Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI EKSPOR CPO PERUSAHAAN


MINYAK GORENG

Mata Kuliah Hukum Pidana Korporasi

Mutiara Maharani Nashir


2010601067
nashirrara@gmail.com

ABSTRAK

Kejahatan berkembang seiring dengan pertumbuhan masyarakat, tidak


hanya dalam hal jenis dan taktik kejahatan, tetapi juga dalam hal target atau
pelaku kejahatan. Meskipun terkadang mereka bukan korban langsung,
kejahatan yang dilakukan oleh bisnis seringkali memiliki dampak yang lebih luas
dan lebih banyak korban. Misalnya, kasus korupsi korporasi yang melibatkan
minyak goreng sawit jelas berpengaruh signifikan. Akibatnya, Korporasi menjadi
sasaran kejahatan. Di Indonesia, situasi kelangkaan minyak goreng
menyebabkan kenaikan harga barang krusial ini. Hal ini tentu dirasakan langsung
oleh masyarakat Indonesia yang menggunakan minyak sawit untuk memasak
dan memasukkannya ke dalam daftar kebutuhan pokok sehari-hari. Keadaan ini
tentu tidak sejalan dengan predikat Indonesia sebagai “negara penghasil CPO
terbesar di dunia”.
Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi
masalah ini. Sayangnya, upaya ini juga tidak menghasilkan perubahan yang
berarti. Setelah penyelidikan, ditemukan bahwa manipulasi minyak goreng oleh
banyak tersangka adalah sumber sebenarnya dari fenomena ini.1 Indrasari Wisnu
Wardhana, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian
Perdagangan, adalah salah satunya. Penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian yuridis normatif (penelitian hukum), atau penelitian yang

1
Setiyono, H. (2002). Kejahatan korporasi: analisis viktimologis dan pertanggungjawaban
korporasi dalam hukum pidana Indonesia. Averroes Press bekerjasama dengan Fakultas
Hukum, Universitas Merdeka Malang [dan] Pustaka Pelajar.
bertujuan untuk menganalisis bagaimana aturan atau norma digunakan dalam
hukum positif yang relevan. Strategi yang digunakan adalah pendekatan kasus
dan pendekatan undang-undang. Analisis kualitatif digunakan dalam pendekatan
analitis dan penelitian kepustakaan digunakan dalam pendekatan pengumpulan
data. Penerapan sistem pertanggungjawaban pidana menjadi penghalang
penggunaan sistem pertanggungjawaban absolut dan alternatifnya dalam
meminta pertanggungjawaban bisnis.
Kata Kunci : pertanggungjawaban pidana, kelangkaan, minyak goreng.

A. PENDAHULUAN
Ada sejumlah perbedaan antara undang-undang dan peraturan
yang mengatur korporasi-korporasi ini dalam hal definisi yang mereka
berikan, ruang lingkupnya, proses hukumnya, jenis sanksinya, dan
pertanggungjawaban pidananya. Misalnya, Undang-Undang Antikorupsi
mendefinisikan perusahaan sebagai kelompok orang atau aset yang
terorganisir, terlepas dari apakah mereka dianggap sebagai organisasi
yang sah atau tidak. Secara umum, baik berbadan hukum maupun tidak,
korporasi adalah sekumpulan orang dan/atau kekayaan yang didirikan
dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Akibatnya, korporasi dianggap mampu melakukan kejahatan
(corporate crime) yang dapat menimbulkan kerugian dan diperlakukan
demikian dalam hukum pidana. dengan badan hukum atau bukan hukum
korporasi. Di bidang ekonomi bisnis, tidak perlu dikatakan lagi bahwa
tujuan dari setiap kegiatan adalah untuk memaksimalkan keuntungan.
Akibatnya, bisnis mungkin akan terlibat dalam perilaku yang
membahayakan orang lain untuk mencapai tujuan mereka.2
Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan ini memberikan
konsekuensi pidana bagi korporasi sesuai dengan banyaknya peraturan
khusus yang berkaitan dengan korporasi yang melakukan kegiatan
melawan hukum. Satu-satunya konsekuensi pidana tradisional yang
dapat diterapkan pada korps karena kurangnya perwujudan fisik adalah
yang terkait dengan denda atau hukuman. Secara umum, menjatuhkan
hukuman terhadap organisasi-organisasi ini akan menjadi pilihan terbaik

2
Semendawai, A. H. (2005). Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam RUU KUHP,
ELSAM.
mengingat eksekusinya sederhana, terutama jika aset perusahaan telah
disita, yang dianggap cukup sebelum menangani kejahatan yang telah
dipastikan telah dilakukan.
Korporasi juga dapat menerima hukuman tambahan selain denda
utama, seperti pencabutan izin sementara, pembatasan waktu untuk
melakukan kegiatan tertentu, atau bahkan pembubaran korporasi yang
melanggar. Persoalan, khususnya yang pertama Ancaman Pidana
Korupsi yang Layak bagi Eksportir Minyak Goreng, dapat dikembangkan
berdasarkan konteks pasal ini. Kedua, bagaimana Dalam hal
pemberantasan korupsi, seberapa efektif UU No 31 Tahun 1999
dibandingkan dengan UU No 20 Tahun 2001? Cara penjatuhan pidana
yang diatur dalam peraturan tersebut di atas adalah salah. Sesuai dengan
asas “nulla poena sine culpa” yang menyatakan bahwa tidak ada
kejahatan tanpa rasa bersalah, maka hal ini adalah setuju. Menerapkan
kriteria ini ke perusahaan membuatnya lebih menantang. Korporasi tidak
memiliki jiwa karena merupakan badan hukum, sehingga tidak dapat
melakukan kesalahan. Korporasi yang melakukan kejahatan tidak
tercakup dalam pengertian pertanggungjawaban berbasis kesalahan.
Namun, secara teoritis, doktrin strict liability (kesalahan mutlak) dan
vicorous liability (kewajiban pengganti) memungkinkan adanya
penyimpangan dari konsep kesalahan.3 Akibatnya, mungkin menantang
untuk mengadili korporasi karena melakukan kejahatan.

B. METODE PENELITIAN
Kajian ini bersifat normatif dan dilakukan dengan melihat
undang-undang. Data sekunder dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier digunakan dalam penelitian hukum
normatif. Informasi yang digunakan berasal dari sumber sekunder yaitu
dokumen hukum primer seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan, Keputusan Menteri Perdagangan No. 129 Juncto No. 170
Tahun 2022 tentang Penetapan Besaran Penyaluran Kebutuhan Dalam
Negeri dan Harga Jual Dalam Negeri, serta peraturan

3
Rahman, A. A. (2013). Hukum Pidana dan Ketatanegaraan Perbandingan Hukum
Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam Mengenai Pembunuhan Berencana (Doctoral
dissertation, UIN Alauddin Makassar).
perundang-undangan pendukung lainnya. Selain itu, data sekunder
digunakan dalam bahan hukum sekunder, antara lain artikel dari jurnal
ilmiah dan hasil penelitian yang membahas topik sanksi yang dijatuhkan
terhadap mafia minyak goreng.
Pendekatan hukum, pendekatan kontekstual, dan pendekatan
kasus adalah beberapa metodologi yang digunakan dalam penelitian ini.
Metode pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan
melihat peraturan perundang-undangan yang menyangkut masalah
hukum yang ditelaah atau dikaji. Pendekatan kasus melibatkan melihat
kasus aktual yang mencakup masalah hukum yang menjadi fokus dari
sebuah artikel, sedangkan pendekatan kontekstual mengambil inspirasi
dari perspektif dan doktrin yang berkembang sebagai hasil penelitian
hukum. Selanjutnya dilakukan analisis kualitatif terhadap penelitian ini
dengan menggunakan standar hukum peraturan perundang-undangan
diteliti dan ditangani sesuai dengan situasi kasus yang menjadi
pendekatan penelitian. Informasi tersebut kemudian dikategorikan dengan
hati-hati untuk menentukan retribusi yang tepat bagi mereka yang
bertanggung jawab atas penimbunan minyak goreng.
Penelitian ini kemudian dilakukan analisis kualitatif, dengan
standar Peraturan yang merupakan peraturan perundang-undangan
diteliti dan ditangani sesuai dengan situasi kasus yang menjadi
pendekatan penelitian. Informasi tersebut kemudian dikategorikan dengan
hati-hati untuk menentukan retribusi yang tepat bagi mereka yang
bertanggung jawab atas kekurangan minyak goreng.

C. PEMBAHASAN
a. Ancaman Pidana Yang Layak Bagi Pelaku Korupsi Ekspor
Minyak Goreng
Tidak ada ketentuan pidana dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menetapkan subjek hukum artifisial
(rechtperson) atau korporasi sebagai subjek yang dipidana.
Ketentuan KUHP yang luas, yang mengatur bahwa semua orang
harus tunduk pada peraturan perundang-undangan Indonesia,
menunjukkan hal ini. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5
KUHP, "warga negara" adalah istilah lain yang digunakan dalam
KUHP. Pasal ini pada intinya mengatur bagaimana peraturan
perundang-undangan Indonesia akan diterapkan terhadap warga
negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu di luar
wilayah Indonesia. Namun seiring perkembangannya, perusahaan
tersebut akhirnya berubah menjadi subjek hukum ketika
undang-undang pidana dibuat.
Hukum pidana yang unik yang menyimpang dari norma
dasar hukum pidana yang digariskan dalam KUHP dan mengatur
hukum acara yang digariskan dalam (KUHAP) diperlukan karena
tindak pidana korupsi tergolong kejahatan yang tidak biasa,
menurut kebijakan hukum pidana Indonesia. Karena melibatkan
perilaku kriminal yang ekstrem, kasus korupsi harus diselesaikan
sebelum kasus lainnya. Dalam hal ini, perusahaan ekspor minyak
goreng yang terhubung mengabaikan undang-undang pemerintah,
yaitu ketika para koruptor memulai perilakunya yang tidak
menentu. Di penghujung tahun 2021, saat minyak goreng langka
dan biaya meningkat, kasus ini bermula. Kementerian
Perdagangan sebagai bagian dari pemerintah menerapkan
kebijakan pemberlakuan Domestic Market Obligation (DMO) dan
harga eceran tertinggi di masa kelangkaan ini. Namun,
kenyataannya para eksportir minyak goreng tidak mengikuti
arahan pemerintah.
Dalam hal ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan empat
pemohon.4 Mereka antara lain Picare Tagore Sitanggang, General
Manager Divisi General Affairs PT Musim Mas, Stanley MA,
Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung
Agrindustri/Permata Hijau Group, dan Master Parulian Tumanggor,
Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia. Direktur Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari
Wisnu Wardhana juga salah satunya. Keempatnya didakwa
melanggar salah satu atau kedua pasal 2 dan atau 3 UU Tipikor.
Menurut Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, “Barangsiapa dengan
sengaja melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain,

4
Chotimah, A. N., & Hendrajito, A. X. ANALISA KELAYAKAN PENJATUHAN PIDANA
TERHADAP TERHADAP PELAKU EKSPOR MINYAK GORENG.
atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara selama-lamanya. paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, serta denda
paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Kemudian
dalam Pasal 3 disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan
maksud merugikan dirinya sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena kedudukannya, atau yang
kedudukannya dapat merugikan kepentingan negara. keuangan
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Kita harus memahami sifat sistem peradilan pidana untuk
mengevaluasi kelayakan ancaman pidana terhadap pejabat yang
korup. Sistem hukuman tunggal adalah yang pertama. Pidana
semacam ini merupakan pengecualian terhadap ketentuan bahwa
penjara seumur hidup atau jangka waktu tertentu di dalam penjara
sebagai alternatif dari pidana mati. Yang kedua adalah
penggantian satu jenis pidana dengan delik tambahan. Adanya
satu jenis kejahatan berdampingan dengan yang lain secara
kumulatif adalah yang ketiga, dan kombinasi alternatif dan
kumulatif adalah yang keempat.5 Sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3, maka menurut
model ancaman pidana di atas, pasal-pasal tersebut termasuk
dalam jenis keempat yaitu kombinasi alternatif dan kumulatif,
artinya Kejaksaan Agung memiliki pilihan hukuman yang paling
berat.
Para tersangka diduga melanggar hukum dengan
mengatur pengurusan perizinan ekspor antara pemohon dan

5
Amrullah, M. A. (2006). Kejahatan korporasi: the hunt for mega-profits and democracy.
pemegang izin, demikian menurut Kejaksaan Agung. Kedua,
Kejaksaan Agung menilai karena izin ekspor tidak memenuhi
persyaratan yakni menetapkan harga yang tidak sesuai dengan
harga jual di dalam negeri seharusnya ditolak. Kemudian
ditetapkan bahwa eksportir tidak memenuhi 20% kebutuhan pasar
domestik (DMO) mereka, yaitu mendistribusikan minyak goreng ke
dalam negeri. Empat kasus mafia minyak goreng itu sudah
ditahan Kejaksaan Agung. Muhammad Luthfi, Menteri
Perdagangan, ditekan untuk mundur akibat situasi ini.

b. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.


20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam hal memberikan definisi, ruang lingkup, peraturan
perundang-undangan, jenis hukuman, dan kesalahan pidana,
berbagai undang-undang yang mengatur korporasi sangat
bervariasi. Misalnya, UU Antikorupsi mendefinisikan perusahaan
sebagai kelompok orang dan/atau aset yang terorganisir, tanpa
memandang apakah dianggap sebagai organisasi yang sah atau
tidak. Badan hukum dan non-hukum seringkali merupakan
kumpulan orang atau aset yang terorganisir. yang berkumpul
untuk mengejar keuntungan membentuk korporasi. Oleh karena
itu, menurut hukum pidana, diyakini bahwa bisnis mampu
melakukan kejahatan (kejahatan korporasi) yang berpotensi
menimbulkan kerugian dan membawa potensi hukuman baik
berbadan hukum maupun tidak. Di bidang ekonomi bisnis, tidak
perlu dikatakan lagi bahwa tujuan dari setiap kegiatan adalah
untuk memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, dapat dibayangkan
bagi bisnis untuk terlibat dalam perilaku yang dapat
membahayakan orang lain untuk mencapai tujuan mereka.6
Pembukaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
menyatakan bahwa karena korupsi memiliki dampak negatif yang
parah pada keuangan atau ekonomi suatu negara dan
menghambat pertumbuhan nasional yang memerlukan efisiensi
tinggi serta hal itu harus dihilangkan untuk mewujudkan

6
Amrullah, M. A. (2006). Kejahatan korporasi: the hunt for mega-profits and democracy.
masyarakat adil dan makmur yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945. Untuk memastikan dapat diterapkan secara efektif
dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan tersebut,
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih
terus diperjelas.
Ada ketentuan tambahan yang sebelumnya tidak diatur
dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dengan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
antara lain: Yang dipidana adalah korporasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1). Sebagaimana tercantum
dalam Pasal 37 yang berbunyi: “Dengan beban pembuktian
terbalik, pembela berhak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.”
Terdakwa diperbolehkan memberikan alasan mengapa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pengadilan akan
mengandalkan informasi ini untuk menetapkan bahwa dakwaan itu
salah jika pihak yang bersalah dapat menunjukkan bahwa dia
tidak melakukan kejahatan yang melibatkan korupsi. kemungkinan
hukuman yang lebih berat, seperti penjara seumur hidup atau
denda sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 undang-undang tersebut,
yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Menurut Pasal 12B
ayat (1) yang berbunyi: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap menerima suap, jika....”,
gratifikasi merupakan tindak pidana.
Pasal 1 angka 1 mendefinisikan perseroan sebagai
“kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum” (penekanan
ditambahkan). Pasal 20 ayat 1 dengan jelas mendefinisikan
tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana, mengatakan
bahwa “dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas
nama korporasi, penuntutan dan penuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”
Klausul-klausul ini memperjelas bahwa jika korporasi terbukti
bersalah melakukan korupsi, mereka dapat menghadapi tuntutan
dan hukuman.
Kejahatan apa yang memenuhi syarat untuk dilakukan oleh
korporasi? Hal ini jelas tertuang dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Pasal 20 ayat
(2), “Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, perbuatan dalam
lingkungan korporasi baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama”.
perbuatan korupsi mempunyai hubungan kerja atau hubungan
dengan perseroan dalam kedudukan lain selain hubungan kerja,
maka pengusaha dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Aturan Pasal 20 Ayat 7 menyatakan bahwa satu-satunya
sanksi yang dapat digunakan untuk menuntut korporasi adalah
hukuman “Pidana pokok yang dapat disita bagi pelaku kejahatan
hanya pidana denda, dengan ketentuan pidana maksimal
ditambah 1/3 (sepertiga)”, bunyi pernyataan tersebut. Selain itu,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, korporasi dapat
mengenakan sanksi lain, seperti: penyitaan barang, baik yang
berwujud maupun tidak berwujud, yang digunakan atau diperoleh
dengan cara yang tidak etis, termasuk bisnis yang dikuasai
terpidana tempat perilaku korupsi dilakukan dan biaya produk
pengganti; Pembayaran dana pengganti dalam jumlah yang
sebesar-besarnya dengan menggunakan harta kekayaan yang
diperoleh melalui perbuatan pidana yang tidak bermoral;
Penutupan usaha atau bagian usaha paling lama 1 (satu) tahun;
Pencabutan seluruh atau sebagian hak, serta sebagian
keuntungan yang telah atau dapat diberikan kepada penerima
bantuan pemerintah.
Mengingat komponen viktimologis kejahatan korporasi
yang meluas, konsep tidak ada kejahatan tanpa menyalahkan
tidak perlu diterapkan terlalu ketat dalam hal tanggung jawab
korporasi. 7Salah satu unsur kriminogenik yang akan memberikan
kontribusi terhadap meningkatnya kejahatan korporasi adalah
penerapan pertanggungjawaban pidana yang tegas terhadap
korporasi. Kapasitas untuk tanggung jawab, kesengajaan atau
kelalaian, dan kurangnya pertahanan adalah contoh dari prasyarat
subyektif untuk akuntabilitas pidana. Jika ini terus dimanfaatkan,
maka perlu terlebih dahulu menerima gagasan perilaku fungsional
(daperschap fungsional) dalam konteks kesalahan pidana. Ciri
pembeda dari perilaku fungsional ini adalah bahwa aktivitas fisik
seseorang (pelaku) menyebabkan efek fungsional pada yang lain.
Akibatnya, kemampuan untuk bertanggung jawab bagi
mereka yang bertindak beralih ke kapasitas untuk meminta
pertanggungjawaban korporasi jika menjadi korban kejahatan atas
namanya. Mengenai gagasan ini, Muladi secara khusus
menyarankan pemeriksaan untuk menentukan apakah tindakan
tersebut sejalan dengan masalah terpenting adalah apakah
tindakan perusahaan konsisten dengan bidang kompetensi tujuan,
yang ditentukan oleh piagam perusahaan dan/atau kebijakan
perusahaan.Dengan kata lain, jika perusahaan bertanggung jawab
untuk melakukan kejahatan, kejahatan harus dilakukan sebagai
kelanjutan dari kewajiban dan/atau tujuan organisasi.
Kedua, politik korporat atau operasi aktual perusahaan
dapat mencakup masalah kecerobohan korporat dan kesalahan
yang disengaja. Kesengajaan atau pengabaian manajemen
perusahaan dalam politik perusahaan atau berada dalam operasi
aktual perusahaan tertentu juga dapat digunakan untuk
menjelaskannya. Oleh karena itu, lingkungan psikologis yang
berlaku pada korporasi dan manajemen yang bekerja atas nama
bisnis harus digunakan untuk menentukan niat atau pengabaian
korporasi.
Ketiga, dengan mengadopsi pembenaran bagi
orang-orang, masalah pengampunan perusahaan terus berlanjut.

7
HARAHAP, F. (2022). KAJIAN KRIMINOLOGI ATAS AKIBAT HUKUM DARI
PENIMBUNAN MINYAK GORENG DI INDONESIA YANG MENYEBABKAN
KELANGKAAN (Doctoral dissertation).
Hal ini disebabkan karena kesalahan yang dilakukan oleh
manajemen dalam bertindak atas nama perusahaan dianggap
sebagai kesalahan perusahaan, sehingga menghapus kesalahan
tersebut dengan memaafkan juga menghilangkan kesalahan
perusahaan.
Menurut Pasal 50 RUU KUHP (Tahun 2004), pelaku
kejahatan yang bertindak untuk dan atas nama pengusaha harus
memberikan bukti yang tanggung jawabnya dipikul oleh korporasi
akan membebaskan pelaku dari segala pertanggungjawaban
pidana. Pembenaran pengampunan juga berlaku untuk korporasi,
asalkan mereka memberikannya di muka. Pasal 50 RUU KUHP
secara umum diartikan sebagai berikut: Justifikasi atau
pembenaran yang dapat diberikan oleh pabrikan yang Bekerja
untuk korporasi, sepanjang dasar pemikirannya berkaitan dengan
tuduhan yang dilontarkan terhadap korporasi, dapat ditawarkan
oleh korporasi.8 Untuk menghukum beberapa pelanggaran,
kebijakan legislatif memainkan peran penting dan strategis. Praktik
hukum akan menjadi kacau jika kebijakan penegakan yang
berkaitan dengan pengenaan sanksi tertentu tidak dilakukan
secara logis, mengingat kebijakan tersebut tidak ditujukan untuk
menghasilkan hasil yang diinginkan, terutama pada tahap
implementasi. Agar undang-undang legislatif mendukung hasil
yang diinginkan, beberapa sanksi yang mengancam kejahatan
tertentu harus secara jelas menyatakan sifat, tujuan, dan
fungsinya. Di sinilah pentingnya memahami konsekuensi sistem
peradilan pidana, karena hanya pelanggaran sosial yang dapat
dikalahkan.9
Menurut Barda Nawawi Arief, KUHP saat ini menggunakan
metode formulasi tunggal dan sistem formulasi alternatif untuk
merumuskan ancaman pidana. Berbeda dengan sistem
perumusan alternatif yang memasukkan pidana penjara sebagai
alternatif dari jenis pidana lain, sistem perumusan memasukkan
pidana penjara sebagai satu-satunya bentuk pemidanaan terhadap

8
Wahyuni, F. (2017). Dasar dasar hukum pidana di Indonesia. Pustaka Data.
9
Ibid., hal. 233
tindak pidana yang dipermasalahkan tergantung berat ringannya
sanksi adalah dirumuskan sebagai satu-satunya jenis sanksi
pidana.10

D. SIMPULAN
a. Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
korporasi adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh sejumlah
orang dengan maksud bersama untuk mengejar keuntungan dan
menjadi suatu organisasi hukum (badan hukum) yang diakui.
Dalam hukum pidana, korporasi dan manusia adalah sebanding.
Karena memiliki hak dan kewajiban hukum, maka kewajiban
korporasi juga dikaitkan dengan kemampuan manusia di
dalamnya. RUU KUHP, yang pada akhirnya akan berlaku untuk
seluruh sistem peradilan pidana, telah mengidentifikasi korporasi
sebagai subyek hukum tindak pidana. Artinya,
peraturan-peraturan di luar KUHP tidak lagi wajib mengatur secara
tegas, kecuali peraturan-peraturan itu menghendaki lain atau
menyimpang.
Kajian ini melihat beberapa pilihan penjatuhan hukuman,
termasuk hukuman mati yang pernah didukung oleh masyarakat,
bagi oknum yang mengekspor minyak goreng yang telah
merugikan banyak pihak. Penulisan studi ini didasarkan pada
masalah kelangkaan dan meroketnya harga minyak goreng, yang
disebabkan oleh korupsi Dirjen Kementerian Perdagangan dan
pihak lain yang terlibat dalam menerima insentif dari permainan
jahat menggunakan kebijakan pemerintah untuk menghasilkan
hanya individu. dan manfaat kelompok.
Menurut penjelasan yang diajukan, semua orang bisa
sepakat bahwa korupsi Dirjen Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Luar Negeri dalam bahan baku minyak goreng, yang
dikenal sebagai minyak sawit mentah (CPO), atau minyak sawit,
adalah penyebab fenomena tersebut. kelangkaan minyak goreng

10
Barda Nwawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Cetakan ke-3, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000,
hal .151.
yang mengakibatkan harga minyak meroket. Indrasari Wisnu
Wardhana, menteri perdagangan, bergabung dengan sejumlah
orang lain, termasuk Stanley MA, manajer senior urusan korporasi
untuk Permata Hijau Group, Master Parulian Tumanggor,
komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Picare Tagore Sitanggang,
general manager urusan umum untuk PT Musim Mas, dan Lin
Che Wei (LCW) atau Weibinanto Halimjati dari sektor swasta.
Permainan tidak jujur ​ini menyebabkan inflasi di Indonesia serta
kerugian negara hingga Rp 5,9 triliun. Selain kerugian yang
dialami negara, masyarakat juga terkena dampak negatif yang
memaksa UMKM bergelut dengan aktivitas perdagangan dan
memaksa mereka membeli minyak goreng dengan Harga Eceran
Tertinggi (HET).

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Nursariani Simatupang, dan faisal 2017. Kriminologi Suatu
Pengantar. Medan:Pustaka prima

Yati Nurhayati. 2020. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Nusa


Media,
A.S Alam dan Amir Ilyas. 2018. Kriminologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Kencana

Jurnal
Abidin, Zainal, (2008), Analisis Ekspor Minyak Kelapa Sawit
(CPO) Indonesia, Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol 6 , No. 1, Edisi April.

Indonesia Corruption Watch , (2022), Kelangkaan Minyak Goreng


(Sesat Kebijakan Menyengsarakan Rakyat, Menguntungkan Korporasi
Sawit), https://antikorupsi.org/id/article/kelangkaan-minyak-goreng,
diakses pada 3 Juni 2022

Lampost.co, (2022), Kerugian Negara Akibat Korupsi Minyak


Goreng Ditaksir Rp5,9 Triliun,
https://m.lampost.co/berita-kerugian-negara-akibat-korupsi-minyak-goren
g-ditaksir-rp5-9-triliun.html , diakses pada 3 Juni 2022

Barda Nwawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara, Cetakan ke-3, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2000.

Setiyono, Kejahatan Korporasi (Analisis Viktimologis dan


Pertanggungjawaban Korporasi Dalam

Hukum Pidana Indonesia), Bayumedia Publishing, Malang, 2005.


Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.1, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1984),
UTS Pidana Korporasi_Mutiara
Maharani N-2010601067 (2)
by Fakhira Kamila

Submission date: 14-Apr-2023 07:47AM (UTC-0500)


Submission ID: 2064315814
File name: UTS_Pidana_Korporasi_Mutiara_Maharani_N-2010601067_2.pdf (150.47K)
Word count: 3343
Character count: 22420
17

15

12
1

19
10

14

16

2
25

23

36

5
13

33

26

18
10

34

11
8

30

11
21

31

35

32

1
20

28

24

5
29
22

27

7
UTS Pidana Korporasi_Mutiara Maharani N-2010601067 (2)
ORIGINALITY REPORT

17 %
SIMILARITY INDEX
17%
INTERNET SOURCES
9%
PUBLICATIONS
7%
STUDENT PAPERS

PRIMARY SOURCES

1
www.scribd.com
Internet Source 1%
2
repositori.uin-alauddin.ac.id
Internet Source 1%
3
baliexpress.jawapos.com
Internet Source 1%
4
repository.ubharajaya.ac.id
Internet Source 1%
5
repository.usu.ac.id
Internet Source 1%
6
mahesainstitute.web.id
Internet Source 1%
7
text-id.123dok.com
Internet Source 1%
8
Submitted to Udayana University
Student Paper 1%
9
tirto.id
Internet Source 1%
10
docplayer.info
Internet Source 1%
11
pt.slideshare.net
Internet Source 1%
12
sinta3.ristekdikti.go.id
Internet Source 1%
13
eprints.undip.ac.id
Internet Source <1 %
14
repository.unand.ac.id
Internet Source <1 %
15
repository.untag-sby.ac.id
Internet Source <1 %
16
kelompok1fraud.blogspot.com
Internet Source <1 %
17
kaltimtoday.co
Internet Source <1 %
18
mappifhui.org
Internet Source <1 %
19
repository.unimal.ac.id
Internet Source <1 %
20
dspace.uii.ac.id
Internet Source <1 %
21
123dok.com
Internet Source <1 %
<1 %
22
amiraziz.wordpress.com
Internet Source

23
ojs.unr.ac.id
Internet Source <1 %
24
repository.umsu.ac.id
Internet Source <1 %
25
repository.unbari.ac.id
Internet Source <1 %
26
www.antaranews.com
Internet Source <1 %
27
www.cnbcindonesia.com
Internet Source <1 %
28
www.ememha.com
Internet Source <1 %
29
www.researchgate.net
Internet Source <1 %
30
Dinda Ayu Dizrisa, Sudrajat Sudrajat, Niken
Kusumawardani. "PENGARUH ELEMEN GOOD
<1 %
GOVERNANCE TERHADAP TINGKAT KORUPSI
DI ASIA TENGGARA", Jurnal Akuntansi dan
Keuangan, 2020
Publication

31
eprints.walisongo.ac.id
Internet Source <1 %
jurnal.kpk.go.id
<1 %
Internet Source
32

33
kumparan.com
Internet Source <1 %
34
Hesti Widyaningrum. "Perbandingan
Pengaturan Hukuman Mati di Indonesia dan
<1 %
Amerika Serikat", Volksgeist: Jurnal Ilmu
Hukum dan Konstitusi, 2020
Publication

35
repository.unibos.ac.id
Internet Source <1 %
36
repository.ub.ac.id
Internet Source <1 %

Exclude quotes On Exclude matches Off


Exclude bibliography On

Anda mungkin juga menyukai