oleh Belanda dan ditambah dengan hukum yang
dibuat oleh belanda yang kemudian dikodifikasikan dan dijadikan perundang-undangan di
Indonesia, Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal
beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan organisasi
kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
b. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara
pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan
timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan ketentuan
Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
c. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum
acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
d. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan
mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
2. pembentukan panitia di departemen kehakiman untuk menyusun RUU Hukum Acara
Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam
perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR. Awalnya dibentuk
panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana UU Hukum
Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggantikan
Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan oleh Moedjono.
Tim Sinkronisasi kemudian menciptakan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan tim
bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september1981
Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
a. hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
b. diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan
KUHAP(pasal284ayat(2)).
RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan
kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981.
Sejak saat itulah kita memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang
No:8/1981,LN 1981 Nomor 76,TLN Nomor 3209) sebagai pedoman yang mengatur acara
peradilan pidana.
3. Bahwa perkembangan hukum di Indonesia sesuai dengan ajaran Von Savigny ”hukum itu
berkembang dalam sejarah, dimana hukum itu ditemukan tidak dibuat”

DAFTAR PUSTAKA
1. Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Praktik, Penerbit
P.T. Alumni, Bandung, 2008.
2. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009.
3. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
4. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
5. P.A.F Lamintang, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.

Anda mungkin juga menyukai