Anda di halaman 1dari 7

1.

Sejarah Hukum (Pra-Kemerdekaan) Indonesia


Sebelum kemerdekaan Indonesia, sistem hukum yang diterapkan
dalam masyarakat antara lain ialah sistem Hukum Adat dan sistem
Hukum Barat (Civil Law). Sebelum masa kolonial Belanda, hukum yang
digunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan (sengketa) dalam
masyarakat ialah hukum adat, pada masa itu hukum adat diberlakukan
seluruh masyarakat Indonesia karena tiap-tiap daerah memiliki hukum
adat ataupun aturan yang berbeda yang juga terkandung nilai-nilai
agama, kesusilaan, budaya dan tradisi yang melekat sehingga sangat
dihormati dan ditaati oleh masyarakat Indonesia. Sebelum VOC tiba di
Nusantara, hukum adat berkedudukan sebagai hukum Positif sehingga
berlaku sebagai hukum yang nyata dan dipatuhi oleh masyarakat yang
saat itu Indonesia meliputi berbagai kerajaan Nusantara.
(Maka sebelum masa Kolonial Belanda, sistem hukum yang
diterapkan dalam masyarakat yakni hukum adat yang di mana Pencirian
Hukumnya terdiri dari nilai-nilai adat istiadat yang hidup berkembang
dalam kehidupan masyarakat sehingga dihormati dan dipatuhi oleh
setiap masyarakat).
Namun ketika Belanda mulai menguasai wilayah Nusantara, secara
perlahan mereka memberi perhatian terhadap hukum yang berlaku di
Nusantara saat itu yakni hukum adat. Pada awalnya kebijakan Belanda
tetap menghormati hukum adat dan Hukum Barat (Belanda) hanya
digunakan dalam pusat pemerintahan Kolonial Belanda, adapun daerah
yang belum dikuasai dipersilahkan tetap menggunakan hukum adat dan
diperbolehkan pula untuk tunduk pada Hukum Belanda bagi yang
bersedia.
Pada masa VOC, Gubernur Jenderal Pieter Both memiliki
wewenang untuk menetapkan peraturan dalam menyelesaikan masalah
VOC serta memutuskan perkara Pidana dan Perdata. Lalu saat masa
Pemerintahan Daendels memperbolehkan hukum adat dianut penduduk
Bumi Putera dengan beberapa syarat, seperti hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan Hukum Barat (Belanda). Kemudian masa
pemerintahan Raffles yang menerapkan kebijakan politik murah hati
dengan tujuan menarik simpati golongan pribumi, kedudukan hukum
adat mulai terancam karena Pemerintah Hindia Belanda saat itu mulai
menganut dan memperkenalkan prinsip unifikasi hukum pada seluruh
wilayah jajahannya terkecuali berlakunya hukum adat oleh Bumi Putera
sehingga berlakunya Hukum Hindia Belanda mulai mendesak prinsip
hukum adat.
Dan akhirnya hukum adat tergeser secara perlahan karena adanya
gagasan pemberlakuan kodifikasi hukum Barat yang berlaku efektif
sejak tahun 1848, yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW),
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (WvK), Kitab Undang-undang
Hukum Acara Perdata dan Pidana (WvS) berdasarkan sistem hukum
Barat (Belanda), sehingga seiring berjalannya waktu kodifikasi semakin
kuat dan hukum adat tidak lagi memberi jaminan Kepastian Hukum.
Kemudian terbentuk pembedaan golongan penduduk dan hukum
yang berlaku dalam masyarakat masa itu yakni hukum yang berlaku bagi
Golongan Eropa ialah Hukum Belanda, Hukum Adat bagi Golongan
Bumi Putera sedangkan Golongan Timur Asing dipersilahkan
memberlakukan hukumnya sendiri.
(Maka saat masa pemerintahan Kolonial Belanda, sistem hukum
yang diberlakukan secara masif dan menyeluruh ialah Sistem Hukum
Hindia Belanda (Civil Law) yang memiliki Pencirian Hukum yakni
Peraturan-peraturan (Tertulis) yang dikodifikasikan dan yang tidak
dikodifikasikan serta Peraturan Tidak Tertulis (hukum adat) yang hanya
berlaku bagi golongan tertentu).
2. Sejarah Perkembangan Hukum (Pasca-Kemerdekaan)
Indonesia

a. (Masa Orde Lama)


Masa pemerintahan Orde Lama Indonesia merupakan masa
kepemimpinan pertama oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta yang ditetapkan secara aklamasi oleh (PPKI) pada 18
Agustus 1945 yang bersamaan dengan ditetapkannya Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, maka sejak saat itu sistem hukum Positif Indonesia
terdiri atas sistem Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.
Periode 1945-1950: Pencirian Hukum masa ini ditandai dengan
terjadinya Penyederhanaan serta Unifikasi Badan Pengadilan ke dalam
Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri dan Mahkahamah Agung melalui
Hukum Acaranya. Hal ini merupakan penyempurnaan dari Pemerintah
Indonesia atas kebijakan bekas pemerintahan penjajah Jepang yang
bertujuan melakukan pemisahan terhadap fungsi lembaga Eksekutif
dengan Yudikatif.
Periode 1950-1959: Pelaksanaan hukum masa ini bercirikan
dengan berlakunya UUDS 1950, Pemerintah membenahi berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti berhasilnya Pemerintah
membuat sejumlah Peraturan Perundang-undangan, terselenggaranya
Pemilihan Umum yang demokratis dan terbentuknya DPR serta Badan
Konstituante. Selain itu aspek penting dalam penyelenggaraan Hukum
masa ini ialah pemberlakuan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara dalam menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.
Periode 1959-1965: Politik Hukum masa ini bercirikan dan
ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh
Presiden Soekarno yang menyatakan Pemberlakuan Pembentukan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950 serta pembubaran
Konstituante. Selain itu, Produk Perundang-undangan masa terpimpin
yang penting saat itu ialah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
b. (Masa Orde Baru)
Ditandai dengan terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966
(Supersemar) maka dimulailah masa Pemerintahan Orde Baru yang ingin
mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 dengan murni serta konsekuen. Maka dibentuklah
berbagai produk Undang-undang untuk melaksanakan berbagai
ketentuan dalam UUD 1945 sebagai Supremasi Hukum untuk
mewujudkan hal tersebut. Kemudian untuk mewujudkannya dibentuklah
susunan/Hierarki Perundang-undangan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
(Sehingga berdasarkan Hierarki Perundang-undangan tersebut
dengan UUD 1945 sebagai Hukum Tertinggi, maka Pencirian Hukum
pada masa Orde Baru ialah segala aturan (regulasi) ataupun produk
hukum yang akan dibuat dan ditetapkan nantinya haruslah sesuai dan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945).
c. (Masa Orde Reformasi)
Peristiwa Tahun 98 menandai berakhirnya masa pemerintahan
Orde Baru dengan Pengunduran Diri Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia, yang kemudian beralih menjadi masa Orde
Reformasi. Politik Hukum penting pada masa itu yakni dengan adanya
keputusan politik yang memutuskan untuk mengamandemen Undang-
Undang Dasar 1945.
Sejak Tahun 1999 hingga Tahun 2002 telah terjadi Amandemen
UUD 1945 sebanyak 4 kali, sehingga Komposisi UUD 1945 yang telah
mengalami perubahan sebanyak 4 kali itu akhirnya disahkan pada
perubahan ke-empat oleh MPR dalam sidang tahunan MPR Tahun 2002.
Kebijakan dan Keputusan Politik tersebut selain untuk
menyesuaikan situasi dan kondisi terkini pada masa itu, tidak lain
adalah juga bertujuan untuk membangun dan membentuk suatu sistem
hukum yang berkarakter, bernilai dan bercirikan bangsa Indonesia,
sehingga dalam penerapannya hukum dapat terlaksana dengan baik serta
diterima secara komprehensif demi tercapainya pemberlakuan hukum
yang efektif.
(Maka Pencirian Hukum pada masa Orde Reformasi yang paling
dominan ialah terjadinya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
sebanyak 4 kali guna menyesuaikan situasi dan kondisi serta bertujuan
menyempurnakannya).

Sumber Penguatan Opini (Referensi):


- Drs. H. Hanafi Arief, S.H, M.H, Ph.D. Buku “ Pengantar Hukum
Indonesia” dalam Tataran Historis, Tata Hukum dan Politik Hukum
Nasional
9. Teori perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan, Purnadi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto,
memperkenalkan asas hukum dalam perundang-undangan yakni sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif)
Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif). Peraturan perundang
undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa peristiwa hukum yang terjadi setelah
peraturan perundang-undangan itu lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini
dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat.
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (system hierarki)
Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior).Peraturan perundang
undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan seterusnya sesuai dengan
hierarki norma dan peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis)
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori)
Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundang undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex priori) dalam setiap
peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan
peraturan perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-undangan
sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap pengaturan yang tidak bertentangan.
5. Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat
6. Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu,
melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa dalam penyusunan
peraturan perundang-undangan harus mengedepankan minimal empat asas dari asas-asas
tersebut di atas. Keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk menjamin
adanya kepastian hukum di masyarakat mengenai berlakunya suatu hukum. Walaupun
keberadaan asas ini dikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (hak asasi manusia)
yang berskala internasional dengan beberapa alasan tertentu. Akan tetapi, alasannya tetap
dalam rangka untuk adanya jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan kordinasi antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Antara
peraturan di tingkat pusat dan peraturan di tingkat daerah. Dengan adanya asas ini
menegaskan bahwa adanya hierarki dalam system perundang-undangan dan bersifat
subordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan bahwa adanya taat hukum dan
taat asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah.
Asas lex posteriori derogate lex priori menegaskan asas hierarki dalam system
peraturan perundang-undangan. Keberadaan peraturan yang di atas otomotis harus lebih
ditaati keberadaannya dan dijadikan rujukan oleh peraturan yang dibawahnya sekaligus
menjadi asar atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya.
Dengan asas ini menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu system yang
bersifat sistematis menuju terciptanya system hukum yang berkeadilan.
Asas lex specialis derogate lex generalis menegaskan bahwa hukum dibuat untuk
menciptakan keadilan. Tujuan hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan.
Keberadaan asas ini menegaskan bahwa peraturan yang lebih khusus mengecualikan
peraturan yang lebih umum. Bahwa ketika telah dibuat suatu peraturan yang lebih khusus
dalam suatu bidang tertentu, maka serta merta keberadaan peraturan ini akan mengecualikan
peraturan yang sebelumnya yang masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali
menegaskan tidak adanya penafsiran yang berbeda dengan tujuan diciptakannya peraturan itu
sendiri, sehingga akan memberikan rasa kepastian hukum ditengah masyarakat.
Paham bahwa Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat tetap diikuti dalam sistem
hukum Indonesia hingga saat ini, yang menyatakan bahwa sebuah Undang-Undang yang
telah dibuat sesuai prosedur, yakni oleh DPR dan Presiden, kemudian disahkan oleh Presiden
maka sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, undang-undang tersebut
tidak dapat diganggu gugat. Hanya Mahkamah Konstitusi merupakan pihak yang berwenang
untuk menyatakan suatu peraturan perundang-undangan adalah tidak sah, ketentuan ini di
atur dalam Pasal 24 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, yang menyatakan bahwa
Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk menguji suatu Undang-Undang.
Sumber Penguatan Opini (Referensi):
- Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan perundang-
undangan dan Yurisprudensi (Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, Cet. ke-
3, 1989), hal. 7-11
- Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: PT.Refika
Aditama, 2009), hal. 82-83
- Rangga Widjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan (Bandung: CV.
Mandar Maju, 1998), hal. 34
- Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan
Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 56-5 7

Anda mungkin juga menyukai