NIM : 220710101264
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JEMBER
2022
Sejarah Tata Hukum Indonesia
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang
Belanda pada tahun 1602 dengan tujuan agar tidak terjadi persaingan antar
para pedagang yang membeli rempah rempah dari orang pribumi dengan
tujuan dapat memperoleh keuntungan yang besar di pasar Eropa. Sebagai
kompeni dagang, kemudian VOC diberi hak hak istimewa dari pemerintah
Belanda, seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk
angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang.
Pada masa masa ini hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan
peraturan yang berlaku umum dengan sebutan "Algemene Verordening"
(peraturan pusat). Karena peraturan itu dibuat oleh raja, maka dinamakan
"Koninklijk Besluit". Untuk melaksanakan pemerintahan di kepulauan
nusantara, raja mengangkat Komisaris Jenderal, yaitu Elout, Buys - kes, dan
Van der Capellen.
1. Golongan Eropa;
2. Golongan Pribumi; dan
3. Golongan Timur Asing.
Pasal tersebut disalin tanpa perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur
tentang hal yang sejenis pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS).
Pada Maret 1942 Jepang menduduki seluruh daerah Hindia Belanda yang
pemerintahannya dilakukan oleh Balatentara Jepang. Pemerintahanan
Balatentara Jepang berpedoman pada undang-undangnya yang disebut
"Gunseirei". Setiap peraturan yang diperlukan demi kepentingan pemerintah
di Jawa dan Madura dibuat berpedoman kepada Gunseirei melalui Osamu
seirei. Osamu Seirei sendiri mengatur segala hal yang diperlukan untuk
melaksanakan pemerintahan; melalui peraturan pelaksanaan yang disebut
"Osamu Kanrei".
Berdasarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942 dapat dikatakan bahwa dalam
masa Interregnum itu, tata hukum Hindia Belanda masih tetap berlaku positif.
Dikarenakan dikatakan bahwa hukum dan undang undang yang dulu, tetap
diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer. Perubahan penting yang dilakukan oleh Balatentara
Jepang hanya terbatas pada perubahan susunan badan-badan pengadilan
dengan penyesuaian hukum acaranya serta menetapkan hukuman yang lebih
berat terhadap pelanggaran pidana.
Disebutkan dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 1948, dan disebutkan lebih
lanjut dalam Pasal 7 UU. Dimana menetapkan bahwa dalam tiap Kabupaten
sekurang kurangnya terdapat satu Pengadilan Negeri (Pasal 31 ayat 1), dan
sekurang kurangnya satu Pengadilan Tinggi dalam satu provinsi (Pasal 41).
Dalam tiap wilayah hukum Pengadilan Negeri terdapat satu Kejaksaan Negeri
(Pasal 32 Ayat 2), dan dalam tiap wilayah hukum Pengadilan Tinggi terdapat
Kejaksaan Tinggi (Pasal 42 Ayat 2), dan disamping Mahkamah Agung terdapat
Kejaksaan Agung (Pasal 50 Ayat 2).
Pada periode ini, langkah penting pada bidang penyelenggaraan hukum adalah
diberlakukannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
Pengadilan-pengadilan Sipil. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini (yang dapat
dipandang sebagai perumusan politik hukum), maka yang dikehendaki UUDS
1950 adalah kodifikasi untuk beberapa bidang hukum tertentu tanpa secara
eksplisit mengharuskan unifikasi hukum. Pada masa ini, hanya hukum
proseduralnya saja yang sudah terunifikasi, sedangkan hukum substantifnya
masih tetap pluralistis seperti pada saat kemerdekaan diproklamasikan.
Tatanan hukum yang memperlihatkan ciri ciri tatanan hukum otonomius, yang
dalam dinamikanya memunculkan tatanan politik "Demokrasi Terpimpin".
Pada masa orde baru, dimulailah perjalanan sejarah baru bagi kehidupan
bangsa Indonesia berkeinginan kuat dengan semangat perjuangan dalam
mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dimana
untuk mewujudkannya, pemerintah orde baru menyuarakan hukum the rule
of law-nya dan pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa. Sehubungan
dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa otoritas politik pada masa ini
terutama bertumpu pada legitimasi pembangunan/stabilitas ekonomi dan
stabilitas politik sebagaimana yang ditetapkan dalam GBHN atau yang disebut
dengan Trilogi Pembangunan.
Sedangkan dari butir butir perubahan UUD 1945 terdiri dari 65 butir yang
kemudia bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya
tetap, 43 butir diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru. Dengan
demikian, komposisi UUD 1945 dengan empat kali perubahan dalam satu
rangkaian yang merupakan bentuk politik hukum pada masa reformasi yang
diakhiri dengan disahkannya perubahan keempat UUD 1945 pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2002 yang lalu, maka disusunlah UUD 1945 yang mana
memiliki susunan sebagaimana berikut:
Dalam amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR selama empat kali
perubahan dapat digolongkan menjadi dua bagian persidangan, yaitu :
Pertama, pada Sidang Umum MPR Tahun 1999 telah dirumuskan 9 pasal
perubahan yang semuanya menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden,
meliputi Pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, 21. Sedangkan pembagian yang kedua
pada Sidang Tahunan MPR yang terbagi dalam tiga persidangan.
REFERENSI
M.Najih dan Soimin, PHI (Konsep Sejarah dan Tata Hukum dan Politik Hukum
Indonesia, Setia Press, Malang, 2014