Sebelum kemerdekaan Indonesia, sistem hukum yang diterapkan dalam masyarakat antara lain ialah sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Barat (Civil Law). Sebelum masa kolonial Belanda, hukum yang digunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan (sengketa) dalam masyarakat ialah hukum adat, pada masa itu hukum adat diberlakukan seluruh masyarakat Indonesia karena tiap-tiap daerah memiliki hukum adat ataupun aturan yang berbeda yang juga terkandung nilai-nilai agama, kesusilaan, budaya dan tradisi yang melekat sehingga sangat dihormati dan ditaati oleh masyarakat Indonesia. Sebelum VOC tiba di Nusantara, hukum adat berkedudukan sebagai hukum Positif sehingga berlaku sebagai hukum yang nyata dan dipatuhi oleh masyarakat yang saat itu Indonesia meliputi berbagai kerajaan Nusantara. (Maka sebelum masa Kolonial Belanda, sistem hukum yang diterapkan dalam masyarakat yakni hukum adat yang di mana Pencirian Hukumnya terdiri dari nilai-nilai adat istiadat yang hidup berkembang dalam kehidupan masyarakat sehingga dihormati dan dipatuhi oleh setiap masyarakat). Namun ketika Belanda mulai menguasai wilayah Nusantara, secara perlahan mereka memberi perhatian terhadap hukum yang berlaku di Nusantara saat itu yakni hukum adat. Pada awalnya kebijakan Belanda tetap menghormati hukum adat dan Hukum Barat (Belanda) hanya digunakan dalam pusat pemerintahan Kolonial Belanda, adapun daerah yang belum dikuasai dipersilahkan tetap menggunakan hukum adat dan diperbolehkan pula untuk tunduk pada Hukum Belanda bagi yang bersedia. Pada masa VOC, Gubernur Jenderal Pieter Both memiliki wewenang untuk menetapkan peraturan dalam menyelesaikan masalah VOC serta memutuskan perkara Pidana dan Perdata. Lalu saat masa Pemerintahan Daendels memperbolehkan hukum adat dianut penduduk Bumi Putera dengan beberapa syarat, seperti hukum adat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Barat (Belanda). Kemudian masa pemerintahan Raffles yang menerapkan kebijakan politik murah hati dengan tujuan menarik simpati golongan pribumi, kedudukan hukum adat mulai terancam karena Pemerintah Hindia Belanda saat itu mulai menganut dan memperkenalkan prinsip unifikasi hukum pada seluruh wilayah jajahannya terkecuali berlakunya hukum adat oleh Bumi Putera sehingga berlakunya Hukum Hindia Belanda mulai mendesak prinsip hukum adat. Dan akhirnya hukum adat tergeser secara perlahan karena adanya gagasan pemberlakuan kodifikasi hukum Barat yang berlaku efektif sejak tahun 1848, yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata dan Pidana (WvS) berdasarkan sistem hukum Barat (Belanda), sehingga seiring berjalannya waktu kodifikasi semakin kuat dan hukum adat tidak lagi memberi jaminan Kepastian Hukum. Kemudian terbentuk pembedaan golongan penduduk dan hukum yang berlaku dalam masyarakat masa itu yakni hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa ialah Hukum Belanda, Hukum Adat bagi Golongan Bumi Putera sedangkan Golongan Timur Asing dipersilahkan memberlakukan hukumnya sendiri. (Maka saat masa pemerintahan Kolonial Belanda, sistem hukum yang diberlakukan secara masif dan menyeluruh ialah Sistem Hukum Hindia Belanda (Civil Law) yang memiliki Pencirian Hukum yakni Peraturan-peraturan (Tertulis) yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan serta Peraturan Tidak Tertulis (hukum adat) yang hanya berlaku bagi golongan tertentu). 2. Sejarah Perkembangan Hukum (Pasca-Kemerdekaan) Indonesia
a. (Masa Orde Lama)
Masa pemerintahan Orde Lama Indonesia merupakan masa kepemimpinan pertama oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang ditetapkan secara aklamasi oleh (PPKI) pada 18 Agustus 1945 yang bersamaan dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar (UUD) 1945, maka sejak saat itu sistem hukum Positif Indonesia terdiri atas sistem Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat. Periode 1945-1950: Pencirian Hukum masa ini ditandai dengan terjadinya Penyederhanaan serta Unifikasi Badan Pengadilan ke dalam Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan Mahkahamah Agung melalui Hukum Acaranya. Hal ini merupakan penyempurnaan dari Pemerintah Indonesia atas kebijakan bekas pemerintahan penjajah Jepang yang bertujuan melakukan pemisahan terhadap fungsi lembaga Eksekutif dengan Yudikatif. Periode 1950-1959: Pelaksanaan hukum masa ini bercirikan dengan berlakunya UUDS 1950, Pemerintah membenahi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berhasilnya Pemerintah membuat sejumlah Peraturan Perundang-undangan, terselenggaranya Pemilihan Umum yang demokratis dan terbentuknya DPR serta Badan Konstituante. Selain itu aspek penting dalam penyelenggaraan Hukum masa ini ialah pemberlakuan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara dalam menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Periode 1959-1965: Politik Hukum masa ini bercirikan dan ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Soekarno yang menyatakan Pemberlakuan Pembentukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950 serta pembubaran Konstituante. Selain itu, Produk Perundang-undangan masa terpimpin yang penting saat itu ialah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). b. (Masa Orde Baru) Ditandai dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) maka dimulailah masa Pemerintahan Orde Baru yang ingin mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni serta konsekuen. Maka dibentuklah berbagai produk Undang-undang untuk melaksanakan berbagai ketentuan dalam UUD 1945 sebagai Supremasi Hukum untuk mewujudkan hal tersebut. Kemudian untuk mewujudkannya dibentuklah susunan/Hierarki Perundang-undangan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi dan 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Sehingga berdasarkan Hierarki Perundang-undangan tersebut dengan UUD 1945 sebagai Hukum Tertinggi, maka Pencirian Hukum pada masa Orde Baru ialah segala aturan (regulasi) ataupun produk hukum yang akan dibuat dan ditetapkan nantinya haruslah sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945). c. (Masa Orde Reformasi) Peristiwa Tahun 98 menandai berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru dengan Pengunduran Diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, yang kemudian beralih menjadi masa Orde Reformasi. Politik Hukum penting pada masa itu yakni dengan adanya keputusan politik yang memutuskan untuk mengamandemen Undang- Undang Dasar 1945. Sejak Tahun 1999 hingga Tahun 2002 telah terjadi Amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali, sehingga Komposisi UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak 4 kali itu akhirnya disahkan pada perubahan ke-empat oleh MPR dalam sidang tahunan MPR Tahun 2002. Kebijakan dan Keputusan Politik tersebut selain untuk menyesuaikan situasi dan kondisi terkini pada masa itu, tidak lain adalah juga bertujuan untuk membangun dan membentuk suatu sistem hukum yang berkarakter, bernilai dan bercirikan bangsa Indonesia, sehingga dalam penerapannya hukum dapat terlaksana dengan baik serta diterima secara komprehensif demi tercapainya pemberlakuan hukum yang efektif. (Maka Pencirian Hukum pada masa Orde Reformasi yang paling dominan ialah terjadinya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak 4 kali guna menyesuaikan situasi dan kondisi serta bertujuan menyempurnakannya).
Sumber Penguatan Opini (Referensi):
- Drs. H. Hanafi Arief, S.H, M.H, Ph.D. Buku “ Pengantar Hukum Indonesia” dalam Tataran Historis, Tata Hukum dan Politik Hukum Nasional 9. Teori perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto, memperkenalkan asas hukum dalam perundang-undangan yakni sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif). Peraturan perundang undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat. 2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (system hierarki) Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior).Peraturan perundang undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan hierarki norma dan peraturan perundang-undangan. 3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). 4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori) Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan perundang undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori) dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan. 5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat 6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat). Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus mengedepankan minimal empat asas dari asas-asas tersebut di atas. Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum di masyarakat mengenai berlakunya suatu hukum. Walaupun keberadaan asas ini dikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia) yang berskala internasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi, alasannya tetap dalam rangka untuk adanya jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata urutan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan kordinasi antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara peraturan di tingkat pusat dan peraturan di tingkat daerah. Dengan adanya asas ini menegaskan bahwa adanya hierarki dalam system perundang-undangan dan bersifat subordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah. Asas lex posteriori derogate lex priori menegaskan asas hierarki dalam system peraturan perundang-undangan. Keberadaan peraturan yang di atas otomotis harus lebih ditaati keberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan yang dibawahnya sekaligus menjadi asar atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dengan asas ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu system yang bersifat sistematis menuju terciptanya system hukum yang berkeadilan. Asas lex specialis derogate lex generalis menegaskan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaan asas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih khusus mengecualikan peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telah dibuat suatu peraturan yang lebih khusus dalam suatu bidang tertentu, maka serta merta keberadaan peraturan ini akan mengecualikan peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanya penafsiran yang berbeda dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri, sehingga akan memberikan rasa kepastian hukum ditengah masyarakat. Paham bahwa Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat tetap diikuti dalam sistem hukum Indonesia hingga saat ini, yang menyatakan bahwa sebuah Undang-Undang yang telah dibuat sesuai prosedur, yakni oleh DPR dan Presiden, kemudian disahkan oleh Presiden maka sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, undang-undang tersebut tidak dapat diganggu gugat. Hanya Mahkamah Konstitusi merupakan pihak yang berwenang untuk menyatakan suatu peraturan perundang-undangan adalah tidak sah, ketentuan ini di atur dalam Pasal 24 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk menguji suatu Undang-Undang. Sumber Penguatan Opini (Referensi): - Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang- undangan dan Yurisprudensi (Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, Cet. ke- 3, 1989), hal. 7-11 - Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2009), hal. 82-83 - Rangga Widjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan (Bandung: CV. Mandar Maju, 1998), hal. 34 - Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 56-5 7