ADMINISTRASI
BAB I PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA ADMINISTRASI DI
INDONESIA
Latar belakang adanya hukum pidana administrasi yaitu untuk terwujudnya masyarakat
adil dan makmur (Social Welfare Policy) sebagaimana yang diamanatkan oleh Pembukaan
Undang- Undang Dasar 1945 diperlukan adanya suatu kebijakan perlindungan terhadap
masyarakat (social defence policy), agar seluruh ketentuan administrasi negara dapat berlaku
secara efektif sehingga dapat dikembangkan suatu kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy) dengan melakukan fungsionalisasi aspek hukum pidana. hingga memunculkan hukum
pidana administrasi (administrative penal law).
2. PENGERTIAN
Menurut Barda Nawawie Arief, tindak pidana administrasi adalah pendayagunaan hukum
pidana untuk menegakkan hukum administrasi. Padangan demikian memposisikan hukum
pidana sebagai ultimum remidium. Artinya hukum pidana adalah senjata pamungkas terakhir
yang digunakan setelah sarana hukum lainnya .
Oleh sebab itu dikatakan juga bahwa sifat pidana sebagai “ultimum remedium” (obat
yang terakhir), artinya apabila tidak perlu sekali jangan menggunakan sanksi pidana sebagai
sarana.
3. TUJUAN
Dalam kaitan ini menurut Muladi bahwa kecenderungan perundang-undangan hukum
administrasi mencantumkan sanksi pidana adalah untuk memperkuat sanksi administrasi
(administrative penal law).
Hal ini mengingat tujuan pemidanaan yaitu (a) mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; (b) memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; (c)
menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. SIFAT
5. KARAKTERISTIK
1. Kriminalisasinya berkaitan dengan adanya modernisasi dan perkembangan teknologi;
2. Norma/aturannya menyimpang dari asas umum dalam KUHP;
3. Kejahatannya lebih bersifat terselubung (white collor crime);
4. Pada umumnya tindak pidananya berkualifikasi pelanggaran, namun ada juga kejahatan;
5. Subjek hukumnya pada umumnya bersifat tbadan hukum/korporasi selain manusia pribadi;
6. Sanksinya bisa lebih berat dari sanksi tindak pidana umum karena bersifat kumulatif;
7. Pengaturan hukum pidana materiel dan formilnya dalam satu UU
3. Hubungan Penyidik Polri Dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Dalam Hukum Pidana
Administrasi
a. Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik Polri;
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada penyidik Pegawai
Negeri Sipil Tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan;
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu, melaporkan adanya tindak pidana yang sedang disidik
kepada penyidik Polri;
d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai
kepadapenuntut umum melalui penyidik Polri;
e. Dalam hal penyidik Pegawai Negeri Sipil Tertentu menghentikan penyidikan, segera
memberitahukan kepada penyidik Polri dan Penuntut Umum.
4. Adanya Koordinasi Antara Penuntut Umum Dan Penyidik PPNS Menurut Hukum Pidana
Administrasi
a. Identifikasi modus, niat serta motif kejahatan/tindak pidana terkait perburuan dan perdagangan
satwa liar dilindungi dilakukan;
b. Mengarahkan penyidikan untuk memperoleh gambaran yang lbih luas tentang jaringan
perburuan dan perdagangan satwa liar, serta mencari kemungkinan keterlibatan pihak-pihak
lain;
c. Menetapkan pasal-pasal yang akan didakwakan, mengarahkan penggunaan pndekatan
multidoor dalam penetapkan pasal- pasal;
d. Mengidentifikasi kebutuhan alat bukti untuk menjelaskan aspek-aspek teknis terkait perkara,
seperti untuk mengetahui suatu benda tertentu merupakan bagian tubuh dari satwa dilindungi
di Indonesia dibutuhkan pengujian laboratorium (tes DNA);
e. Mengarahkan Penyidik untuk melakukan koodinasi dengan Ahli terkait dengan penanganan
barang bukti dan pembuktian perkara;
f. Memberikan petunjuk kepada Penyidik terkait dengan barang bukti yang perlu dilakukan
penyisihan sesuai dengan ketentuan Pasal 45 KUHAP. Jika barang bukti adalah satwa hidup
maka Penuntut Umum mengarahkan Penyidik untuk segera berkoordinasi dengan BKSDA atau
Pusat Penyelamatan Satwa untuk menentukan tindakan yang perlu dilakukan terkait dengan
kelangsungan hidup satwa.