Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KELOMPOK MATERI TENTANG PENGATURAN (REGELING)

PERANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KELAS D/BT 15

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :

(Nama Anggota Kelompok)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
Jenis Peraturan Perundang-Undangan
Bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan
atau penyusunan peraturan perundang-undangan, karena :
Pertama, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan
atau dasar yuridis yang jelas, dan apabila tidak terdapat landasan tersebut maka batal demi
hukum atau dapat dibatalkan.
Kedua, hanya peraturan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi daripada
peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dapat dijadikan landasan atau dasar
yuridis.
Ketiga, pembentukan peraturan perundang-undangan berlaku prinsip bahwa peraturan
perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi dapat menghapuskan peraturan
perundang-undangan sederajat atau yang lebih rendah. Prinsip ini mengandung :
1) Pencabutan peraturan perundang-undangan yang ada hanya mungkin dilakukan oleh
peraturan perundang-undangan sederajat atau yang lebih tinggi.
2) Peraturan perundang-undangan yang sederajat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sederajat lainnya, maka berlaku peraturan perundang-undangan
yang dianggap terbaru dan yang lama telah dikesampingkan (lex posterior derogate
priori).
3) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka berlaku peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-bidang umum yang diatur oleh
peraturan yang sederajat, maka berlaku peraturan perundang-undangan yang
mengatur bidang khusus tersebut (lex specialis derogate lex generalis).
Keempat, pengetahuan mengenai seluk beluk peraturan perundang-undangan untuk
menciptakan suatu sistem peraturan perundang-undangan yang tertib sebagai salah satu unsur
perundang-undangan yang baik.

Dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia, dikenal ada berbagai jenis


peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit dalam UUD Tahun 1945 hanya
menyebutkan jenis peraturan perundang-undangan yaitu : UU, Perpu, dan PP, sedangkan
peraturan lainnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan praktek
ketatanegaraan Indonesia.

Berikut jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan sejarahnya :


A. Masa Hindia Belanda
Belanda datang ke Indonesia pada Tahun 1596, dimana hukum yang berlaku di
Indonesia adalah hukum tidak tertulis (Hukum Adat). Namun dengan masuknya
Belanda ke Indonesia dan mendirikan perserikatan dagang yang dikenal dengan nama
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), maka terjadi perubahan terkait hukum
yang ada. Masuknya VOC akibat diberikannya hak octrooi kepada VOC oleh Staten
Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-negara Belanda, hal ini berdampak
pada terjadinya dualisme hukum yakni adanya Hukum Adat dan Hukum yang dibuat
oleh pemerintah Belanda. Hukum Belanda adalah hukum yang diberlakukan bagi

2
orang eropa, khususnya Belanda di pusat-pusat dagang VOC, yang pada awalnya
berlaku bagi kapal-kapal VOC. Hukum tersebut terutama berupa hukum disiplin
(tucht recht). Namun pada akhirnya hukum Belanda juga diberlakukan kepada
pribumi dalam beberapa hal. Menurut Utrecht, hukum Belanda yang berlaku di daerah
kekuasaan VOC terdiri dari :
1. Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)
2. Hukum Belanda yang kuno
3. Asas-asas hukum Romawi
Pada masa ini peraturan yang tertinggi adalah perintah dari Raja Belanda,
kemudian yang ada dibawahnya adalah “Heeren Zewentie”, yaitu peraturan yang
dibuat di plakat- plakat buatan VOC untuk mengatasi keadaan-keadaan yang perlu
penanganan secara khusus. Pada masa Gubernur Jenderal Van Diemen (1636-1646)
meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari Hof Van Justitie
(setingkat MA) untuk mengumpulkan dan menyusun plakaat yang telah diterbitkan.
Pada Tahun 1642, “Heeren Zewentie” berhasil dihimpun (dikodifikasi), kemudian
diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia (Statuta Betawi). Statuta tersebut
berlaku sebagai hukum positif dan memiliki kekuatan berlaku yang sama
sebagaimana peraturan lain yang telah ada. Mengenai pemberlakuannya, Statuta
Betawi ditujukan kepada orang pribumi maupun orang pendatang. Kemudian pada
Tahun 1766 dihasilkan kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara.
Selanjutnya pada masa penjajahan Belanda berdasarkan Pasal 36 Netherland
Gronwet 1814, menentukan bahwa “Raja yang berdaulat punya kekuasaan tertinggi
atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di daerah-daerah lain....”. Dalam
melaksanakan kekuasaannya raja membuat peraturan bersifat umum yang biasa
disebut dengan “Algemene Verordering” (peraturan pusat) atau “Koninklijk Besluit”
(besluit raja = keputusan/penetapan) yang berlaku dibidang eksekutif untuk daerah
jajahan dan “Aglemene Maatregel van Bestuur” (AmvB) yang berlaku untuk
pemerintah Belanda. Peraturan ini dibuat oleh raja (kroon) bersama dengan parlemen
Belanda (staten general).
Setelah adanya kodifikasi pada tanggal 1 Oktober 1838, Komisi Undang- undang
untuk Hindia Belanda membuat peraturan yaitu : Algemene Bapalingen van
Wetgeving (AB) (stb.1847.No.23) atau ketentuan umum tentang perundang-
undangan. Selain peraturan tersebut dihasilkan pula beberapa kodifikasi yaitu :
a. Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi
pengadilan;
b. Burgerlijke Wetboek (BW) Kitab Undang-undang Hukum Sipil;
c. Wetboek van Kophandel (WvK) KUHD
d. Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) peraturan tentang Acara
Perdata.
e. Inlandsch Reglement (IR) yaitu reglement bumi putera (peraturan tentang
acara perdata yang berlaku untuk Bumi Putera), belakangan peraturan ini
berubah menjadi HIR (Herzeine Inlandsch Reglement).

3
Selanjutnya antara Tahun 1855-1926 terjadi perubahan Grondwet di negeri
Belanda, dari monarki konstitusional menjadi monarki konstusional parlemen. Dari
perubahan tersebut membuat kekuasaan raja atas daerah jajahan menadi sedikit
terkurangi. Bentuk undang-undang (wet) pada waktu ini dinamakan Regerings
Reglement (RR) diundangkan mulai tanggal 1 Januari 1854 stb.1854 No.2) yang
mengatur tentang kebijakan pemerintah di Hindia Belanda. Kemudian pada tahun
1918 dibentuk sebuah “Volksraad” (wakil rakyat) untuk ikut serta dalam pembuatan
undang-undang. Pada Tahun 1922 terjadi perubahan grondwet di negeri Belanda.
Grondwet tersebut kemudian diberi nama “Indische Staatregeling” (stb.1925, Nomor
415) yang memberi kekuasaan kepada daerah jajahannya untuk membuat peraturan
sendiri. Dengan demikian jenis peraturan pada masa Hindia Belanda yang dibentuk
antara lain :
1. Reglement op het beleid der Regering van Nederlands Indies yang disingkat
dengan Regering Reglement (RR), dan kemudian berubah menjadi Wet op the
Staatsinrichting van Netherlands Indie (IS) dianggap sebagai Undang-Undang
Dasar.
2. Ordonantie Gouvernour Genneral adalah peraturan setingkat UU yang terdiri
dari 2 jenis yaitu :
a. Ordonansi yang dibuat oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan
Voolksraad, yang mengatur mengenai pokok-pokok persoalan
menyangkut Nederland Indie; dan
b. Ordonansi yang ditentukan dalam Grondwet atau Wet yaitu :
1) Regeringsverordening (R.V) setingkat Peraturan Pemerintah,
adalah peraturan untuk melaksanakan wetten, AMvB dan
ordonansi dan dapat mencantumkan ketentuan pidana;
2) Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) merupakan
peraturan untuk mengatur hal-hal yang bersifat administratif,
dan tidak dapat mencantumkan ketentuan pidana.
3) AMvB dan Wetten, yang dibuat oleh Raja ( Kroon) bersama
dengan parlemen Belanda (Staten General)

B. Masa Pendudukan Jepang


Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan pada masa berkuasanya Jepang jenis
peraturan perundang-undangan yang ada adalah :
1. Osamu Seirei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Seikosikikan
(pemerintah sipil);
2. Osamu Kanrei, merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Kepala Staf
(Gunseikan).
Peraturan tersebut diudangkan dalam Lembaran Negara yang disebut Kanpo

4
C. Masa Kemerdekaan
Masa ini terbagi dalam beberapa periode, yakni masa setelah kemerdekaan
tanggal 17 Agustus Tahun 1945 sebagai berikut :
 Masa Berlakunya UUD Tahun 1945
Pada masa awal kemerdekaan dan berlakunya UUD Tahun 1945, jenis
peraturan perundang-undangan yang ada masih belum tersusun karena situasi
dan kondisi masa itu, misalnya adalah kadang-kadang berbentuk nota-nota
dinas, maklumat, surat-surat edaran dan lain sebagainya diperlakukan sebagai
peraturan yang seakan mengikat secara hukum. Bahkan, Wakil Presiden
mengeluarkan Maklumat yang isinya membatasi tugas dan fungsi Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang saat itu berperan sebagai lembaga
legislatif, tetapi maklumat itu dibuat tanpa nomor, sehingga dikenal kemudian
sebagai Maklumat No.x tertanggal 16 Oktober 1945.
Dalam UUD Tahun 1945 jenis peraturan yang ada adalah : Undang-
Undang yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat
2) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) yang diatur
dalam Pasal 22 ayat (1). Namun dalam prakteknya dikeluarkan juga beberapa
peraturan perundang-undangan lainnya yaitu : Penetapan Presiden (Penpres),
Peraturan Presiden (Perpres), Penetapan Pemerintah, Maklumat Presiden dan
Maklumat Wakil Predsiden.
 Masa Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) Tahun
1949
Dalam Konstitusi RIS yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949,
bentuk- bentuk peraturan yang tegas disebut adalah Undang-Undang Federal,
Undang- Undang Darurat, dan Peraturan Pemerintah. UU Federal adalah
merupakan UU yang dibuat oleh pemerintah federal. Undang-Undang Darurat
adalah UU yang dikeluarkan untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan
federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan
segera. Peraturan ini mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federal.
Peraturan Pemerintah, adalah peraturan untuk menjalankan ketentuan UU
yang ditetapkan oleh Pemerintah.Peraturan ini dapat memuat ancaman
hukuman atas pelanggaran aturan-aturannya. Berdasarkan Pasal 127 KRIS
terdapat 3 macam Undang-Undang Federal yaitu :
1. Undang-Undang yang dibentuk pemerintah Bersama dengan DPR dan
Senat yang mengatur tentang daerah bagian dan bagiannya, hubungan
antara RIS dengan daerah bagiannya;
2. Undang-Undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan
DPR;
3. Undang-Undang yang dibentuk Pemerintah bersama-sama dengan
DPR dan Senat, khusus mengenai Perubahan KRIS.
Pada saat berlakunya KRIS, dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1950 tentang
Jenis dan Bentuk Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia Yogyakarta yang merupakan
5
negara bagian dari RIS. UU ini dikeluarkan oleh Negara RI di Jogyakarta
(negara bagian), sedangkan untuk RIS (pemerintah federal) berlaku UU Drt 2-
1950.
Jenis peraturan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang tersebut adalah :
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Menteri.
 Masa Berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950
Dengan berlakunya UUDS tanggal 17 Agustus Tahun 1950, jenis
peraturan perundang-undangan yang ada adalah :
a. Undang-Undang (Pasal 89);
b. Undang-Undang Darurat (Pasal 196);
c. Peraturan Pemerintah (Pasal 98).
Selain peraturan tersebut diatas, terdapat peraturan lainnya yakni :
a. Peraturan Menteri;
b. Keputusan Menteri; dan
c. Peraturan Tingkat Daerah.
 Masa Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai dengan Masa
Reformasi (UUD Tahun 1945 Pasca amandemen)
Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959, maka Bangsa
Indonesia kembali kepada UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, jenis peraturan
perundang-undangan adalah apa yang tertuang didalam UUD Tahun 1945, dan
apa yang tertuang dalam Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong (DPRGR) No. 2262/HK/59 tanggal 20 Agustus 1959
yang selanjutnya dijelaskan lebih lanjut dengan Surat Presiden No.
3639/HK/59 tanggal 26 November 1959.
Dengan demikian, “bentuk-bentuk” peraturan-peraturan Negara setelah
UUD adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Penyebutan jenis-jenis tersebut dalam Undang-Undang Dasar bersifat
enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-
bentuk lain yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu
berdasarkan Surat Presiden No.2262/HK/1959 tertanggal 20 Agustus 1959
yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan
bahwa di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di
atas, dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang lain, yaitu :
1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang Kembali
Kepada UUD Tahun 1945.

6
2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan
berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945.
3. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Presiden,
sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemerintah yang
dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945.
4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau
meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh
kementerian- kementerian negara atau Departemen-Departemen
pemerintahan, masing- masing untuk mengatur sesuatu hal dan untuk
melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan antara satu
bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan, dalam praktek, bentuk
yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden. banyak materi yang seharusnya diatur dalam UU, justru diatur
dengan Penetapan Presiden ataupun Peraturan Presiden.
Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Lama, pada Tahun 1966, MPRS
mengeluarkan TAP MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali
Produk-Produk Legislatif Negara di Luar Produk Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara yang tidak sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, yaitu tentang Memorandum DPRGR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan
Republik Indonesia. TAP MPRS tersebut dimaksudkan untuk menata dan
mendudukkan secara konstitusional jenis dan bentuk peraturan perundang-
undangan yang banyak “menyimpang” dari UUD Tahun 1945.
Dalam Lampiran II Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, ditentukan
bentuk peraturan dengan tata urutan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar
2. Ketetapan MPR.

3. Undang-Undang/Perpu.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan Presiden.

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri,


Instruksi Menteri, dan lain-lain.

Jenis peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam TAP MPRS


tersebut banyak mengandung kelemahan, salah satu contoh adalah tidak
diaturnya secara tegas jenis peraturan tingkat daerah khususnya Peraturan
Daerah (Perda), sehingga terkesan kurang dihormatinya Perda dan Keputusan

7
Kepala Daerah yang bersifat pengaturan (regeling) sebagai bagian dari sistem
peraturan perundang-undangan nasional.

Setelah runtuhnya Pemerintahan Orde Baru, MPR menetapkan TAP MPR


No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.
Jenis dan tata urutan (susunan) peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 2 TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah :

1. UUD 1945;

2. Ketetapan (TAP) MPR;

3. Undang-Undang (UU);

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah (PP);

6. Keputusan Presiden (Keppres); dan

7. Peraturan Daerah (Perda).

Selanjutnya dalam Pasal 3 ditentukan bahwa :


(1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara
Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam
penyelenggaraan negara.
(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(3) Undang-undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama
Presiden untuk melaksanakan UndangUndang Dasar 1945 serta
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
(4) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh Presiden
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus diajukan
ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang
berikut;
b. Dewan Perwakilan Rakyat dapat menerima atau menolak
peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan tidak
mengadakan perubahan;
c. Jika ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, peraturan pemerintah
pengganti undang-undang tersebut harus dicabut.

8
(5) Peraturan pemerintah dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan
perintah undang-undang.
(6) Keputusan presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk
menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan pelaksanaan
administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
(7) Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan
hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan :
a. Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah propinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara
pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh
peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
TAP MPR No. III/2000 tidak berlaku lama, selanjutnya pada Tahun 2004
dikeluarkanlah UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 ditentukan :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan
rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan
perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya.
Berdasarkan hierarki pada Pasal 7 tersebut, maka dalam UU No. 10
Tahun 2004 dikenal dan diakui secara formal satu jenis peraturan baru yakni
Peraturan Desa (Perdes) yang kedudukannya berada dibawah Perda
Kabupaten. Jenis peraturan perundang-undangan selain yang ditentukan dalam
Pasal 7 ayat (1) tersebut, dikenal juga jenis lainnya yang mempunyai kekuatan
mengikat berdasarkan Pasal 7 ayat (4) yang menyebutkan bahwa : Jenis
Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

9
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) tersebut disebutkan bahwa jenis
Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain,
peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-
undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

UU No. 10 Tahun 2004 kemudian dirubah kembali dengan UU No. 12


Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Perubahan
terhadap UU No. 10 Tahun 2004 dilakukan karena Undang-Undang ini
banyak mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain :
a. materi dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 banyak yang
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan
suatu kepastian hukum;
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten;
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan
atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan; dan
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai
dengan sistematika.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari uraian tersebut maka sama halnya dengan UU No. 10 Tahun 2004,
dalam UU ini juga diakui jenis peraturan perundang-undangan lainnya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yang menentukan bahwa :
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

10
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan ini mempunyai
kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
Ketentuan tersebut mengindikasikan terdapat 2 jenis peraturan perundang-
undangan yakni peraturan perundang-undangan didalam hierarki dan diluar
hierarki yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 12/2011. Jenis peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011
dapat disebut sebagai Jenis Peraturan Perundang-undangan di Dalam Hierarki,
untuk membedakan dengan jenis peraturan perundang-undangan yang diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, yang dapat disebut Jenis Peraturan
Perundang-undangan di Luar Hierarki.

Berikut dijelaskan jenis-jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan


dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 :

A. Undang-Undang Dasar
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan
yang tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah UUD Tahun
1945. Hal tersebut telah diatur dengan tegas dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun
2011. Dengan kedudukan yang tertinggi itu berarti bahwa peraturan yang berada
dibawahnya harus berdasar atau bersumber pada UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 3
ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut A.Hamid S Attamimi, UUD Tahun 1945 tidak tepat disebut sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan dengan mengatakan bahwa : UUD
Tahun 1945 dan Ketetapan MPR tidak tepat masuk dalam jenis peraturan perundang-
undangan karena termasuk dalam aturan dasar. Sedangkan yang termasuk peraturan
perundang-undangan adalah undang-undang/perpu, Pertauran Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Keputusan Direktur Jendral Departemen, keputusan kepala badan negara diluar
jajaran pemerintah yang dibentuk dengan undang-undang, Peraturan Daerah Tingkat
I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Keputusan Gubernur Kepala Daerah
, Keputusan Bupati/Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Eksistensi UUD Tahun 1945 sendiri diakui dalam Pasal 3 ayat (1) UUD Tahun
1945 yang menyebutkan bahwa; MPR berwenang mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar.

B. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR. Sedangkan

11
yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” dalam UU No.
12 Tahun 2011 adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003.

C. Undang-Undang (UU) / Perpu


Jenis peraturan perundang-undangan yang ketiga menurut UU No. 12 Tahun
2011 adalah Undang-Undang (UU). Landasan Hukum UU diatur dalam Pasal 20 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa : yang
memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang adalah DPR. Selanjutnya
dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 2011 menyebutkan : Undang- Undang
adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden.
Dengan demikian maka dalam pembentukan UU lembaga legislatif
memepunyai peranan yang sangat menentukan keabsahan dan kekuatan mengikat UU
itu untuk umum. Menurut para ahli hukum antara lain P.J.P.Tak dalam bukunya
Rechtsvorming in Netherland pengertian UU dibagi menjadi : UU dalam arti materiil
(wet materiele zin) dan UU dalam arti formal (wet formele zin). UU dalam arti formil
adalah apabila pemerintah bersama dengan parlemen mengambil keputusan –
maksudnya untuk membuat UU- sesuai dengan prosedur. Sedangkan UU dalam arti
materiil adalah jika suatu lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan mengeluarkan suatu keputusan yang isinya mengikat
masyarakat secara umum.
Dengan kata lain, UU dalam arti Materiil melihat UU ari segi isi, materi dan
dan substansinya. Sedangkan UU dalam arti formil dilihat dari segi bentuk dan
pembentukannya. Pembedaan tersebut hanya dilihat dari segi penekanannya yaitu
sudut penglihatan, yaitu undang-undang yang dilihat dari segi materinya dan undang-
undang yang dilhihat dari segi bentuknya. Sedangkan arti Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam angka 4 pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011
disebutkan bahwa : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa. Perpu ditetapkan tanpa terlebih dahulu meminta
persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hanya dapat dilakukan
dalam hal ikhwal kegentingan memaksa. Perpu harus mendapatkan persetujuan DPR
pada sidang berikutnya untuk dapat berubah menjadi UU. Bila tidak maka Perpu
tersebut harus dicabut.

D. Peraturan Pemerintah (PP)

12
Dasar hukum PP adalah Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyebutkan
bahwa : Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-
undang sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan Peraturan Pemerintah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 1 angka 5) UU No. 12 Tahun 2011.
Dengan demikian maka tidak akan ada PP jika tidak ada UU yang menjadi induknya.
Menurut A Hamid S Attamimi, kharakteristik dari PP adalah :
1. PP tidak dapat lebih dulu dibentuk tanpa ada UU yang menjadi induknya;
2. PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana apabila UU yang bersangkutan
tidak mencantumkan sanksi pidana;
3. Ketentuan PP tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan UU yang
bersangkutan;
4. PP dapat dibentuk meski ketentuan UU yang bersangkutan tidak memintanya
secara tegas;
5. Ketentuan-ketentuan PP berisi peraturan atau gabungan peraturan dan
penetapan. PP tidak berisi penetapan semata-mata.

E. Peraturan Presiden (Perpres)


Peraturan Presiden adalah salah satu jenis peraturan perundang-undang yang
baru ditentukan dengan tegas dalam UU No. 10 Tahun 2004. Sebelum keluarnya UU
No. 10 Tahun 2004 dalam hierarki PPU dikenal istilah Keputusan Presiden (Keppres)
yang mempunyai sifat mengatur. Setelah keluarnya UU No. 10 Tahun 2004, istilah
keputusan kemudian diganti dengan istilah “Peraturan”, hal ini dimaksudkan untuk
lebih memperjelas bentuk peraturan apakah berupa “regelings” (pengaturan) ataukah
“beschiking” (penetapan). Kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda
yaitu; jika berbentuk pengaturan maka bersifat deuerhaftig yakni berlaku terus
menerus, dan jika bentuknya adalah “keputusan” maka sifatnya adalah einmalig yaitu
sekali selesai.
Dasar hukum Perpres terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
menentukan bahwa : Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UndangUndang Dasar. Dalam rangka melaksanakan
kekuasaan pemerintahan tersebutlah, presiden dapat mengeluarkan Perpres. Yang
dimaksud dengan Perpres adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (Pasal 1 angka 6, UU
No. 12 Tahun 2011).
Rumusan tersebut jelas menegaskan bahwa kewenangan untuk membentuk
Perpres adalah ditangan Presiden, dan pembentukan Perpres dilakukan dalam rangka
pelaksanaan pemerintahan oleh presiden.
Dari segi wewenang Perpres dapat dibedakan :
1. Perpres sebagai pelaksanaan kewenangan dari presiden baik presiden sebagai
kepala negara maupun kepala pemerintahan. Disini Presiden mempunyai
kewenangan secara mandiri untuk membuat Perpres yang tidak tetap batas
lingkupnya. Kewenangan disini merupakan kewenangan atributif yang

13
diberikan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945. Perpres mandiri ini
adalah konsekwensi dari kedudukan presiden sebagai penyelenggara
pemerintahan negara tertinggi, dimana kekuasaan dan tanggung jawab ada
ditangan Presiden (cocentration of power and responsibility upon the
President).
2. Perpres dapat juga dibentuk karena delegasi (delegated legislation), sebagai
peraturan delegasi untuk melaksanakan perintah UUD, UU maupun PP.

F. Peraturan Daerah Propinsi


Dalam UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 18 ayat (6) ditentukan bahwa :
Pemerintahan daerah berhak untuk menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Perda terbagi
menjadi Perda Propinsi dan Perda Kabupaten.
Yang dimaksud dengan Perda Propinsi adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan
bersama Gubernur (Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 2011). Termasuk dalam
Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf f) UU
No. 12 Tahun 2011.

G. Peraturan Daerah Kabupaten,


Adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal
1 angka 8). Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang
berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh (Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf g).
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, dalam Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa
Peraturan Daerah Provinsi atau nama lainnya dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
atau nama lainnya, yang selanjutnya disebut perda adalah peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah.

Fungsi Peraturan Perundang-undangan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti fungsi adalah sebagai berikut :
1. Jabatan (pekerjaan) yang dilakukan;
2. Faal (kerja suatu bagian tubuh);
3. Mat besaran yg berhubungan, jika besaran yang satu berubah, besaran yang lain juga
berubah;
4. Kegunaan suatu hal;
5. Ling peran sebuah unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti omina
berfungsi sebagai subjek).
Terkait peraturan perundang-undangan maka fungsi peraturan perundang-undangan dapat
diartikan sebagai kegunaan peraturan perundang-undangan secara umum dan secara khusus
sesuai dengan jenisnya. Atau dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah

14
sebagai instrumen kebijakan (beleids instrument), yang dikeluarkan oleh pejabat atau
lembaga yang berwenang yang memiliki kegunaan atau fungsi-fungsi tertentu.
Ada perbedaan antara fungsi hukum dan fungsi peraturan perundang- undangan. Fungsi
hukum dimaksudkan sebagai fungsi dari setiap sumber hukum, sedangkan fungsi peraturan
perundang-undangan adalah fungsi dari salah satu sumber hukum, yaitu peraturan perundang-
undangan itu sendiri.
Robert Baldwin dan Martin Cave, sebagaimana dikutip oleh Ismail Hasani dan Prof. Dr.
A. Gani Abdullah, SH, mengemukakan bahwa peraturan perundang undangan memiliki
fungsi :
a. Mencegah monopoli atau ketimpangan kepemilikan sumber daya;
b. Mengurangi dampak negatif dari suatu aktivitas dan komunitas atau lingkunganya;
c. Membuka informasi bagi publik dan mendorong keseteraan antar kelompok
(mendorong perubahan institusi, atau affirmative action kepada kelompok marginal);
d. Mencegah kelangkaan sumber daya public dari eksploitasi jangka pendek;
e. Menjamin pemerataan kesempatan dan sumber daya serta keadilan sosial, perluasan
akses dan redtribusi sumber daya; dan
f. Memperlancar koordinasi dan perencanaan dalam sektor ekonomi.

15

Anda mungkin juga menyukai