DISUSUN OLEH :
NAMA : JULPIADI HATALA
NIM :210101008
SEMESTER : III
A. Asas Legalitas
Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan
yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang
ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas
yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur
terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan
hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang
yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara
hukum perbuatannya itu.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas membe rikan sifat perlindungan pada
undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa
batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di
samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental,
yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undangundang, pelaksanaan kekuasaan oleh
pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan dengan kedua
fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu :
Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-
undang.
Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut
undang-undang.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena
sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa
ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1
ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :
a. Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut
tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu,
jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;
Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas
diadakan bertujuan untuk:
Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan
mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:
b. Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
Asas legalitas (Pasal 1 ayat (1) KUHP) memiliki pe ngecualian khusus mengenai
keberadaannya, yaitu di atur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP yang mana pa sal
tersebut berbunyi seperti ini “jika terjadi perubahan perundangundangan setelah perbuatan itu
dilakukan maka kepada tersang ka/terdakwa dikenakan ketentuan yang menguntungkan
baginya. Dari ketentuan pasal 1 ayat (2) KUHP ini sebagai pengecualian yakni
memperlakukan ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa. Menurut jonkers pengertian
menguntungkan disini bukan saja terhadap pidana dari perbuatan tersebut,tetapi juga
mencakup penuntutan bagi si terdakwa.
2. Teori material terbatas yang dipelopori oleh Van Geuns berpendapat antara
lain bahwa perubahan UU yang di maksud harus diartikan perubahan
keyakinan hukum dari pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman
atau karena keadaan tidak dapat dianggap sebagai perubahan dalam UU
pidana.
3. Teori material tak terbatas yang merujuk pada putusan Hoge Raad tanggal 5
Desember 1921 mengemukakan bahwa perubahan undang-undang adalah
meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan undang-undang
yang meliputi perasaan hukum pembuat undang-undang maupun perubahan
yang dikarenakan oleh perubahan jaman (keadaan karena waktu tertentu).
Komentar Penulis berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUHP: Pasal 1 ayat
(1) mengatur sebuah perbuatan yang sebelumnya belum diatur oleh ketentuan pidana/undang-
undang kemudian terjadi kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut sedangkan Pasal 1 ayat
(2) mengatur sebuah perbuatan yang sebelumnya memang sudah merupakan bentuk
kejahatan atau kriminal sehingga kedua ketentuan tersebut tidak dapat dipandang sebagai
ketentuan yang saling mengecualikan karena keduanya sebenarnya tidak ada hubungan dan
mengatur substansi yang berbeda.
Contoh: Misalnya Si X adalah pelaku tindak pidana korupsi, di mana perbuatan Si X
diketahui tahun 2001 di mana peristiwanya atau tempus delictinya tahun 1996 maka
pandangan umum kalangan penegak hukum pastilah akan menerapkan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1971 dengan alasan bahwa memberlakukan undang-undang nomor 31 Tahun
1999 jo. UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, adalah merupakan suatu
pemberlakuan surut aturan pidana, namun dalam pendapat penulis hal tersebut bukanlah
pemberlakuan surut karena pada dasarnya perbuatan tersebut
Sudah merupakan tindak pidana/criminal karena telah diatur sebelumnya oleh Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga penulis
menilai bahwa perubahan ketentuan tentang tindak pidana korupsi hanya berubah semata
sehingga dalam hal ini Pasal 1 ayat (2) KUHP lah yang harus diperhatkan atau dengan kata
lain penulis sependapat menggunakan UU Nomor 3 tahun 1971 sebagai dasar aturan namun
didasari oleh alasan yang berbeda.
B. Asas Teritorial
Asas hukum pidana yang satu ini dilandasi oleh kedaulatan negara. Negara yang berdaulat
wajib menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan oleh sebab itu, negara berhak
menjatuhkan pidana bagi siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayahnya.
Kehadiran asas teritorial dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal
2 KUHP yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.
Disarikan dari artikel Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih
Meringankan Baginya?, perluasan asas teritorial dapat ditemukan dalam Pasal 3 KUHP yang
menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia.
Jika diartikan, dengan asas personalitas atau nasional aktif, peraturan perundang-undangan
pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan warga negara di mana pun
warga tersebut berada, sekalipun di luar negeri.
Kehadiran asas personalitas dalam peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam
Pasal 5 KUHP yang menerangkan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar indonesia melakukan salah satu atau
sejumlah kejahatan (yang diatur lebih lanjut dalam sejumlah pasal) dan melakukan salah satu
perbuatan yang dipandang peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai kejahatan,
sedangkan menurut perundang-undangan negara tempat kejadian diancam dengan pidana.
Aturan lebih lanjut mengenai asas personalitas dapat ditemukan dalam Pasal 6, 7, dan 8
KUHP.
Diterangkan Eddy Hiariej dalam Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, arti penting dari asas
universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman.
Agar tidak ada pelaku yang lolos, setiap negara berhak untuk menangkap, mengadili dan
menghukum pelaku kejahatan internasional.
Kemudian, jika pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara,
negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional atas kasus
yang sama. Asas universal ini berlaku bagi tindak pidana yang dinilai sebagai kejahatan
internasional, bukan kejahatan transnasional
Kehadiran asas universal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dapat ditemukan
dalam Pasal 4 angka 2 dan angka 4 KUHP.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran di atas mengenai asas -asas hukum dalam sistem hukum, dapat
ditarik simpulan sebagai berikut :
Dipahami asas-asas hukum itu sebagai pikiran -pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di
belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. Apabila dalam
bidang hukum kita telah sepakat, bahwa Pancasila sumber dari segala sumber hukum negara,
maka sudah wajarlah, kalau kita membicarakan asas, berpendapat bahwa sumber dari segala
asas hukum adalah Pancasila, Pancasila dipegang teguh sebagai kaidah dasar, sebagai suatu
beginsel rechtsideologie atau asas ideologi hukum Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Emong Sapardjaja, Komariah. 2002. Sifat Ajaran Melawan Hukum-Materiil Dalam Hukum
Pidana Indonesia Studi Kasus, Alumni , Bandung.
Hadjon, Philipus, M., dkk. (2012, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gajah
Mada
Kusumohamidjojo, Budiono (2016), Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan,
Yrama Widya, Bandung.
Lamintang, P.A.F. (1990), Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.
Lubis, Solly (1989), “Asas-Asas Nasional Di Bidang Hukum Tata Negara”, dalam Majalah
Hukum Nasional, No.2, BPHN, Departemen
Kehakiman, Jakarta.
Moh. Koesnoe, “Nilai-nilai Dasar Tata Hukum Nasional Kita”, Makalah dalam Pra Seminar:
Identitas Hukum Nasional, 19-21 Oktober 1987 di Fakultas Hukum UII Yogyakarta, hal. 16.
Jakarta, hal. 46.
Notohamidjojo, O. (1975), Demi Keadilan Dan Kemanusiaan Beberapa Bab Dari Filsafat
Hukum, BPK. Gunung Mulia, Jakarta.
Paton, G.W. (1969), A Text Book of Jurisprudence, Oxford University Press, London.
Yogyakarta.