Ilmu Prundang-Undangan Kel.1
Ilmu Prundang-Undangan Kel.1
d. pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional
dan dokumen-dokumen hukun yang mengikat lainnya (building decision making on
international agreement and treatiesn or other legal binding document)
Parlemen pertama-tama haruslah terlibat dalam mengawasi proses perumusan dan penentuan
kebijakan pemerintahan, jangan sampai bertentangan dengan undang-undang yang telah
mendapat persetujuan bersama oleh parlemen bersama dengan pemerintah. Pada pokoknya,
Undang-Undang Dasar dan undang-undang serta peraturan perundang-undangan pelaksaanaan
lainnya mencerminkan norma-norma hukum yang berisi kebijakan atau state policy yang
dituangkan dalam bentuk hukum tertentu dalam bentuk hukum yang lebih tinggi. Setiap
kebijakan dimaksud, baik menyangkut bentuk penuangannya, isinya, maupun pelaksanaannya
haruslah dikontol dengan seksama oleh lembaga perwakilan rakyat.
BAB 5
Menurut Padmo Wahjono, politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan
kemudian dielengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah forum keadilan Yang berjudul
“Menyelisik Proses Terbentuknya Prundang-undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo
Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara tentang
apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hai ini kebijakan tersebut
dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.
Menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.
Menurut Satjipto Rahardjo. Politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dan hukum tertentu dalam masyarakatt. Di dalam
studi politik hukum, menurut Satjipto Rahardjo, muncul beberapa pertanyaan mendasar
mandasar yang muncul, yaitu (1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui system hukum yang
ada?, (2) cara-cara apa dan yang mana, ayang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai
tujuan tersebut?, (3) kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukumitu perlu diubah?; (4)
dapatkah pola yang baku dan ma[an dirumuskanuntuk membantu dalam memutuskan proses
pemilihan tujuan serta cita-cita untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik?
Sunaryat Hartono tidak secara eksplisit merumuskan arti politik hukum. Namun, substansi
pengertian darinya bias ditangkap ketika dia menyebut hukum sebagai alat dan bahwa secara
praktis politik hukum merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional untuk mencapai cita-cita bangsa dan
tujuan negara.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nuasantara, politik hukum sebagai legal policy atau
kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu yang meliputi (1) pelaksanaan secara konsisten ketentuan hukum
yang telah ada; (2) pembangunan hukum yang berintikan pembaruanatas hukum yang telah ada
dan pembuatan hukum-hukum baru; (3) penegasan fungsi lembaga penegak hukum serta
pembinaan para anggotanya; dan (4) peningkatan kesadaran hukum masyarakat menurut presepsi
elite pengambi kebijakan.
Menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan
dasar pajak dan cara untuk membuat dan melasanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan
bangsa dan negara.
B. Politik Hukum Jenis dan Tata Urutan (Hierarki) Peraturan Perundang-undangan dari
Masa ke Masa
Berangkat dari politik pemahaman hukum, maka penulis berpendapat bahwa definisi politik
hukum hierarki peraturan perundang-undangan adalah suatu kebijakan hukum (legal policy)
negara untuk mencapai tujuan nasionalnya dengan membentuk hukum berupa peraturan
perundang-undangan dalam rangka menentukan tata urutan (hierarki) jenis-jenis peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan di negara tersebut.
Produk hukum yang pernah ada di Negara Repupblik Indonesia berkaitan dengan hierarki
peraturan perundang-undangan dapat diketahui mulai dari masa penjajahan Belanda, masa
penjajahan Jepang, masa kemerdekaan Republik Indonesia, dan masa pasca kemerdekaan
Republik Indonesia
1. Masa Penjajahan Belanda
Peraturan perundang-undangan pada masa penjajahan Belanda dilihat dari tiga masa
meliputi ;
a. Masa Besluiten Regering
Koninklijk Besluit (K.B) dibuat oleh raja dan dibantu oleh menteri jajahan atau menteri
lainnya dengan mendengar Rad van State. K.B pada masa itu disebut “Publicatie”
Burgelijk Wetboek (BW 1874 No.23).
b. Masa Regering Reglement
Masa ini adalah bentuk wet, K.B. Kroon Ordonatie, Ordonatie
1) Wet dibuat oleh raja dengan mendengar Raad van state dan bersama sama Staten
General misalnya Mijnwet (S. 1899 No.214).
2) K.B adalah Koninklijk Besluit pembuanya sama dengan K.B pada masa Besluit
Regeling misalnya Agrarisch Besluit (S.1870 No.118)
3) Kroon Ordonantie dibuat Gubernur Jenderal (Gouverneur General) dengan
mendengar Raad van Nederalnd-Indie (semacam DPA di daerah jajahan) dan
pertolonga raja yang dapat berupa izin atau pengesahan misalnya Rechtswezen
Reglement Bengkoelen (S. 1909 No. 3208) Vee Paarden Ordonantie (S. 1090
No.574)
4) Ordonantie dibuat oleh Gubernur Jenderal dengen mendengar van Netherlan-Indie
misalnya Ontoeigennings Ordonantie (S. 1920 No.574)
c. Masa Insische Staatsregeling
Masa adalah bentuk wet K. B Kron Ordonantie dan Regering verordening
1) Wet seperti masa R.R misalnya Zee en Luzhvaart verzekeringswet (S. 1939 No.448)
2) K. B seperti masa R.R misalnya peraturan S. O . B (S. 1939 No.5).
3) Kroon Ordonantie dibuat Gubernur Jenderal (Gouverneur General) dengan
mendengar Raad van Nederalnd-Indie dan bersama-sama dengan Volksraad nisalnya
Wegverkeers Ordonantie (S. 1933 No.86)
4) Regering verordening dibuat Gubernur Jenderal dengan mendengar Raad van
Nederland-Indie untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi misalnya wet, K.B,
Kroon Ordonantie contohnya Wetverkeers Verordening (S. 1936 No. 452) UItvoering
van de regeling op de SOB (S. 1940 No. 78)
2. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini peraturan perundang-undangan antara lain :
a. osamu Seirei dikeluarkan oleh Seikosikikan;
b. osamu Kanrei dikeluarkan oleh Gunseikan.
3. Masa Republik Indonesia (1945-1949)
Berdasarkan UUD 1945 asli (Sebelum Perubahan) peraturan perundang-undangan meliputi:
1. Undang-Undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 UUD 1945).
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, yaitu peraturan yang dibuat oleh
Presiden dalam hal ikhwal yang mendesak (keadaan genting) (Pasal 22 UUD 1945)
3. Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan yang dibuat oleh Presiden untuk melaksanakan
Undang-Undang (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945).
4. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Tahun 1949-1950
Masa Konstitusi RIS dari tanggal 27 Desember 1949-17 Agustus 1950, peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan antara lain:
a. Undang-Undang Federal, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Negara Federal.
Ada dua jenis Undang-Undang Federal meliputi:
1. Undang-Undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat Federal dan Senat (Pasal 127 huruf a Konstitusi RIS).
2. Undang-Undang Federal yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat Federal (Pasal 127 huruf b Konstitusi RIS).
b. Peraturan Pemerintah Federal, yaitu peraturan untuk ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah
untuk melaksanakan Undang-Undang (Pasal 141 Konstitusi RIS). Pada masa ini jenis-jenis
peraturan perundang-undangan dapat diketahui sebagai berikut.
1. Konstitusi (Undang-Undang Dasar).
2. Undang-Undang Darurat.
3. Peraturan Pemerintah.
4. Keputusan Presiden.
5. Peraturan atau Undang-undang Negara Bagian.
6. Peraturan Menteri.
7. Peraturan Daerah.
5. Masa Republik Indonesia (1950-1959)
Masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 mulai pada
tanggal 17 Agustus 1950. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan pada masa itu antara lain:
a. Undang-Undang,yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 89 UUDS 1950).
b. Undang-Undang Darurat, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah dalam
hal ikhwal yang mendesak (Pasal 96 UUDS 1950).
c. Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh Pemerintah untuk
melaksanakan Undang-Undang (Pasal 98 UUDS 1950).
d. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar;
2. Undang-Undang;
3. Undang-Undang Darurat;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Penetapan Presiden,yaitu peraturan untuk melaksanakan Dekrit;
6. Peraturan Presiden, peraturan untuk melaksanakan Penetapan Presiden;
7. Keputusan Presiden;
8. Peraturan Perdana Menteri;
9. Peraturan Menteri;
10. Keputusan Menteri;
11. Peraturan Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
6. Masa sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (1959-1965)
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali
Undang-Undang Dasar 1945.Setelah Dekrit Presiden sampai tahun 1965, jenis peraturan
perundang-undangan selain seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, juga diatur
dalam Surat Presiden kepada Ketua DPR GR tanggal 20 Agustus
1959 or 2262/HK/1959 tentang Bentuk Peraturan-peraturan Negara antara lain:
a. Penetapan Piesiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden Panglima Tertinggi Angkatan
Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang "Kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945".
b. Peraturan Presiden, yaitu peraturan: (a) yang didasarkan Pasal 4 ayat (1) atau (b) untuk
melaksanakan Penetapan Presiden.
c. Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan suatu Peraturan Presiden.
d. Keputusan Presiden untuk melaksanakan/meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
e. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat di Kementerian-kementerian
Negara/Departemen-departemen dan untuk melakukan/meresmikan pengangkatan-
pengangkatan.
f. Pada masa 1959-1965 sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun
Surat Presiden tanggal 20 Agustus 1959, jenis peraturan perundang-undangan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Penetapann Presiden.
4. Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden.
5. Keputusan Presiden.
6. Peraturan Menteri.
7. Keputusan Menteri.
8. Produk hukum Badan/Lembaga yang lebih rendah dan Peraturan Daerah Tingkat I dan
Tingkat II.
7. Masa Tahun 1966-1998
Selanjutnya, Pasal 3 ayat (7) berbunyi bahwa Peraturan daerah merupakan peraturan untuk
melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang
bersangkutan.
a. Peraturan daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan
gubernur.
b. Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota
bersama bupati/walikota.
c. Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat,
sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Hierarki peraturan perundang-undangan pasca era reformasi ditandai dengan adanya dua produk
hukum, yaitu: UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada saat berlakunya UU No. 10 Tahun 2004 hierarki peraturan perundang-undangan, hierarki
peraturan perundang-undangan disebutkan dalam Pasal 7 yang berbunyi sebagai berikut.
Namun,ketika UU No. 12 Tahun 2011 terbentuk dan menggantikan UU No.10 Tahun 2004,
hierarki peraturan perundang-undangan pun mengalami perubahan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 7 UU No.12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.
Negara hukum modern cenderung urituk menjadi negara hukum yang progresif bilamana
dilihat dari inisiatif untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang datangnya selalu dari pihak
negara (pemerintah) artinya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum maka negara akan
selalu aktif mengambil inisiatif untuk bertindak, bukan rakyat yang harus“meminta-minta” untuk
dilayani oleh negara. Di sinilah gambaran tentang negara hukum Indonesia yang dicita-citakan.
Pada tipe negara kesejahteraan modern seperti Indonesia ini maka pemerintah (bestuur) diberi
kewajiban untuk turut serta dan aktif dalam pergaulan sosial ekonomi rakyatnya demi terwujudnya
kesejahteraan bersama. Dengan demikian, pemerintah atau administrasi negara (bestuur)
memerlukan ruang gerak yang lebih bebas agar dapat bertindak cepat, tepat dan berfaedah atas
inisiatif sendiri terhadap sesuatu yang peraturannya belum dibuat oleh pembuat undang-undang
atau yang telah dibuat tetapi peraturannya tidak konkret.
Dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan sering terjadi hal-hal yang tidak
normal dalam menata kehidupan kenegaraan, di mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak
mampu mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan
tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna
meniamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara.Dengan
demikian, maka penggunaan perangkat hiukum biasa sejak semula haruslah mengantisipasi
berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak normal agar negara dapat menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Negara yang demikian dapat dikatakan dalam
keadaan darurat (state emergency) dan untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka harus
dibentuk peraturan yang bersifat khusus.
Keadaan darurat mempunyai pengertian yang luas, ia dapat berwujud keadaan darurat militer
atau keadaan darurat perang, keadaan darurat karena bencana alam, keadaan darurat administratif
berupa keadaan darurat keuangan (financial emergency) atau keadaan darurat yang biasa disebut
welfare emergencydan lain sebagainya. Dalam keadaan-keadaan yang tidak biasa atau tidak
normal tersebut berlaku norma-norma yang juga bersifat khusus yang memerlukan pengaturan
tersendiri baik mengenai syarat-syaratnya, tata cara pemberlakuannya dan tata cara
mengakhirinya, serta hal-hal yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pemerintah dalam
keadaan darurat tersebut agar tidak memberi kesempatan timbulnya penyalahgunaan wewenang
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Pemberlakuan suatu keadaan darurat (state of emergency) di suatu negara yang menganut
sistem pemerintahan presidensial sebagaimana halnya di Indonesia memberikan pembenaran
kepada Presiden untuk mengamb:l tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan darurat
tersebut dengan tetap memerhatikan peran DPR untuk: a) melakukan pengawasan yang ketat
dalam menentukan adanya suatu keadaan darurat (recognizing an emergency);b) membentuk
kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu (creating the powers to deal with it); c) memantau
pelaksanaan kewenangan pemerintah (eksekutif) untuk mengatasi keadaan yang tidak normal
tersebut; d) menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam
keadaaan darurat tersebut; e) apabila diperlukan menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat
atau meminta kepada Presiden untuk menyatakan mengakhiri keadaan darurat tersebut.149
Di Negara Republik Indonesia, untuk mengantisipasi state emtergency, UUD NRI Tahun
1945 memberikan kewenangan membentuk peraturan khusus, yaitu: Pasal 12 yang berbunyi
bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang. Selanjutnya, Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi
sebagai berikut.
(1) Dalam halihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat diketahui adanya'dua kategori dari adanya
keadaan yang tidak biasanya'(luar biasa) dari negara atau keadaan darurat negara (state of
emergency) yakni Pertama,keadaan bahaya, dan kedua, hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Kedua kategori tersebut mempunyai makna yang sama sebagai keadaan darurat negara (state of
emergency), namun keduanya mempunyai perbedaan pada penekanannya yakni istilah keadaan
bahaya lebih menekankan pada strukturnya (faktor eksternal) sedangkan dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa lebih menekankan pada isinya (faktor internal). Penggunaan kedua
pasal tersebut sangat berbeda yakni Pasal 12 UUD NRI Tahun 1945 lebih berfokus pada
kewenangan Presiden seiaku kepala negara untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari
gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 berada pada ranah
(domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu.
Dengan demikian lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang
bersifat mendesak. Itulah sebabnya maka apabila dicermati ketentuan UUD NRI Tahun 1945
maka terdapat tiga unsur penting secara bersaina-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian
keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa,
yaitu pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur
adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya
keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam konteks Negara Indonesia, beberapa syarat formil yang
harus dipenuhi untuk pemberlakuan suatu keadaan darurat adalah sebagai berikut. (a) Pernyataan
atau deklarasi berlakunya keadaan darurat itu harus dituangkan dalam bentuk tertentu yaitu
dengan Peraturan Presiden sedangkan pengaturan materil yang diperlukan dalam keadaan darurat
tersebut dituangkan dalam bentuk Perppu sebagaimana dimaksud oleh UUD NRI Tahun 1945.(b)
Pejabat yang secara konstitusional berwenang untuk menetapkan dan mengatur keadaan darurat
itu hanya Presiden,bukan pejabat yang lain. (c) Perpres (Peraturan Presiden) dan Perppu yang
dimaksud di atas disahkan dan ditandatangani oleh Presiden serta diundangkan dalam Lembaran
Negara sebagaimana mestinya. (d) Perppu hendaknya menentukan dengan jelas ketentuan-
ketentuan undang-undang apa saja yang dikesampingkan oleh berlakunya Perppu tersebut.(e)
Perpres yang dimaksud harus menentukan dengan jelas wilayah hukum berlakunya dalam wilayah
Republik Indonesia, misalnya apakah Perppu itu berlaku untuk seluruh wilayah nasional atau
hanya berlaku di daerah tertentu saja, seperti halnya di provinsi tertentu atau di kabupaten tertentu.
(f) Perppu dan Perpres tersebut harus pula menentukan dengan pasti lama berlakunya keadaan
darurat tersebut. Jika pembatasan semacam itu tidak ditegaskan,berarti Pepres atau Perppu tersebut
hanya berlaku selama masa persidangan DPR sampai dengan dibukanya kembali masa
persidangan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. (g) segera
setelah diberlakukan Perppu harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan
sebagaimana mestinya. Jika dalam masa persidangan berikutnya DPR tidak atau belum
menyatakan persetujuannya, maka Perppu harus dinyatakan dicabut oleh Presiden.
Beberapa kasus banyak dikeluarkan Perppu untuk mengatasi keadaan darurat di Negara
Republik Indonesia antara lain sebagai berikut.
Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahuin 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
hanya didasarkan pada unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat) saja.Hal ini
dapat diketahui dari penjelasan umumnya yang-menegaskan bahwa penggunaan Perppu ini
untuk mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme yang didasarkan pada pertimbangan
bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak
untuk dikeluarkan Perppu guna dapat segera diciptakan suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip negara hukum.152
2. Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian
Pembentukan Perppu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1992 tentang Keimigrasian, hanya didasarkan pada unsur kebutuhan yang
mengharuskan (reasonable necessity), di mana kebijakan Pemerintah Arab Saudi yang
menetapkan bahwa mulai tahun 1430:Hijriah jemaah haji dari seluruh negara termasuk
Indonesia-harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara
internasional. Penggunaan paspor biasa (ordinary passport) ini dijadikan sebagai dasar
“kegentingan yang memaksa” sehingga Indonesia perlu melakukan upaya yang bersifat segera
untuk menjamin tersedianya paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah haji tetap dapat
dilaksanakan pada tahun 1430 Hijriah tersebut.
3. Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pembentukan Perppu Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah,hanya didasarkan pada unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. Perppu ini
mengatur bahwa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diangkat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum sebagaimana telah disesuaikan pula dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya penyelenggaraan pemilihan
umum yang baru. Hal ini mengingat Dewan Perwakilan Rakyat sedang mempersiapkan
rancangan undang-undang tertang penyelenggaraan pemilihan umum untuk menggantikan
ketentuan yang berlaku saat itu yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Berdasarkan
pertimbangan tersebut,Presiden berpendapat bahwa syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa
telah terpenuhi untuk menetapkan Perppu tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003.154
BAB 7
6. kelompok lain-lain.
Berdasarkan Keputusan MPR RI No. I/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI bahwa
jenis Putusan Majelis ada tiga, yaitu sebagai berikut.
b. Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar Majelis sebagaimnana diatur
dalam Ketetapan MPR RI No.I/ MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status
Hukum Ketetapan MPRS Dan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan 2002.
Disebutkan dalam Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud padaayat (1) hurufd
dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Disebutkan dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa materi muatan
Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Artinya, materi muatan Peraturan Pemerintah adalah menjalankan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam undang-undang.
E. Peraturan Presiden
Disebutkan dalam Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa Materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan. Artinya, materi muatan Peraturan Presiden adalah menjalankan ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam oleh undang-undang, peraturan pemerintah, atau dalam rangka
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Disebutkan dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi bahwa materi muatan
Peraturan Dacrah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perlu diketahui bahan materi muatan segala peraturan perundang-undangan tersebut di atas
juga disebutkan dalam Pasal 15 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman
pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
BAB 8
Dalam Konvensi Hukum Nasional disimpulkan tentang pentingnya granddesign sistem dan
politik hukum nasional dalam rangka pembangunan hukum nasional dan didasari landasan
falsafah Pancasila dan konstitusi negara,yaitu UUD 1945. Grand design sistem dan politik hukum
nasional merupakan sebuah desain komprehensif yang menjadi pedoman bagi seluruh stakeholder
yang mencakup seluruh unsur dari mulai perencanaan, legislasi, diseminasi dan budaya hukum
masyarakat.160
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa Grand design adalah rancang
bangun yang besar atau pola besar. Grand design hukum nasionai berarti rancang bangun yanıg
besar dalam pembangunan sistem hukum nasional yang meliputi keseluruhan komponen dalam
sistem hukum, yaitu komponen substansi, struktur dan kultur hukum. Grand design sistem dan
politik hukum nasional harus berdasarkan dan diarahkan pada Pembukaan UUD 1945. Grand
design sistem dan politik hukum nasional harus tetap berdasarkan pada paradigma Pancasila,
yaitu161
4. paradigma kerakyatan/Demokrasi;
Proses pembaruan hukum ini sebenarnya telah berjalan lama. Namun, cita-cita pembentukan
hukum nasional dalam segala bidang kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara belum
tercapai sepenuhnya. Pembentukan hukum nasional yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
pembentukan peraturan perundang-undangan nasional yang merupakan produk pembentuk
undang-undang (Badan Legislatif) yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat dan diakui sebagai hukum. Hal ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari masih ada
berbagai kegiatan kehidupan manusia yang sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam
masyarakat, namun belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Kondisi
semacam ini dapat dipahami karena kebutuhan hidup manusia, kegiatan kehidupan manusia sangat
banyak dan beragam, serta cepat berubah dan berkembang. Sedangkan peraturan perundang-
undangan tidak mungkin dapat menampung semua segi kehidupan manusia selengkap-lengkapnya
dan sejelas-jelasnya.163
Sehubungan dengan hal ini menurut Soedikno Mertokusumo, undang-undang itu mengatur
peristiwa tetapi sering kali peristiwanya berkembang,sedangkan Undang-undangnya belum juga
berubah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau ada ungkapan het recht hinkt achter de feiten
aan yang berarti bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Yang dimaksudkan hukum di
sini dengan sendirinya adalah hukum tertulis atau undang-undang. Perubahan undang-undang
harus melalui prosedur sehingga tidak dapat setiap saat dilakukan untuk menyesuaikan
keadaan.164
Perubahan hukum dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara keadaan-keadaan,
peristiwa-peristiwa, dan hubungan-hubungan dalam masyarakat dengan hukum yang
mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin dilepaskan dari hal-hal yang diaturnya
sehingga ketika hal-hal yang seyogianya diatur telah berubah sedemikian rupa tentu saja dituntut
perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya.165
Pembaruan hukum perlu dilakukan secara komprehensif,meliputi seluruh komponen dalam sistem
hukum yang menurut Lawrence Friedman terdiri dari komponen substansial, struktural, dan
kultural. Ada keterikatan yang sangat erat antara pembaruan pada komponen substansial dengan
kultural. Komponen substansial seharusnya dibangun berdasarkan kultural yang dimiliki oleh
bangsa tersebut.'66
Oleh karena itu, agar perundang-undangan yang dihasilkan dapat mencerminkan kualitas
yang baik sebagai produk hukum, maka perlu memahami beberapa dasar/landasan dalam
pembentukannya antara lain sebagai berikut.
1. Landasan Filosofi
Dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi Negara Indonesia, Pancasila harus dijadikan
paradigmna (kerangka berpikir, sumber nilai, dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum,
termasuk semua upaya pembaruannya.168
Menyikapi perlunya paradigma pembaruan tatanan hukum,bahwa setiap produk hukum harus
bersumber pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam lima sila Pancasila, dan keseluruhan
Pembukaan UUD 1945.Setidaknya ada empat nilai dasar yang harus terpancar dalam setiap
pembuatan hukum dan cita hukum Indonesia: 1) melinduingi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia.Keharusan ini sesuai dengan pokok pikiran dalam Pembukaan UUD
1945;2)hukum dibuat dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; 3)
hukum yang dibuat haruslah memuat nilai dan melalui proses yang demokratis. Keharusan ini
ditempuh agar diperoleh hukum yang responsif dan populis; 4) hukum harus berdasarkan nilai-
nilai keutuhan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.169
Pancasila sebagai akar dari cita hukum bangsa Indonesia memberikan konsekuensi bahwa
dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai pandangan hidup yang dianut akan
memberikan koherensi dan direksi (arah) pada pikiran dan tindakan. Cita hukum adalah gagasan,
karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum,yang dalam
intinya terdiri atas tiga unsur yakni keadilan, kehasilgunaandan kepastian hukum. Cita hukum
terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup,
keyakinan keagaamaan dan kenyataan kemasyarakatan. Sejalan dengan itu maka, ilmu hukum dan
hukum Indonesia seyogianya bertumpu dan mengacu pada cita hukum tersebut.17
Berkenaan dengan tiga unsur cita hukum seperti tersebut di atas. Gustav Radbruch menyatakan
bahwa di dalam hukum terdapat tiga nilai dasar yang saling bertentangan satu dengan yang
lainnya yakni kepastian hukum,keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Apabila dalam
pembuatan hukum lebih mengutamakan kepastian hukum yang tercermin dalam pasal-pasalnya
yang bersifat rigid, maka nilai keadilan yang menjadi dambaan masyarakat dalam berhukum akan
tergeser bahkan sulit untuk dilacak jejak keberadaannya. Bersamaan dengan hilangnya nilai
keadilan karena lebih mengutamakan kepastian hukum sebagaimana tertulis dalam undang-undang
maka akan hiiang pula rasa kemanfaatan hukum bagi masyarakat.'7
A. Hamid S. Attamimi sejalan dengan pandangan Notonagoro, bahwa kelima sila dari
Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “bintang pemandu” yang
memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan yang memberi isi pada setiap
peraturan perundang-undangan dan secara negatifmerupakan kerangka untuk membatasi ruang
gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Terhadap isi peraturan perundang-undangan,
sila-sila tersebut baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik tunggal maupun berpasangan
merupakan asas hukum umum.174
Pancasila sebagai norma fundamental negara dan sebagai citahukum rnerupakan sumber, dasar,
dan pedoman bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya sehingga Pancasila
dalam tatanan hukum di Indonesia memiliki dua dimensi,yaitu (1) sebagai norma kritik, yakni
menjadi batu uji bagi norma-norma di bawahnya, dan (2) sebagai bintang pemandu yang menjadi
pedoman dalam pembentukan hukum di bawahnya. Atau dengan kata lain menurut Muladi, bahwa
Pancasila merupakan instrumen dari “Margin of Appreciation Doctrine", yang dalam hal ini
Pancasila menjadi acuan parameter bagi penerapan "Margin of Appreciation Doctrine".
Berkaitan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menurut Paulus Wahana,
rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 tampak
masih umum dan abstrak sehingga sulit untuk langsung dijadikan pedoman dalam kehidupan kita.
Oleh karenanya diperlukan upaya untuk menggali dan menemukan nilai-nilai Pancasila sehingga
semua warga negara Indonesia terdorong untuk mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.Lebih lanjut Paulus Wahana berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila
masih harus dicari dan ditemukan dalam rumusan Pancasila, yang kemudian harus dijabarkan
lebih lanjut untuk dapat diwujudkan. Pancasila memuat nilai-nilai dasar manusiawi, yang
merupakan nilai-nilai kodrati yang melekat pada setiap manusia. Manusia merupakan makhluk
monopluralis, yakni ciptaan yang tunggal namun terdiri atas berbagai unsur dan dimensi.
Penjelasannya adalah dalam sila I akan didapatkan nilai religius yang memberikan landasan
hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai Penciptanya.Sedangkan sila II, III, IV, dan V
lebih menunjukkan nilai sosial kemanusiaan yang memberi landasan kehidupan manusia dalam
hubungan dengan sesamanya, maupun dalam usaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.176
Nilai dalam sila II Pancasila adalah penegasan tentang nilai dasar kemanusiaan yang menunjukkan
harkat dan martabat manusia dibanding dengan ciptaan Tuhan lainnya. Nilai kemanusiaan ini
dijabarkan dalam sila III sebagai landasan untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan masyarakat bangsa (nation).Pengkhususan
nilai kemanusiaan dalam kehidupan bernegara menghasilkan nilai kerakyatan, yaitu penghargaan
rakyat sebagai manusia yang merupakan subjek dalam kegiatan bernegara. Nilai kerakyatan ini
ditegaskan dalam sila IV.Pedoman yang dipakai agar nilai kemanusiaan tetap terwujud dalam
penyelenggaraan sarana dan kebutuhan hidup manusia adalah berdasarkan pada nilai keadilan
sebagaimana yang ditegaskan dalam sila V.
Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila tersebut di atas merupakan nilai-nilai dasar yang
selalu ada dan melekat dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai Pancasila tersebut merupakan nilai
moral dasar yang selalu aktual dan saling melingkupi antara satu dengan lainnya dalam tindakan
manusia. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan satu kesatuan
yang bulat dan utuh serta membentuk suatu sistem nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai yang satu
mengandaikan serta diandaikan oleh sila-sila lainnya dalam Pancasila.178
Dari sekalian paparan tentang nilai Pancasila tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sila-
sila dalam Pancasila adalah suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
lainnya. Sila-sila tersebut membentuk suatu sistem yang terangkai menjadi satu.179
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Landasan yuridis terdiri dari tiga segi.
1. Landasan yuridis dari segi formal, yaitu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi
lembaga untuk membuat peraturan tertentu.Contohnya: Pasal 5 ayat (2)UUD NRI Tahun 1945
yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang.
2. Landasan yuridis dari segi material, yaitu landasan yuridis segi isi atau materi sebagai
dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu.
Contohnya: Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 menjadi landasan yuridis dari segi
material di mana Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
3. Landasan yuridis dari segi teknis, yaitu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi
lembaga untuk membuat peraturan tertentu mengenai tata cara pembentukan Undang-Undang.
Contohnya: Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 yang memberi kewenangan bagi Presiden dan DPR
berdasarkan persetujuan bersama membuat RUU tentang tata cara pembentukan Undang-Undang.
3.Landasan Politik
Landasan politik adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar bagi kebijaksanaan-
kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan suatu negara. Contohnya: di Negara
Republik Indonesia di mana garis politik penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UUJ di
bidang penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
4. Landasan Sosiologis
Menurut M. Solly Lubis, proses pembentukan hukum dalam perspektif demokrasi bahwa
masukan-masukan (inputs) yang menjadi bahan pertimbangan untuk penentuan hukum itu
bersumber dari aspirasi warga masyarakat/rakyat yang meliputi berbagai kepentingan mereka.
Aspirasi warga masyarakat disalurkan melalui wakil-wakil rakyat yang benar-benar partisipatif
dan responsif terhadap tuntutan hati nurani masyarakat yang diwakilinya. Aspirasi tersebut
kemudian diproses dalam lembaga legislatif yang pada akhirnya akan muncul produk politik yang
berupa hukum yang benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat. Dengan mekanisme ini,
maka tuntutan yang dibebankan kepada para pembentuk hukum adalah sebagai berikut.183
a. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang diwakilinya untuk memahami dan
menyerap hasrat, aspirasi, dan tuntutan-tuntutan mereka dengan sikap yang benar-benar
representatif terbuka.
d. Kemampuan untuk membuat rumusan atau artikulasi atas aspirasi-aspirasi yang disepakati
untuk dituangkan dalam bentuk aturan hukum. Misalnya menjadi undang-undang, Peraturan
Daerah.
e. Kemampuan dalam arti penguasaan pengetaliuan dasar (teoretis)dan pengalaman (praktis)
mengenai telaah strategi(telstra),perencanaan strategis (renstra), monitoring strategis (monstra),
politik strategis (polstra), perkiraan strategis (kirstra), pengendalian dan penangkalan.
Karakter khas hukum otonom dapat diringkas sebagai berikut.1) Hukum terpisah dari politik.
Secara khas, sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan, dan menyambut
garis tegas antara fungsi legislatif dan yudikatif. 2) Tertib hukum mendukung “model peraturan"
(model ofrules). Fokus pada peraturan membantu menerapkan ukuran bagi akuntabilitas para
pejabat; pada waktu yang sama, ia membatasi kreativitas institusi-institusi hukum maupun risiko
campur tangan lembaga-lembaga hukum itu dalam wilayah politik. 3) "Prosedur adalah jantung
hukum". Keteraturan dan keadilan (fairness), dan bukannya keadilan substantif, merupakan tujuan
dan kompetensi utama dari tertib hukum. 4)"Ketaatan pada hukum" dipahami sebagai kepatuhan
yang sempurna terhadap peraturan-peraturan liukum positif. Kritik terhadap hukum yang berlaku
harus disalurkan melalui proses politik.185
Dari perbandingan ciri-ciri hukum yang represif dan otonom, maka Philippe Nonet dan Philip
Selznick dengan teori hukum responsif menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe
hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi
mencapai keadilan dan emansipasi publik.186
Berkaitan dengan perbandingan karakteristik hukum represif, otonom, dan responsif yang
dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, maka ada pula yang perlu dipahami mengenai
kajian struktur sosial sebagai basis sosial dari hukum,
Sebagai ilmu empirik sosiologi hukum mengamati bagaimana hukum dengan segala
karakteristiknya diterapkan dan digunakan dalam masyarakat, serta digunakan oleh masyarakat.
pada saat hukum dijalankan terjadilah interaksi antara hukum dan perilaku masyarakat yang
menggunakannya. Sosiologi hukum berbicara mengenai makna sosial hukum. Makna sosial
diberikan kepada hukum melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial di mana hukum itu
diterapkan. Sosiologi hukum mengatakan bahwa peraturan hukum tidak dapat memaksakan agar
isi peraturan dijalankan secara mutlak, melainkan dalam banyak hal dikalahkan oleh struktur
sosial di mana hukum itu dijalankan.
Suatu undang-undang yang dibuat secara sepihak oleh pihak legislator mungkin kehadirannya
akan ditolak karena tidak, sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Di sinilah arti
pentingnya peran serta masyarakat dilibatkan dalam proses pembentukan Undang-undang.
Demokrasi partisipatoris diharapkan lebih menjamin bagi terwujudnya produk undang-undang
yang responsif karena masyarakat ikut membuat suatu undang-undang. Adanya partisipasi
masyarakat dalam pembentukan undang-undang juga akan menjadikan masyarakat lebih
bermakna dan pemerintah lebih tanggap dalam proses demokrasi sehingga melahirkan
pemerintahan yang bermoral dan warga negara yang bertanggung jawab dalam masyarakat. 18
Proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap
ante legislative; tahap legislative dan tahap post legislative. Dalam tiga tahap tersebut, pada
dasarnya masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukannya sesuai dengan keinginannya.
Masyarakat dapat berpartisipasi pada seluruh tahapan proses pembentukan undang-undang dan
memilih salah satu tahapan saja. Akan tetapi, bentuk partisipasi masyarakat berbeda-beda
meskipun ada pula yang sama antara satu tahapan dengan tahapan yang lain. Artinya, bentuk
partisipasi masyarakat pada tahap sebelum legislatif tentu berbeda dengan bentuk partisipasi
masyarakat pada tahap legislatif maupun tahap setelah legislatif. Jadi, bentuk partisipasi
masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang disesuaikan dengan tahap-tahap yang
tengah dilakukan.
a. Partisipasi masyarakat pada tahap ante legislative terdiri dari berikut ini194
Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian ini dapat dilakukan masyarakat ketika
melihat adanya suatu persoalan dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara mendalam dan memerlukan penyelesaian
pengaturan dalam suatu undang-undang.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi,lokakarya dan seminar pada tahap ante
legislatif ini dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian terhadap suatu
objek yang akan diatur dalam undang-undang.
3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif Pengajuan usul inisiatif untuk
dibuatnya suatu undang-undang dapat dilakukan masyarakat dengan atau tanpa melalui
penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terlebih dahulu.Akan tetapi, usul inisiatif ini tentu
akan lebih kuat jika didahului dengan penelitian, diskusi, lokakarya dan seminar terhadap suatu
masalah yang akan diatur dalanı suatu undang-undang.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak ini dapat dilakukan
oleh masyarakat dengan membuat opini terhadap suatu masalah yang tengah dibahas
dalam lembaga legislatif. Opini masyarakat ini dapat berupa artikel, jumpa pers,
wawancara, pernyataan-pernyataan, maupun berupa tajuk-tajuk berita dari surat kabar
dan majalah.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik ini dapat
dilakukan oleh masyarakat dengan membuat dialog dengan menghadirkan narasumber
yang kompeten terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa ini dapat dilakukan masyarakat dalam
rangka mendukung, menolak maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam
proses pembentukan undang-undang.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar ini dapat
dilakukan masyarakat dalam rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi
yang tengah dibahas dalam lembaga legislatif.
c. Partisipasi masyarakat pada tahap post legislative terdiri dari berikut ini.
Adanya undang-undang baru dapat disikapi beraneka ragam oleh masyarakat, karena sangat
mungkin dengan undang-undang yang baru itu bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru
menimbulkan masalah sosial baru dalam masyarakat.Sikap itu dapat berupa dukungan atau
penolakan terhadap lahirnya undang-undang baru yang diwujudkan dengan unjuk rasa.
Suatu undang-undang yang telah diproduksi oleh lembaga legislatif dan telah
disahkan oleh Presiden serta dimuat dalam Lembaran Negara mempunyai kekuatan
mengikat dan sah berlaku di masyarakat. Meskipun demikian, dalam suatu negara
demokrasi termasuk di Indonesia rakyat mempunyai keleluasaan untuk
menanggapinya. Bagi masyarakat yang belum atau tidak puas dengan lahirnya
undang-undang dapat melakukan permohonan uji materiil terhadap undang-undang
tersebut.
3) Sosialisasi undang-undang
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
melalui:a. rapat dengar pendapat umum; b.kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau seminar,
lokakarya,dan/ atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok
orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),setiap RancanganPeraturan Perundang-undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dapat kita jumpai tiga pengertian asas sebagai
berikut.195
a. Dasar, alas, pedoman; misalnya, batu yang baik untuk alas rumah.
b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya;
misalnya: bertentangan dengan asas-asas hukum pidana; pada asasnya yang setuju dengan usul
saudara).
c. Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan negara, dan sebagainya; misalnya, membicarakan
asas dan tujuan).
Menurut The Liang Gie, bahwa asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada
serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.196
Dalam praktik terdapat norma-norma hukum, yang tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi asas
yang mendasarinya. Salah satu contoh, yang dapat kami kemukakan, norma hukum positif
dalam bidang lalu lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum yang mempergunakan bagian
kiri dari jalan itu. Untuk norma hukum itu sulit dicarikan asasnya, tetapi kalau ia menjadi asas
maka norma hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas.Selanjutnya Paton, mengatakan
adanya norma hukum dapat dikembalikan kepada suatu asas tetapi ada pula kalanya,semasyhur
sarjana. Ia tak sanggup menyebutkan asas yang mendasari suatu norma hukum.Keadaan seperti
itu menurut Mahadi, banyak terdapat pada bidang-bidang hukum yang netral, yaitu bidang-
bidang hukum yang tidak ada kaitannya dengan agama atau kebudayaan. Sebaliknya dalam
bidang-bidang hukum yang non-netral (bidang-bidang hukum yang erat kaitannya dengan
agama dan budaya), kita dapat bertemu dengan norma-norma hukum yang dapat dikembalikan
kepada suatu asas.
Menurut van Eikema Hommes, asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum
yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan
kata lain, asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.
Menurut Belefroid,asas hukum adalah nornıa dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan
yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum
ini merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.199
Menurut Van der Velden, asas hukum adalah tipe putusan yang dapat digunakan sebagai
tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berperilaku. Asas hukum.
didasarkan atas satu nilai atau lebih yang menentukan situasi yang bernilai yang harus
direalisasi.200
Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan unsur yang penting dan pokok dari
peraturan hukum, yang karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asas hukum
merupakan “jantungnya”peraturan hukum. Dikatakan demikian karena dua hal. Pertama, asas
hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas tersebut. Kedua,
asas hukum juga merupakan ratio legis (alasan) bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum ini
tidak akan habis kekuatannya dan akan tetap saja ada dalam melahirkan berbagai peraturan
hukum. Dari asas hukum dapat diturunkan peraturan-peraturan hukum.201
dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim. yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari
sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkret tersebut.202
Menurut Abeer Bashier Dababneh dan Eid Ahmad Al-Husban, bahwa The public authority
specialized in legislation must comply with a set of principles and criteria that constitutes a
complete and integrated group designed for the enactmient of legislation that are characterized
with universality and intellectivity on the one hand, and on the other must comply with the
higher and more supreme legislations in conformity with the principle of hierarchy of the legul
rules and the principle of the supremacy of the law (otoritas publik yang mengkhususkan diri
dalam pembentukan undang-undang harusu mematuhi seperangkat prinsip dan kriteria yang
merupakan suatu kelengkapan dan kelompok pemandu yang dirancang untuk pemberlakuan
suatu undang-undang yang ditandai dengan universalitas dan intelektualitas di satu sisi, dan di
sisi lain harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan sesuai
dengan prinsip hierarki aturan hukum dan prinsip supremasi hukum) Lebih lanjut Abeer Bashier
Dababneh dan Eid Ahmad Al-Husban mengatakan bahwa suatu undang-undang dianggap baik
jika proses pembentukannya memerhatikan dan mempedomani prinsip-prinsip sebagai
berikut.206
a. The size of the law must be reasonable so that the layman can easilylearn.This can be
achieved byhaving a simple language that has no technical complexity because the law
addresses all people and not only certain intellectual levels and groups (ukuran undang-undang
harus masuk akal sehingga orang awam dapat dengan mudah mempelajari.Hal ini dapat dicapai
dengan menggunakan bahasa yang sederhana yang tidak merniliki kompleksitas teknis karena
undang-undang ditujukan untuk semua orang dan tidak hıanya tingkat intelektual tertentu dan
kelompok).
b. The law must be simple in order to achievc its goals, which in turn must be simple because
the purpose behind the law is to resolve conflicts faced by the group, and this cannot be
achieved if the law was a complex one.A good law is that law that can be realized and
understood by the layman and others (undang-undang harus sederhana untuk mencapai tujuan,
harus sederhana karena tujuan dibalik undang-undang harus adalah untuk menyelesaikan
konflik yang dihadapi oleh kelompok,dan ini tidak dapat dicapai jika undang-undang terlalu
kompleks. Sebuah undang-undang yang baik adalah undang-undang yang dapat direalisasikan
dan dipahami oleh orang awam lainnya).
c. The law must have legislative stability so that people who are familiar with, this law can
live assured they know the law and they do not break it.Thus,the supremacyofthe law and and
discreteand provident judgment can be achieved. This feature of the law can only be achieved if
the legislator is well familiar and competent with the nature,limitations and dimensions of the
problem that is to be legally resolved and governed (undang-undang harus memiliki kestabilan
legislatif sehingga orang yang terbiasa dengan undang-undang merasa yakin mereka tahu
undang-undang dan mereka tidak melanggarnya.Dengan demikian, tujuan supremasi hukum
dan penghakiman yang efektif dapat dicapai. Perangkat undang-undang hanya dapat dicapai
jika legislator kompeten dan mengenal dengan
e. The law must be reflective ofthe reality of the society on which it is to be implemented
and must be compatible with the social, economic and cultural features,because a good law is
the product ofits environment and not one that is imposed on an environment that does not fit or
meet the requirements of good and sound implementation. This is necessary in order to resolve
the conflicts and problems that caused the legislator to draw that law. Thus,one can achieve a
legal eficiency in resolving the problems faced by the group (undang-undang harus
mencerminkan realitas másyarakat yang harus dilaksanakan dan harus kompatibel dengan
pranata sosial, ekonomi dan budaya, karena undang-undang yang baik adalah produk dari
lingkungannya dan tidak satu pun yang dikenakan pada suatu lingkungan yang tidak sesuai atau
memenuhi persyaratan implementasi yang baik dan suara masyarakat. Hal ini diperlukan untuk
menyelesaikan konflik dan masalah yang menyebabkan legislator membentuk undang-undang
tersebut. Dengan demikian, seseorang dapat mencapai efisiensi undang-undang dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam kelompok).
f.The law must be legislative environment friendly so that it will not resolve a problem facing
the group bycreating many other problems, as this may lead to a legislative crisis (undang-
undang harus ramah dengan lingkungan legislatif sehingga tidak akan menyelesaikan masalah
yang dihadapi
f. The law must be compatible with the other higher legal rules (respecting the principle of
hierarchy in legislation) for supervision on the constitutionality of the laws constitutes one of
the basic pillars of the principle of legitimacy, which safe guards the human's rights and basic
freedoms. The principle of legitimacy necessitates a separation between authorities and
supervision on the constitutionality oflaws. Supervision on the constitutionality ofthe laws came
as a result of the principle of the hierarchy of the legal rules in the legal system of the legitimate
state,which is based on the fact that the legislations by the specialized authorityin the state are
not of the same type,but are various and very in importunce and strength following the
importance of the issues that are tackled and the authority who establish such legislations. On
the top of the hierarchy, there is the basic legislation,or the constitution,followed by the regular
legislation (undang-undang harus sesuai dengan aturan hukum lainnya yang lebih tinggi
(menghormati prinsip hierarki dalam undang-undang) untuk pengawasan atas konstitusionalitas
undang-undang merupakan salah satu pilar dasar prinsiplegitimasi, yang memberikan
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar.Prinsip legitimasi memerlukan pemisahan
antara otoritas dan pengawasan atas konstitusionalitas undang-undang. Pengawasan
konstitusionalitas undang-undang datang sebagai hasil dari prinsip hierarki aturan hukum dalam
sistem hukum negara yang sah, yang didasarkan pada kenyataan peraturan perundang-undangan
yang dihasilkan oleh suatu otoritas tidak selalu berjenis sama,tetapi bervariasi dalam berbagai
kepentingan dan kekuatan melalui pentingnya isu yang ditangani dan otoritas yang menetapkan
peraturan perundang-undangan tersebut.Pada puncak hierarki,ada Undang-Undang Dasar atau
Konstitusi,diikuti oleh undang-undang biasa).
g. The law must be compatible with the rules that are derived from the international
rules which the state agreed to commit to enhance the principle of legal sequence to
achieved. The law must also be compatible with the principles statedupon in the
international agreements of rights.In case of conflict,the principles must be applied.This
means that the international principles concerning the rights rise upon the legislation,in
accordance with the text of article (27) of The Vienna Convention on the Law of Treaties
"A party may not invoke the provisions of its internal law as justifications for its failure in
the implemention of the treaty. (Undang-undang harus sesuai denganaturan yang berasal
dari aturan internasional yang menyatakan setuju untuk berkomitmen untuk meningkatkan
prinsip urutan hukum di suatu negara, yaitu undang-undang tidak boleh melebihi tujuan
yang dirancang untuk dicapai. Undang-undang juga harus sesuai dengan prinsip yang
dinyatakan di atas dalam perjanjian internasional. Dalam hal konflik, prinsip-prinsip harus
diterapkan. Ini berarti prinsip-prinsip internasional mengenai munculnya hak atas undang-
undang, sesuai dengan teks dari artikel (27) dari Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian “peserta tidak dapat menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai
pembenaran atas kegagalannya dalam pelaksanaan perjanjian).
Menurut Stefano Murgia dan Giovanni Rizzoni dari Unit Legal Drafting Parlemen
Italia,pembentukan undang-undang yang baik perlu memenuhi serangkaian prinsip minimum
yaitu207
a. nccessary and that its objectives cannot be achieved by other legal mean : (diperlukan dan
tujuan tidak dapat dicapai melalui perangkat hukum lainnya);
d. unambiguous,clear and compatible with existing legislation (tidak ambigu, jelas sesuai
dengan peraturan yang ada).
Menurut Massachusetts General Court, prinsip dasar (basic principles)yang harus ada
dalam pembentukan undang-undang adaiah208
a. simplicity(kesederhanaan);
c. consistency(konsisten);
d.directness (keterusterangan);
I.C. van der Vlies membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang
material.Asas-asas yang formal meliputi:2
a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminologi
en duidelijke systematiek);
e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele
rechtsbedeling).
1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara;
a. kejelasan tujuan;
d. dapat dilaksanakan;
g. keterbukaan.
a. Huruf a bahwa yang dimaksud dengan "asas kejelasan tujuan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak
dicapai.
b. Huruf b bahwa yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat" adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
c. Hurufc bahwa yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan.
d. Huruf d bahwa yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan" adalah bahwa setiap
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan
Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun
yuridis.
e. Huruf e bahwa yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" adalah bahwa
setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f.Huruf f bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan" adalah bahwa setiap
Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
(1)pengayoman;
(2) kemanusiaan;
(3) kebangsaan;
(4) kekeluargaan;
(5) kenusantaraan;
(7)keadilan;
(9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
b. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-
undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan.
Ayat(1)
98
Huruf a bahwa yang dimaksud dengan“asas pengayoman" adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
Huruf b bahwa yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.