Anda di halaman 1dari 8

Nama : Akhir Harsa, S.sos.

Nim : 71210123156
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korporasi
Ujian Tengah Semester

1. Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana tanpa keharusan untuk membuktikan


adanya kesalahan. Prinsip tanggungjawab yang memandang kesalahan sebagai suatu hal yang
tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah ada atau tidak ada. Menurut doktrin ini seseorang
sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang
tersebut tidak ada kesalahan. Vicarious Liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana
yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini
misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu ada dalam
ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Dapat dipertanggungjawabkan korporasi atas dasar
kedua doktrin tersebut dalam perkembangannya memang sangat diperlukan. Berdasarkan
uraian di atas, maka doktrin strict liability dan vicarious liability dapat digunakan untuk delik
atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, dengan dasar yang dipakai untuk menuntut
pertanggungjawaban adalah fakta tentang penderitaan korban. Untuk yang strict liability dapat
dilihat pada Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan : Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang
dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur- unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan kesalahan. Selanjutnya untuk yang
vicarious liability dapat dilihat pada Pasal 35 ayat (3) yang menyatakan, bahwa: dalam hal
tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang. Pembenaran pertanggungjawaban
korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut (Muladi,
1990:11) :
1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar
keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial;
2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
3. Untuk memberantas anomie of succes (sukses tanpa aturan);
4. Untuk perlindungan konsumen;
5. Untuk kemajuan teknologi.

harus dipertanggungjawabkan (dalam hukum pidana) terhadap suatu perbuatan yang harus
dilakukan atas nama atau untuk korporasi. Untuk dapat dipertanggungjawabkan, maka
perbuatan tersebut harus secara khusus memang telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut
termasuk dalam lingkungan usahanya, yang ternyata dari anggaran dasar atau ketentuan-
ketentuan lain yang berlaku sebagai demikian untuk korporasi yang bersangkutan. Kemudian
pertanggungjawaban pelaksana atas tindakan korporasi dibatasi sedemikian rupa, sejauh
pelaksana dalam melakukan perbuatan yang dituduhkan mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi. Selanjutnya tidak semua tuntutan pidana terhadap
korporasi harus diterima oleh pengadilan, hakim secara khusus harus mempertimbangkan
apakah bagian hukum lainnya telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
dibandingkan dengan dipidananya suatu korporasi, dan pertimbangan tersebut harus
dinyatakan dalam putusan hakim. Untuk pembelaannya, korporasi dapat mengajukan alasan-
alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk
dan/atau atas nama korporasi, sepanjang alasan-alasan tersebut langsung berhubungan dengan
perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Sehubungan dengan pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana, sanksi / pidana apakah yang lebih tepat untuk dikenakan
terhadap korporasi adalah pidana denda, dari pidana pokok yang tersedia. Disamping pidana
denda pula korporasi dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak yang diperoleh
korporasi, pengumuman putusan hakim, sanksi perdata berupa ganti rugi terhadap akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi. Kecuali itu, dapat pula korporasi dikenakan
tindakan tata tertib, yaitu penempatan perusahaan di bawah pengawasan yang berwajib dalam
jangka waktu tertentu. Khusus mengenai pencabutan hak-hak yang diperoleh korporasi, perlu
adanya pembatasan. Bila yang dimaksud pencabutan tersebut adalah pencabutan izin
operasional, maka yang harus dipertimbangkan adalah akibat-akibat yang mungkin timbul
karena sanksi tersebut. Sebab, pencabutan izin operasional sama saja dengan penutupan
perusahaan, sehingga yang paling terkena adalah karyawan atau buruh dibanding
pengusahanya atau pemilik perusahaan. Mengingat hal tersebut, maka dalam pemidanaan
terhadap korporasi dilakukan secara hati-hati atau selektif, sebab dampaknya sangat luas. Yang
menderita tidak hanya yang berbuat salah, tetapi pihak lain yang tidak bersalah seperti
karyawan atau buruh, pemegang saham dan masyarakat atau konsumen ikut menderita.

Salah satu Contoh kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup adalah banjir lumpur
panas di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur yang disebabkan oleh aktivitas pengeboran Minyak
dan Gas Bumi oleh PT Lapindo Brantas.

Lumpur panas yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup disebabkan
karena kelalaian PT Lapindo karena tidak melakukan pemasangan cashing dalam
melaksanakan aktivitas pengeboran sesuai dengan standar operasional pengeboran dan hal
tersebut diketahui oleh jajaran pimpinan PT Lapindo dan pemilik saham lainnya yang dalam
hal ini memiliki posisi sebagai directing mind dari PT Lapindo serta tidak ada inisiatif untuk
mencegah tindakan tersebut dengan tujuan ekonomis, yaitu untuk menghemat biaya dalam
pelaksanaan pengeboran sehingga dapat memberikan keuntungan bagi PT Lapindo.

Dalam kasus ini diketahui bahwa unsur perbuatan (actus reus) terdapat pada operator pelaksana
pengeboran sedangkan unsur kesalahan (mens rea) terdapat pada pimpinan PT Lapindo sebagai
penentu kebijakan perusahaan. Dengan melihat fakta bahwa pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup telah terjadi dan PT Lapindo Brantas adalah pihak yang terkait erat atau
pihak yang diduga keras menyebabkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup tersebut,
maka PT Lapindo Brantas layak untuk dipidana. Sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, diatur di dalam lima
Pasal yakni Pasal 116 sampai dengan Pasal 120 UU PPLH, yang selengkapnya menggariskan
bahwa :

Pasal 116

1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan
usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
1. badan usaha; dan/atau
2. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama.

Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi
pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang
mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
selaku pelaku fungsional.

Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;


2. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
3. perbaikan akibat tindak pidana;
4. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
5. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 120

1. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung ja wab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.
2. Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e,
Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatanhukum tetap.

Dengan kata lain, setelah pengadilan memutuskan bahwa orang-orang yang menjalankan
kepengurusan atau kegiatan korporasi terbukti bersalah melakukan tindak pidana lingkungan
atau melakukan perbuatan melanggar hukum secara pidana, barulah kemudian dapat dilakukan
rekonstruksi untuk melihat apakah perbuatan pengurus dan atau orang-orang yang diberi kuasa
untuk mengurus korporasi tersebut dapat menjadi beban pidana korporasi. Dalam hal
pembuktian sangkaan pidana terhadap orang per orang, dimana harus dibuktikan unsur-unsur
tindak pidana yang disangkakan kepadanya, maka pembuktian sangkaan pidana terhadap
badan atau perusahaan atau korporasi, juga harus dilakukan dengan membuktikan unsur- unsur
tindak pidana korporasi.

2. Permasalan mengenai perumusan pidana tunggal ini akan muncul manakala pembaca
menilai bahwa pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan tidak dapat diterapkan bagi
korporasi. Jadi, apabila demikian adanya maka hanya pidana denda yang dapat diterapkan
bagi korporasi. Permasalahan tersebut akan tercermin dalam pertanyaan, sanksi pidana lain
apakah yang dapat diterapkan terhadap korporasi manakala pidana denda tidak dibayar oleh
korporasi? Apabila pidana denda ini dijatuhkan terhadap orang perseorangan (manusia
alamiah) tidak akan menimbulkan suatu masalah yang berarti, oleh karena dalam pasal 30
KUHP sudah diatur dengan jelas bagaimana jika denda tidak dibayar “dapat dikenakan
pidana kurungan pengganti denda”. Sebaliknya, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek
hukum pidana maka ketentuan semacam ini sudah tentu tidak dapat diterapkan bagi
korporasi (selama beranggapan bahwa“corporate death penalty” dan “corporate
imprisonment” tidak dapat diterapkan bagi korporasi). Berbeda dengan pandangan yang
sudah menilai “corporate imprisonment” atau pidana penjara atau pidana kurungan dapat
diterapkan terhadap korporasi maka “corporate imprisonment” yang dalam hal ini adalah
“pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu” dapat dijadikan alternatif sanksi manakala pidana denda tidak dibayar
oleh korporasi. Singkatnya, apabila pidana denda tidak dibayar oleh korporasi, maka tidak
ada sanksi pengganti atau alternatif sanksi lain yang dapat diterapkan terhadap suatu
korporasi yang melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan sampai dengan saat ini tidak
ada ketentuan atau hukum yang mengatur mengenai masalah ini. Termasuk pula didalam
undang-undang khusus atau hukum pidana khusus seperti Undang-Undang No. 31 tahun
1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ataupun dalam undang-undang pencucian uang
terbaru yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian yang tidak diatur alternatif sanksi lain manakala pidana denda
tidak dibayar oleh korporasi. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa
dalam pengaturan mengenai jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap korporasi
mengalami kekosongan hukum (rechtsvacuum). Demikian pula dengan pidana tambahan
berupa pencabutan hak-hak tertentu sesuai dengan ketentuan pasal 10 poin b angka 1 KUHP
yang mengatur mengenai pencabutak hak-hak tertentu yang penjabarannya diatur dalam
Pasal 35 KUHP tidak dapat dikenakan pada korporasi oleh karena hak- hak tersebut hanya
melekat pada manusia alamiah. Adapun ketentuan pasal 35 KUHP berbunyi:

Hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim dalam hal-hal yang ditentukan
dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum yang lain, ialah:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;


2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum;
4. Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi
wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak
sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak
sendiri;

Berdasarkan ketentuan diatas dapat dilihat bahwa pencabutan hak memegang jabatan,
memasuki Angkatan Bersenjata, memilih dan dipilih dalam pemilihan, menjadi penasihat
hukum dan lain sebagainya merupakan hak yang hanya melekat pada manusia alamiah. Oleh
sebab itu, ketentuan mengenai pencabutan hak-hak tertentu tidak dapat diterapkan terhadap
korporasi karena hak-hak tersebut hanya melekat pada manusia alamiah. Selain itu, sama
dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana dikemukakan
diatas, pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu sebagaimana diatur dalam
pasal 10 poin b angka 2 tidak dapat diterapkan terhadap korporasi. Hal ini dikarenakan dalam
pasal 39 KUHP yang mengatur mengenai perampasan dan penyitaan disebutkan dengan tegas
bahwa:

1. (1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang
dengan sengaja digunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2. (2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang dilakukan dengan tidak sengaja atau
karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal
yang ditentukan dalam undang-undang.
3. (3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh
hakimdiserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Oleh sebab itu, dalam rangka menjawab jenis sanksi pidana lain apa yang dapat diterapkan
terhadap korporasi, penulis akan mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Suprapto yang
menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahan (dalam hal ini korporasi)
adalah:

1. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahan si terhukum untuk waktu tertentu;


2. Pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas-fasilitas tertentu yang telah atau dapat
diperolehnya dari pemerintah oleh perusahan selama waktu tertentu;
3. Penempatan perusahan di bawah pengampuan selama waktu tertentu.

17
menurut Barda Nawawi Arief, jenis pidana atau tindakan terhadap korporasi dapat berupa:

1. Financial Sanction (Financial Sanction dalam hal ini misalnya denda, peningkatan
pajak yang harus dibayar dan lain sebagainya)
2. Structural Sanctions
3. Restriction Entrepreneurialactivities (Restriction Entrepreneurialactivities dalam hal
ini misalnya pembatasan kegiatan usaha, pembubaran korporasi)
4. Stigmatising Sanctions
5. Mengingat korporasi atau perusahaan adalah “bisnis kepercayaan”

3. Terdapat kendala berupa teknis hukum acara pidana dalam hal memproses korporasi
sebagai pelaku tindak pidana yang dianggap oleh penegak hukum kurang jelas. Kendala
lainnya penegak hukum tidak sepenuhnya mampu membuktikan perbuatan dan
kesalahan korporasi atas perbuatan pengurusnya, pembuktiannya cukup rumit dan
memerlukan keahlian hubungan fungsional diantara mereka, serta pengaruh karib
dianutnya asas ini bersifat delinquere no potest (pasal 59 KUHP) yang menetapkan
hanya manusia/ orang yang dapat bertanggung jawab dan dijatuhi pidana

4. Penegakan hukum dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan yaitu:

1. Optimalisasi Penerapan Sanksi Pidana Pokok

Penggunaan sanksi pidana pada prinsipnya diterapkan ketika sarana hukum yang lain tidak
mampu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Prinsip ini dikenal dengan “subsidiaritas” yang
menempatkan hukum pidana sebagai “ultimum remidium” atau sarana hukum terakhir.
Oleh karena itu perlu menerapkan beberapa strategi agar sanksi pidana dapat memberikan
keadilan lingkungan (environmental justice) yaitu:

a) Sanksi Pidana Penjara Bagi Pengurus atau Organ Korporasi


Salah satu karakteristik hukum pidana adalah karena adanya ancaman pidana yang ditujukan
kepada pelaku tindak pidana. Oleh karena itu ciri utama hukum pidana adalah karena adanya
sanksi yaitu jenis pidana apa yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Pemidanaan
atau penerapan sanksi pidana (straf) sering dipandang sebagai ultimum remidium atau senjata
terakhir dalam menanggulangi kejahatan. Pemberian pidana dalam arti umum merupakan
bidang dari pembentuk undang-undang sesuai asas legalitas atau nullum crimen nulla poena,
sine praevia lege poenale yaitu mengendakan pidana diperlukan adanya undang-undang
terlebih dahulu. Jadi, yang menetapkan pidananya adalah pembentuk undang-undang untuk
menentukan perbuatan mana yang dikenakan pidana. Demikian juga, permasalahan hukum
dan organisatoris infrastruktur harus sudah siap, sehingga badan-badan yang mendukung
stelsel sanksi pidana dapat menetapkan pidana dengan merujuk pada pelbagai infrastruktur
dari penitensier itu, sehingga pemberian pidana merupakan masalah yang konkret.
Bertolak dari uraian di atas, penerapan sanksi pidana penjara merupakan sebuah keharusan
ketika terjadi tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh pengurus yang bertindak untuk
dan atas nama korporasi. Artinya sanksi pidana dijatuhkan kepada organ atau pengurus
korporasi sebagai pelaku langsung. Secara teoritis konsep ini dimungkinkan untuk diterapkan
karena tindak pidana dilakukan oleh organ atau pengurus, tindak pidana tersebut dilakukan
dalam lingkup pekerjaannya, tindak pidana dilakukan ketika pelaku bertindak untuk dan/atau
atas nama korporasi atau bahkan tindak pidana yang dilakukan memberikan keuntungan atau
manfaat bagi korporasi yang bersangkutan.

Penjatuhan pidana penjara dalam khazanah hukum pidana positif hanya dimungkinkan untuk
diterapkan kepada manusia alamiah (naturalijk persoon) karena badan hukum (recht persoon)
tidak mungkin dikenakan pidana penjara. Atas dasar itu sudah menjadi kewajiban hakim
untuk menerapkan sanksi pidana kepada organ atau pengurus yang terbukti melakukan tindak
pidana lingkungan. Argumentasi perlunya pidana penjara bagi organ atau pengurus korporasi
adalah:

Pertama, korporasi sebagai badan usaha diisi oleh organ atau pengurus yang berfungsi
menjalankan kegiatan usaha perusahaan untuk memperoleh keuntungan. Dalam teori
identifikasi, tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior (senior officer) atau yang
dilakukan oleh pengambil kebijakan diidentifikasikan sebagai tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi. Usaha untuk mendapatkan keuntungan dilaksanakan oleh pengurus korporasi
dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengeksploitasi lingkungan secara melawan hukum
atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau menjadi pelaku
tindak pidana secara langsung.

Kedua, keberadaan korporasi karena keinginan dari pemilik atau pemegang sahamnya dan
kegiatan korporasi yang kemudian kegiatannya dilaksanakan oleh organ atau pengurusnya.
Ketika korporasi memperoleh keuntungan dari tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh
pengurusnya maka secara otomatis pula pengurus atau organ korporasi akan mendapatkan
hasil kejahatan tersebut, sehingga imbalan materil (keuntungan) yang ia peroleh menjadi
dasar patut dijatuhi pidana penjara bagi pengurus atau organ korporasi yang bersangkutan.

Kemungkinan menjatuhkan pidana bagi pengurus korporasi secara normatif sangat


dimungkinkan ketika korporasi terbukti melakukan tindak pidana penjatuhan pidana diatur
dalam Pasal 23 Perma No 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana
Korporasi, yang menyatakan bahwa:

1. (1) Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap korporasi atau pengurus, atau
korporasi dan pengurus;
2. (2) Hakim menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada
masing-masing undang-undang yang mengatur ancaman pidana terhadap korporasi
dan/ atau pengurus;
3. (3) Penjatuhan pidana terhadap korporasi dan/ atau pengurus sebagaimana dimaksud
ayat (1) tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang
berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.

Penjatuhan pidana penjara bagi pengurus korporasi dianalisis dari teori pemidanaan menjadi
persoalan yang urgen untuk diterapkan karena pidana penjara memiliki fungsi pencegahan
umum (general prevention) dan pencegahan khusus (special prevention).

b) Penerapan Pidana Denda bagi Korporasi


Peranan akta otentik dalam pemberian lisensi sangat penting, karena mempunyai daya
pembuktian kepada pihak ketiga, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan, sedangkan
akta di bawah tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda
tangannya tertera dalam akta di bawah tangan dapat mengingkari keaslian tanda tangan itu.
Jadi untuk melindungi hak ekonomi para pihak sebaiknya perjanjian lisensi dituangkan dalam
akta otentik. Pembuatan akta otentik sangat berbeda dengan akta di bawah tangan.

Bentuk/jenis sanksi pidana yang sesuai dengan prinsip analisis efisiensi atas hukum pidana
dalam menanggulangi tindak pidana lingkungan adalah pidana denda (fine) atau sejenisnya.
Secara ekonomis denda adalah pidana yang paling efisien karena dalam pelaksanaannya tidak
memerlukan biaya apapun, hanya berkaitan dengan kewajiban pelaku untuk membayar
sejumlah uang kepada negara. Negara sendiri tidak perlu mengeluarkan biaya apapun ketika
menjatuhkan sanksi pidana denda.

Kemungkinan menetapkan pidana penjara pengganti didasarkan pada pendapat Barda


Nawawi Arief bahwa strategi kebijakan pemidanaan dalam kejahatan-kejahatan yang
berdimensi baru harus memperhatikan hakekat permasalahan. Bila hakekat permasalahannya
lebih dekat dengan masalah-masalah di bidang hukum perekonomian maka lebih diutamakan
penggunaan pidana denda atau semacamnya. Penetapan sanksi pidana seharusnya dilakukan
melalui pendekatan rasional. Bila berdasar pada konsep rasional ini, maka kebijakan
penetapan sanksi pidana tidak terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh
kebijakan kriminal secara keseluruhan, yakni perlindungan masyarakat

Pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilihat dari segi jumlahnya memang tidak begitu besar
karena nilai minimumnya telah ditentukan secara limitatif sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu
milyar) dan maksimum Rp 15.000.000.000,- (lima belas milyar) dibandingkan dengan biaya
yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan pemulihan lingkungan tetapi dikaji dari segi
manfaat dana yang terkumpul dari pembayaran pidana denda akan cukup bermanfaat untuk
upaya pemulihan lingkungan.

2. Optimalisasi Pidana Tambahan Berupa Perbaikan Akibat Tindak Pidana


Pidana tambahan dalam khazanah hukum pidana Indonesia merupakan jenis sanksi yang
bersifat fakultatif dan komplementaris (pelengkap) dari pidana pokok yang dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana. Setiap peraturan hukum pidana khusus biasanya dilengkapi dengan
sanksi pidana tambahan yang fungsinya menambah pidana pokok yang dijatuhkan hakim di
pengadilan.

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan
sehingga tidak dapat berdiri sendiri. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat
dijatuhkan tetapi tidaklah harus. Menurut Hermin Hediati bahwa ketentuan pidana tambahan
ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, yaitu:

1. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan disamping pidana pokok, artinya pidana
tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu- satunya.
2. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan
pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman.
3. Pidana tambahan bersifat fakultatif karena dalam penjatuhannya diserahkan kepada
hakim untuk.

Anda mungkin juga menyukai