Anda di halaman 1dari 4

Nama: Ilham Yoga

Nim : 71230123093
Mata Kuliah: Sejarah Hukum

Jawaban UAS:

1. Hukum dalam arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum berasal dari Bangsa
Romawi. Bangsa Romawi menganggap mempunyai hukum yang paling baik dan
sempurna bila dibandingkan dengan hukum yang ada dan berkembang di negara-negara
lain. Secara teoritis (theoritische Receptie), yaitu mempelajari hukum Romawi sebagai
Ilmu Pengetahuan, dalam arti setelah mahasiswa dari negara yang bersangkutan
mempelajari dan memperdalam hukum Romawi kemudian di bawa kenegaranya untuk
dikembangkan lebih lanjut, baik dalam kedudukan dia sebagai pegawai di pengadilan
ataupun badan-badan pemerintah lainnya. Secara praktis (praktiche Receptie) karena
menganggap hukum Romawi ini lebih tinggi tingkatnya dari hukum manapun di dunia,
bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya dan melaksanakan atau menggunakan
Hukum Romawi ini dalam kehidupannya sehari-hari dalam negaranya. Secara Ilmiah
(Wetenschappetyk Receptie), Hukum Romawi yang telah dipejari oleh para mahasiswa
hukum dikembangkan lebih lanjut di negara asalnya melalui perkuliahan-perkuliahan
di perguruan tinggi. Hal ini karena tidak sedikit mahasiswa yang telah mempelajari
hukum tersebut setelah kembali ke negaranya bekerja sebagai dosen. Secara Tata
Hukum (Positiefrechttelyke Receptie), di mana setelah Perguruan-Perguruan Tinggi di
Jerman dan Perancis, dan negara-negara tersebut dalam membuat dan melaksanakan
Undang-undang selalu mengambil dasar dari hukum Romawi dijadikan Hukum Positif
dalam negaranya masing-masing, wa;au demikian tentu saja penerimaan hukum ini
disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara- negara tersebut.
2. Sejarah hukum:

a. Periode Kolonialisme: Pada periode kolonialisme dapat dibagi dalam tiga periode
besar:

- Periode VOC; Pada periode ini ada pembedaan pemberlakuan hukum. Terhadap
orang-orang Belanda atau eropa berlaku hukum Belanda. Sedangkan bagi pribumi
berlaku hukum yang dibentuk oleh masing-masing komunitas secara mandiri.
- Periode liberal; Pada 1854 di pemerintah kolonial belanda menerbitkan
Regeringsreglement (“RR 1854”) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan di
Hindia Belanda. Penerbitan RR 1854 bertujuan untuk melindungi kepentingan
usaha-usaha swasta serta untuk pertama kalinya mengatur tentang pembatasan
terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian dan adanya jaminan terhadap
proses peradilan yang bebas. RR 1854 yang dilandasi oleh politik liberalisasi
ekonomi ini tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih
terjadi. RR 1854 hanya merubah pelaku eksploitasi dari yang awalnya dilakukan
oleh oleh negara (pemerintah Hindia Belanda) menjadi eksploitasi oleh modal
swasta.
- Periode politik etis hingga penjajahan Jepang: Kebijakan Politik Etis dimulai awal
abad 20, ditandai dengan adanya pembaharuan hukum sbb:

1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum;


2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada
kepastian hukum.
- Periode Revolusi Fisik; Dilakukan pembaruan hukum yang bertujuan dekolonisasi
dan nasionalisasi :
1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan
penyederhanaan;
2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan
swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan
dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
- Periode Demokrasi Liberal; UUDS 1950 telah mengakui HAM, namun
pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi serta terjadi dilema
untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan
mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan
ekonomi dan tata hubungan internasional. Unifikasi peradilan melalui UU No.
9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan.
b. Orde lama adalah era di mana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung
mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang membubarkan konstituante dan kembali pada UUD 1945.
Pada zaman Orde Lama ini, kekuasaan kehakiman dalam hal ini Kejaksaan dan
Pengadilan tidak mandiri oleh karena berada dibawah dibawah kekuasaan eksekutif
dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pemimpin revolusi.
c. Orde Baru berlangsung tahun 1966 hingga 1998. Dalam era ini ekonomi Indonesia
berkembang pesat bersamaan dengan praktik korupsi yang juga tumbuh subur.
Kesenjangan ekonomi juga semakin lebar. Di bidang hukum rezim Orde Baru
membekukan pelaksanaan UU Pokok Agraria dan membentuk beberapa UU yang
memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia, di antaranya UU Penanaman
Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Rezim Orde Baru juga
melakukan:
- Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
- Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum;

3) Salah satu agenda Reformasi pemerintahan paska Soeharto adalah penguatan,


pemenuhan, dan perlindungan HAM. Era Habibie terdapat produk hukum umum,
produk hukum HAM, dan institusi perlindungan HAM. Produk hukum umum terdiri
dari Ketetapan MPR, UU, Kepres. Produk hukum HAM terdiri dari Ketetapan MPR,
UU, PP,Keppres, Inpres. Ketetapan MPR, TAP MPR No. XVII/MPR/1999/HAM,
ketetapan ini menegaskan dimensi spiritual, cultural, dan historis HAM di Indonesia.
Dalam ketetapan ini dinyatakan bahwa dalam sidang yang dilakukan di orde baru,
MPRS telah berhasil merancang suatu dokumen yang diberi nama “piagam hak HAM
dan Hak-hak serta kewajiban negara”. Setiap pertanyaan yang mengarah kepada
perlunya piagam HAM, cenderung dijawab bahwa piagam semacam itu tidak
dibutuhkan, karena masalah HAM telah diatur dalam berbagai Perpu. Ketetapan juga
menegaskan subtansi HAM yang menggunakan pendekatan normatif, empiris,
deskriptif, dan analitik. sebagaimana digariskan dalam tiga huruf berikut : (i) HAM
adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrat dan universal
sebagai karunia Tuhan, (ii) masyarakat Indonesia yang berkembang sejak masih sangat
sederhana menjadi modern, pada dasarnya merupakan masyarakat kekeluargaan.
Dengan demikian subtansi Ham meliputi hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan,
hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak komunikasi, hak
keamanan dan hak kesejahteraan, (iii) bangsa Indonesia menyadari dan mengakui
bahwa setiap individu adalah bagian dari masyarakat dan oleh karena itu setiap individu
juga mengemban kewajiban tanggung jawab untuk menghormati hak asasi individu
lain. Undang-undang terdiri dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang
pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Undang-Undang
No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum
(kemerdekaan menyampaikan di muka umum adalah Ham yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar 1945 dan deklarasi universal HAM, kemerdekaan setiap warga negara
untuk menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan perwujudan demokrasi
dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara), Undang-Undang No. 39
tahun 1999 tentang HAM. Dengan undang-undang ini, naka terdapat jaminan hukum
terhadap HAM sebagai hak dasar yang secara kodrat melekat pada diri manusia yang
bersifat universal harus dilindungi, hormati, dipertahankan, yang tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Undang-undang ini memberikan jaminan
perlindungan dan pelaksanaan HAM bagi setiap warga negara berdasarkan asas-asas
berikut:
Pertama, RI mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kewajiban manusia sebagai
hak kodrat yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia (Pasal 2). Kedua,
menegaskan prinsip non demokrasi (Pasal 3, dan 5). Ketiga, Jaminan perlindungan atas
hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (Pasal 4). Keempat,
Persamaan di hadapan hukum dan impersialitas (Pasal 5). Kelima, asas hukum tidak
berlaku surut. Keenam, asas upaya hukum nasional dan internasional. Ketujuh, asas
tanggung jawab pemerintah. Prinsip dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 antara
lain: peradilan yang bebas serta tidak memihak (Pasal 17), praduga tak bersalah (Pasal
18), Nullum delictum siena previa lege poenale, ketentuan yang lebih menguntungkan
(Pasal 18 (3)), hak untuk mendapatkan bantuan hukum (Pasal 18 (4)), Nebis inidiem
(Pasal 18 (5)).

4) Perubahan perubahan:

a) Hukum Perkawinan: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


Jo. PP No. 9 1975 mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan-peraturan
yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU dimaksud yaitu:

- Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam KUH Perdata (BW);


- Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Buwelijksor donantio chesten
Indonesiers) seperti tercantum dalam Staatsblad tahun 1933 nomor 74;
- Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Opde Gemengde Huwelijkken)
seperti tercantum di dalam staatsblad tahun 1898 nomor 158;
- Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan

b) Jaminan Firdausa yaitu Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan


fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan
di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan
yang lahir dari yurisprudensi
c) Jaminan atas tanah yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 UU No. 5 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai pengganti dari lembaga hipotek
atas tanah dan credietverband.

5) Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, aturan-aturan hukum pidana yang berlaku
tidak saja yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Aturan-aturan itu
juga terdapat di dalam undang-undang lain sebagai hukum tertulis tidak dikodifikasi
dan yang dikodifikasi. Undang-undang itu merupakan hasil produk pemerintah dalam
menasionalisasikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Mengembangkan aturan hukum pidana mempunyai dasar hukum yang dicantumkan
dalam Pasal 103 KUHP. Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan
dari kedelapan Bab I dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya ditentukan
pidana menurut ketentuan perundangan lainnya kecuali kalau dalam Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah ditentukan lain”. Berdasarkan ketentuan ini, dimungkinkan
dibuat aturan hukum piana di luar KUHP dalam memenuhi kebutuhan masyarakat,
asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum pidana yang telah dikodifikasikan
dalam KUHP. Beberapa aturan hukum pidana Indonesia yang perlu diketahui sebagai
perkembangan aturan hukum selain undang-undang lalu lintas yang telah lama berlaku
adalah sebagai berikut.

a. Pemberantas kegiatan subversi, diatur berdasarkan penetapan Presiden No. 11


Tahun 1963.
b. Pemberantasan tindak pidana korupsi, diatur dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971.
c. Penertiban perjudian, diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974.
d. Pemberantas narkotika, diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976.
e. Pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
f. Perbankan dengan saksi pidana, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
g. Perlindungan konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Anda mungkin juga menyukai