Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH TATA HUKUM INDONESIA

Nama : Fadiya Nur Fauzana

NIM : 220710101264

PROGRAM STUDI STRATA-1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JEMBER

2022
Sejarah Tata Hukum Indonesia

A. Sebelum 17 Agustus 1945


1. Masa Verrenigde Oost lndische Compagnic (1602 - 1800)

Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang didirikan oleh para pedagang
Belanda pada tahun 1602 dengan tujuan agar tidak terjadi persaingan antar
para pedagang yang membeli rempah rempah dari orang pribumi dengan
tujuan dapat memperoleh keuntungan yang besar di pasar Eropa. Sebagai
kompeni dagang, kemudian VOC diberi hak hak istimewa dari pemerintah
Belanda, seperti hak monopoli pelayaran dan perdagangan, hak membentuk
angkatan perang, hak mendirikan benteng, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dan hak mencetak uang.

Pada tahun 1610 pengurus pusat VOC memberikan wewenang kepada


Guberur Jenderal Pieter Both untuk membuat peraturan untuk menyelesaikan
perkara istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan pegawai VOC di
daerah yang dikuasai, di samping itu ia dapat memutuskan perkara perdata
dan pidana. Peraturan yang dibuat itu kemudian berlaku berdampingan
dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh Direksi VOC di Belanda dengan
nama "Heeren Zeventine". Setelah penyusunannya selesai maka pada tahun
1642 diumumkan dengan nama "Statuta van Batavia". Setelah itu dilakukan
pembenahan dan selesai pada tahun 1766 dan diberi nama "Nieuwe Bataviase
Statuten".

Dilakukan penelitian untuk dilakukan percobaan terhadap aturan aturan


hukum yang dilakukan oleh Freijer yang kemudian menghasilkan suatu kitab
pada tahun 1760 bernama kitab hukum (kompedium). Kitab tersebut hanya
berisi aturan aturan hukum perkawinan dan hukum waris Islam. Sampai
berakhirnya masa VOC yang dibubarkan pada 13 Desember 1799 dikarenakan
terdesak hutang, maka tidak ada hukum lainnya yang berlaku kecuali yang
disebutkan tadi di masa VOC.

2. Masa Besluiten Regerings (1814 - 1855)

Pada masa masa ini hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan
peraturan yang berlaku umum dengan sebutan "Algemene Verordening"
(peraturan pusat). Karena peraturan itu dibuat oleh raja, maka dinamakan
"Koninklijk Besluit". Untuk melaksanakan pemerintahan di kepulauan
nusantara, raja mengangkat Komisaris Jenderal, yaitu Elout, Buys - kes, dan
Van der Capellen.

Dalam bidang hukum, peraturan-peraturan yang berlaku bagi orang-orang


Belanda sejak VOC tidak diganti ataupun dicabut maka tidak mengalami
perubahan, karena menunggu rencana peng-kodifikasi-an hukum nasional
Belanda. Kemudian dikehendaki juga adanya kodifikasi hukum perdata yang
akan diberlakukan bagi orang orang Belanda di tanah jajahan. Dengan ini,
pada tanggal 15 Agustus 1839 Menteri Jajahan di Belanda mengangkat Komisi
UU bagi Hindia Belanda yang terdiri dari Mr. Scolten can Oud Haarlem sebagai
ketua, Mr. I Schneither dan Mr. I.F.H van Nes masing masing sebagai anggota.
Dalam tugasnya, komisi ini menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian
disempurnakan oleh Mr. H.L Wicher meliputi:

a. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi


Pengadilan.
b. Algemene Bapalingen ven Wetgeving (AB) atau Ketentuan Umum tentang
Perundang Undangan.
c. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang Undang Hukum Perdata
d. Wetboek ven Koophandel (WvK) atau Kitab Undang Undang Hukum
Dagang
e. Reglement op de Burgelijk Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang
Acara Perdata.

3. Masa Regerings Reglement (1855-1926)

Pada 1848 di Belanda terjadi perubahan terhadap Grondwet-nya sebagai


akibat dari pertentangan de Staten General (parlemen) dan Raja yang berakhir
dengan kemenangan parlemen dalam bidang pengelolaan kehidupan
bernegara. Dimana kemenangan itu mengubah sistem pelaksanaan
pemerintahanan dari monarki lonstitusional menjadi monarki konstitusional
parlementer. Perubahan ini mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap
pemerintahan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini
tercantum dalam ketentuan Pasal 59 ayat I, II, III Grondwet. Implikasi dari
peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan daerah jajahan di Indonesia dan
berbentuk UU (wet) dinamakan "Regering Reglement" (RR). Dan RR mulai
berlaku tahun 1855. Dalam ketentuannya RR materi peraturannya diatur dari
130 pasal dalam 8 bab yang mengatur tentang tata pemerintahan jajahan
Belanda.

Pada 1920 RR mengalami perubahan terhadap beberapa pasal dan kemudian


diubah dan dikenal dengan sebutan RR (baru) dimana berlaku sejak tanggal 1
Januari 1920 sampai 1926. Sedangkan politik hukum dalam Pasal 75 RR (baru)
mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni menjadi
"pendatang" dan "yang didatangi". Dimana setelahnya dibagi menjadi 3
golongan, yaitu:

1. Golongan Eropa;
2. Golongan Pribumi; dan
3. Golongan Timur Asing.
Pasal tersebut disalin tanpa perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur
tentang hal yang sejenis pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS).

4. Masa Indische Staatsregeling (1926 - 1942)

Pada 1918 pemerintah Belanda membentuk "Volksraad" (wakil rakyat) sebagai


hasil dari perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki ikut menentukan
nasib bangsanya. Sebenarnya dengan dibentuknya Volksraad, pemerintahan
jajahan Belanda merencanakan untuk merubah Regerings Reglement, namun
rencana tersebut baru terlaksana selang beberapa tahun kemudian setelah
Grondwet mengalami perubahan di tahun 1922. Perubahan tersebut
mengenai tata pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini terutama yang berkenaan
dengan wewenang raja terhadap daerah jajahan dimana disebutkan dalam
Pasal 61 ayat 2.

Akibat dari perubahan Grondwet tersebut, maka tata pemerintahan Hindia


Belanda mengalami perubahan juga. Regerings Reglements tahun 1855 diubah
dan diganti menjadi "Indische Staatsregeling" (IS) dan mulai berlaku tanggal 1
Januari 1926 melalui S. 1925 : 415. Indische Staatsregeling mencantumkan
politik hukumnya dalam Pasal 131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari
Pasal 75 RR (baru). Dengan adanya ketentuan peraturan yang dicantumkan
dalam S. 1925 : 415 ini, maka bagi orang orang yang disamakan dengan orang
Indonesia lainnya yang kemudian dikenal dengan sebutan golongan Timur
Asing setelah berlakunya RR (baru) tahun 1920, tetap berlaku hukum adatnya,
kecuali mereka tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa.

5. Masa Jepang (Osamu Sirei) 1942 - 1945

Pada Maret 1942 Jepang menduduki seluruh daerah Hindia Belanda yang
pemerintahannya dilakukan oleh Balatentara Jepang. Pemerintahanan
Balatentara Jepang berpedoman pada undang-undangnya yang disebut
"Gunseirei". Setiap peraturan yang diperlukan demi kepentingan pemerintah
di Jawa dan Madura dibuat berpedoman kepada Gunseirei melalui Osamu
seirei. Osamu Seirei sendiri mengatur segala hal yang diperlukan untuk
melaksanakan pemerintahan; melalui peraturan pelaksanaan yang disebut
"Osamu Kanrei".

Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Sebagai peraturan pelaksana,


isinya juga mengatur hal-hal yang diperlukan untuk menjaga keamanan
ketertiban umum. Yang sejenis dengan Osamu Seirei dinamakan "Tomi
Kanrei", tetapi biasa dikatakan sebagai UU Darurat atau yang dikenal dengan
PP Pengganti UU (Perpu)

Berdasarkan Osamu Seirei No. 1 Tahun 1942 dapat dikatakan bahwa dalam
masa Interregnum itu, tata hukum Hindia Belanda masih tetap berlaku positif.
Dikarenakan dikatakan bahwa hukum dan undang undang yang dulu, tetap
diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan aturan
pemerintah militer. Perubahan penting yang dilakukan oleh Balatentara
Jepang hanya terbatas pada perubahan susunan badan-badan pengadilan
dengan penyesuaian hukum acaranya serta menetapkan hukuman yang lebih
berat terhadap pelanggaran pidana.

Wetboek van Strafrech Hindia Belanda tetap berlaku disamping peraturan


hukum pidana yang tidak di-kodifikasi-kan lainnya dan peraturan hukum
pidana yang dikeluarkan oleh pemerintah Balatentara Jepang. Mengenai
lembaga peradilan Hindia Belanda juga tetap digunakan kecuali
"Residentiegerecht". Susunan lembaga peradilan berdasarkan Gunserei No. 14
Tahun 1942 terdiri dari :

a. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri).


b. Keizai Hooin (Hakim Kepolisian)
c. Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten)
d. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan)
e. Kaikyoo Kootoo Hooin (Mahkamah Islam Tinggi)
f. Sooyoo Hooin (Rapat Agama)
g. Gunsei Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri)

B. Sesudah 17 Agustus 1945

1. Masa 1945 - 1949

Perubahan penting dalam bidang penyelenggaraan hukum masa ini adalah


penyederhanaan dan unifikasi badan pengadilan ke dalam Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, dengan menunjukkan hukum
acaranya. Hal ini dilakukan dengan UU No. 7 Tahun 1947 tentang Organisasi
dan Kekuasaan Mahkamah Agung, yang kemudian diintegrasikan ke dalam UU
No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman
dan Kejaksaan dimana bertujuan untuk memisahkan fungsi eksekutif dan
fungsi yudikatif.

Disebutkan dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 1948, dan disebutkan lebih
lanjut dalam Pasal 7 UU. Dimana menetapkan bahwa dalam tiap Kabupaten
sekurang kurangnya terdapat satu Pengadilan Negeri (Pasal 31 ayat 1), dan
sekurang kurangnya satu Pengadilan Tinggi dalam satu provinsi (Pasal 41).
Dalam tiap wilayah hukum Pengadilan Negeri terdapat satu Kejaksaan Negeri
(Pasal 32 Ayat 2), dan dalam tiap wilayah hukum Pengadilan Tinggi terdapat
Kejaksaan Tinggi (Pasal 42 Ayat 2), dan disamping Mahkamah Agung terdapat
Kejaksaan Agung (Pasal 50 Ayat 2).

2. Masa 1949 - 1950


Tata hukum pada tahun sebelumnya tidak bertahan lama dikarenakan adanya
agresi militer Belanda 1 dan 2 yang membonceng Sekutu di bawah pimpinan
tentara Inggris untuk mengembalikan roda pemerintahan kolonial Hindia
Belanda di Indonesia yang memicu terjadinya perang kemerdekaan. Perang
tersebut berakhir pada Desember 1949 dengan Konferensi Meja Bundar di
Den Haag, yang menyebabkan perubahan ketatanegaraan Indonesia, yakni
dari negara kesatuan menjadi negara federal dengan diberlakukannya
Konstitusi RIS. Keberadaan negara federal ini juga tidak bertahan lama,
kemudian Konstitusi RIS diganti dengan Undang Undang Dasar Sementara
(UUDS) Tahun 1950 yang menghadirkan kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

3. Masa 1950 - 1959

Setelah berlakunya UUDS 1950, pemerintah melakukan usaha pembenahan


negara salah satunya ialah pemerintah sudah dapat menciptakan sejumlah
peraturan perundang undangan, juga berhasil melaksanakan pemilihan umum
dengan baik secara demokratis, dengan menghasilkan DPR dan Badan
Konstituante.

Pada periode ini, langkah penting pada bidang penyelenggaraan hukum adalah
diberlakukannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
Pengadilan-pengadilan Sipil. Berdasarkan ketentuan-ketentuan ini (yang dapat
dipandang sebagai perumusan politik hukum), maka yang dikehendaki UUDS
1950 adalah kodifikasi untuk beberapa bidang hukum tertentu tanpa secara
eksplisit mengharuskan unifikasi hukum. Pada masa ini, hanya hukum
proseduralnya saja yang sudah terunifikasi, sedangkan hukum substantifnya
masih tetap pluralistis seperti pada saat kemerdekaan diproklamasikan.
Tatanan hukum yang memperlihatkan ciri ciri tatanan hukum otonomius, yang
dalam dinamikanya memunculkan tatanan politik "Demokrasi Terpimpin".

Pertentangan ideologi sulit dikompromikan terutama ketika Badan


Konstituante melakukan pembahasan sidang untuk melakukan perumusan
dan pembahasan UUD negara sebagai pengganti UUDS 1950 sebagai amanat
dari pemilihan umum yang diselenggarakan pada tahun 1955. Karena dinilai
sulit untuk melakukan pembahasan, maka stabilitas negara sangat terancam,
menciptakan peluang dan mendorong Presiden Soekarno untuk melakukan
Dekrit Presiden.

4. Masa 1959 - sekarang

Dikeluarkannya Dekrit Presiden menjadi awal mula lahirnya gagasan


penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan demokrasi terpimpin yang
dimunculkan oleh Presiden Soekarno. Produk perundang undangan pada masa
demokrasi terpimpin yang penting dalam pertumbuhan tatanan hukum
Indonesia adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok
Agraria (UPPA), sekaligus menyatakan bahwa sebagian besar pasal dalam Buku
II KUHPer tidak berlaku lagi.

Pada tahun 1960, Menteri Kehakiman Sahardjo menerbitkan Keputusan yang


mengganti lambang hukum "Dewi Justisia" dengan "Pohon Beringin' dengan
seloka "pengayoman". Kemudian Sahardjo mengusulkan untuk tidak
memandang Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel sebagai kitab
undang-undang lagi. Pandangan Sahardjo ini kemudian diperkuat oleh Ketua
MA (Wirjono Prodjodikoro) dengan mengerluarkan Surat Edaran Ketua MA
kepada semua Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia.
Dalam surat ini menyatakan bahwa Burgerlijk Wetboek dibuat untuk
kepentingan Belanda, sehingga pada zaman kemerdekaan sudah tidak layak
sejajar dengan undang-undang resmi yang berlaku di Indonesia.

Selain itu, proyek perundang-undangan dalam periode demokrasi terpimpin


yang penting dalam kaitan dengan penyelenggaraan hukum, secara tajam
mengungkapkan sifat tatanan hukumnya adalah UU No. 19 Tahun 1964
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan ini berdampak besar
terhadap proses penyelenggaraan peradilan. Kondisi seperti ini sepanjang
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno,
sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pertentangan ideologi dan untuk
menyelesaikan revolusi, dalam prakteknya menjurus pada pola kehidupan
politik yang semakin otoriter.

Pada masa orde baru, dimulailah perjalanan sejarah baru bagi kehidupan
bangsa Indonesia berkeinginan kuat dengan semangat perjuangan dalam
mewujudkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dimana
untuk mewujudkannya, pemerintah orde baru menyuarakan hukum the rule
of law-nya dan pemerintahan yang kuat, bersih, dan berwibawa. Sehubungan
dengan itu, maka dapat dikatakan bahwa otoritas politik pada masa ini
terutama bertumpu pada legitimasi pembangunan/stabilitas ekonomi dan
stabilitas politik sebagaimana yang ditetapkan dalam GBHN atau yang disebut
dengan Trilogi Pembangunan.

Dalam berbagai bidang terkait perkembangan politik hukum sebagai kebijakan


negara pada masa orde baru dalam penerapan kebijakan hukum yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak dapat
terimplementasikan dengan baik. Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan
orde baru malah menyalahgunakan ketentuan peraturan perundang-
undangan demi kekuasaan. Sampai-sampai keterpurukan kondisi mencapai
puncaknya dan akhirnya Presiden Soeharto menyatakan diri untuk mundur
dari jabatan Presiden.
Pada masa reformasi, belajar dari pengalaman terdahulu membuat adanya
semangat untuk menuntut adanya reformasi politik dalam ketatanegaraan
Indonesia. Dengan keberhasilan tingkat reformasi politik, yang dibuktikan
dengan adanya amandemen konstitusi (UUD 1945) sebagai arah kebijakan
politik hukum. Amandemen konstitusi yang dilakukan empat kali perubahan
(1999 - 2002) oleh MPR ialah dapat dikemukakan dalam perubahan UUD 1945
secara keseluruhan yang terdiri dari 16 bab dan 37 pasal sebelum dilakukan
amandemen; jika dihitung dalam bagian bagian terkecil terdiri dari 65 butir
termasuk di dalamnya bab, pasal, dan ayat. Dari 37 pasal UUD 1945 yang asli
lima pasal yang tidak dilakukan perubahan, yakni Pasal 4 tentang Kekuasaan
Pemerintahan, Pasal 10 tentang Presiden Memegang Kekuasaan Tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, Pasal 12 tentang Agama,
dan Pasal 35 tentang Bendera.

Sedangkan dari butir butir perubahan UUD 1945 terdiri dari 65 butir yang
kemudia bertambah menjadi 197 butir. Dari jumlah itu 20 butir diantaranya
tetap, 43 butir diubah, dan 128 butir merupakan tambahan baru. Dengan
demikian, komposisi UUD 1945 dengan empat kali perubahan dalam satu
rangkaian yang merupakan bentuk politik hukum pada masa reformasi yang
diakhiri dengan disahkannya perubahan keempat UUD 1945 pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2002 yang lalu, maka disusunlah UUD 1945 yang mana
memiliki susunan sebagaimana berikut:

1. Undang Undang Dasar 1945 naskah asli;


2. Perubahan Pertama Undang Undang Dasar 1945;
3. Perubahan Kedua Undang Undang Dasar 1945;
4. Perubahan Ketiga Undang Undang Dasar 1945;
5. Perubahan Keempat Undang Undang Dasar 1945.

Dalam amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR selama empat kali
perubahan dapat digolongkan menjadi dua bagian persidangan, yaitu :
Pertama, pada Sidang Umum MPR Tahun 1999 telah dirumuskan 9 pasal
perubahan yang semuanya menyangkut pembatasan kekuasaan Presiden,
meliputi Pasal 5, 7, 9, 13, 14, 15, 17, 20, 21. Sedangkan pembagian yang kedua
pada Sidang Tahunan MPR yang terbagi dalam tiga persidangan.

REFERENSI

M.Najih dan Soimin, PHI (Konsep Sejarah dan Tata Hukum dan Politik Hukum
Indonesia, Setia Press, Malang, 2014

Anda mungkin juga menyukai