Anda di halaman 1dari 43

c.

persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval)

d. pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional
dan dokumen-dokumen hukun yang mengikat lainnya (building decision making on
international agreement and treatiesn or other legal binding document)

2. Fungsi Pengawasan (Controlling)

Adapun bentuk-bentuk fungsi control atau pengawasan meliputi:

a. Pengawasan terhadap penentuan terhadap kebijakan (control of policy making)


b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing)
c. Pengawasan terhadap penganggaran dan belanja negara (control of budgeting)
d. Pelaksanaan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja negara (control of budgeting
implementation)
e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performance)
f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of political appointment of
public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan, ataupun dalam bentuk
pemberian pertimbangan oleh DPR.

Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan
kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah
mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah. Pada pokoknya,
Undang-Undang Dasar dan undang-undang serta peraturan perundang-undangan pelaksaanaan
lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang
dituangkan dalam bentuk hukum tertentu dalam bentuk hukum yang lebih tinggi. Setiap
kebijakan dimaksud, baik menyangkut bentuk penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya
haruslah dikontol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat.
BAB 5

POLITIK HUKUM JENIS DAN TATA URUTAN (HIERARKI) PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DARI MASA KE
MASA

A. Konsep Politik Hukum

Menurut Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan
kemudian dielengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah forum keadilan Yang berjudul
“Menyelisik Proses Terbentuknya Prundang-undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo
Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara tentang
apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hai ini kebijakan tersebut
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.

Menurut Teuku Mohammad Radhie mendefininisikan politik hukum sebegai suatu


pernyataan kehendak pengusan negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dengen
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.

Menurut Satjipto Rahardjo. Politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dan hukum tertentu dalam masyarakatt. Di dalam
studi politik hukum, menurut Satjipto Rahardjo, muncul beberapa pertanyaan mendasar
mandasar yang muncul, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui system hukum yang
ada?, (2) cara-cara apa dan yang mana, ayang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai
tujuan tersebut?, (3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukumitu perlu diubah?; (4)
dapatkah pola yang baku dan ma[an dirumuskanuntuk membantu dalam memutuskan proses
pemilihan tujuan serta cita-cita untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik?

Sunaryat Hartono tidak secara eksplisit merumuskan arti politik hukum. Namun, substansi
pengertian darinya bias ditangkap ketika dia menyebut hukum sebagai alat dan bahwa secara
praktis politik hukum merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional untuk mencapai cita-cita bangsa dan
tujuan negara.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nuasantara, politik hukum sebagai legal policy atau
kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu yang meliputi (1) pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum
yang telah ada; (2) pembangunan hukum yang berintikan pembaruanatas hukum yang telah ada
dan pembuatan hukum-hukum baru; (3) penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta
pembinaan para anggotanya; dan (4) peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut presepsi
elite pengambi kebijakan.

Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan
dasar pajak dan cara untuk membuat dan melasanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan
bangsa dan negara.

B. Politik Hukum Jenis dan Tata Urutan (Hierarki) Peraturan Perundang-undangan dari
Masa ke Masa
Berangkat dari politik pemahaman hukum, maka penulis berpendapat bahwa definisi politik
hukum hierarki peraturan perundang-undangan adalah suatu kebijakan hukum (legal policy)
negara untuk mencapai tujuan nasionalnya dengan membentuk hukum berupa peraturan
perundang-undangan dalam rangka menentukan tata urutan (hierarki) jenis-jenis peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan di negara tersebut.
Produk hukum yang pernah ada di Negara Repupblik Indonesia berkaitan dengan hierarki
peraturan perundang-undangan dapat diketahui mulai dari masa penjajahan Belanda, masa
penjajahan Jepang, masa kemerdekaan Republik Indonesia, dan masa pasca kemerdekaan
Republik Indonesia
1. Masa Penjajahan Belanda
Peraturan perundang-undangan pada masa penjajahan Belanda dilihat dari tiga masa
meliputi ;
a. Masa Besluiten Regering
Koninklijk Besluit (K.B) dibuat oleh raja dan dibantu oleh menteri jajahan atau menteri
lainnya dengan mendengar Rad van State. K.B pada masa itu disebut “Publicatie”
Burgelijk Wetboek (BW 1874 No.23).
b. Masa Regering Reglement
Masa ini adalah bentuk wet, K.B. Kroon Ordonatie, Ordonatie
1) Wet dibuat oleh raja dengan mendengar Raad van state dan bersama sama Staten
General misalnya Mijnwet (S. 1899 No.214).
2) K.B adalah Koninklijk Besluit pembuanya sama dengan K.B pada masa Besluit
Regeling misalnya Agrarisch Besluit (S.1870 No.118)
3) Kroon Ordonantie dibuat Gubernur Jenderal (Gouverneur General) dengan
mendengar Raad van Nederalnd-Indie (semacam DPA di daerah jajahan) dan
pertolonga raja yang dapat berupa izin atau pengesahan misalnya Rechtswezen
Reglement Bengkoelen (S. 1909 No. 3208) Vee Paarden Ordonantie (S. 1090
No.574)
4) Ordonantie dibuat oleh Gubernur Jenderal dengen mendengar van Netherlan-Indie
misalnya Ontoeigennings Ordonantie (S. 1920 No.574)
c. Masa Insische Staatsregeling
Masa adalah bentuk wet K. B Kron Ordonantie dan Regering verordening
1) Wet seperti masa R.R misalnya Zee en Luzhvaart verzekeringswet (S. 1939 No.448)
2) K. B seperti masa R.R misalnya peraturan S. O . B (S. 1939 No.5).
3) Kroon Ordonantie dibuat Gubernur Jenderal (Gouverneur General) dengan
mendengar Raad van Nederalnd-Indie dan bersama-sama dengan Volksraad nisalnya
Wegverkeers Ordonantie (S. 1933 No.86)
4) Regering verordening dibuat Gubernur Jenderal dengan mendengar Raad van
Nederland-Indie untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi misalnya wet, K.B,
Kroon Ordonantie contohnya Wetverkeers Verordening (S. 1936 No. 452) UItvoering
van de regeling op de SOB (S. 1940 No. 78)
2. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini peraturan perundang-undangan antara lain :
a. osamu Seirei dikeluarkan oleh Seikosikikan;
b. osamu Kanrei dikeluarkan oleh Gunseikan.
3. Masa Republik Indonesia (1945-1949)
Berdasarkan UUD 1945 asli (Sebelum Perubahan) peraturan perundang-undangan meliputi:
1. Undang-Undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 UUD 1945).
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh
Presiden dalam hal ikhwal yang mendesak (keadaan genting) (Pasal 22 UUD 1945)
3. Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan
Undang-Undang (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945).
4. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949-1950
Masa Konstitusi RIS dari tanggal 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan antara lain:
a. Undang-Undang Federal, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Negara Federal.
Ada dua jenis Undang-Undang Federal meliputi:
1. Undang-Undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat Federal dan Senat (Pasal 127 huruf a Konstitusi RIS).
2. Undang-Undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat Federal (Pasal 127 huruf b Konstitusi RIS).
b. Peraturan Pemerintah Federal, yaitu peraturan untuk ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah
untuk melaksanakan Undang-Undang (Pasal 141 Konstitusi RIS). Pada masa ini jenis-jenis
peraturan perundang-undangan dapat diketahui sebagai berikut.
1. Konstitusi (Undang-Undang Dasar).
2. Undang-Undang Darurat.
3. Peraturan Pemerintah.
4. Keputusan Presiden.
5. Peraturan atau Undang-undang Negara Bagian.
6. Peraturan Menteri.
7. Peraturan Daerah.
5. Masa Republik Indonesia (1950-1959)
Masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 mulai pada
tanggal 17 Agustus 1950. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan pada masa itu antara lain:
a. Undang-Undang,yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89 UUDS 1950).
b. Undang-Undang Darurat, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah dalam
hal ikhwal yang mendesak (Pasal 96 UUDS 1950).
c. Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah untuk
melaksanakan Undang-Undang (Pasal 98 UUDS 1950).
d. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar;
2. Undang-Undang;
3. Undang-Undang Darurat;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Penetapan Presiden,yaitu peraturan untuk melaksanakan Dekrit;
6. Peraturan Presiden, peraturan untuk melaksanakan Penetapan Presiden;
7. Keputusan Presiden;
8. Peraturan Perdana Menteri;
9. Peraturan Menteri;
10. Keputusan Menteri;
11. Peraturan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
6. Masa sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (1959-1965)
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945.Setelah Dekrit Presiden sampai tahun 1965, jenis peraturan
perundang-undangan selain seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga diatur
dalam Surat Presiden kepada Ketua DPR GR tanggal 20 Agustus
1959 or 2262/HK/1959 tentang Bentuk Peraturan-peraturan Negara antara lain:
a. Penetapan Piesiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden Panglima Tertinggi Angkatan
Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang "Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945".
b. Peraturan Presiden, yaitu peraturan: (a) yang didasarkan Pasal 4 ayat (1) atau (b) untuk
melaksanakan Penetapan Presiden.
c. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan suatu Peraturan Presiden.
d. Keputusan Presiden untuk melaksanakan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
e. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat di Kementerian-kementerian
Negara/Departemen-departemen dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-
pengangkatan.
f. Pada masa 1959-1965 sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun
Surat Presiden tanggal 20 Agustus 1959, jenis peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Penetapann Presiden.
4. Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden.
5. Keputusan Presiden.
6. Peraturan Menteri.
7. Keputusan Menteri.
8. Produk hukum Badan/Lembaga yang lebih rendah dan Peraturan Daerah Tingkat I dan
Tingkat II.
7. Masa Tahun 1966-1998

Pada tahun 1966-1998 dibentuk, ditetapkan, dan diberlakukan Ketetapan Majelis


Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XX/MPRS/1966 Tentang
Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pada Diktum II disebutkan tentang Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan meliputi ;

1. Undang-Undang Dasar 1945;


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang·Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Keputusan Presiden;
6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
1) Peraturan Menteri;
2) Instruksi Menteri;
3) Dan lain-lainnya.
8. Masa Reformasi
Hierarki peraturan perundang-undangan pada era reformasi, yaitu Kctetapan
MajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor III/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa Tata urutan
peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya.
Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3. Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan Presiden;
7. Peraturan Daerah.

Selanjutnya, Pasal 3 ayat (7) berbunyi bahwa Peraturan daerah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan.

a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur.
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat,
sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

9. Masa Pasca Reformasi

Hierarki peraturan perundang-undangan pasca era reformasi ditandai dengan adanya dua produk
hukum, yaitu: UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pada saat berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 hierarki peraturan perundang-undangan, hierarki
peraturan perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut.


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi
bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilian rakyat daerah
kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama
lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat
diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Namun,ketika UU No. 12 Tahun 2011 terbentuk dan menggantikan UU No.10 Tahun 2004,
hierarki peraturan perundang-undangan pun mengalami perubahan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:


a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoncsia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB 6

HAKIKAT PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPPU)


DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA REPUBLIK
INDONESIA

Negara hukum modern cenderung urituk menjadi negara hukum yang progresif bilamana
dilihat dari inisiatif untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang datangnya selalu dari pihak
negara (pemerintah) artinya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum maka negara akan
selalu aktif mengambil inisiatif untuk bertindak, bukan rakyat yang harus“meminta-minta” untuk
dilayani oleh negara. Di sinilah gambaran tentang negara hukum Indonesia yang dicita-citakan.

Pada tipe negara kesejahteraan modern seperti Indonesia ini maka pemerintah (bestuur) diberi
kewajiban untuk turut serta dan aktif dalam pergaulan sosial ekonomi rakyatnya demi terwujudnya
kesejahteraan bersama. Dengan demikian, pemerintah atau administrasi negara (bestuur)
memerlukan ruang gerak yang lebih bebas agar dapat bertindak cepat, tepat dan berfaedah atas
inisiatif sendiri terhadap sesuatu yang peraturannya belum dibuat oleh pembuat undang-undang
atau yang telah dibuat tetapi peraturannya tidak konkret.

Dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan sering terjadi hal-hal yang tidak
normal dalam menata kehidupan kenegaraan, di mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak
mampu mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna
meniamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.Dengan
demikian, maka penggunaan perangkat hiukum biasa sejak semula haruslah mengantisipasi
berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak normal agar negara dapat menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Negara yang demikian dapat dikatakan dalam
keadaan darurat (state emergency) dan untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka harus
dibentuk peraturan yang bersifat khusus.

Keadaan darurat mempunyai pengertian yang luas, ia dapat berwujud keadaan darurat militer
atau keadaan darurat perang, keadaan darurat karena bencana alam, keadaan darurat administratif
berupa keadaan darurat keuangan (financial emergency) atau keadaan darurat yang biasa disebut
welfare emergencydan lain sebagainya. Dalam keadaan-keadaan yang tidak biasa atau tidak
normal tersebut berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang memerlukan pengaturan
tersendiri baik mengenai syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya dan tata cara
mengakhirinya, serta hal-hal yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pemerintah dalam
keadaan darurat tersebut agar tidak memberi kesempatan timbulnya penyalahgunaan wewenang
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Pemberlakuan suatu keadaan darurat (state of emergency) di suatu negara yang menganut
sistem pemerintahan presidensial sebagaimana halnya di Indonesia memberikan pembenaran
kepada Presiden untuk mengamb:l tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan darurat
tersebut dengan tetap memerhatikan peran DPR untuk: a) melakukan pengawasan yang ketat
dalam menentukan adanya suatu keadaan darurat (recognizing an emergency);b) membentuk
kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu (creating the powers to deal with it); c) memantau
pelaksanaan kewenangan pemerintah (eksekutif) untuk mengatasi keadaan yang tidak normal
tersebut; d) menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam
keadaaan darurat tersebut; e) apabila diperlukan menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat
atau meminta kepada Presiden untuk menyatakan mengakhiri keadaan darurat tersebut.149

Di Negara Republik Indonesia, untuk mengantisipasi state emtergency, UUD NRI Tahun
1945 memberikan kewenangan membentuk peraturan khusus, yaitu: Pasal 12 yang berbunyi
bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang. Selanjutnya, Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi
sebagai berikut.

(1) Dalam halihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui adanya'dua kategori dari adanya
keadaan yang tidak biasanya'(luar biasa) dari negara atau keadaan darurat negara (state of
emergency) yakni Pertama,keadaan bahaya, dan kedua, hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Kedua kategori tersebut mempunyai makna yang sama sebagai keadaan darurat negara (state of
emergency), namun keduanya mempunyai perbedaan pada penekanannya yakni istilah keadaan
bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal). Penggunaan kedua
pasal tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 lebih berfokus pada
kewenangan Presiden seiaku kepala negara untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari
gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 berada pada ranah
(domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu.
Dengan demikian lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang
bersifat mendesak. Itulah sebabnya maka apabila dicermati ketentuan UUD NRI Tahun 1945
maka terdapat tiga unsur penting secara bersaina-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian
keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa,
yaitu pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur
adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya
keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam konteks Negara Indonesia, beberapa syarat formil yang
harus dipenuhi untuk pemberlakuan suatu keadaan darurat adalah sebagai berikut. (a) Pernyataan
atau deklarasi berlakunya keadaan darurat itu harus dituangkan dalam bentuk tertentu yaitu
dengan Peraturan Presiden sedangkan pengaturan materil yang diperlukan dalam keadaan darurat
tersebut dituangkan dalam bentuk Perppu sebagaimana dimaksud oleh UUD NRI Tahun 1945.(b)
Pejabat yang secara konstitusional berwenang untuk menetapkan dan mengatur keadaan darurat
itu hanya Presiden,bukan pejabat yang lain. (c) Perpres (Peraturan Presiden) dan Perppu yang
dimaksud di atas disahkan dan ditandatangani oleh Presiden serta diundangkan dalam Lembaran
Negara sebagaimana mestinya. (d) Perppu hendaknya menentukan dengan jelas ketentuan-
ketentuan undang-undang apa saja yang dikesampingkan oleh berlakunya Perppu tersebut.(e)
Perpres yang dimaksud harus menentukan dengan jelas wilayah hukum berlakunya dalam wilayah
Republik Indonesia, misalnya apakah Perppu itu berlaku untuk seluruh wilayah nasional atau
hanya berlaku di daerah tertentu saja, seperti halnya di provinsi tertentu atau di kabupaten tertentu.
(f) Perppu dan Perpres tersebut harus pula menentukan dengan pasti lama berlakunya keadaan
darurat tersebut. Jika pembatasan semacam itu tidak ditegaskan,berarti Pepres atau Perppu tersebut
hanya berlaku selama masa persidangan DPR sampai dengan dibukanya kembali masa
persidangan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. (g) segera
setelah diberlakukan Perppu harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
sebagaimana mestinya. Jika dalam masa persidangan berikutnya DPR tidak atau belum
menyatakan persetujuannya, maka Perppu harus dinyatakan dicabut oleh Presiden.

Beberapa kasus banyak dikeluarkan Perppu untuk mengatasi keadaan darurat di Negara
Republik Indonesia antara lain sebagai berikut.

1. Perppu Nomor I Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahuin 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
hanya didasarkan pada unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat) saja.Hal ini
dapat diketahui dari penjelasan umumnya yang-menegaskan bahwa penggunaan Perppu ini
untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme yang didasarkan pada pertimbangan
bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak
untuk dikeluarkan Perppu guna dapat segera diciptakan suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip negara hukum.152

2. Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian

Pembentukan Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian, hanya didasarkan pada unsur kebutuhan yang
mengharuskan (reasonable necessity), di mana kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang
menetapkan bahwa mulai tahun 1430:Hijriah jemaah haji dari seluruh negara termasuk
Indonesia-harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara
internasional. Penggunaan paspor biasa (ordinary passport) ini dijadikan sebagai dasar
“kegentingan yang memaksa” sehingga Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat segera
untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat
dilaksanakan pada tahun 1430 Hijriah tersebut.

3. Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah,hanya didasarkan pada unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. Perppu ini
mengatur bahwa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diangkat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum sebagaimana telah disesuaikan pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggaraan pemilihan
umum yang baru. Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Rakyat sedang mempersiapkan
rancangan undang-undang tertang penyelenggaraan pemilihan umum untuk menggantikan
ketentuan yang berlaku saat itu yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Berdasarkan
pertimbangan tersebut,Presiden berpendapat bahwa syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa
telah terpenuhi untuk menetapkan Perppu tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003.154

4. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati, dan Walikota

Pertimbangan pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati,


dan Walikota adalah bahwa UU No.22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati,dan
Walikota telah mengubah sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dari langsung menjadi tidak
langsung di mana mengembalikan kewenangan DPRD untuk memilih salah satu pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah.Sistem Pilkada tidak langsung ini mendapa:kan penolakan
yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusan terkait dengan disetujuinya UU No. 22
Tahun 2014 tersebut telah menimbulkan persoalan serta memandang negara dalam kegentingan
yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.

BAB 7

MENTERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA


REPUBLIK INDONESIA

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Materi muatan UUD NRI Tahun 1945 terdiri dari:156

1. kelompok lembaga negara;

2. kelompok penetapan organisasi dan alat kelengkapan negara;

3. kelompok Hak-Hak Asasi Manusia (HAM);

4. kelompok pengaturan wilayah;

5. kelompok pengaturan atribut negara;

6. kelompok lain-lain.

B. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Berdasarkan Keputusan MPR RI No. I/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI bahwa
jenis Putusan Majelis ada tiga, yaitu sebagai berikut.

1. Perubahan dan Penetapan Undang-Undang Dasar

Dengan ciri-ciri sebagai berikut.

a. Mempunyai kekuatan hukum sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.


b. Tidak menggunakan nomor Putusan Majelis.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Dengan ciri-ciri sebagai berikut.

a. Berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).

b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar Majelis sebagaimnana diatur
dalam Ketetapan MPR RI No.I/ MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan MPRS Dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan 2002.

c. Menggunakan nomor Putusan Majelis.

3. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dengan ciri-ciri sebagai berikut.

a. Berisi aturan/ketentuan intern Majelis.

b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.

c. Menggunakan nomor Putusan Majelis.

C. Undang-undang dan/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Disebutkan dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi:

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;

c. pengesahan perjanjianinternasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud padaayat (1) hurufd
dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Sementara materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang disebutkan dalam


Pasal 11 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan undang-undang. Artinya, materi muatan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-undang
tidak ada perbedaan.
D.Peraturan Pemerintah

Disebutkan dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Artinya, materi muatan Peraturan Pemerintah adalah menjalankan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam undang-undang.

E. Peraturan Presiden

Disebutkan dalam Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa Materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan. Artinya, materi muatan Peraturan Presiden adalah menjalankan ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam oleh undang-undang, peraturan pemerintah, atau dalam rangka
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

F. Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Otonomi daerah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung


makna bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan rumah
tangganya sendiri. Daerah otonom memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Perumusan kebijakan daerah tersebut di
antaranya adalah melalui peraturan daerah (Perda). Dengan demikian, posisi Perda menjadi sangat
penting sebagai bingkai legal dari kebijakan daerah.158

Disebutkan dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa materi muatan
Peraturan Dacrah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perlu diketahui bahan materi muatan segala peraturan perundang-undangan tersebut di atas
juga disebutkan dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb dan huruf c berupa ancaman
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).

(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman
pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

BAB 8

PEMBENTRUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA REPUBLIK


INDONESIA

A. Landasan Filosofi, Yuridis, Politik, dan Sosiologis dalam Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia
Pembentukzn peraturan perundang-uridangan merupakan salah satu dari pembangunan hukum, di
samping penerapan,penegakan hukum,dan pemahaman mengenai hukum itu sendiri. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa pembangunan hukum yang dilaksanakan secara komprehensif mencakup
substansi hukum, kelembagaan hukum, dan budaya hukum serta dibarengi dengan penegakan
hukum secara tegas,konsisten,dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, akan mampu
mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan serta instrumen
penyelesaian masalah secara adil dan sebagai pengatur perilaku masyarakat untuk menghormati
hukum. Teraktualisasinya fungsi hukum akan mewujudkan tegaknya wibawa hukum yang
memperkukuh peran hukum dalam pembangunan untuk menjamin agenda pembangunan nasional
berjalan tertib, terarah, dan konsekuensi dari berbagai kebijakan dan langkah yang diambil dapat
diprediksi berdasarkan pada asas kepastian hukum,kemanfaatan,dan keadilan.

Pembentukan perundang-undangan di Negara Republik Indonesia setelah perubahan UUD


1945 mencerminkan pembangunan dan pembaruan Sistem Hukum Nasional.

Dalam Konvensi Hukum Nasional disimpulkan tentang pentingnya granddesign sistem dan
politik hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional dan didasari landasan
falsafah Pancasila dan konstitusi negara,yaitu UUD 1945. Grand design sistem dan politik hukum
nasional merupakan sebuah desain komprehensif yang menjadi pedoman bagi seluruh stakeholder
yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum
masyarakat.160

Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa Grand design adalah rancang
bangun yang besar atau pola besar. Grand design hukum nasionai berarti rancang bangun yanıg
besar dalam pembangunan sistem hukum nasional yang meliputi keseluruhan komponen dalam
sistem hukum, yaitu komponen substansi, struktur dan kultur hukum. Grand design sistem dan
politik hukum nasional harus berdasarkan dan diarahkan pada Pembukaan UUD 1945. Grand
design sistem dan politik hukum nasional harus tetap berdasarkan pada paradigma Pancasila,
yaitu161

1. paradigma ketuhanan (moral-religius);

2. paradigma kemanusiaan (humanistik);

3. paradigma kebangsaan (persatuan/nasionalistik);

4. paradigma kerakyatan/Demokrasi;

5. paradigma keadilan Sosial.


Dengan demikian,sebenarnya sejak founding father telah meletakkan dasar negara dan
menetapkan UUD 1945, sejak saat itu pula Indonesia telah memiliki grand design. Pada saat itu
kita telah mempunyai politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional.162

Proses pembaruan hukum ini sebenarnya telah berjalan lama. Namun, cita-cita pembentukan
hukum nasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara belum
tercapai sepenuhnya. Pembentukan hukum nasional yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
pembentukan peraturan perundang-undangan nasional yang merupakan produk pembentuk
undang-undang (Badan Legislatif) yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat dan diakui sebagai hukum. Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari masih ada
berbagai kegiatan kehidupan manusia yang sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam
masyarakat, namun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Kondisi
semacam ini dapat dipahami karena kebutuhan hidup manusia, kegiatan kehidupan manusia sangat
banyak dan beragam, serta cepat berubah dan berkembang. Sedangkan peraturan perundang-
undangan tidak mungkin dapat menampung semua segi kehidupan manusia selengkap-lengkapnya
dan sejelas-jelasnya.163

Sehubungan dengan hal ini menurut Soedikno Mertokusumo, undang-undang itu mengatur
peristiwa tetapi sering kali peristiwanya berkembang,sedangkan Undang-undangnya belum juga
berubah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ada ungkapan het recht hinkt achter de feiten
aan yang berarti bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Yang dimaksudkan hukum di
sini dengan sendirinya adalah hukum tertulis atau undang-undang. Perubahan undang-undang
harus melalui prosedur sehingga tidak dapat setiap saat dilakukan untuk menyesuaikan
keadaan.164

Perubahan hukum dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan,
peristiwa-peristiwa, dan hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang
mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang diaturnya
sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diatur telah berubah sedemikian rupa tentu saja dituntut
perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya.165

Pembaruan hukum perlu dilakukan secara komprehensif,meliputi seluruh komponen dalam sistem
hukum yang menurut Lawrence Friedman terdiri dari komponen substansial, struktural, dan
kultural. Ada keterikatan yang sangat erat antara pembaruan pada komponen substansial dengan
kultural. Komponen substansial seharusnya dibangun berdasarkan kultural yang dimiliki oleh
bangsa tersebut.'66

Perubahan-perubahan nilai atau atau kaidah-kaidah dasar dalam masyarakat menuntut


dilakukan perubahan hukum agar dapat selalu menyesuaikan dengan perubahan
masyarakat.Persoalan penyesuain hukum terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat
terutama yang dimaksud adalah hukum tertulis atau perundang-undangan (dalam arti luas). Hal ini
sehubungan dengan kelemahan perundang-undangan yang bersifat statis dan kaku.167

Oleh karena itu, agar perundang-undangan yang dihasilkan dapat mencerminkan kualitas
yang baik sebagai produk hukum, maka perlu memahami beberapa dasar/landasan dalam
pembentukannya antara lain sebagai berikut.

1. Landasan Filosofi

Landasan filosofi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Negara Republik


Indonesia adalah Pancasila.

Dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia, Pancasila harus dijadikan
paradigmna (kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum,
termasuk semua upaya pembaruannya.168

Menyikapi perlunya paradigma pembaruan tatanan hukum,bahwa setiap produk hukum harus
bersumber pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam lima sila Pancasila, dan keseluruhan
Pembukaan UUD 1945.Setidaknya ada empat nilai dasar yang harus terpancar dalam setiap
pembuatan hukum dan cita hukum Indonesia: 1) melinduingi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia.Keharusan ini sesuai dengan pokok pikiran dalam Pembukaan UUD
1945;2)hukum dibuat dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 3)
hukum yang dibuat haruslah memuat nilai dan melalui proses yang demokratis. Keharusan ini
ditempuh agar diperoleh hukum yang responsif dan populis; 4) hukum harus berdasarkan nilai-
nilai keutuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.169

Sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat


kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di
Indonesia. Pertama, hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan
karenanya tidak diperbolehkan ada hukum-hukum yang menanam benih disintegrasi. Kedua,
hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi
golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat.
Ketiga, hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan
nomokrasi (negara hukum). Keempat, hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan
primordial apa pun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan
kemanusiaan dan keberadaan.10

Pancasila sebagai akar dari cita hukum bangsa Indonesia memberikan konsekuensi bahwa
dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai pandangan hidup yang dianut akan
memberikan koherensi dan direksi (arah) pada pikiran dan tindakan. Cita hukum adalah gagasan,
karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum,yang dalam
intinya terdiri atas tiga unsur yakni keadilan, kehasilgunaandan kepastian hukum. Cita hukum
terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup,
keyakinan keagaamaan dan kenyataan kemasyarakatan. Sejalan dengan itu maka, ilmu hukum dan
hukum Indonesia seyogianya bertumpu dan mengacu pada cita hukum tersebut.17

Berkenaan dengan tiga unsur cita hukum seperti tersebut di atas. Gustav Radbruch menyatakan
bahwa di dalam hukum terdapat tiga nilai dasar yang saling bertentangan satu dengan yang
lainnya yakni kepastian hukum,keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Apabila dalam
pembuatan hukum lebih mengutamakan kepastian hukum yang tercermin dalam pasal-pasalnya
yang bersifat rigid, maka nilai keadilan yang menjadi dambaan masyarakat dalam berhukum akan
tergeser bahkan sulit untuk dilacak jejak keberadaannya. Bersamaan dengan hilangnya nilai
keadilan karena lebih mengutamakan kepastian hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang
maka akan hiiang pula rasa kemanfaatan hukum bagi masyarakat.'7

Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh


Notonagoro bahwa Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu.
Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam
Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.173

A. Hamid S. Attamimi sejalan dengan pandangan Notonagoro, bahwa kelima sila dari
Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada setiap
peraturan perundang-undangan dan secara negatifmerupakan kerangka untuk membatasi ruang
gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan,
sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan
merupakan asas hukum umum.174

Pancasila sebagai norma fundamental negara dan sebagai citahukum rnerupakan sumber, dasar,
dan pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya sehingga Pancasila
dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki dua dimensi,yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni
menjadi batu uji bagi norma-norma di bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu yang menjadi
pedoman dalam pembentukan hukum di bawahnya. Atau dengan kata lain menurut Muladi, bahwa
Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation Doctrine", yang dalam hal ini
Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan "Margin of Appreciation Doctrine".
Berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menurut Paulus Wahana,
rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tampak
masih umum dan abstrak sehingga sulit untuk langsung dijadikan pedoman dalam kehidupan kita.
Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menggali dan menemukan nilai-nilai Pancasila sehingga
semua warga negara Indonesia terdorong untuk mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.Lebih lanjut Paulus Wahana berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila
masih harus dicari dan ditemukan dalam rumusan Pancasila, yang kemudian harus dijabarkan
lebih lanjut untuk dapat diwujudkan. Pancasila memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yang
merupakan nilai-nilai kodrati yang melekat pada setiap manusia. Manusia merupakan makhluk
monopluralis, yakni ciptaan yang tunggal namun terdiri atas berbagai unsur dan dimensi.
Penjelasannya adalah dalam sila I akan didapatkan nilai religius yang memberikan landasan
hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai Penciptanya.Sedangkan sila II, III, IV, dan V
lebih menunjukkan nilai sosial kemanusiaan yang memberi landasan kehidupan manusia dalam
hubungan dengan sesamanya, maupun dalam usaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.176
Nilai dalam sila II Pancasila adalah penegasan tentang nilai dasar kemanusiaan yang menunjukkan
harkat dan martabat manusia dibanding dengan ciptaan Tuhan lainnya. Nilai kemanusiaan ini
dijabarkan dalam sila III sebagai landasan untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan masyarakat bangsa (nation).Pengkhususan
nilai kemanusiaan dalam kehidupan bernegara menghasilkan nilai kerakyatan, yaitu penghargaan
rakyat sebagai manusia yang merupakan subjek dalam kegiatan bernegara. Nilai kerakyatan ini
ditegaskan dalam sila IV.Pedoman yang dipakai agar nilai kemanusiaan tetap terwujud dalam
penyelenggaraan sarana dan kebutuhan hidup manusia adalah berdasarkan pada nilai keadilan
sebagaimana yang ditegaskan dalam sila V.

Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila tersebut di atas merupakan nilai-nilai dasar yang
selalu ada dan melekat dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai Pancasila tersebut merupakan nilai
moral dasar yang selalu aktual dan saling melingkupi antara satu dengan lainnya dalam tindakan
manusia. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan
yang bulat dan utuh serta membentuk suatu sistem nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai yang satu
mengandaikan serta diandaikan oleh sila-sila lainnya dalam Pancasila.178

Dari sekalian paparan tentang nilai Pancasila tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sila-
sila dalam Pancasila adalah suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
lainnya. Sila-sila tersebut membentuk suatu sistem yang terangkai menjadi satu.179

Keberadaan Pancasila dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Negara


Republik Indonesia disebutkan dalam Pasal 2 UU No.12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Artinya; Pancasila merupakan
pedoman tertinggi dan ruh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan agar peraturan
perundang-undangan senantiasa sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
sebagai ideologi Negara Republik Indonesia.

2. Landasan Yuridis

Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Landasan yuridis terdiri dari tiga segi.

1. Landasan yuridis dari segi formal, yaitu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi
lembaga untuk membuat peraturan tertentu.Contohnya: Pasal 5 ayat (2)UUD NRI Tahun 1945
yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang.

2. Landasan yuridis dari segi material, yaitu landasan yuridis segi isi atau materi sebagai
dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu.

Contohnya: Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan yuridis dari segi
material di mana Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

3. Landasan yuridis dari segi teknis, yaitu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi
lembaga untuk membuat peraturan tertentu mengenai tata cara pembentukan Undang-Undang.
Contohnya: Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang memberi kewenangan bagi Presiden dan DPR
berdasarkan persetujuan bersama membuat RUU tentang tata cara pembentukan Undang-Undang.

3.Landasan Politik
Landasan politik adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan suatu negara. Contohnya: di Negara
Republik Indonesia di mana garis politik penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UUJ di
bidang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

4. Landasan Sosiologis

Landasan sosiologis adalah landasan sosial (faktor masyarakat) dalam pembentukan


peraturan perundang-undangan yang pada intinya melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses
pembentukannya.

Sebelum membahas tentang partisipasi masyarakat dalam pem-bentukan peraturan


perundang-undangan perlu dijelaskan apakah yang dimaksud dengan partisipasi itu? Menurut
Moh.Rofii Adji Sayekti, partisipasi adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan;
keikutsertaan;peran serta.180
Menurut A. Kenneth Rasinski dan Tom R. Styler, inti dari partisipasi adalah tindakan
masyarakat yang dapat memengaruhi keputusan politik. Asumsinya adalah orang yang paling tahu
tentang suatu keinginan ialah masyarakat atau individu itu sendiri.Oleh karena itu,partisipasi
individu dalam agregasi masyarakat sangat berperan dalam menentukan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang menyangkut harkat kehidupan mereka sendiri Disimpulkan bahwa partisipasi
pada dasarnya merupakan suatu peranan ikut serta dalam berbagai kegiatan dalam mencapai suatu
tujuan yang dikehendaki. Bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan? Menurut Samuel Huntington dan Nelson, partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai partisipasi politik. Partisipasi
politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan untuk
memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.182

Menurut M. Solly Lubis, proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi bahwa
masukan-masukan (inputs) yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum itu
bersumber dari aspirasi warga masyarakat/rakyat yang meliputi berbagai kepentingan mereka.
Aspirasi warga masyarakat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang benar-benar partisipatif
dan responsif terhadap tuntutan hati nurani masyarakat yang diwakilinya. Aspirasi tersebut
kemudian diproses dalam lembaga legislatif yang pada akhirnya akan muncul produk politik yang
berupa hukum yang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Dengan mekanisme ini,
maka tuntutan yang dibebankan kepada para pembentuk hukum adalah sebagai berikut.183

a. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang diwakilinya untuk memahami dan
menyerap hasrat, aspirasi, dan tuntutan-tuntutan mereka dengan sikap yang benar-benar
representatif terbuka.

b. Keterbukaan diperlukan karena aspirasi masyarakat itu kadang-kadang muncul dalam


bentuk usulan tetapi juga dalam bentuk kritik, baik terhadap pemerintah sebagai pengemban
kepentingan masyarakat dan sebagai penegak hukum dan mungkin juga terhadap aturan
hukum yang sedang berlaku yang mereka nilai tidak mencerminkan kepentingan dan aspirasi
mereka.

c. Kemampuan untuk vokal menyampaikan butir-butir usul mengenai kepentingan masyarakat


yang diwakilinya itu di forum perwakilan rakyat/legislatif dengan sikap representatif, sistematis,
dan radikal.

d. Kemampuan untuk membuat rumusan atau artikulasi atas aspirasi-aspirasi yang disepakati
untuk dituangkan dalam bentuk aturan hukum. Misalnya menjadi undang-undang, Peraturan
Daerah.
e. Kemampuan dalam arti penguasaan pengetaliuan dasar (teoretis)dan pengalaman (praktis)
mengenai telaah strategi(telstra),perencanaan strategis (renstra), monitoring strategis (monstra),
politik strategis (polstra), perkiraan strategis (kirstra), pengendalian dan penangkalan.

Berkaitan dengan aspirasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-


undangan,menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick yang terkenal dengan teorinya“hukum
responsif". Dalam teori hukum responsif ini,membandingkan hukum yang represif,otonom,dan
responsif. Dalam bentuknya yang paling jelas dan sistematis, hukum represifmenunjukkan
karakter-karakter berikut ini. 1) Institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh kekuatan
politik; hukum diidentikkan sama dengan negara dan ditempatkan di bawah tujuan Negara (raison
d'etat). 2)Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi
hukum. Dalam “perspektifresmi” yang terbangun, manfaat dari keraguan(the benefit ofthe doubt)
masuk ke sistem,dan kenyamanan administratif menjadi titik berat perhatian.3) Lembaga-lembaga
kontrol yang terspesialisasi,seperti polisi menjadi pusat-pusat kekuasaan yang berfungsi
memperlunak,serta mampu menolak otoritas politik. 4) Sebuah rezim "hukum berganda" ("dual
law") melembagakan keadilan berdasarkan kelas dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial. 5)
Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan; moralisme hukum yang akan menang.184

Karakter khas hukum otonom dapat diringkas sebagai berikut.1) Hukum terpisah dari politik.
Secara khas, sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan, dan menyambut
garis tegas antara fungsi legislatif dan yudikatif. 2) Tertib hukum mendukung “model peraturan"
(model ofrules). Fokus pada peraturan membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para
pejabat; pada waktu yang sama, ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun risiko
campur tangan lembaga-lembaga hukum itu dalam wilayah politik. 3) "Prosedur adalah jantung
hukum". Keteraturan dan keadilan (fairness), dan bukannya keadilan substantif, merupakan tujuan
dan kompetensi utama dari tertib hukum. 4)"Ketaatan pada hukum" dipahami sebagai kepatuhan
yang sempurna terhadap peraturan-peraturan liukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku
harus disalurkan melalui proses politik.185

Dari perbandingan ciri-ciri hukum yang represif dan otonom, maka Philippe Nonet dan Philip
Selznick dengan teori hukum responsif menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe
hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi
mencapai keadilan dan emansipasi publik.186

Berkaitan dengan perbandingan karakteristik hukum represif, otonom, dan responsif yang
dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, maka ada pula yang perlu dipahami mengenai
kajian struktur sosial sebagai basis sosial dari hukum,
Sebagai ilmu empirik sosiologi hukum mengamati bagaimana hukum dengan segala
karakteristiknya diterapkan dan digunakan dalam masyarakat, serta digunakan oleh masyarakat.
pada saat hukum dijalankan terjadilah interaksi antara hukum dan perilaku masyarakat yang
menggunakannya. Sosiologi hukum berbicara mengenai makna sosial hukum. Makna sosial
diberikan kepada hukum melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana hukum itu
diterapkan. Sosiologi hukum mengatakan bahwa peraturan hukum tidak dapat memaksakan agar
isi peraturan dijalankan secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh struktur
sosial di mana hukum itu dijalankan.

Suatu undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pihak legislator mungkin kehadirannya
akan ditolak karena tidak, sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Di sinilah arti
pentingnya peran serta masyarakat dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-undang.
Demokrasi partisipatoris diharapkan lebih menjamin bagi terwujudnya produk undang-undang
yang responsif karena masyarakat ikut membuat suatu undang-undang. Adanya partisipasi
masyarakat dalam pembentukan undang-undang juga akan menjadikan masyarakat lebih
bermakna dan pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi sehingga melahirkan
pemerintahan yang bermoral dan warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat. 18

Pembentukan undang-undang yang berisi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan


bernegara merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan yang bersifat publik. Keputusan
publik yang berupa undang-undangakan mengikat dan berlaku bagi seluruh rakyat dalam suatu
negara.Pembentukannya harus memberikan ruang publik bagi mnasyarakat luas untuk ikut
berpartisipasi dalam proses pembentukannya.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang dapat dilakukan secara individual


maupun kolektif oleh masyarakat yang berada di luar jabatan publik. Pelaku-pelaku partisipasi
masyarakat adalah kekuatan-kekuatan masyarakat yang termasuk dalam infrastruktur politik
seperti:pers,tokoh masyarakat,kelompok penekan, kelompok kepentingan, perguruan tinggi, dan
perguruan tinggi yang tidak memperoleh wakilnya di lembaga perwakilan. Kekuatan-kekuatan
infrastruktur politik ini dapat memberikan kontrol dan pengaruhnya terhadap berbagai keputusan
publik yang akan dikeluarkan melalui wadah undang-undang.

Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap
ante legislative; tahap legislative dan tahap post legislative. Dalam tiga tahap tersebut, pada
dasarnya masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukannya sesuai dengan keinginannya.
Masyarakat dapat berpartisipasi pada seluruh tahapan proses pembentukan undang-undang dan
memilih salah satu tahapan saja. Akan tetapi, bentuk partisipasi masyarakat berbeda-beda
meskipun ada pula yang sama antara satu tahapan dengan tahapan yang lain. Artinya, bentuk
partisipasi masyarakat pada tahap sebelum legislatif tentu berbeda dengan bentuk partisipasi
masyarakat pada tahap legislatif maupun tahap setelah legislatif. Jadi, bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang disesuaikan dengan tahap-tahap yang
tengah dilakukan.

a. Partisipasi masyarakat pada tahap ante legislative terdiri dari berikut ini194

1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian

Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian ini dapat dilakukan masyarakat ketika
melihat adanya suatu persoalan dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara mendalam dan memerlukan penyelesaian
pengaturan dalam suatu undang-undang.

2) Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar

Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi,lokakarya dan seminar pada tahap ante
legislatif ini dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian terhadap suatu
objek yang akan diatur dalam undang-undang.

3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif Pengajuan usul inisiatif untuk
dibuatnya suatu undang-undang dapat dilakukan masyarakat dengan atau tanpa melalui
penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terlebih dahulu.Akan tetapi, usul inisiatif ini tentu
akan lebih kuat jika didahului dengan penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terhadap suatu
masalah yang akan diatur dalanı suatu undang-undang.

4) Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu undang-undang

Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu undang-undang dapat


dilakukan masyarakat sebagai wujud partisipasi masyarakat yang terakhir dalam tahap
ante legislatif. Artinya, setelah melakukan penelitian, pengusulan usul inisiatif, maka
pada gilirannya masyarakat dapat menuangkan hasil penelitian dalam rancangan
undang-undang. Di dalam rancangan undang-undang sebaiknya didahului dengan uraian
Naskah Akademik dibuatnya suatu rancangan undang-undang.

b. Partisipasi masyarakat pada tahap legislative terdiri dari berikut ini.

1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi/RDPU di DPR Partisipasi masyarakat dalam


bentuk audensi/RDPU di DPR ini dapat dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung
dari DPR (RDPU) maupun atas keinginan masyarakat sendiri (audensi). Apabila partisipasi
masyarakat ini atas dasar permintaan dari DPR, maka partisipasi masyarakat disampaikan
kepada yang meminta dilakukannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Akan tetapi
untuk artisipasi masyarakat dalam bentuk audensi atas keinginan langsung dari masyarakat,
maka masyarakat dapat memilih alat kelengkapan DPR yang diharapkan dapat menyalurkan
aspirasi masyarakat, misalnya Panitia Kerja, Komisi, Panitia Khusus, Fraksi, dan sebagainya.
Audensi/RDPU ini dapat dilakukan oleh masyarakat baik secara lisan, tertulis maupun
gabungan antara lisan dan tertulis.

2) Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan undang-undang alternatif

Partisipasi masyarakat dalam bentuk penyampaian rancangan undang-undang alternatif


ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan membuat rancangan undang-undang
alternatif ketika rancangan undang-undang yang tengah dibahas di lembaga legislatif
belum atau bahkan tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat luas.
3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak

Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak ini dapat dilakukan
oleh masyarakat dengan membuat opini terhadap suatu masalah yang tengah dibahas
dalam lembaga legislatif. Opini masyarakat ini dapat berupa artikel, jumpa pers,
wawancara, pernyataan-pernyataan, maupun berupa tajuk-tajuk berita dari surat kabar
dan majalah.

4) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik

Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik ini dapat
dilakukan oleh masyarakat dengan membuat dialog dengan menghadirkan narasumber
yang kompeten terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.

5) Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa

Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat dilakukan masyarakat dalam
rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam
proses pembentukan undang-undang.

6) Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar

Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar ini dapat
dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi
yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.

c. Partisipasi masyarakat pada tahap post legislative terdiri dari berikut ini.

1).Unjuk rasa terhadap undang-undang baru

Adanya undang-undang baru dapat disikapi beraneka ragam oleh masyarakat, karena sangat
mungkin dengan undang-undang yang baru itu bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru
menimbulkan masalah sosial baru dalam masyarakat.Sikap itu dapat berupa dukungan atau
penolakan terhadap lahirnya undang-undang baru yang diwujudkan dengan unjuk rasa.

2) Tuntutan pengujian terhadap undang-undang

Suatu undang-undang yang telah diproduksi oleh lembaga legislatif dan telah
disahkan oleh Presiden serta dimuat dalam Lembaran Negara mempunyai kekuatan
mengikat dan sah berlaku di masyarakat. Meskipun demikian, dalam suatu negara
demokrasi termasuk di Indonesia rakyat mempunyai keleluasaan untuk
menanggapinya. Bagi masyarakat yang belum atau tidak puas dengan lahirnya
undang-undang dapat melakukan permohonan uji materiil terhadap undang-undang
tersebut.

3) Sosialisasi undang-undang

Dalam rangka menyebarkan produk undang-undang yang baru dikeluarkan oleh


lembaga legislatif, maka masyarakat dapat berpartisipasi melakukan berbagai
kegiatan berkaitan dengan lahirnya undang-undang baru. Bentuk-bentuk kegiatan ini
dapat berupa penyuluhan,seminar, lokakarya, diskusi dan sebagainya. Dengan cara
demikian,maka keberadaan suatu undang-undang tidak hanya tidak hanya diketahui
oleh kalangan elite yang berkecimpung langsung dalam proses pembentukan undang-
undang,tetapi akan cepat dikenal luas oleh masyarakat.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ditegaskan


dalam Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui:a. rapat dengar pendapat umum; b.kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau seminar,
lokakarya,dan/ atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),setiap RancanganPeraturan Perundang-undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

B. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia

1. Konsep Asas Hukum

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat kita jumpai tiga pengertian asas sebagai
berikut.195

a. Dasar, alas, pedoman; misalnya, batu yang baik untuk alas rumah.
b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya;
misalnya: bertentangan dengan asas-asas hukum pidana; pada asasnya yang setuju dengan usul
saudara).

c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan negara, dan sebagainya; misalnya, membicarakan
asas dan tujuan).
Menurut The Liang Gie, bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada
serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.196

Dalam praktik terdapat norma-norma hukum, yang tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi asas
yang mendasarinya. Salah satu contoh, yang dapat kami kemukakan, norma hukum positif
dalam bidang lalu lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum yang mempergunakan bagian
kiri dari jalan itu. Untuk norma hukum itu sulit dicarikan asasnya, tetapi kalau ia menjadi asas
maka norma hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas.Selanjutnya Paton, mengatakan
adanya norma hukum dapat dikembalikan kepada suatu asas tetapi ada pula kalanya,semasyhur
sarjana. Ia tak sanggup menyebutkan asas yang mendasari suatu norma hukum.Keadaan seperti
itu menurut Mahadi, banyak terdapat pada bidang-bidang hukum yang netral, yaitu bidang-
bidang hukum yang tidak ada kaitannya dengan agama atau kebudayaan. Sebaliknya dalam
bidang-bidang hukum yang non-netral (bidang-bidang hukum yang erat kaitannya dengan
agama dan budaya), kita dapat bertemu dengan norma-norma hukum yang dapat dikembalikan
kepada suatu asas.

Menurut van Eikema Hommes, asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum
yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan
kata lain, asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah kecenderungan-kecenderugan yang disyaratkan


oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan
keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi harus ada.198

Menurut Belefroid,asas hukum adalah nornıa dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
ini merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.199

Menurut Van der Velden, asas hukum adalah tipe putusan yang dapat digunakan sebagai
tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum.
didasarkan atas satu nilai atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus
direalisasi.200

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari
peraturan hukum, yang karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asas hukum
merupakan “jantungnya”peraturan hukum. Dikatakan demikian karena dua hal. Pertama, asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas tersebut. Kedua,
asas hukum juga merupakan ratio legis (alasan) bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum ini
tidak akan habis kekuatannya dan akan tetap saja ada dalam melahirkan berbagai peraturan
hukum. Dari asas hukum dapat diturunkan peraturan-peraturan hukum.201

Menurut Soedikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum konkret,


melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang
peraturan konkret yang terdapat

dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim. yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkret tersebut.202

2. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di Negara Republik Indonesia

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah suatu pedoman atau suatu


rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.203

Untuk menghindari pembentukan undang-undang yang memiliki kecenderungan memihak


dan menguntungkan pihak/kelompok berkuasa, dan untuk menghindari pembentukan undang-
undang yang represifdan mengancam kebebasan warga negara, serta untuk menjamin efektif
berlakunya suatu undang-undang maka pembentuk undang-undang harus memerhatikan dan
mempedomani prinsip-prinsip atau asas-asas tertentu dalam membentuk undang-undang.204

Menurut Abeer Bashier Dababneh dan Eid Ahmad Al-Husban, bahwa The public authority
specialized in legislation must comply with a set of principles and criteria that constitutes a
complete and integrated group designed for the enactmient of legislation that are characterized
with universality and intellectivity on the one hand, and on the other must comply with the
higher and more supreme legislations in conformity with the principle of hierarchy of the legul
rules and the principle of the supremacy of the law (otoritas publik yang mengkhususkan diri
dalam pembentukan undang-undang harusu mematuhi seperangkat prinsip dan kriteria yang
merupakan suatu kelengkapan dan kelompok pemandu yang dirancang untuk pemberlakuan
suatu undang-undang yang ditandai dengan universalitas dan intelektualitas di satu sisi, dan di
sisi lain harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sesuai
dengan prinsip hierarki aturan hukum dan prinsip supremasi hukum) Lebih lanjut Abeer Bashier
Dababneh dan Eid Ahmad Al-Husban mengatakan bahwa suatu undang-undang dianggap baik
jika proses pembentukannya memerhatikan dan mempedomani prinsip-prinsip sebagai
berikut.206

a. The size of the law must be reasonable so that the layman can easilylearn.This can be
achieved byhaving a simple language that has no technical complexity because the law
addresses all people and not only certain intellectual levels and groups (ukuran undang-undang
harus masuk akal sehingga orang awam dapat dengan mudah mempelajari.Hal ini dapat dicapai
dengan menggunakan bahasa yang sederhana yang tidak merniliki kompleksitas teknis karena
undang-undang ditujukan untuk semua orang dan tidak hıanya tingkat intelektual tertentu dan
kelompok).

b. The law must be simple in order to achievc its goals, which in turn must be simple because
the purpose behind the law is to resolve conflicts faced by the group, and this cannot be
achieved if the law was a complex one.A good law is that law that can be realized and
understood by the layman and others (undang-undang harus sederhana untuk mencapai tujuan,
harus sederhana karena tujuan dibalik undang-undang harus adalah untuk menyelesaikan
konflik yang dihadapi oleh kelompok,dan ini tidak dapat dicapai jika undang-undang terlalu
kompleks. Sebuah undang-undang yang baik adalah undang-undang yang dapat direalisasikan
dan dipahami oleh orang awam lainnya).

c. The law must have legislative stability so that people who are familiar with, this law can
live assured they know the law and they do not break it.Thus,the supremacyofthe law and and
discreteand provident judgment can be achieved. This feature of the law can only be achieved if
the legislator is well familiar and competent with the nature,limitations and dimensions of the
problem that is to be legally resolved and governed (undang-undang harus memiliki kestabilan
legislatif sehingga orang yang terbiasa dengan undang-undang merasa yakin mereka tahu
undang-undang dan mereka tidak melanggarnya.Dengan demikian, tujuan supremasi hukum
dan penghakiman yang efektif dapat dicapai. Perangkat undang-undang hanya dapat dicapai
jika legislator kompeten dan mengenal dengan

baik lingkungan, keterbatasan dan dimensi dari masalah yang harus

diatur dan diselesaikan dengan undang-undang).

d. The law must be characterized with harmony and compatibility,there should be


harmony,compatibility and integration between the different parts of the law so that there is no
conflict that may affect the efficiency of the law.On the other hand,the law must be congruent
with other enacted laws in the legal system.This in turn will have direct effect on the efficiency
of the legal system in the state,thus resulting in the inability to implement and carry out the law
(undang-undang harus ditandai dengan harmoni dan kompatibilitas, yaitu harus ada harmoni,
kompatibilitas dan integrasi antara berbagai bagian undang-undang sehingga tidak ada konflik
yang dapat memengaruhi efisiensi undang-undang. Di sisi lain, undang-undang harus sinergi
dengan undang-undang yang berlaku lainnya dalam sistem hukum. Hal ini pada gilirannya akan
berpengaruh langsung terhadap efisiensi dari sistem hukum di negara sehingga mengakibatkan
kemampuan untuk menerapkan dan melaksanakan undang-undang).

e. The law must be reflective ofthe reality of the society on which it is to be implemented
and must be compatible with the social, economic and cultural features,because a good law is
the product ofits environment and not one that is imposed on an environment that does not fit or
meet the requirements of good and sound implementation. This is necessary in order to resolve
the conflicts and problems that caused the legislator to draw that law. Thus,one can achieve a
legal eficiency in resolving the problems faced by the group (undang-undang harus
mencerminkan realitas másyarakat yang harus dilaksanakan dan harus kompatibel dengan
pranata sosial, ekonomi dan budaya, karena undang-undang yang baik adalah produk dari
lingkungannya dan tidak satu pun yang dikenakan pada suatu lingkungan yang tidak sesuai atau
memenuhi persyaratan implementasi yang baik dan suara masyarakat. Hal ini diperlukan untuk
menyelesaikan konflik dan masalah yang menyebabkan legislator membentuk undang-undang
tersebut. Dengan demikian, seseorang dapat mencapai efisiensi undang-undang dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kelompok).

f.The law must be legislative environment friendly so that it will not resolve a problem facing
the group bycreating many other problems, as this may lead to a legislative crisis (undang-
undang harus ramah dengan lingkungan legislatif sehingga tidak akan menyelesaikan masalah
yang dihadapi

kelompok dengan menciptakan banyak masalah lain,karena hal ini

dapat menimbulkan krisis legislatif).

f. The law must be compatible with the other higher legal rules (respecting the principle of
hierarchy in legislation) for supervision on the constitutionality of the laws constitutes one of
the basic pillars of the principle of legitimacy, which safe guards the human's rights and basic
freedoms. The principle of legitimacy necessitates a separation between authorities and
supervision on the constitutionality oflaws. Supervision on the constitutionality ofthe laws came
as a result of the principle of the hierarchy of the legal rules in the legal system of the legitimate
state,which is based on the fact that the legislations by the specialized authorityin the state are
not of the same type,but are various and very in importunce and strength following the
importance of the issues that are tackled and the authority who establish such legislations. On
the top of the hierarchy, there is the basic legislation,or the constitution,followed by the regular
legislation (undang-undang harus sesuai dengan aturan hukum lainnya yang lebih tinggi
(menghormati prinsip hierarki dalam undang-undang) untuk pengawasan atas konstitusionalitas
undang-undang merupakan salah satu pilar dasar prinsiplegitimasi, yang memberikan
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.Prinsip legitimasi memerlukan pemisahan
antara otoritas dan pengawasan atas konstitusionalitas undang-undang. Pengawasan
konstitusionalitas undang-undang datang sebagai hasil dari prinsip hierarki aturan hukum dalam
sistem hukum negara yang sah, yang didasarkan pada kenyataan peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan oleh suatu otoritas tidak selalu berjenis sama,tetapi bervariasi dalam berbagai
kepentingan dan kekuatan melalui pentingnya isu yang ditangani dan otoritas yang menetapkan
peraturan perundang-undangan tersebut.Pada puncak hierarki,ada Undang-Undang Dasar atau
Konstitusi,diikuti oleh undang-undang biasa).

g. The law must be compatible with the rules that are derived from the international
rules which the state agreed to commit to enhance the principle of legal sequence to
achieved. The law must also be compatible with the principles statedupon in the
international agreements of rights.In case of conflict,the principles must be applied.This
means that the international principles concerning the rights rise upon the legislation,in
accordance with the text of article (27) of The Vienna Convention on the Law of Treaties
"A party may not invoke the provisions of its internal law as justifications for its failure in
the implemention of the treaty. (Undang-undang harus sesuai denganaturan yang berasal
dari aturan internasional yang menyatakan setuju untuk berkomitmen untuk meningkatkan
prinsip urutan hukum di suatu negara, yaitu undang-undang tidak boleh melebihi tujuan
yang dirancang untuk dicapai. Undang-undang juga harus sesuai dengan prinsip yang
dinyatakan di atas dalam perjanjian internasional. Dalam hal konflik, prinsip-prinsip harus
diterapkan. Ini berarti prinsip-prinsip internasional mengenai munculnya hak atas undang-
undang, sesuai dengan teks dari artikel (27) dari Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian “peserta tidak dapat menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai
pembenaran atas kegagalannya dalam pelaksanaan perjanjian).

Menurut Stefano Murgia dan Giovanni Rizzoni dari Unit Legal Drafting Parlemen
Italia,pembentukan undang-undang yang baik perlu memenuhi serangkaian prinsip minimum
yaitu207
a. nccessary and that its objectives cannot be achieved by other legal mean : (diperlukan dan
tujuan tidak dapat dicapai melalui perangkat hukum lainnya);

b. acceptable under the constitution (dapat diterima oleh konstitusi);

c. proporsional to the desired objective (proporsional dengan tujuan yang diinginkan);

d. unambiguous,clear and compatible with existing legislation (tidak ambigu, jelas sesuai
dengan peraturan yang ada).

Menurut Massachusetts General Court, prinsip dasar (basic principles)yang harus ada
dalam pembentukan undang-undang adaiah208

a. simplicity(kesederhanaan);

b. conciseness (ringkas dan padat);

c. consistency(konsisten);

d.directness (keterusterangan);

e. appropriate Material for Inclusion (materi yang tepat).

Menurut Philipus M. Hadjon, fungsi asas-asas pembentukan peraturan perundang-


undangan yang baik adalah sebagai dasar pengujian dalam pembentukan atuiran hukum (uji
formal) maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku(uji materiil).2o9

Menurut Departinent of Legislative Services Office of Policy Analysis Annapolis


Maryland, fungsi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah to ensure
accuracy,clarity,and uniformity in the drafting oflegislation bypromoting compliance with
constitutional principles,rules of law and statutory interpretation,and accepted practices
regarding style,form, and process (memastikan keakuratan, kejelasan, dan keseragaman dalam
penyusunan undang-undang, mempromosikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
konstitusional, aturan hukum dan hukum interpretasi, dan praktik yang diterima tentang gaya,
bentuk, dan proses).210

I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang
material.Asas-asas yang formal meliputi:2

a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);


c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

Asas-asas yang material meliputi:212

a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi
en duidelijke systematiek);

b. asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

c. asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheids beginsel);

d. asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel);

e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).

A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan


perundang-undangan yang patut ke dalam asas berikut ini.213

a. Asas-asas formal, dengan perincian:

1) asas tujuan yang jelas;

2) asas perlunya pengaturan;

3) asas organ/lembaga yang tepat;

4) asas materi muatan yang tepat;

5) asas dapatnya dilaksanakan; dan

6) asas dapatnya dikenali.

b. Asas-asas material, dengan perincian:

1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara;

2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan

4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi.


Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 5 UU No.
12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,yang
meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki,dan materi inuatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 5 disebutkan sebagai berikut.

a. Huruf a bahwa yang dimaksud dengan "asas kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.

b. Huruf b bahwa yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat" adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. Hurufc bahwa yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan.

d. Huruf d bahwa yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
e. Huruf e bahwa yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

f.Huruf f bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.

g. Huruf g bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan"adalah bahwa dalam


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan,pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.

Selain Pasal 5, asas-asas pembentukan perundang-undangan juga disebutkan dalam Pasal


6 yang berbunyi sebagai berikut.

a. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

(1)pengayoman;

(2) kemanusiaan;

(3) kebangsaan;

(4) kekeluargaan;

(5) kenusantaraan;

(6)bhinneka tunggal ika;

(7)keadilan;

(8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

(9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

b. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 6 disebutkan sebagai berikut.

Ayat(1)
98
Huruf a bahwa yang dimaksud dengan“asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.

Huruf b bahwa yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.

Anda mungkin juga menyukai