Pada tanggal 31 Oktober 1837, Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua
panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai
anggota, tapi panitia ini belum berhasil membuat kodifikasi. Akhirnya dibentuk panitia baru
yang diketuai Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J.
Schneither dan Mr. J. Van Nes.P panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata
Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak
menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad
No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. Dalam menghasilkan kodifikasi KUH
Perdata Indonesia ini, Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne,
Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berjasa dalam
kodifikasi tersebut.
Indonesia bahwa Hukum Perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk
Hukum Perdata Belanda yang diberlakukan asas korkondansi, yaitu hukum yang berlaku di
negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah.
Indonesia, yaitu:
pasal.
2. Dengan konkordansi pada tahun 1848 diundangkan KUH Perdata oleh pemerintah
Belanda. Disamping KUH Perdata berlaku juga KUH Dagang yang diatur dalam
Dalam Perspektif sejarah, Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam 2
(dua) periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia
Merdeka.
sejarah yang sangat panjang. Pada masyarakat Indonesia mengenal Hukum Adat atau
dalam Pasal 165 Indeche Staatregeling (IS), yang membagi penduduk Hindia Belanda
1) Golongan Eropa, semua orang Belanda, semua orang Jepang, semua orang lain
yang di negaranya tunduk pada hukum yang sama dengan hukum Belanda, anak
sah dan diakui menurut undang-undang yang lahir dari Hindia Belanda, yaitu
2) Golongan Bumiputra berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu sudah
tidak termasuk golongan Eropa dan Bumiputra berlaku KUH Perdata dan Kitab
ada sedikit penyimpangan, yaitu Bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula Burgerlijke Stand
Golongan warga negara bukan asli berasal Tionghoa atau Eropah (yaitu Arab,
India dan lain-lain) berlaku sebagian dari KUH Perdata, yaitu pada pokoknya hanya
Belanda telah ada beberapa Peraturan Eropah yang telah dinyatakan berlaku untuk
Bangsa Indonesia asli, seperti Pasal 1601- 1603 lama dari KUH Perdata, yaitu perihal
perjanjian (Stbl. 1879 No. 256), Pasal 1788-1791 KUH Perdata perihal hutang-hutang
dari perjudian (Stbl. 1907 No. 306) dan beberapa pasal dari KUH Dagang, yaitu
Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk Bangsa
Indonesia, seperti Ordonansi Perkawinan Bangsa Indonesia Kristen (Stbl. 1933 No. 74),
Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (Stbl. 1939 No. 569
berhubung dengan No. 717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia
Ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara,
Umum tentang Koperasi (Stbl. 1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Stbl. 1938 No. 523)
sejarah dan sisa- sisa politik masa lampau dari Penjajahan Kolonial Belanda, yang
sampai saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu
hukum, mempergunakan istilah Hukum Perdata ditujukan untuk KUH Perdata dan
Hukum Adat untuk Hukum Perdata Adat. Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa
Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945, KUH Perdata Hindia Belanda
UUD 1945. KUH Perdata Indonesia sebagai induk Hukum Perdata Indonesia. Belum
adanya aturan hukum yang baru maka untuk menghindari kekosongan hukum
Indonesia. Secara yuridis formil, kedudukan KUH Perdata masih tetap sebagai undang-
undang sebab tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang- undang. Namun
sekarang KUH Perdata bukan lagi sebagai KUH Perdata yang bulat dan utuh, karena
beberapa bagian dari KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi karena sudah ada unifikasi
hukum, seperti berkaitan dengan Hukum Agraria yang sudah mempunyai Undang-
Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947, “bahwa hukum
dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka
Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-
Hukum Perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan
kebudayaan nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat
Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa
“adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan
Belanda, seperti KUH Perdata, KUH Dagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk
Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun
Tanggungan Atas Tanah dan benda- benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996,
16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1963 dan lain-
lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh
terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu
janganlah membuat bangsa ini terbuai dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD
1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya.
Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang
Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa “khusus KUH Perdata tidak lagi sebagai
kelompok hukum yang tidak tertulis”. Selanjutnya gagasan Sahardjo, dikemukakan lagi
dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962
melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul “Keadaan Transisi dari
Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1) Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut,
sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
3) Gagasan Sahardjo, untuk menganggap KUH Perdata tidak lagi sebagai undang-
undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisihukum tidak tertulis saja, adalah
akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal KUH Perdata yang tidak
4) Karena KUH Perdata hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi
kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu
dengan suatu undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari
positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung
RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk
menganggap KUH Perdata tidak lagi sebagai undang-undang, konsekuensi gagasan ini
adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak 8 (delapan) pasal dari KUH Perdata
tersebut”. Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari prasaran dalam Kongres
MIPI tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan demikian juga halnya
yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus
diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo dan
keluarnya SEMA No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah Mahadi dan Subekti
sebagai pengganti Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai Ketua Mahkamah Agung pada
waktu itu.
2) Yang masih berlaku ialah aturan- aturannya, yang tidak bertentangan dengan
yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4) Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-
setuju, untuk menjadikan aturan-aturan KUH Perdata yang masih bisa berlaku
menjelma nanti di dalam hukum nasional kita juga dalam bentuk tertulis.
Setapak kearah itu telah kita lakukan yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur
sebahagian dari Buku IV sedang dirancangkan. Jadi, tidak logis kalau yang
tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis
b. Dengan berlakunya aturan- aturan KUH Perdata sebagai hukum adat, tidak
c. Dengan memperlakukan KUH Perdata sebagai hukum adat, tidak ada lagi
di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen Hukum Dagang
saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
SEMA, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, itu hanya dapat dianggap
sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-
pasal dari KUH Perdata yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membuat
KUH Perdata itu, seperti Pasal 108 KUH Perdata, Arrest 31 Januari 1919 yang
memperluas pengertian Pasal 1365 KUH Perdata, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925
yang menyingkirkan Pasal 1152 KUH Perdata yang mengharuskan penyerahan barang
Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUH Perdata sebagai
ketentuan undang- undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-
usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi
perdebatan di antara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus
dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, praktisi hukum
dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk
yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan
Pasal II UUD 1945 yang tidakmembuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu
di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi.
dinyatakan tidakberlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan
ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena
penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti aspek
hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum internasional sebagai akibat
SOAL LATIHAN :