Anda di halaman 1dari 15

Hukum Pidana Dan Kaitannya Dengan Asas Legalitas

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ke – 1


Mata Kuliah Hukum Pidana

Disusun Oleh :
Nama : 1. Rangga Maulana Ananta (181000430)
2. M. Adam Adriansyah (181000439)
3. Ginan Nurfajhanifan (181000457)
4. Joshua (181000428)
5. Eka Haerunisa (181000483)
Kelas : I
Dosen : DR. Rd HJ Dewi Asri Yustia S.H,M.H dan Tia Ludiana

Fakultas Hukum
Universitas Pasundan
2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah. Sholawat dan salam kepada Rasulullah. Berkat limpahan rahmat-
Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini.

Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia cenderung tidak mengenal batas,baik dalam
ruang lingkup Negara maupun persoalan yang sifatnya internasional,maka terbentuklah suatu
bentuk perdamaian antar Negara dalam bentuk perjanjian internasional guna mencapai
kemakmuran bagi masyarakat secara global,demi perdamaian bangsa-bangsa.

Dalam makalah ini kami akan membahas prihal hukum pidana dan kaitannya dengan asas
legalitas. Semoga makalah ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa
fakultas Hukum sebagai bekal melakukan pemahaman atau pedoman bagaimana peranan Negara
dalam prihal sanksi.

Bandung, 11 Februari 2019


Penyusun

I
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................................................... I


Daftar isi .................................................................................................................................. II

BAB I (PEMBAHASAN) ........................................................................................................ 1


I.A.Isi dari pasal 1 ayat 1 KUHP .................................................................................. 1
I.B. Apa Tujuan Hukum Pidana Harus Hukum Tertulis ............................................ 1
I.C. Pengertian Asas Legalitas Dan Dasar Hukum ...................................................... 1
I.D. Tujuan Asas Legalitas ........................................................................................... 3
I.E. Fungsi Asas Legalitas ............................................................................................ 3
I.F. Sejarah Perkembangan Asas Legalitas .................................................................. 3
I.G.Penerapan Asas Legalitas ( Contoh Kasus ) .......................................................... 7

BAB II (PENUTUPAN) .......................................................................................................... 10


II.A. Kesimpulan ........................................................................................................... 10
II.B. Saran ...................................................................................................................... 10

Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 11

II
BAB I
(PEMBAHASAN)

I.A. Isi Dari Pasal 1 Ayat 1 KUHP


(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Analisis : dalam suatu perbuatan hukum tidak dapat disebut tindak pidana, kecuali ada
dalam aturanan yang ada dan landasanya hukumnya terdapat di Asas legalitas (principle
of legality) biasa dikenal dalam bahasa Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Dan juga
menurut pendapat Jonkers yang dikutip oleh Edddy O.S, menyatakan bahwa Pasal 1
ayat (1) KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
Undangundang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan adalah suatu pasal tentang
asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit
dalam undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum
bukan merupakan peraturan hukum konkrit.

I.B. Apa Tujuan Hukum Pidana Harus Hukum Tertulis


Agar segala perbuatan dapat dipertanggung jawabkan kembali lagi ke Asas
legalitas (principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa Latin sebagai “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
lebih dahulu). Dan juga mengacu kepada Pasal 1 Ayat 1 KUHP

I.C. Pengertian Asas Legalitas Dan Dasar Hukum


Asas legalitas (principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa Latin sebagai
“Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu). Adagium tersebut sebenarnya berasal dari Von Feuerbach,
sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833).

1
Hukum pidana dengan asas legalitas
Dasar hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana,tidak hanya didasarkan pada asa legalitas formal, tetapi juga didasarkan
pada asas legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada hukum yang hidup
atau hukum tidak tertulis. Dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, salah seorang anggota
team perumus KUHP baru bahwa:”Dengan bertolak dari kebijakan perundang-undangan
nasional yang ada selama ini seperti ditulis terdahulu,
(UU No.1/ Drt/1951 dan UU No. 14 tahun 1970), dapat dikatakan bahwa
perluasan asas legalitas secara material di dalam konsep KUHP baru bukanlah
merupakan ide yang baru, melainkan hanya melanjutkan dan mengimplementasikan
gagasan yang sudah ada. 11 Perluasan perumusan asas legalitas secara materiil adapat
dicarikan dasar pembenarannya pada empat landasan yakni:
1. Landasan kebijakan legislatif nasional yang keluar setelah kemerdekaan antara lain
UU No.1 Drt tahun 1951 dan UU No. 14 tahun 1970;
2. Landasan kesepakatan ilmiah dalam seminarseminar nasional ;
3. landasan sosiologis yang bertolak dari budaya hukum kekeluargaan (menurut Satjipto
Rahardjo: budaya hukum perorangan menghasilkan konsep “legisme liberal” dan
“konsep rule of law”, sedangkan budaya hukum kekeluargaan menghasilkan “legisme
kekeluargaan” dan konsep “the rule of justice/moral”);
4. Landasan Internasional yang bertolak dari Pasal 15 ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Rigthts) yang menyebutkan adanya dua dasar/sumber hukum untuk
menyetakan dapat dipidananya si pembuat, yaitu:
a. Berdasarkan undang-undang atau hukum positif yang berlaku (ayat 1)
b. Berdasarkan asas-asas atau prinsip hukum umum yang diakui masyarakat
bangsa bangsa (the general principle of recognized by the commubity of
nations, ayat 2).
Dengan tetap dimuatnya asas legalitas ini, maka kepastian hukum masih tetap
dipertahankan, oleh karena asas ini disamping mempunyai sifat perlindungan terhadap
hukum pidana juga memberi kekuasaan kepada pemerintah sebagai fungsi instrument,
juga dapat menjamin nilai nilai dalam masyarakat tetap terpelihara. Dengan
dicantumkannya kedua landasan hukum tersebut, maka akan terciptalah keseimbangan
diantara keduanya.

2
Hukum pidana dengan asas legalitas
I.D. Tujuan Asas Legalitas

1. Tujuan Asas Legalitas


2. Memperkuat adanya kepastian hukum;
3. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;
4. Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana;
5. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan
6. Memperkokoh penerapan “the rule of law”.

I.E. Fungsi Asas Legalitas


Fungsi asas legalitas menurut Eddy O.S. Hiariej (2012) di bagi menjadi dua
fungsi yaitu :
a) Fungsi melindungi, yang berarti undang – undang pidana melindungi rakyat
terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang
Fungsi melindungi lebih mengarah kepada hukum pidana materil yang
mengacu ke frasa pertama dan kedua.
b) Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-
Undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan
Fungsi instrumentalis lebih mengarah kepada hukum pidana formil yang
mengacu ke frasa ketiga.

I.F. Sejarah Perkembangan Asas Legalitas


Asas legalitas (principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa Latin sebagai
“Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan lebih dahulu). Adagium tersebut sebenarnya berasal dari Von Feuerbach,
sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskan dalam pepatah
Latin dalam bukunya yang berjudul “Lechrbuch des peinlichen recht” (1801).
Menurut sejarahnya di dalam hukum Romawi kuno yang memakai bahasa Latin,
tidak dikenal pepatah ini, juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan
berjudul “Tijdschrift v.Strafrecht” disebutkan bahwa di zaman Romawi itu dikenal
kejahatan yang dinamakan crimina extra ordinaria, artinya kejahatankejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal
adalah crimina stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak
ditentukan perbuatan apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu
diterima (diresipieer) di Eropa Barat pada Abad Pertengahan (sebagaimana halnya
dengan Indonesia dalam zaman penjajahan meresipieer hukum Belanda), maka
pengertian tentang crimina extra ordinaria diterima pula oleh rajaraja yang berkuasa. Dan
dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk
menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendaknya dan
kebutuhan raja sendiri.
3

3
Hukum pidana dengan asas legalitas
Pada puncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) dari para
raja-raja, yang dinamakan jaman Ancien Regime, maka di situlah timbul pikiran tentang
harus ditentukan dalam wet lebih dahulu perbuatanperbuatan yang dapat dipidana, agar
supaya penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut.
Pertama-tama diketemukan pikiran tentang asas legalitas adalah oleh Montesquieu dalam
bukunya “L’esprit des Lois” (1748) dan Rousseau dalam bukunya “Dus Contract Social”
(1762). Asas tersebut pertama-tama mempunyai bentuk sebagai undang-undang ialah
dalam Pasal 8 “Declaration des droits de L’homme et du citoyen” (1789), semacam
undang-undang Indie 1918. semacam undang-undang dasar yang pertama yang dibentuk
dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: “Tidak ada suatu yang boleh
dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan
secara sah”. Dari Declaration des droits de L’homme eet du citoyen, asas ini dimasukkan
dalam Pasal 4 Code Penal Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801).
Dan dari sini asas ini dikenal oleh Netherland karena penjajahan Napoleon,
sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Netherland 1881, Pasal 1 dan
kemudian karena adanya asas konkordansi antara Netherland Indie dan Netherland
masuklah dalam Pasal 1 WvS Netherland Indie 1918. Perumusan asas legalitas dari von
Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubungan dengan teorinya yang
dikenal dengan nama teori “vom psychologischen Zwang”, yang menganjurkan supaya
dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja
tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini maka orang yang akan
melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu diketahui pidana apa yang
dijatuhkan kepadanya nanti jika perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam
batinnya, dalam psychennya, lalu diadakan tem atau tekanan untuk tidak berbuat, dan
kalau sampai melakukan perbuatan tadi, maka jika dijatuhi pidana kepadanya bisa
dipandang sebagai sudah disetujuainya sendiri. Jadi pendirian von Feurbach mengenai
pidana ialah pendirian yang tergolong absolud (mutlak). Sama halnya teori Pembalasan
(retribution). Jauh sebelum asas ini muncul, seorang filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-
1626) telah memperkenalkan adagium ‘moneat lex, priusquam feriat’, artinya: undang-
undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa
ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus dituliskan terlebih dahulu. Dalam
tradisi civil law system, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu: peraturan perundangundangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan
analogi.14 Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H. Haveman, though it might be
said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects
gives a more true meaning to principle of legality. Ke-empat aspek asas legalitas di atas
penjelasannya sebagai berikut:

4
Hukum pidana dengan asas legalitas
- Lex Scripta: tertulis Dalam civil law system,
aspek pertama adalah pemidanaan harus didasarkan pada undang-undang, dengan
kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus
mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana.
Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka
perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa
hukum kebiasaan/hukum yang hidup tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan
element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-
undang tersebut.
- Lex Certa: Jelas dan rinci Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis,
pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai
perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut
dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus
mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta),
sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan
diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena
warga selalu akan dapat membela diri bahwa k ketentuanketentuan seperti itu tidak
berguna sebagai pedoman perilaku. Namun demikian berpendapat, dalam prakteknya
tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak
jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku
di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.

- Analogi
Analogi artinya memperluas berlakunya suatu peraturan dengan
mengabstraksikannya menjadi aturan hukum yang menjadi dasar dari peraturan itu (ratio
legis) dan kemudian menerapkan aturan yang bersifat umum ini kepada perbuatan konkrit
yang tidak diatur dalam undang-undang. Penerapan peraturan secara analogi ini
dilakukan apabila ada kekosongan (leemte ata lucke) dalam undangundang untuk
perbuatan (peristiwa) yang mirip dengan apa yang diatur oleh undangundang. Akan tetapi
sebaliknya apabila ada peristiwa (baru) yang tidak diatur dalam undangundang maka
peraturan itu tidak diterapkan, apabila tidak sesuai dengan rasio dari peraturan tersebut.
Penggunaan yang demikian itu disebut “argumentum a contrario” (pemberian alasan
secara dibalik/bewijs van het tegendeel). Seperti disebutkan di muka, asas legalitas
membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun
demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan
interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.

5
Hukum pidana dengan asas legalitas
Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu:
penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran
historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran
membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. Dari sekian banyak metode
penafsiran tersebut, penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris
yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara
ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat
dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang
berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan
perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan
lainnya.
Menurut Andi Hamzah , ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht
analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak
terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap
perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan
hukum pidana. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah
karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan Dalam hal ini, Jan Remmelink sendiri sebagai salah satu
ahli pidana Belanda yang mendukung pelarangan analogi, beberapa alasan yang
dikemukakannya antara lain: (i) pelarangan analogi mendukung kepastian hukum, karena
sampai sekarang pada tingkat tertentu masih ditemukan adanya kepastian perihal isi
ketentuan-ketentuan larangan dari sudut pandang batas-batas kata menurut ilmu bahasa,
sekalipun beberapa makna kata ditafsirkan secara sangat luas. Hal itu memunculkan
keraguan, namun kita masih tetap menemukan arah perkembangan dengan batas-batas
analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam
masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini
tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.
Menurut Jan Remmelink , inti dari penafsiran analogis, bagi pendukung pendekatan
ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata.
Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru
(hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio
ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat
pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di
seluruh Eropa dan Belanda.

6
Hukum pidana dengan asas legalitas
Non-retroaktif Asas legalitas dipandang dari ruang berlakunya hukum pidana
menurut waktu yang berkaitan dengan non retroaktif menghendaki bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan
secara surut (non retroaktif).

I.G. Penerapan Asas Legalitas ( Contoh Kasus )


KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mendakwa Otto Cornelis Kaligis atas dugaan
penyuapan terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Dalam kasus ini, Kaligis disebutkan melakukan penyuapan sebanyak dua kali kepada hakim.
Sebelum akhirnya penyuapan ketiga dilakukan oleh M. Yagari Bhastara Guntur atau Gary yang
berujung pada penangkapan.

Sebenarnya bagaimana kasus ini bermula? Berdasarkan informasi dari berbagai sumber,
berikut IDNtimes berikan kronologi kasus suap OC Kaligis.

Pertama, pihak penuntut umum menyebutkan penyuapan bermula saat Kejaksaan


Tinggi Sumatera Utara memanggil Bendahara Umum Pemprov Sumatera utara, Achmad Fuad
Lubis. Pemanggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan terkait kasus korupsi dana
bansos. Gubernur Sumetara Utara, Gatot Pujo Nugroho yang merupakan atasan Fuad
memberitahukan kepada Kaligis atas adanya pemanggilan tersebut.

April 2015 – OC Kaligis memberikan amplop berisikan 5.000 dolar Singapura


untuk Tripeni dan 1.000 dollar Singapura untuk Syamsir.

Gatot dan istri kemudian pergi ke kantor Kaligis karena khawatir pemanggilan terhadap
Fuad nanti akan bisa mengarah kepada dirinya. Kaligis lalu mengusulkan Fuad untuk
mengajukan gugatannya ke PTUN Medan. Selanjutnya, Kaligis menjadi kuasa hukum Fuad
dalam gugatan ke PTUN Medan tersebut.

Kaligis, Gary dan Indah kemudian bertemu dengan Syamsir dan Tripeni untuk
membicarakan mengenai gugatan. Pada saat itu, Kaligis memberikan amplop berisi uang
dengan nominal 5.000 dolar Singapura kepada Tripeni Irianto selaku ketua PTUN. Serta
menemui Syamsir Yusfan selaku Panitera PTUN dan memberi uang 1.000 dolar Singapura.

7
Hukum pidana dengan asas legalitas
5 Mei 2015 – OC Kaligis kembali memberikan amplop berisikan 10.000 dolar
Singapura untuk Tripeni.

Kaligis dan Gary kembali datang ke kantor PTUN Medan. Dalam pertemuan tersebut, OC
Kaligis memberikan uang sejumlah 10.000 dolar Amerika supaya Tripeni mau menjadi
hakim yang menangani perkaranya. Gary pun kemudian mendaftarkan gugatannya.

18 Mei 2015 – Kaligis dan Gary menyuruh Tripeni untuk memutuskan


perkara sesuai dengan gugatannya.

Kaligis, Gary dan Indah menemui Tripeni guna meyakinkannya untuk berani memutuskan
perkara sesuai dengan gugatan.
1 Juli 2015 – Kaligis terima uang 50 juta rupiah dan 30.000 dolar Amerika
dari Evy Susanti.

Sekretaris dan Kepala Bagian Administrasi dari Kantor OC Kaligis & Assciates, Yenny
Octorina Misnan memberitahukan kepada Kaligis bahwa ada penerimaan uang sebesar 50
juta rupiah dan 30 ribu dolar Amerika yang diterima dari Evy Susanti yang merupakan istri
dari Gubernur Sumatera Utara.

Kaligis kemudian meminta Yenny untuk membungkusnya dalam lima amplop, tiga
amplop masing-masing berisi 3.000 dollar Amerika dan dua amplop berisikan 1.000 dollar
Amerika.

2 Juli 2015 – Tripeni tolak pemberian amplop, OC Kaligis minta uang


tambahan kepada Evy sebesar 25.000 dolar Amerika.

Kaligis bertemu dengan Tripeni, namun dia menolak pemberian amplop tersebut.
Kaligis lalu bertemu dengan Evy di Jakarta dan meminta uang tambahan dengan besaran
25.000 dolar Amerika untuk diberikan kepada tiga hakim.
5 Juli 2015 – Gary bertemu dengan Hakim Dermawan dan Hakim Amir
sembari menyerahkan amplop putih berisikan uang 5.000 dolar AS.

Kaligis, Gary dan Indah berangkat ke Medan dan menuju ke kantor PTUN Medan.
Kaligis dan Indah menunggu di mobil, sementara itu Gary masuk dan menyerahkan amplop
putih yang nilainya masing-masing 5.000 dolar Amerika kepada Hakim Dermawan dan
Hakim Amir.

8
Hukum pidana dengan asas legalitas
7 Juli 2015 – Majelis Hakim batalkan pemanggilan Fuad.

Majelis Hakim membatalkan pemanggilan Fuad dengan alasan bahwa itu adalah
penyalahgunaan wewenang. Selanjutnya, Gary menyerahkan uang sebesar 1.000 dolar
Amerika kepada Syamsir.
9 Juli 2015 – Gary menyerahkan amplop senilai 5.000 dolar Amerika, tapi
saat keluar kantor dia ditangkap penyidik KPK.

Kemudian, Gary menyerahkan uang dengan nilai 5.000 dolar Amerika. Sayangnya,
saat keluar dari kantor, penyidik KPK menangkap tiga hakim dan satu panitera tersebut.
KPK lalu mengembangkan kasus ini dan menetapkan Gatot dan Evy sebagai tersangka.

9
Hukum pidana dengan asas legalitas
BAB II
(PENUTUPAN)
II.A. Kesimpulan
Akhirnya kita mengetahui sebagian kecil dari kejadian –kejadian yang pernah ada
atau yang sedang terjadi,kasus pidana bukanlah hal baru, sudah ada sejak dulu dan
tersebar dimana-mana hanya saja susah untuk menghentikannya.Ini tugas dari kita
generasi baru untuk menjaga dunia dari tangan-tangan tidak bermoral dan juga dari
kepolisian harus lebih mempertegas tentang hukum yang berlaku.

II.B. Saran
Dari berbagai informasi yang telah kita dapatkan bahwa ketika ketika kita
mengetahui prihal kasus pidana kita dapat mengacu pada asas legalitas. Agar segala
perbuatan dapat dipertanggung jawabkan kembali lagi ke Asas legalitas (principle of
legality) biasa dikenal dalam bahasa Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine
praevia lege” (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Dan juga
mengacu kepada Pasal 1 Ayat 1 KUHP

10

10
Hukum pidana dengan asas legalitas
Daftar Pustaka
https://media.neliti.com/media/publications/163598-ID-none.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/43225-ID-implikasi-asas-legalitas-terhadap-
penegakan-hukum-dan-keadilan.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/30005-ID-konsekuensi-yang-timbul-dari-asas-
legalitas-dalam-hukum-pidana-materiil.pdf
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rizal/kronologi-kasus-oc-kaligis-versi-idntimes-dari-
awal-hingga-penangkapan-oleh-pihak-kpk/full

11

11
Hukum pidana dengan asas legalitas

Anda mungkin juga menyukai