Anda di halaman 1dari 194

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menentukan

secara tegas bahwa begara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan

ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya

jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before

the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan jaminan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang

sama di hadapan hukum.

Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada tanggal 31 Desember 1981.

Undang-undang ini disambut oleh segenap masyarakat bangsa Indonesia

dengan perasaan penuh suka cita dan penuh harapan akan terwujudnya

kepastian hukum dan tertib hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Hal

tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setelah membaca perumusan

pasal-pasal dalam KUHAP, warga masyarakat yang mencari keadilan

mengetahui bahwa secara tersirat maupun tersurat KUHAP telah mengatur

tentang pemberian perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang

lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana yang tercantum dalam


KUHAP bukan saja mengatur tentang tata cara yang wajib
dilaksanakan dan dipatuhi oleh aparat penegak hukum dalam upaya
menegakkan hukum dan keadilan, tetapi secara sekaligus diatur pula
mengenai prosedur dan persyaratan yang harus ditaati oleh aparat
1
penegak hukum dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan, tetapi
secara sekaligus diatur pula mengenai prosedur dan persyaratan yang
harus ditaati oleh aparat penegak hukum dalam upaya menjaga dan
melindungi Hak Asasi Manusia.1

Hukum dibuat, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan

tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tercipta ketertiban,

ketenagan, kedamaian dan kesejahteraan dalam masyarakat. Hukum selalu

hidup dan berkembang dalam masyarakat, baik masyarakat tradisional

maupun masyarakat modern yang hidup di perkotaan. Setiap pelanggaran

terhadap hukum akan dikenakan sanksi, sebagai bentuk sifat dari hukum yang

bersifat untuk memaksa. Proses penjatuahn sanksi tersebut dinamakan sebagai

penegak hukum (law enforcement). Penegakan hukum pada hakekatnya adalah

perlindungan kepentingan manusia, yang merupakan pedoman hidup tentang

bagaimana sepatutnya seseorang harus bertindak.2

Menurut friedman untuk memahami efektifitas atau tidaknya suatu


hukum yang hidup dalam masyarakat atau dengan kata lain ada
beberapa hal yang harus dipenuhi agar hukum tersebut bisa berlaku
secara efektif, hal ini sangat tergantung pada tiga komponen yaitu
Pertama. komponen struktur (Structure). Kedua, komponen substansi
(Substance). Ketiga. Komponen budaya hukum (Legal Culture).3

Masalah penengakan hukum merupakan suatu persoalan yang

dihadapi oleh setiap masyarakat. Karakteristik disetiap masyarakat masing-

masing memberikan berbagai ragam persoalan yang dihadapi khususnya

persoalan dalam penegakan hukum. Dalam kehidupan bermasyarakat

1
HMA Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum, (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 1
2
Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006),hlm. 225
3
Lawrence M. Friedman, Introduction to the America Law, (New York, W.W. Northon
& Company, 1984), hlm. 5
2
penegakan hukum mempunyai tujuan yang sama yaitu supaya di dalam

kehidupan masyarakat dapat tercapainya suatu rasa kedamaian sebagai efek

atau akibat dari penegakan hukum formil. Penegakan hukum pada prinsipnya

harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, dan diharapkan masyarakat

berpartisipasi dalam melakukan penegakan hukum yang berkeadilan.

Penegakan hukum yang berkeadilan adalah suatu bagian dari perjuangan

hidup dan sekaligus menggambarkan karakteristik masyarakat.

Perbuatan-perbuatan pidana pada sistem hukum pidana yaitu KUHP

dibagi dalam dua bagian yaitu kejahatan (Misdrisjen) dan pelanggaran

(Overtredingen). Pembagian ke dalam dua jenis ini tidak ditentukan demikian

dalam satu pasal KUHP akan tetapi akan tetapi sudah dianggap sedemikian

adanya, dan berlaku secara umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembagian

dua jenis perbuatan-perbuatan pidana sebagaimana yang disebutkan di atas

didasarkan atas perbedaan prinsipil, sebagaimana dinyatakan di bawah ini :

Kejahatan adalah “Rechsdelichten” yaitu suatu perbuatan meskipun


tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana,
telah dirasakan sebagai Onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan tata hukum. Sedangkan Pelanggaran adalah “Wetsdelichtern”
yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat
diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian.4

Setiap terjadinya tindak pidana yang menimbulkan kerugian dan

korban bagi pihak lain, maka terhadap pelaku tindak pidana akan dijatuhi

suatu hukuman sebagai sanksi hukum atau pertanggungjawaban terhadap

pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Dengan demikian tujuan

yang umum dari pembentukan hukum pidana adalah untuk memberikan sanksi
4
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 71
3
hukum dan sekaligus juga untuk menegakan hukum dan keadilan ditengah-

tengah masyarakat tanpa membedakan SARA (Suku, Agama, Ras atau

Golongan).

Salah satu ketegasan dan keadilan yang ditentukan dalam KUHP

adalah setiap perkara pidana hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu

kali saja atau dengan perkataan lain suatu perkara pidana yang telah

diputuskan oleh hakim tidak dapat diperiksa dan disidangkan kembali untuk

kedua kalinya.

Ketentuan tersebut dinyatakan secara tegas dalam pasal 76 ayat (1)

dan (2) KUHP dalam Bab VIII ini mengatur tentang gugurnya hak menuntut

hukuman dan gugurnya hukuman yang menyatakan : ayat (1) kecuali dalam

keputusan hakim masih boleh diubah lagi, maka orang tidak boleh dituntut

sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim

Negara Indonesia, dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi, yang

dimaksudkan disini dengan hakim Indonesia, adalah juga hakim dalam negeri

yang rajanya atau penduduk Indonesianya berhak memerintah sendiri.

Demikian juga dinegeri yang penduduknya Indonesia dibiarkan memakai

ketentuan pidana sendiri. Ayat (2) menyatakan : jika putusan tersebut berasal

dari hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu

oleh sebab perbuatan itu juga dalam hal :

1. Pembebasan

2. Lepas dari segala tuntutan

4
3. Putusan hukuman dan putusan hukumannya habis dijalankannya,

atau mendapat ampun atau hukuman itu gugur (tidak dapat

dijalankan lagi karena lewat waktunya)

Ketentuan hukum yang telah ditegaskan di atas dalam hukum pidana

disebut dengan “Asas Nebis In Idem” yang artinya : orang tidak boleh dituntut

sekali lagi dalam perkara yang sama lantaran peristiwa tersebut telah diputus

oleh hakim.5 Berlakunya dasar hukum “Nebis In Idem” itu tergantung kepada

beberapa hal, bahwa terhadap seseorang itu juga mengenai peristiwa tertentu

telah diambil keputusan oleh hakim dengan vonis yang tidak diubah lagi,

dimana putusan tersebut berisikan :

a. Penjatuhan hukuman (Veroordering). Dalam hal ini oleh hakim

diputuskan, bahwa terdakwa terang salah telah melakukan

peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya; atau

b. Pembebasan dari penuntutan hukum (Onstlag van

rechtsvervolging). Dalam hal ini hakim memutuskan, bahwa

peristiwa yang dituduhkan kepada terdakwa itu dibuktikan dengan

cukup terang, akan tetapi peristiwa yang diajukan bukan peristiwa

pidana, atau terdakwa tidak dapat dihukum karena salah dalam

menerapkan hukum dalam surat dakwaan atau karena tidak dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatan itu; atau

5
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, 1980), hlm. 90
5
c. Putusan bebas (Vrijspraak). Putusan ini berarti, bahwa kesalahan

terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup

buktinya.

Bila sudah ada keputusan hakim yang semacam itu, orang tidak dapat

dituntut untuk kedua kalinya terhadap peristiwa itu juga, tetapi ini tidak berarti

bahwa vonis itu tidak bisa diperbaiki lagi, akan tetapi upaya hukum dapat

dilakukan pada tinggat banding dan seterusnya. Permasalahan pidana dapat

menimpa kepada siapapun tanpa terkecuali termasuk seseorang yang bergerak

dibidang hukum dan memiliki jabatan yang tinggi bisa terlibat dalam perkara

pidana termasuk seorang Notaris yang berfrofesi pada bidang perdata bisa

terlibat dalam perkara pidana.

Notaris merupakan seorang pejabat umum yang diangkat oleh

pemerintah atas dasar hukum yang bertujuan untuk membantu masyarakat

dalam membuat suatu perjanjian-perjanjian dan perbuatan hukum lainnya

yang diperlukan oleh masyarakat. Dalam membuat suatu perjanjian-perjanjian

tertulis yang dibuat dihadapan notaris memiliki suatu arti yang sangat penting

yaitu untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum dan dapat digunakan

sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya.

Kebutuhan akan pembuktian tertulis ini yang menghendaki pentingnya

lembaga notaris ini.6

Seorang notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum

memiliki harkat dan martabat. oleh karena itu, dalam menjalankan jabatannya

6
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indoensia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
1993), hlm. 1-4
6
harus bertidak amanah, jujur, seksama, mandiri tanpa berpihak, dan menjaga

kepentingan para pihak yang terlibat dalam akta.7

Notaris dalam menjalankan jabatannya harus dan sangat berhati-hati,

karena dalam menjalankan jabatannya walaupun hanya sedikit niat jahat yang

ada dalam diri notaris maka notaris tersebut dapat mendapatkan hukuma atau

sanksi. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang selanjutnya disebut

UUJN secara khusus ketika seorang notaris terbukti melakukan pelanggaran

dalam menjalankan jabatannya, maka hanya dikenai pertanggungjawaban

secara perdata, administratif dan kode etik jabatan notaris.8 UUJN tidak

mengatur pertanggungajawaban pidana terhadap notaris dalam rangka

menjalankan jabatannya. Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana terhadap

notaris dalam menjalankan jabatannya harus dilihat ada atau tidaknya unsur

perbuatan pidana atau tindak pidana.

Berikut ini ada beberapa kasus yang pernah terjadi yang menjadi

tersangkanya adalah seorang notaris dan telah mendapat putusan pidana dari

Pengadilan Negeri Sleman sebaganyak dua kali putusan walaupun pokok

perkaranya berbeda namun yang mendapat tuntutan adalah orang yang sama,

yang termuat dalam tabel berikut ini :

Tabel I

PUTUSAN NOMOR
66/Pid.B/2012/PN.Slmn
Dasar Hukum Amar Putusan Sanksi
Pasal 264 ayat (2) dan 1. Menerima keberatan Bebas
Pasal 263 ayat (2)
7
Seodharyo Soimin, Kitab Undang-undang hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), hlm. 463.
8
Lihat pasal 16 dan 17 Nomor 02 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris
7
KUHP dari Penasihat Hukum
Terdakwa;
2. Menyatakan Penuntutan
Umum tidak dapat
diterima
3. Memulihkan hak
terdakwa dalam
kemampuan, kedudukan
dan harkat serta
martabatnya;
4. Memerintahkan barang
bukti yang diajukan
dalam perkara ini
sebanyak (14 macam)
dikembalikan pada saksi
Ir. Gregorius Daryanto;
5. Membebankan biaya
perkara kepada Negara.

PUTUSAN NOMOR
67/Pid.B/2012/PN.Slmn

Dasar Hukum Amar Putusan Sanksi


melanggar pasal 263 ayat 1. Menyatakan terdakwa pidana penjara selama
(1) KUHP dan kedua pasal Ny. Endang Murniati, 1 (satu) tahun dan 9
264 ayat (1) ke 1 KUHP
SH; terbukti secara sah (sembilan) bulan
dan menyakinkan
bersalah melakukan
tindak pidana
“PEMALSUAN
SURAT BERUPA
AKTA OTENTIK”;
2. Menjatuhkan pidana
kepada terdakwa Ny.
Endang Murniati, SH,
oleh karena itu dengan
pidana penjara selama
1 (satu) tahun dan 9
(sembilan) bulan;
3. Menetapkan masa
penangkapan dan
penahanan yang telah
dijalani oleh terdakwa
8
dikurangkan
seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan barang
bukti yang diajukan
dalam perkara ini
sebanyak (26 macam)
dikembalikan kepada
Penuntut Umum untuk
dijadikan barang bukti
dalam perkara lain;
5. Membebankan biaya
perkara kepada
terdakwa.

Berdasarkan pada tabel di atas penulis akan menguraikan terkait

permasalahan hukum yang pernah terjadi. Dalam Putusan Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn jo. 2179/K/Pid/2009, terdakwanya terdiri dari dua

orang yaitu Ny. Endang Murniati dan Ny. Mawar Muria Rini sementara pihak

pelapornya adalah Gregorius Daryanto sebagai pihak yang merasa dirugikan

oleh kedua terdakwa tersebut, akan tetapi dalam perkara tersebut hakim

mengadili dan menyatakan bahwa Perbuatan para terdakwa terbukti tetapi

bukan merupakan perbuatan pidana sehingga terdakwa dilepaskan dari segala

tuntutan, hal ini karena kurang tepatnya penerapan pasal yang didakwakan

kepada para terdakwa sehingga dinyatakan lepas dari segala tuntutan (Onslag

van rechtsvervolging).

Merasa tidak puas dengan putusan hakim tersebut maka pelapor

tersebut mengajukan tuntutan kembali kepada kedua terdakwa tersebut dengan

cara splitsing. Pertama dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slmn, yang

menjadi terdakwanya adalah Ny. Mawar Muria Rini namun dalam putusan ini
9
hakim memutuskan untuk tidak dapat menerima tuntutan terdakwa. Hal ini,

karena Ny. Mawar Muria Rini sudah pernah diputus dan mendapat kekuatan

hukum tetap sehingga tidak bisa dituntut untuk kedua kalinya dengan kata lain

para pelapor atau penuntut umum melawan hukum atau bertentangan dengan

“asas Nebis In Idem” sehingga Ny. Mawar Muria Rini secara otomatis bebas

dan tidak dikenakan sanksi pidana. Kedua dalam Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN. Slmn yang menjadi terdakwanya adalah Notaris Endang

Murniati, Putusan tersebut tidak dapat dilanjutkan karena penasehat hukum

dari terdakwa mengajukan eksepsi melalui Putusan Sela, yang lebih menarik

bahwa Putusan Sela tersebut berlanjut hingga pada Putusan Kasasi namun dari

hasil Putusan Sela tersebut menyatakan bahwa Memerintah kepada Majelis

Hakim Pengadilan Negeri Sleman yang memeriksa dan mengadili perkara

pidana Nomor : 67/Pid.B/2012/PN. Slmn. Untuk pemeriksaan sidang hinga

menjatuhkan putusan akhir. Dalam Putusan Nomor : 67/Pid.B/2012/PN. Slmn

hakim menyatakan bahwa terdakwa Notaris Endang Murniati Terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat

berupa akta otentik dan Menjatuhkan pidana dengan pidana.

Terdakwa Notaris Endang Murniati berserta penasehat hukumnya

mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Yogyakarta dalam Putusan

Perkara Nomor : 84/PID/2014/PT. YYK, dalam putusan tersebut Pengadilan

Tinggi Yogyakarta menjatuhkan putusan untuk menolak memori banding

terdakwa dan menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan

menyakinkan terdakwa bersalah memalsukan surat otentik.

10
Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di

dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin

ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan

adanya kecakapan teknik membuatnya.9 Oleh karena itu hakim tidak berarti

dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung

jawabkan putusannya.

Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana,


seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan
pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi
terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca
motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk
menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.10

Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara

pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan

demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah

pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang

melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.

Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor : 66/Pid.B/2012/PN.Slmn

dan Putusan Nomor : 67/Pid.B/2012/PN. Slmn dengan terdakwa Ny. Mawar

Muria Rini dan terdakwa Notaris Endang Murniati merupakan fokus kajian

dalam penelitian ini. Karena penulis melihat ada permasalahan hukum dan

terdapat perbedaan yang signifikan yaitu pertama hakim menyatakan bebas

atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima artinya bahwa terdakwa Ny.

9
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum
Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 94
10
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu
Masalah Perkara Pidana, (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 50
11
Mawar Muria Rini tidak dapat dipidana. Dalam putusan tersebut hakim tidak

memenuhi Pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP.11 Sedangkan yang kedua dalam

Putusan Nomor : 67/Pid.B/2012/PN. Slmn, hakim jatuhkan sanksi pidana

kepada Notaris Endang Murniati yaitu pidana penjara 1 (satu) tahun 9

(sembilan) bulan, disini penulis meilhat dan menilai bahwa kedua putusan

tersebut terdapat perbedaan yang sangat signifikan serta menimbulkan suatu

permasalahan hukum yaitu kekaburan makna dalam putusan hakim karena

tidak memenuhi Pasal 188 ayat (3)KUHAP12, karena bila dicermati lebih

dalam kedua terdakwa sama-sama pernah mendapatkan putusan yaitu lepas

dari segala tuntutan kemudian pelapor mengajukan tuntutan Ny. Mawar Muria

Rini diputus bebas sementara Notaris Notaris Endang Murniati dipidana, pada

hal para terdakwa sama-sama melakukan suatu tindak pidana pemalsuan akta

otentik. Seorang hakim dalam mejalankankan jabatannya tidak boleh memihak

kepada siapapun tetapi dari kedua putusan tersebut hakim tidak memenuhi

rasa keadilan karena salah satu terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan

sehingga penulis melihat bahwa putusan hakim melanggar pasal 4 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.13

Perlunya kehati-hatian bagi hakim dalam memutus suatu perkara, hal

ini sangat penting karena sebagai aparat penegak hukum yang sangat mulia

bertindak sebagai wakil Tuhan untuk memutus suatu perkara yang seadil-

11
Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum,
dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan
12
) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya
13
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
12
adilnya supaya dalam memutus suatu perkara hakim tidak menimbulkan

kekeliruan. Tetapi hal ini berbeda dengan kenyataan yang ada bahwa hakim

sudah keliru dalam memutuskan suatu perkara.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan

membahas dan menganalisa permasalahan yang terkait dengan judul :

“KEKELIRUAN KONTRUKSI HUKUM DALAM PUTUSAN NOMOR

66/Pid.B/2012/PN.Slm Jo PUTUSAN NOMOR 67/Pid.B/2012/PN.Slm”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Kontruksi Hukum dalam Pertimbangan Hukum Putusan

Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN.Slm?

2. Bagaimana Kepastian Hukum Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan

Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.Slm?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan

yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk menganilisis Kontruksi Hukum dalam Pertimbangan Hukum

Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN.Slm

13
2. Untuk mengetahui dan menganalisis Kepastian Hukum Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN.Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.Slm.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam hasil penelitian ini sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

memberikan kontribusi dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan

di bidang hukum. Hasil penelitian dapat bermanfaat bagi perkembangan

pengetahuan mengenai Kontruksi Hukum dan kepastian hukum dalam

Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan PUTUSAN NOMOR

67/Pid.B/2012/PN.Slm.

2. Manfaat Praktis

Selain manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki manfaat

praktis. Adapun penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada :

1) Bagi Hakim,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat

berharga bagi Hakim sebagai pejabat Negara yaitu aparat hukum

dalam memutus suatu perkara untuk bertindak lebih profesional di

bidangnya.

2) Bagi Masyarakat,

hasil penelitian tesis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

pada masyarakat tentang pentingnya untuk memahami terkait

14
kontruksi hukum dalam pertimbangan hakim supaya tidak keliru

dalam memberikan putusan atas perkara yang dihadapi.

3) Bagi Peneliti :

Dapat memberikan sumbangan pemikiran juga bagi peneliti sendiri

supaya dapat memahami lebih dalam tentang kekeliruan hakim dalam

memutus suatu perkara, karena peran hakim sangat penting apabila

hakim tidak memiliki profesionalitas yang tinggi maka hal ini akan

merusak norma-norma hukum yang ada, sehingga penulis dapat

memahami dan mengerti sebagai ilmu pengetahuna.

15
BAB II

KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Pembuktian

Sejumlah teori, prinsip atau azas-azas hukum perlu dijelaskan

sebagai landasan berpijak dalam membahas permasalahan penelitian ini.

Adapun Teori, prinsip atau asas hukum yang akan duganakan untuk

menganalisis permasalahan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

Rangkaian dalam suatu peradilan khususnya peradilan pidana salah

satu kunci yang memegang peranan penting adalah pembuktian karena pada

tahap ini lah ditentukannya seseorang dapat dihukum atau tidak atas

perbuatan yang dilakukannya. Secara umum pembuktian berasal dari kata

”bukti” yang memiliki arti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup

untuk memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian

dari perspektif yuridis menurut M. Yahya Harahap adalah :

Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang


cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat- alat bukti yang dibenarkan dalam
undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh
digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.
Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa.14

Pada dasarnya pembuktian ini mulai dilakukan pada tahap

penyelidikan suatu perkara pidana. Dimana dalam tahap penyelidikan

dilakukan tindakan yang bertujuan untuk menemukan suatu peristiwa yang

14
M. Yahya Harahap, Pembahasan,Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, h. 252
16
patut diduga sebagai suatu tindak pidana yang selanjutnya dijadikan

landasan untuk memutuskan dapat atau tidak dapat dilakukan kepada tahap

selanjutnya yaitu tahap penyidikan.pad tahap penyidikan pun pembuktian ini

memiliki peranan yang penting, dimana dalam penyidikan penyidik

melakukan tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti tersebut dapat memperjelas tindak pidana yang terjadi dan selanjutnya

akan dipergunakan juga untuk menemukan tersangkanya.

Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha membyktikan

sesuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh

dipergunakan dengan cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang

dibuktikan itu sebagai terbukti ataukah tidak menurut undang-undang.15

Menurut Adami Chazawi bahwa sebagai kodifikasi hukum acara pidana,

hukum pembuktian umu terdapat didalam Kitab Undang- Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) terutama:

a. Mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan untuk


membuktikan, dalam pasa 184 KUHAP yaitu;
(1). Alat-alat bukti yang sah ialah :
a.. Keterangan sakti;
b. Keterangan ahli;
c. Surat
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
(2). Hal secara umum yang sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.
b. Mengenai kedudukan, fungsi pihak jaksa penuntut umum,
penasihat hukum, dan hakim yang terlibat dalam kegiatan
pembuktian;
c. Mengenai nilai atau kekuatan alat bukti dalam pembuktian dan
cara-cara menilainya tersebut (pasal 184-189 KUHAP) yaitu;
d. Mengenai cara bagaimana membuktikan dengan menggunakan
15
A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindka Pidana Korupsi Dalam
RangkaPengembalian Kerugian Keuangan Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2009, h. 120.
17
alat-alat bukti tersebut (Pasal 159-181 KUHAP);
e. Mengenai standart minimal pembuktian sebagai kriteria yang
harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan pembuktian tentang
terbukti ataukah tidak hal apa (objek) yang dibuktikan (Pasal 183
KUHAP)
f. Mengenai syarat subjektif (keyakinan) hakim dalam hubungannya
dengan standart minimal pembuktian dalam hal hakim menarik
amar putusan akhir (Pasal 183 KUHAP).
Sehingga pemeriksaan perkara pidana didasarkan pada sistem
pembuktian menurut undang-undnag secara negatif, sebagaimana
yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP, bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.16

Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat

bukti dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan diperlukan beberapa

syarat-syarat sebaga berikut:

a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebaga alat


bukti;
b. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya
(misalnya: tidak palsu);
c. Neccesity, yakni alat bukti tersebut memeang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta;
d. Relevance, yakni alat bukti tersebut memiliki relevansi dengan
fakta yang akan dibuktikan.17

Hakim dalam menerapkan pembuktian atau hukum pembuktian di

dalam suatu persidangan bertitik tolak pada sistem pembuktian yang

bertujuan untuk mengetahui letak suatu hasil pembuktian dan memasukannya

kedalam unsur suatu perkara yang ditangani. Secara teoritis guna penerapan

sistem pembuktian, pada asasnya dikenal empat teori tantang sistem

16
Ibid
17
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana Dan Perdata), Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, h. 4
18
pembuktian, yaitu sebagai berikut :

1) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief

Wettlijke Bewijs Theorie)

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini tidak ikut

berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Untuk menentukan salah

tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti dalam

undang-undang. Tidak perlu ada keyakinan hakim terhadap kesalahan

terdakwa, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat

bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan

keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.

Menurut teori ini, sistem pembuktian bergantung kepada alat-alat


bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang.
Undang-undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti
mana yang dapat dipakai oleh hakim, cara bagaimana hakim
harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan
bagaiamana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya
perkara yang sedang diadili.18

Dalam sistem ini hakim sebagai corong undang-undang (speaker

of law) dan bukan corong keadilan (speaker of justice). Hakim wajib

mencari dan kebenaran salah tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara

pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang.

Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip penghukuman

berdasarkan hukum. artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang,

18
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, h. 243
19
semata-mata tidak diletakan dibawah kewenangan hakim. Tetapi di atas

kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa

baru dapat dihukum dapat dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya

benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang. Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan

kepercayaan kepada ketetapan kesan perseorangan hakim yang

bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa putusan harus

didasarkan atas kebenaran.

2) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Semata (Conviction

In Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terhadap

perbuatan terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung

pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata jadi bersalah tidaknya

terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada

keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan

pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim

tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun

alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat

dinyatakan bersalah, akibatnya dalam memutuskan perkara hakim

menjadi subyektif sekali.

Suatu sistem pembuktian yang menentukan, salah tidaknya

seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan

hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan

20
terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,

tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti itu diabaikan hakim, dan langsung

menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini

sudah barang tentu mengandung kelemahan.

Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada saat seorang

terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh

alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa

dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah

cukup bukti dengan alat-aalt bukti yang lengkap, selama hakim tidak

yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini menyerahkan sepenuhnya

kesalahan terdakwa terbukti apa tidak mutlak kepada hakim. Keyakinan

hakim merupakan penentuan kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.

Sistem pembuktian ini lebih menekankan kepada keyakinan


hakim dalam menjatuhkan pidana. Lebih lanjut sistem
pembuktian ini dibagi menjadi dua bentuk polarisasi yaitu yang
pertama Conviction Intime dimana dalam bentuk ini kesalahan
terdakwa bergantung kepada keyakinan hakim belaka, sehingga
hakim tidak terikat oleh suatu peraturan.19

Dalam sistem pembuktian pada keyakinan hakim semata ini/

Conviction Intime, hakim memiliki peranan yang sangat penting terutama

pada keyakinananya walaupun alat bukti begitu lengkap tetapi hakim tidak

memiliki keyakinan yang penuh maka terdakwa tidak dapat dipidanakan.

Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak


memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan
19
Ibid
21
perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal
ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak
mengakibatkan putusan bebas yang aneh.20

Penulis sependapat terahadap kutipan tersebut yang dikemukakan

oleh Andi Hamzah, khususnya terhadap kelemahan dalam teori ini yaitu

Dalam sistem pembuktian ini hakim memiliki peranan yang sangat besar

dimana apabila hakim memiliki keyakinan bahwa terdakwa benar

melakukan suatu tindak pdana maka terdakwa dapat dihukum begitupun

sebaliknya. Dapat dikatakn pula dalam sistem ini pemidanaan

dimungkinkan tanpa berdasarkan pada alat bukti yang ditentukan dalam

undang- undang.

3) Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif

(Negative Wettelijke Bewijs Theorie)

Menurut sistem pembuktian ini, hakim tidak terikat pada alat-alat

bukti yang sah. Pokoknya asal saja ada keyakinan pada hakim tentang

kesalahan tertuduh yang didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti

dan yang dibenarkan oleh pengalaman. Jadi walaupun tidak cukup bukti,

asal hakim yakin, maka hakim dapat menjalankan dan menghukum

seorang terdakwa. Sistem ini banyak kelemahannya, antaranya hakim

dapat bertindak sewenang-wenang berdasarkan perasaannya saja. Hal ini

sangat subjektif dan sangat rentan terjadinya permainan dan mudahnya

hakim dipengaruhi oleh kekuatan supra pengadilan, yang dalam praktek


20
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghana Indonesia, Jakarta,
1985, h.241.
22
keadaan ini mendorong lahirnya mafia pengadilan.

Berdasarkan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana


apabila sedikit- dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan
undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang
didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP
menyatakan sebagai berikut : "hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.21

Teori ini dianut dalam HIR, sebagai ternyata dalam pasal 294

HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah :

a. Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu didasarkan


kepada;
b. Alat-alat bukti yang sah.

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat

disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut

undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian

harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung

oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang- undang (minimal dua

alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada

atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.

Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat


disebut dengan negative wettelijk istilah ini berarti : wettelijk
berdasarkan undang-undang sedangkan negatif, maksudnya
adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti
sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh
menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang

21
D. Simsons Dalam Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Dalam Praktek, Djambatan,
Jakarta, 1998, h. 95
23
kesalahan terdakwa.22

Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatief

di tentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara

mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-undang.

Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga

dengan sistem undang-undang secara negatif sebagai intinya yang

dirumuskan dalam Pasal 183, dapat disimpulkan sebagai berikut :

a) Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana,


yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan
pidana;
b) Standar tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.23

Kelebihan sistem pembuktian negatif (negative wettelijk) adalah


dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang
ditentukan oleh undang-undang, tetapi harus disertai pula
keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Keyakinan yang dibentuk ini harus berdasarkan atas fakta-fakta
yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-
undang sehingga dalam pembuktian benar-benar. mencari
kebenaran yang hakiki, jadi sangat sedikit kemungkinan
terjadinya salah putusan atau penerapan hukum yang digunakan.24

Kekurangan teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana

apabila sedikit- dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-

undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari

adanya alat-alat bukti itu sehingga akan memperlambat waktu dalam


22
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006, hlm. 319
23
Ibid
24
Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13
tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Elsam Jakarta, 2006, h. 3.
24
membuktikan bahkan memutuskan suatu perkara, karena di lain pihak

pembuktian harus melalui penelitian. Tetapi dengan mencari kebenaran

melalui penelitian tersebut, maka kebenaran yang terungkap benar-benar

dapat dipertanggung jawabkan dan merupakan kebenaran yang hakiki.

4) Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang

Logis (Conviction In Raisone).

Sistem pembuktian ini agak mirip dengna sistem pembuktian

menurut Undang-undang secara negatif. Persamaannya adalah dalam hal

hakim harus diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa

perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi bahwa

keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang berdasarkan atas

suatu rangkaian bauh pikiran (logika). Perbedaannya, pada teori

pembuktian menurut undang-undang secara negatif menghendaki alasan-

alasan yang disebutkan oleh undang-undang, sebagai alat bukti. Tidak

memperbolehkan menggunakan alat bukti lain yang tidak disebutkan

dalam undang-undang dan tentang cara mempergunakan alat bukti, hakim

terikat kepada ketentuan undang-undang.

Pada sistem negatif alat-alat bukti sudah ditentukan oelh undang-

undang. Hal ini berarti hakim mesti menjatuhkan pidana. Ini tergantung

pada keyakinan hakim atas kebenaran. Pada sistem atas alasan logis,

hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan untuk megnambil

keputusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat bukti dalam undang-

undang, melainkan hakim leluasa untuk memakai alat-alat bukti lain asal

25
saja semua dengan dasar alasan yang tepat menurut logika.

Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga

mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya

alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini

harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh

akal pikiran yang sehat.

Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena


memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah
ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan
alat- alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Hal yang perlu
mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut
harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan
hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus
dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu
sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata
berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini
sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.25

Untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada

keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat-alat

bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan suatu perbuatan yang

terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Sistem ini

jauh lebih baik dari pada kedua sistim diatas, sebab sistem ini merupakan

gabungan dan kompromi dari sistem negativ dan sistem posistif.

Sistem ini dianut dalam hukum acara sebagaimana dalam RIB,

yakni jika ditarik dari kesimpulan ketentuan pasal 294 RIB yang berbunyi

sebagai berikut :

25
Munir Fuady, Op.cit, h. 56
26
a) Tidak seorangpun yang boleh dikenakan hukuman, selain jika
hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah,
bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan
bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang
perbuatan itu.
b) Atas sangka saja atau keterangan yang tidak cukup, tidak
seorangpun yang boleh dihukum.

Sistem tersebut dianut dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 6 ayat (2) yang menentukan

sebagai berikut :

tidak seorangpun yang dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila


pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-
undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap
dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang
didakwakan atas dirinya.

Berdasarkan isi dari pasal tersebut sudah memberikan urain yang

sangat jelas bahwa seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana setiap

perbautan yang dilakukan harus memenuhi alata-alat bukti dan ditambah

dengan keyakinan hakim artinya adanya keseimbangan antara alat-alat

bukti yang diajukan dengan keyakinan hakim.

2.2 Teori Keadilan

Dalam sebuah perangkat peraturan perundang-undangan yang

bertujuan Menghasilkan suatu putusan yang baik, harus memiliki prinsip-

prinsip tujuan hokum yang menjadi alas dasar dari sebuah pertimbangan

putusan. Ini sejalan dengan pendapat dari ;

“Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian


hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar
hukum”.26 Di antara ketiga asas tersebut tersebut sulit untuk
26
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and
27
ditegakkan secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang satu,
harus mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Pendapat Gustav
Radbruch sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bismar Siregar
yang menyatakan: untuk menegakkan keadilan, saya korbankan
kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, karena hukum
hanyalah sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan.27

Sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana

Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged

as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,”

dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function

of law, general or specific, is allocative”.28 Keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum.

Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali

mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan.

“Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus


mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah
hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara
tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya,
dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya
“adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan
kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.29
Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan.30

“Bahwa kita harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas


pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir
kepastian hukum”. Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya
pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya:

Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, h. 107. Lihat
juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, h. 95.
27
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,1996, h. 154.
28
Peter Mahmud Marzuki, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”,
dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, h. 28.
29
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, h. 95-96
30
Ibid., h. 96.
28
Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi

tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan

Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah

terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih

realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis

maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang

kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada

kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.

Keadilan menurut Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan


dengan hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat
kebajikan, atau dengan kata lain keadilan merupakan kebajikan yang
utama. Aristoteles menyatakan: justice consists intreating equals
equally and unequals unequally, in proportion to their inequality.31

Prinsip ini beranjak dari asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara

sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional.

Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu:

Pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan oleh

pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi

anggota- anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional.

Kedua, keadilan korektif yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan

memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan illegal.

Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan


menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik
korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya
yang hilang.32
31
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 36.
32
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press,
29
Selanjutnya di kemukakan oleh Thomas Aquinas adalah:

Keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap


person manusia (acceptio personarum) dan keluhurannya (dignitas).
Dalam kontek keadilan distributive, keadilan dan kepatutan (equitas)
tidak tercapai semata- mata dengan penetapan nilai yang aktual,
melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang
lainnya (acqualitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu: 1)
kesamaan proporsional (acqualitas proportionis); dan 2) kesamaan
kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).33
John Rawls berpendapat: Keadilan sebagai fairness yang subjek
utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara
lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban
fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama
sosial.34

Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk

memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur

hak), sedangkan disisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus

memberikan manfaat kepada setiap individu.

Keadilan itu sesungguhnya berhubungan dengan hati nurani,

bukan hanya sekedar definisi dan juga bukan soal formal-formalan. Ia

berhubungan erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia.

sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch : “Summum

ius summa inuiria”, bahwa keadilan teringgi itu adalah hati nurani.35

Hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun memiliki keyakinan

hakim atau hati nurani namun keyakinan hakim tersebut harus bersifat arif

Yogyakarta,2006, h. 47
33
E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Kanisius, Yogyakarta, 2002, h. 90-91.
34
John Rawls, A Theory Of Justice; Teori Keadilan, Pustaka Belajar, Tanpa Tahun, h. 7
35
Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan
Hukum di Indonesia, Galang Press, Yogyakarta, 2007, h. 25.
30
dan bijaksana. Ketika alat-alat bukti sudah memenuhi seabgai pelaku tindak

pidana maka hakim dalam pertimbangan hukumnya harus memberikan sanksi

pidana, tidak semata-mata di tolak tuntutan yang diberikan oleh jaksa

sebagaiman Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm hakim menolak putusan

tersebut artinya hakim hanya mengutamakan hari nuraninya. Untuk

menegakan keadilan hakim harus memperhatikan keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum.

Pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan,

apalagi yang telah dilakukan sebagai yurisprudensi tetap, adalah jawaban

terhadap ketidak berhasilan pembuat undang-undang, apa lagi dikaitkan

dengan tuntutan keadilan yang seharusnya tercermin dari naskah undang-

undang.

Aspek keadilan menurut Sabini yang dikutip oleh Yasti Probowati

Rahayu, penerapan keadilan meliputi dua hal yaitu, keadilan substansial dan

keadilan prosedural. Maka untuk melihat sudahkan Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm, diputus

oleh Majelis Hakim yang bertugas secara adil, maka sesungguhnya bisa

dilihat dari keadilan substansial, misalnya dengan meninjau kembali

sudahkah hakim dalam amar putusannya menerapkan aturan atau norma

tertulis yang diatur oleh peraturan perundang-undangan terkait, yaitu baik

dalam hal menilai apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memang

telah benar-benar memenuhi unsur-unsur yang didalihkan dalam pasal yang

31
ditunjuk, ataukah dalam hal hakim menjatuhkan sanksi sudah sesuai dengan

apa yang diatur dalam ketentuan pasal yang dimaksud.

Keputusan hakim yang membuktikan dakwaan jaksa secara utuh

adalah wujud konkrit tidak adailnya putusan hakim tersebut. Khusunya dalam

Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm. Menurut hakim perbuatan terdakwa

yang dituntut oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan sudah pernah

pernah diputus menjadi lepas dari segala tuntutan dalam Putusan Nomor 576/

Pid.B/2008/PN. Karena sesungguhnya perbuatan yang di dalilkan yaitu pasal

55 jo 278 KUHP, terbukti tetapi salah dalam penerapan pasalnya Slm, namun

jaksa melakukan penuntutan untuk kedua kalinya dengan penuntutan pasal

263 ayat (2), ketika dicermati lebih dalam dasar pertimbangan hakim yaitu

pasal 76 KUHP, tuntutan yang dikenakan terhadap terdakwa berbeda dalam

putusan sebelumnya. Sehingga pertimbangan hakim dalam hal ini keliru dan

tidak memenuhi rasa keadilan. Karena dalam Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa secara

substansi memenuhi unsur-unsur tindak pidana, hakim seharusnya

menjalankan tugasnya untuk memeriksa, memutus dan mengadili putusan

tersebut memperhatikan secara cermat dakwaan yang didakwa oleh jaksa

penuntut umum.

Bukti lain putusan hakim tidak adil adalah karena ketentaun

mengenai pasal tidak dijadikan pertimbanganmenjatuhkan pidana, padahal

seharunya menjadi dasar hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana

penjara dan denda kepada terdakwa, karena perbuatan terdakwa termasuk

32
dalam tindakan penyertaan sebagaimana ketentuan pasal 55 KUHP.36 Serta

melanggar pasal 263 ayat (2)KUHP.37 Maka sesungguhnya sudah jelas sifat

melawan hukumnya terdakwa. Namun hakim tetapi tidak membuktikan unsur

tindak pidana dan unsur kesalahan terdakwa yang ada dalam dakwaan jaksa.

Berbeda dengan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Hakim

memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut hingga dasar

pertimbangan hakim sudah sesuai dan memenuhi rasa keadilan. Padahal

terdakwa sebelumnya sudah pernah diadili dalam Putusan Nomor 576/

Pid.B/2008/PN, dalam amar putusan menyatakan lepas dari segala tuntutan,

seharusnya pertimbangan hakim adalah sama dengan Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm yaitu memenuhi pasal 76 JUHP. Tetapi dalam

kenyataannya hakim hanya menjatuhkan saknsi pidana kepada terdakwa

dalam Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm sementara terdakwa dalam

Putusan Nomor. 66/Pid.B/2012/PN. Slm hakim tidak memberikan sanksi

pidana tetapi membebaskan terdakwa. Padahal terdakwa melakukan tindak

pidana pemalsuan secara bersama-sama.

Dalam hal ini, menurut Satjipto Rahardjo38,

36
Pasal 55 KUHP yaitu (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. Mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 2. mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2). Terhadap
penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-
akibatnya.
37
Pasal 263 ayat (2) : Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian
38
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman, Bandung, Penerbit Alumni, 1989
33
hakim yang tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau
melanggar hukum, yang salah satunya kesalahan atau kekeliruan
menerapkan hukum, dengan bentuk yaitu, pertama kesengajaan
sebagai cara menyembunyikan keberpihakan, kedua kelalaian atau
kurang cermat adalah hakim yang tidak baik. Jika ringannya putusan
hakim merupakan kesengajaan hakim atau kelalaian hakim dalam
menerapkan hukum, maka hakim yang demikian bisa dikategorikan
tidak jujur. Hukum yang sesungguhnya melindungi kepentingan
seseorang hak tidak hanya dilindungi oleh hukum, tetapi juga adanya
pengakuan terhadapnya dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan
tersebut, menjadi tidak berdaya.

Hakim telah melanggar kewajibannya, karena kalau ia melanggar


kewajibannya, maka ia memperkosa hak seseorang, karena hak mengandung
perlindungan kepentingan dan kehendak. Lebih jauh Salmond,39

Mengatakan, hak mempunyai mengandung ciri kemerdekaan,

kekuasaan dan imunitas. Sedangkan menurut fitzgerald, ciri melekat pada

hukum salah satunya adalah hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan

pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang

disebut dengan isi dari hak.

Sedangkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.40

“hakim dalam bertindak dan berbuat wajib tidak membeda bedakan


siapapun yang terlibat dalam hukum”.

2.3 Teori Kepastian Hukum

Sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu

hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa
39
Lihat Huijeber, T. Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Dalam Rahayu. 1995,
Ibid hal 154
40 ?
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
34
nilai kepastian akan kehilangan kati diri serta maknanya, karena tidak lagi

dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang.

Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum.

Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan

mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai

pemisahan kekuasaan.

Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam

hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari

keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam

melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat.

“Kepastian memiliki arti “ketentuan, ketetapan”, sedangkan jika kata


kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian
hukum, memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu
menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.41

Pada tahun 1748 Moentesquieu menulis buku De iesprit des lois


(The Spirit of Laws) sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan
kaum monarki, karena kepala kerajaan amat menentukan sistem
hukum peradilan pada saat itu secara nyata menjadi pelayanan
monarki.42

Pada tahun 1764 seorang pemikir hukum Italia yang bernama Gesare

Beccaria menulis buku berjudul De delliti e delle pene, yang menerapkan

gagasan Moentesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya, seorang dapat

dihukum jika tindakan itu telah diputuskan oleh legislative sebelumnya,

dan oleh sebab itu eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila

41
Anton M. Moeliono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, jakarta, Balai Pustaka, 2008,
hl. 1028
42
E. Utrecht dan Moh. Saleh J. Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru
dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 388.
35
terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak

legislative.

Gagasan ini kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen sine legi,
yang tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga
terhadap kesewenang-wenangan negara.43

Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers:

Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga


aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada
pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah
keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan
hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua
ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi
hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau
legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai peraturan yang harus ditaati.44

Selanjutnya Peter Mahmud Marzuki juga memberikan pendapatnya

mengani kepastian hukum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

“Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu


pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,
dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian
hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang,
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara
putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus
serupa yang telah diputus”.45

“Mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,

43
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, h. 93.
44
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas,
Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 163.
45
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2013, hal. 158.
36
dan yang kedua adalah berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu,
kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-
undang melainkan juga adanya konsistensi dalam penerapannya.46

Dengan demikian bahwa dalam kepastian hukum tidak hanya

mengenai konsistensensi aturan-aturan atau pasal-pasalnya saja tetapi

juga dalam penerapannya.

Menurut Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian

hukum itu mempunyai tiga arti, yaitu:

“Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur


masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai
kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan hukum administrasi negara. Ketiga,
mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang
(eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak
pemerintah”.47

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo:

merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan


hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian
hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.48

Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian hukum itu

mempunyai tiga arti, yaitu:

Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur


46
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ( Kencana : Jakarta, 2013), hlm. 137
47
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hlm. 53
48
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2007, h. 145.
37
masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai
kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan hukum administrasi negara. Ketiga,
mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang
(eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak
pemerintah.49

Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum

bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.

Lebih lanjut Van Kan menyatakan:

Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang


mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian
hukum tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh
karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang
satu terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi
penerapan hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan, 2)
kepastian dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum
tercapai jika hukum itu sebanyak-banyaknya undang- undang,
tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan
sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum
(rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat
ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup).50

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum

dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan

berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat

menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu

peraturan yang harus ditaati.

2.4 Azas Nebis In Idem

49
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, h. 53.
50
E. Fernando M. Manullang, Op.cit, h. 92.
38
Suatu perkara pidana yang dituntut dan disidangkan kembali baru

dapat dinyatakan sebagai perkara yang nebis in idem apabila telah

memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut M. Yahya harahap dalam

bukunya mengatakan : unsur nebis in idem baru dapat dianggap melekat

pada suatu perkara mesti terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 76

KUHP yaitu :

1. Perkara telah diputus dan diadili dengan putusan positif


Inilah syarat pertama tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa telah diperiksa materi perkaranya disidang pengadilan,
kemudian hasil pemeriksaan hakim atau pengadilan telah
menjatuhkan putusan.
2. Putusan yang dijatuhkan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
Jadi agar dalam suatu perkara melekat unsur nebis in idem
terdapat kedua syarat tersebut.51

Dalam perkara pidana putusan pengadilan atau putusan hakim yang

bersifat positif terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan didakwakan

dapat berupa :

I. Pemidanaan
Kepada diri terdakwa dijatuhi hukuman berdasarkan dakwaan
tentang peristiwa pidana yang melakukan dan apa ang telah di
dakwakan oleh jaksan penuntut umum terhadap diri terdakwa
terbukti sesuai dengan peristiwa pidana yang dilakukannya;
II. Putusan pembebasan
Dalam putusan seperti ini, peristiwa pidana yang didakwakan
kepada diri terdakwa tidak terbukti dalam pemeriksaan sidang
pengadilan;
III. Putusan lepas dari segala tuntutan
Dalam hal ini hakim memutus, bahwa peristiwa yang dituduhkan
kepada terdakwa itu dibuktikan dengan cukup terang akan tetapi
peristiwa tersebut bukan peristiwa pidana, atau terdakwa
51
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidik dan
Penuntutan, Edisi ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 450
39
kedapatan tidak dapat hukum, karena tidak dapat
dipertanggungjawbkan atas perbuatannya itu.52
Meskipun salah satu syarat agar suatu putusan perkara pidana dapat

dinyatakan telah nebis in idem adalah putusan tersebut telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, akan tetapi tidak semua jenis putusan hakim yang

telah berkekuatan hukum tetap dan kemudian terhadap terdakwa dan

perkara pidana yang sama dapat dituntut dan disidangkan kembali

dinyatakan sebagai perkara pidana yang telah nebis in idem. Oleh karena

itu sekiranya putusan yang dijatuhkan pengadilan dalam suatu perkara

pidana itu bukan berdasarkan putusan positif atas peristiwa pidana yang

didakwakan kepada terdakwa, akan tetapi berada di luar peristiwa

pidananya yakni berupa putusan yang dijatuhi yang dijatuhi dari segi

formal atau putusan yang dijatuhkan bersifat negatif, maka dalam putusan

tersebut tidak dapat melekat unsur nebis in idem. Putusn yang telah

berkekuatan hukum tetap akan tetap diperiksa dan disidangkan kembali

telah memenuhi unsur nebis in idem adalah sebagai berikut :

I. Putusan yang menyatakan Surat Batal Demi Hukum.


Putusan yang dijatuhi disini adalah putusan yang bersifa formal atas
alasan surat dakwaanya tidak mmenuhi syarat seperti yang diatur
dalam ketentuan pasal 143 ayat (2) KUHAP, yang menerangkan
bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi uraian secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tindak pidana itu dilakukan. Maka surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
II. Putusan yang menyatakan Surat Dakwaan tidak dapat diterima
Dalam hal putusan ini biasanya terdakwa atau penasehat hukum
menajukan yang mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima
52
Ibid
40
atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi
kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan
pendapatnya, hakim memepertimbangkan keberatan tersebut untuk
selanjutnya mengambil keputusan (Pasal 156 ayat (1) KUHAP).
III. Putusan yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili
Putusan ini adalah putusan yang dijatuhkan atas alasan formal,
artinya Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara
mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya
(Pasl 84 KUHAP). Putusan ini biasanya disebut kewenangan relatif
mengadili perkara (kompetensi relatif) yang didasarkan kepada
faktor “daerah hukum” atau wilayah hukum” suatu pengadilan.

Dari ketiga jenis putusan tersebut diatas tidak dapat melekat unsur

nebis in idem, sebab putusan tersebut yang dijatuhkan oleh hakim adalah

putusan yang bukan menyangkut peristiwa pidanaya yang dilakukan dan

didakwakan terhadap terdakwa, meskipun putusan tersebut telah kekuatan

hukum yang tetap.

Setiap putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim terhadap diri

terdakwa baik putusan yang merupakan pemidanaan ataupun putusan yang

lainnya adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban yang diberian oleh

undnag-undang terhadap terdakwa yang telah terbukti secara sah dab

bredasarkan bukti yang kuat telah melakukan sesuatu tindak pidana. Setiap

terdakwa yang telah terbukti dalam melakukan suatu tindak pidana

hanyalah dapat dipertanggung jawabkan terhadap peristiwa atau tundak

pidana yang telah dilakukannya, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan

atas tidank pidana yang tidak pernah dilakukannya, dan juga hanya berhak

menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas peristiwa dan tindak

pidana yang dilakukannya.

41
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum

positif yang berlaku di negara Indonesia dalam ketentuan Pasal 76 KUHP

secara tegas menyatakan terhadap diri terdakwa hanya diperbolehkan

diperiksa sekali saja terhadap peristiwa pidana yang dilakukan dan secara

tegas undang-undang melarang terdakwa untuk diperiksa dan disidangkan

kembali untuk kedu kalinya dnegna peristiwa dan tindak pidana yang sama.

Penerapan asas nebis in idem dalam perkara pidana adalah mempunyai

suatu tujuan tertentu. Adapun yang merupakan tujuan dari nebis in idem ini

adalah :

1. Jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang


peristiwa pidana yang sama itu juga, sehingga dalam satu
peristiwa/tindakan pidana ada berapa putusan-putsan yang
kemungkinan akan menguruskan kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah.
2. Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati
jangnlah orang dibiarkan terus menerus dengan perasaan
terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa yang
sekali telah diputus.

Dengan demikian jelas bahwa tujuan penerapan asa nebis in idem

dalam perkara pidana adalah untuk memberikan perlindungan hukum

terhadap diri terdakwa agar tidak dapat dituntut dan disidangkan kembali

dlam peristiwa dan perkara pidana yang sama dan sebelumnya telah pernah

di putus dan juga menghindari agar pemerintah secara berulang-ulang

memeriksa perkara yang telah pernah dperiksa sebelumnya yang pada

akhirnya menumbulkan beberapa putusan yang berbeda. Teapi yang perlu

diperhatikan menurut penulis bahwa walaupun terdakwanya sama maka

dapat diajukan kembali untuk diputus selama aturan tuntutan hukum atau
42
kualifikasi perbuatan yang diatur berbeda dengan putusan yang sebelumnya

maka perkara tersebut dapat di prose ulang.

Dalam perkara ini berlaku asas Nebis In Idem atau tidak, sesuai

ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP, Majelis akan mempertimbangkan

apakah perkara yang disidangkan sekarang ini memenuhi ke 5 (lima) syarat

tersebut, sebagai berikut :

1. Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama dengan yang

peristiwa pidananya sudah pernah didakwakan;

Bahwa mengenai pengertian perbuatan yang sama, KUHP tidak

memberikan penjelasan, oleh karenanya pengertian perbuatan yang

sama harus mengacu kepada doktrin dan yurisprudensi; menurut

Wirjono Prodjodikoro, pada pokoknya menyatakan ada 3 (tiga)

pendapat mengenai pengertian perbuatan yang sama, yaitu : 53

1) Bahwa perbuatan yang sama diartikan sebagai perbuatan seperti


yang dirumuskan oleh Kejaksaan dalam tuntutan pertama yang
gagal, dibandingkan dengan perbuatan seperti yang dirumuskan
dalam tuntutan kedua, sehingga dengan pengertian ini maka
prinsip Nebis in Idem tidak akan pernah dilakukan;
2) Bahwa perbuatan yang sama adalah sebagai apa yang dimaksud
dengan materieel feit yaitu perbuatan yang nyata diperbuat,
terlepas dari apakah perbuatan itu merupakan tindak pidana atau
tidak. Pengertian ini tidak memuaskan karena masih dianggap
memperkosa tujuan menentramkan terdakwa sebagai tujuan
diadakannya ketentuan Nebis in Idem;
3) Bahwa perbuatan yang sama diartikan sebagai suatu kejadian
yang luas (gebeurenis) dan yang meliputi banyak perbuatan yang
masing-masing merupakan materieel feit;

Dengan demikian perbuatan yang sama dalam Pasal 76 ayat (1)

KUHP haruslah diartikan sebagai suatu kejadian yang luas dan yang

53
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia hal. 162-163
43
meliputi banyak perbuatan yang masing-masing merupakan materieel

feit; untuk menilai apakah dalam suatu perkara berlaku Nebis in

Idem, menurut Muh. Arif Setiawan, berpendapat bahwa pengertian

perbuatan yang sama yaitu perbuatan yang sesungguhnya terjadi yang

dilakukan oleh Terdakwa, hal itu dapat dilihat dari Berita Acara

Pemeriksaan (BAP) dan dakwaan Penuntut Umum, bahwa dengan

demikian untuk mengetahui ada tidak perbuatan yang sama dalam

perkara ini harus diteliti berkas perkara yang sekarang dengan berkas

perkara Nomor 576/Pid.B/2008/PN.Slmn.

Dalam perkara No. 66/Pid.B/2012/PN.Slmn. ini Terdakwa

didakwa dengan dakwaan alternatif, Pertama sebagaimana diatur dan

diancam dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP atau Kedua sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 264 ayat (2) KUHP yang pada

pokoknya perbuatan Terdakwa dilakukan dengan cara Terdakwa telah

memakai surat yang isinya tidak benar atau dipalsukan, atau memakai

surat palsu yaitu memakai Akta Perikatan Jual Beli No.65 tanggal 31

Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No.51 tanggal 30 September 2004 dan

Akta Kuasa Menjual No.52 tanggal 30 September 2004 yang isinya

tidak benar atau dipalsukan karena saksi korban Ir. Gregorius Daryanto

sebagai pihak dalam Akta-Akta tersebut tidak pernah menandatangani

ketiga akta tersebut dengan alasan karena saksi Ir. Gregorius Daryanto

hanya menandatangani akta tukar guling pada tanggal 11 Juni 2004, dan

pada tanggal 30 September 2004 Ir. Gregorius Daryanto berada di

Negara Oman sejak tanggal 24 Agustus 2004 sampai dengan tanggal 13

Oktober 2004, sedangkan dalam perkara Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn, Terdakwa (sebagai Terdakwa I bersama-sama


44
dengan Ny. Endang Murniati, S.H., sebagai Terdakwa II) didakwa

dengan dakwaan alternatif, yaitu Kesatu sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam pasal 372 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau

Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 378 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, yang pada pokoknya juga mengenai

perbuatan Terdakwa dalam memakai Akta Perikatan Jual Beli No.65

tanggal 31 Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 tanggal 30 September

2004 dan Akta Kuasa Menjual No.52 tanggal 30 September 2004, pada

hal saksi korban (Ir. Gregorius Daryanto) merasa tidak pernah menanda

tangani akta-akta tersebut.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang

dibuat oleh Penyidik dalam berkas perkara pidana Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn dan dalam berkas yang sekarang ini, maka

perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa pada pokoknya mengenai

hubungan hukum antara saksi korban Ir. Gregorius Daryanto dengan

Terdakwa, dari awalnya ada kesepakatan untuk melakukan tukar guling

tanah Ir. Gregorius Daryanto yang terletak di Juwangen dengan tanah

milik Terdakwa yang terletak di Kalitirto, yang kemudian kesepakatan

tersebut dibawa ke Notaris Endang Murniati, S.H., kemudian terbit Akta

Perikatan Jual Beli No.65 tanggal 31 Mei 2004, dan Akta Kuasa

Menjual No.51 yang tanda tangannya tidak diakui oleh korban Ir.

Gregorius Daryanto; berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

Majelis berkesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan dalam

perkara Nomor 66/Pid.B/2012/ PN.Slmn., sekarang ini adalah sama

dengan perbuatan yang didakwakan dalam perkara Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn;
45
2. Pelakunya sama dan atas perbuatan/peristiwa pidana yang sama;

Dalam perkara ini pelaku yang didakwakan dalam perkara yang

sekarang adalah Dra. MAWAR MURIA RINI sama orangnya dengan

Dra. MAWAR MURIA RINI dalam perkara pidana yang dahulu yang

telah diputus oleh Pengadilan Negeri Sleman Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn jo. Putusan MARI No. 2179 K/Pid/2009,

Terdakwa Dra. MAWAR MURIA RINI (SEBAGAI Terdakwa I

bersama-sama dengan Ny. ENDANG MURNIATI, S.H., sebagai

Terdakwa II) dengan demikian pelaku tindak pidana yang didakwa

dalam perkara yang sekarang ini adalah sama dengan Terdakwa I dalam

perkara No. 576/Pid.B/2008/PN.Slmn jo Putusan MARI No.2179

K/Pid/2009.

3. Korban yang diajukan sama, atau ada tambahan yang belum

pernah diajukan dalam perkara tetapi tidak menjadi dasar untuk

kedua kali penuntutan atas hal yang sama;

Dalam perkara ini pelapor yang juga selaku saksi korban adalah

Ir. Gregorius Daryanto, sedangkan dari berkas perkara No.

576/Pid.B/2008/ PN.SLMN, setelah diteliti ternyata pelapornya juga

sama yaitu Ir. Gregorius Daryanto, sehingga syarat poin 3 ini juga telah

terpenuhi .

4. Obyek sama atau satu;

Obyek perbuatan yang dijadikan pokok dakwaan dalam perkara

ini adalah 2 (dua) bidang tanah SHM No.717 seluas 1.309 M2 dan

SHM No.718 seluas 2.955 M2, keduanya semula atas nama Ir.

Gregorius Daryanto, terletak di Dusun Juwangen, dalam perkara Nomor

46
576/Pid.B/2008/ PN.SLMN jo. Putusan MARI No.2179 K/PID/2009.

5. Terhadap peristiwa pidana tersebut telah ada putusan

Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap;

Bahwa yang dimaksud putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap adalah putusan yang sudah tidak ada lagi upaya hukum biasa yang

dapat ditempuh, dan putusan tersebut harus dimaknai sebagai putusan

dalam bidang hukum pidana, sehingga walaupun suatu perbuatan sudah

ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap, tetapi dalam bidang

hukum lain, misalnya perdata atau tata usaha negara, maka jika

perbuatan tersebut kemudian diajukan untuk diadili dalam perkara

pidana, dalam hal ini maka tidak berlaku asas nebis in idem.

Selain hal tersebut pengertian putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap juga harus dimaknai suatu putusan yang sudah

mempertimbangkan pokok perkaranya, termasuk putusan bebas dan

lepas dari segala tuntutan hukum, tidak bisa dikatakan ada nebis jika

perkara yang terdahulu putusannya baru mempertimbangkan syarat

formal surat dakwaan, proses penyidikan yang tidak sah dan sebagainya

yang tidak menyangkut pokok perkaranya, Putusan Pengadilan Negeri

Sleman Nomor 576/ Pid.B/2008/PN.SLMN jo. Putusan MARI

No.2179 K/PID/2009, Terdakwa Dra. MAWAR MURIA RINI diadili

dalam perkara pidana, yang amar putusannya pada pokoknya

menyatakan melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum, dengan

demikian perkara pidana tersebut telah mempunyai kekuatan hukum

tetap, karena sudah tidak tersedia lagi upaya hukum biasa.

2.5 Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hakim


47
Aspek “pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana

yang didakwakan” merupakan konteks penting dalam putusan hakim.

Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur

(bestanddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut

telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa

atau penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-

pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap

amar atau diktum putusan hakim.

Lazimnya, Dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum


“pertimbangan-pertimbangan yuridis” ini dibuktikan dan
dipertimbangan maka hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-
fakta dalam persidangan” yang timbul dan merupakan konklusi
kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan
barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Pada
dasarnya “fakta-fakta dalam persidangan” berorientasi pada dimensi
tentang: locus dan tempus delicti, modus operandi bagaimanakah
tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang
mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian
bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung dari
perbuatan terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa
dalam melakukan tindak pidana, dan sebagainya.54

Selanjutnya, setelah “fakta-fakta dalam persidangan” tersebut

diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap

unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh

jaksa/penuntut umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur

(bestanddelen) tersebut, menurut praktik lazimnya dipertimbangkan tentang

hal-hal yang berhubungan dengan fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan

dan unsur perbuatan terdakwa.

54
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
hal 193.
48
2.6 Tinjauan Tentang Putusan

1. Pengertian Putusan

Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir atau

vonnis. Dalam putusan, hakim menyatakan pendapatnya tentang apa

yang telah dipertimbangkan dalam putusannya tersebut. Dalam buku

Peristilahan Hukum dalam Praktek yang dikeluarkan Kejaksaan Agung

Republik Indonesia tahun 1985 halaman 221, putusan diartikan sebagai

hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai

dengan semasak-masaknya yang dapat dibentuk tertulis maupun lisan.

Kamus istilah hukum Fockema Andrea mengartikan kata “putusan”

(Vonnis) sebagai “vonnis tetap” (definitief). Putusan yang

diterjemahkan dari vonnis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara

di sidang pengadilan.55

Definisi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 1 butir 11

KUHAP yang berbunyi “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

2. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal 3 (tiga) macam

putusan hakim pidana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1),(2) dan Pasal

193 ayat (1) KUHAP. Macam putusan hakim pidana yang diatur dalam
55
Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1992,
hlm. 406
49
KUHAP yaitu :

a. Putusan Bebas (Vrijspraak)

Putusan bebas dirumuskan dalam Pasal 191 ayat (1)

KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan


di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas".

Yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan

kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak

cukup terbukti menurut hakim atas dasar pembuktian dengan

menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Hakim menjatuhkan putusan yang berupa putusan bebas, apabila

setelah melalui pemeriksaan di depan persidangan menemui hal-hal

sebagai berikut :

a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang


secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak
cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan
terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim
b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Bertitik
tolak dari kedua asas dalam Pasal 183 KUHAP dihubungkan
dengan Pasal 192 ayat (1) KUHAP, bahwa putusan bebas pada
umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim :
a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali
tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke
persidangan tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
Berarti perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan.
b. Secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang
didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum
pembuktian. Dalam hal ini juga bertentangan dengan Pasal
185 ayat (2), bahwa seorang saksi bukan saksi.
c. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup
terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup terbukti, namun

50
nilai pembuktian yang cukup ini lumpuh apabila tidak didukung
oleh keyakinan hakim.56

Jadi, hakim harus jeli dan cermat dalam melihat argumentasi

Jaksa Penuntut Umum baik mengenai kesalahan terdakwa, perbuatan

yang didakwakan terhadap terdakwa, dan alat-alat bukti yang

ada, serta argumentasi penasehat hukum dalam membela terdakwa.

Sehingga sebelum putusan dijatuhkan, pertimbangan hakim betul-

betul meyakinkan. Karena jika tidak meyakinkan atau menimbulkan

keragu- raguan, hakim wajib membebaskan terdakwa, sehingga

putusan bebas juga bisa didasarkan atas penilaian bahwa kesalahan

yang terbukti itu tidak diikuti oleh keyakinan hakim, sehingga

nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh dan terdakwa harus

diputus bebas.

b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Ontslag van Alle

Rechtsvervolging)

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini diatur dalam

Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Jika pengadilan

berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa

terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan:

56
Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 345
51
i. Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak
cocok dengan tindak pidana. Misalnya seseorang
melakukan perbuatan yang dituntut dengan tindak pidana
penipuan atau penggelapan tetapi didapat fakta bahwa
perbuatan tersebut tidak masuk dalam lingkup hukum
pidana tetapi termasuk lingkup hukum perdata
ii. Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum. Misalnya karena Pasal 44,
48, 49, 50, 51, masing-masing dari KUHP.57

Perbedaan antara putusan bebas dan lepas dapat ditinjau dari

segi hukum pembuktian, yaitu:

1. Pada putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana yang


didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat
dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya
ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan
sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai
keyakinan hakim (Vide Pasal 183 KUHAP)
2. Sedangkan, pada putusan lepas (onslag van recht
vervolging), segala tuntutan hukum atas perbuatan yang
dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa/penuntut
umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana,
karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana,
misalnya merupakan bidang hukum perdata, hukum adat
atau hukum dagang.58

Selain berdasarkan pendapat dari Lilik Mulyadi

sebagaimana dimaksud di atas, penjatuhan Putusan Bebas dan

Putusan Lepas oleh seorang hakim atas pelaku suatu tindak pidana

(yang unsur-unsur Pasal yang didakwakan terbukti), dapat

dibedakan dengan melihat ada atau tidak adanya alasan penghapus

pidana (Strafuitsluitingsgronden), baik yang ada dalam undang-

57
Laden marpaung, Op.cit, hlm. 41
58
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.
152-153
52
undang, misalnya alasan pembenar (contoh Pasal 50 KUHP) atau

alasan pemaaf (contoh Pasal 44 KUHP), maupun yang ada di luar

undang- undang (contoh: adanya izin).

Mengenai putusan lepas dapat kita temui pengaturannya

dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan


di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan


kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan" adalah tidak
cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar
pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan hukum acara pidana (penjelasan Pasal 191 ayat (1)
KUHAP).59

Menurut M. Yahya Harahap mengatakan “bahwa putusan

bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum

(vrijspraak) atau acquittal, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan”.

Tegasnya, terdakwa tidak dipidana. Berbeda halnya jika

pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada terdakwa tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala

tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 ayat (2)

KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas.

Dalam kasus yang diputus lepas sering kali didalam putusan

tersebut terdapat alasan pemaaf ataupun alasan pembenar. Uraian

59
ibid
53
mengenai alasan pemaaf dan alasan pembenar adalah sebagai

berikut:

- Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapus kesalahan terdakwa.


Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap merupakan
perbuatan yang melawan hukum jadi tetap merupakan tindak
pidana, namun ia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44, Pasal 51
ayat (2) dan Pasal 48 yang ada kemungkinan merupakan alasan
pemaaf dan dapat pula sebagai alasan pembenar. Contoh perbuatan
yang dapat menjadi alasan pemaaf ialah karena terganggu
kejiwaan (hal ini menjadi alasan pemaaf karena tidak dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya).
- Alasan pembenar yaitu alasan yang menghilangkan sifat melawan
hukumnya suatu perbuatan. Artinya, perbuatan tersebut tidak
bersifat melawan hukum sehingga bukan merupakan tindak pidana.
Alasan pembenar dalam KUHP adalah Pasal 49 (pembelaan
terpaksa) dan Pasal 50 (menjalankan perintah undang-undang).

c. Putusan Pemidanaan

Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat

(1) KUHAP yang berbunyi :

“Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah


melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,
maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana

sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam Pasal tindak pidana

yang didakwakan kepada terdakwa.

3. Syarat-Syarat Isi Putusan

Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa “Semua Putusan

Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Pasal 197 ayat (1) KUHAP
54
merumuskan secara rinci dan limitatif tentang isi putusan. Surat putusan

pemidanaan menurut Pasal 197 ayat 1. KUHAP ini memuat :

a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI


KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”
b. Nama lengkap, tanggal lahir, umur atau tanggal lahir,
jeniskelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan terdakwa
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta
dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasarpemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan
perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari
putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang
meringankan terdakwa
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang
dijatuhkan
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai
barang bukti
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat
surat otentik dianggap palsu
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama
hakim yang memutus dan nama panitera.

Pasal 197 ayat (2) berisi ancaman pembatalan jika terdapat

kelalaian atau kekeliruan tidak mengikuti apa yang ditetapkan dalam

ayat (1). Pasal 197 ayat (2) berbunyi “Tidak dipenuhinya ketentuan

55
dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l Pasal ini akan

mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Menurut penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d dan ayat (2) KUHAP:

a. Yang dimaksud dengan “fakta dan keadaan di sini” ialah


segala apa yang ada dan apa yang dikemukakan di sidang
oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi
ahli, terdakwa, penasehat hukum dan saksi korban.
b. Kecuali yang tersebut dalam ayat (2) huruf a, e, f, dan h
apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan
atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi
hukum Dari ketentuan Pasal 195 dan Pasal 197 ayat (1) dan
(2) KUHAP di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya
putusan pengadilan adalah:
1) Diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal 195
KUHAP)
2) Memuat hal-hal yang diwajibkan (Pasal 197 ayat (1)
dan (2) KUHAP).

2.7 Kontruksi Pertimbangan Hukum Dalam Putusan Hakim

Dalam sebuah perkara yang dimajukan dihadapan hakim dapat

dilakukan kontruksi hukum apabila tidak ada kententuan yang memuatnya

untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus memeriksa

sistem hukum dan apabila dalam ketentuan ada kesamaan hakim dapat

membuat pengertian hukum (rechtsbegrip) dengan pendapatnya, hal ini

sedana dengan pemikiran sidik sunaryo dalam disertasinya yang menyebutkan

bahwa :

“Kontruksi putusan hakim menggambarkan bagaimana alur kerangka


pikir hakim dalam memahami kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan hukum. konstruksi putusan hakim menjadi sangat
penting oleh karena di dalamnya dapat dilihat dan dimaknai sebagai
kaidah keteraturan nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan
dari hukum. “konstruksi putusan hakim bukan sekedar dokumen
hukum dalam penegakan hukum, tetapi konstruksi putusan hakim
menjadi risalah sejarah proses penegakan hukum dalam membangun
56
peradaban manusia di muka bumi. Hukum merupakan landasan dan
arah dari pembangunan sistem yang membentuk tata kehidupan yang
beradab, putusan hakim merupakan hukum yang konkrit dan
langsung mengikat, oleh karenanya putusan hakim merupakan
risalah sejarah dalam membangun peradaban umat manusia.”60

Penulis setuju dan sepakat terhadap apa yang sudah disampaikan

pada bagian diatas bahwa dalam kontruksi putusan hakim, hakim harus

bertindak dengan bijak dan sesuai dengan segala aturan tentu dalam hal ini

dibutuhkan suatu kejujuran hakim dalam membuat suatu putusan, akan ada

dampak yang ditimbulkan apabila putusan yang diputus oleh hakim tidak

memiliki rasa keadilan dan kearifan, maka kehidupan masyarakat akan lebih

tidak mempercayai lagi terkait lembaga peradilan oleh karena kekeliruan dan

ketidakpahaman hakim dalam membuat kontruksi hukum. Hakim dalam

memutus sebuah perkara yang tertuang dalam sebuah putusan harus mengali,

memahami nilai-nilai kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Demikian

pula dalam memutuskan berat ringanya dalam menjatuhkan pidana hakim

harus melilhat latar belakang dan sifat – sifat baik dan buruknya terdakwa.

Kontruksi putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat merupakan

suatu bagian yang terpenting untuk melihat karakteristik dari suatu negara

melalui penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Konstruksi

putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat salah satu tujuan negara untuk

menerapkan rasa keailan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi seluruh

60
Sidik Sunaryo, Rekonstruksi Putusan Hakim Perkara Korupsi Dalam Perspekstif
Hukum Progresif, fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2016, hal. 64
57
lapisan masyarakat yang harus berjalan dan bertindak sesuai dengan norma-

norma yang ada.

Konstruksi kepastian hukum merupakan bagian dari kerangka

berfikir dalam memaknai dan memahami ketentuan normatif hukum positif

dalam perkra pemalsuan surat. Konstruksi dalam perkara pemalsuan ini

sebagai wujud untuk sikap sosial dan sikap mental hakim dalam menegakan

hukum dan keadilan di Indonesia. Setiap pertimbangan hakim dapat dijadikan

cermin untuk melihat apakah hakim tersebut dalam putusan sudah benar-

benar memberikan kepastian huku, keadilan dan kemanfaatan bagi

masyarakat.

Pemikiran tentang hukum erat kaitannya dengan pemikiran tentang

nilai keadilan dalam hukum. artinya pemikiran itu selalu diarahkan pada

kenyataan apakah hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada benar-

benar sesuai kebutuhan nilai keadilan yang ada di masyarakat atau justru

menjadi pembeda secara jelas tentang apa yang boleh dan dilarang menurut

negara. Apakah hukum memiliki keserasian dengan nilai-nilai keadilan yang

ada di masyarakat, sehingga dapat ditegakan dengan benar. Ketidakteraturan

hukum dan kebenaran hukum harus diluhat dalam perspektif kebutuhan nilai

keadilan dan ketertiban yang ada dalam masyarakat. Ketidakberaturan hukum

akan terjadi apabila secara substansiil nilai-nilai keadilan dan ketertiban yang

ada dalam hukum formal negara tidak selaras atau tidak sesuai dengan nilai-

nilai jeadukab dab ketertiban yang ada dan dibutuhkan oleh masyarakat.

58
Resistensi dan pembangkangan yang dilakukan masyarakat terhadap hukum

formal negara merupaakn wujud nyata ketidakteraturan hukum.

Sehingga dengan demikian bisa terhadap kebenaran dan keadilan

dari dua perspektif ini akan secara inheren muncul, yang selanjutnya akan

melahirkan pemahaman baru terkait dengna hukum dan keadilan dalam

putusan hakim.

Apabila dilihat secara formal putusan hakim Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm tersebut

terlihat sudah memenuhi hal-hal yang termuat dalam ketentuan pasal 197 jo

199 KUHAP, Karena hakim terlihat menganut paham legisme yakni hukum

adalah Undang-undang bertindak tidak cermat dan tidak hati-hati. Walaupun

putusan hakim memenuhi substansial pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP,

yakni :

Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala


tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan
perundang undangan yang menjadi dasar putusan.

Hakim dalam amar putusan menyatakan tidak menerima tuntutan

dari jaksa penuntut umum, wajib menyebutkan dasar hukumnya yakni sesuai

ketentuan pasal 191 huruf a, KIHAP, yakni : apabila pengadilan berpendapat

bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan

yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinan, maka

terdakwa diputus bebas.

Hakim dalam memutus perkara pidana di Pengadilan mempunyai

tugas untuk menemukan hukum yang tepat. Hakim dalam menemukan hukum
59
tidak hanya cukup mencari dalam peraturan perundang-undangan, sebab

kemungkinan udang-undang tidak mengatur secara jelas dan lengkap,

sehingga hakim harus menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.

Putusan hakim merupakan bagian dari proses penegakan hukum

yang bertujuan untuk mencapai salah satu kebenaran hukum atau demi

terwujudnya kepastian hukum. putusan hakim merupakan produk dari

penegakan hukum yang didasarkan pada hal-hal yang secara relevan secara

hukum (yuridis) dari proses hasil secara sah di persidangan. Petimbangan

hukum yang di pakai oleh para hakim sebagai landasan dalam mengeluarkan

amar putusan merupakan determinan dalam melihat kualitas putusan.

Kepastian hukum yang dituangkan dalam putusan hakim merupakan

hasil yang didsarkan pada fakta-fakta dipersidangan yang relevan secara

yuridis serta pertimbangan dengan hati nurani. Hakim selalu dituntut untuk

selalu dapat menafsirkan makna undang-undang dan peraturan-peraturan lain

yang dijadikan dasar untuk diterapkan. Penerapan hukum harus sesuai dengan

kasus yang terjadisehinga hakim dapat mengkontruksi kasus yang diadili

secara utuh bijaksana dan objekif.

Putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan

memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dibidang

hukum. hal ini disebakan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap, bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutuskan

60
perkara akan tetapi sudah merupakan pendapat dari institusi dan acuan

masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan


salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum.
Sudikno Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-
wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.61

Ketika mencermati lebih dalam terhadap pendapat yang telah

dikemukakan oleh Sudikno Martokusumo yaitu bahwa pentingnya setiap

peraturan yang jelas dan tegas yang senantiasa memberikan kepastian dalam

peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan perlindungan

hukum kepada setiap warga negara yang terlibat dalam tindak kejahatan.

Dalam hal ini sebagaimana dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.

Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm hakim dalam memutus

perkara tersebut tidak boleh bersifat kesewenangan karena walaupun hakim

memiliki kewenangan untuk itu tetapi bukan berarti dapat bersikap sewenang-

wenangnya harus tetap pada fakta-fakta yang terungkap dipersidangan ketika

benar-bernar terbukti maka hakim harus mememberikan sanksi pidana kepada

terdakwa untuk bertanggun jawab terhadap tindakan yang dilakukannya.

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga

unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan

dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu

perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang

61
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2007, h. 145.
61
memperhatikan tiga nilai unsure yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai

sosiologis (kemanfaatan),dan folosofis (keadilan).

Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu

ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/peraturannya. Fiat

justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakan).

Adapun nilai sosiologis menekankan kepada kemanfaatan bagi masyarakat.

Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan hukum harus memberi

manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia, maka dalam

melaksanakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan dalam

masyarakat,. Demikian juga hukum dilaksanakan bertujuan untuk mencapai

keadilan. Sehingga dengan ditegakkannya hukum akan memberikan rasa

keadilan bagi masyarakat. Meskipun sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat

subyektif dan individualistis.

Dalam memutus suatu perkara, ketiga unsur diatas secara teoritis

harus mendapat perhatian secara proposional dan seimbang. Meskipun dalam

prakteknya tidak selalu mudah untuk mengusahakan kompromi terhadap

unsure-unsur tersebut.

Pertentangan yang terjadi dalam setiap menanggapi putusan hakim

terhadap suatu perkara, dengan apa yang diinginkan masyarakat, biasanya

berkisar antara sejauh mana pertimbangan unsure yuridis (kepastian hukum)

dengan unsure filosofis (keadilan) ditampung didalamnya. Kepastian hukum

harus ditegakkan agar tidak timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan

pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati hukum akibatnya kaku dan akan

62
menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi memang peraturannya

adalah demikian sehingga Undang-undang itu sering terasa kejam apabila

dilaksanakan secara ketat.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, hakim terikat dengan

hukum acara, yang mengatur sejak memerisa dan memutus. Dan hasil

pemeriksaan itulah nantinya yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk

mengambil putusan. Fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan

merupakan bahan utama untuk dijadikan pertimbangan dalam suatu putusan.

Sehingga ketelitian, kejelian dan kecerdasan dalam

mengemukakan/menemukan fakta suatu kasus merupakan factor penting dan

menentukan terhadap hasil putusan. Oleh karena itu tidak heran jika apa yang

ada dalam pikiran masyarakat dapat berbeda dengan putusan hakim. Maka

setiap individu hakim, dituntut bersikap lebih teliti dan jeli dalam memeriksa

perkara dan jernih serta cerdas berpikir dalam mengambil putusan.

Hakim dituntut lebih bijaksana dalam menyikapi pendapat

masyarakat. Pendapat masyarakat (umum) tidak boleh diabaikan begitu saja

dalam mempertimbangkan suatu perkara. Hakim harus ekstra hati-hati dalam

menjatuhkan putusan. Jangan sampai orang yang tidak bersalah dihukum

karena disebabkan sikap tidak profesional dalam menangani perkara, begitu

juga secara mudah pula melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman yang

seharusnya dijatuhkan. Hal itu tentu saja harus sesuai dengan keyakinan

hakim yang professional dalam memutus sebuah perkara agar terwujudnya

rasa keadilan bagi masyarakat.

63
BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan suatu penelitian hukum tidak dapat terlepas dengan

penggunaan metode penelitian. Karena setiap penelitian apa saja pastilah

menggunakan metode untuk menganalisa permasalahan yang diangkat.

Metodologi penelitian adalah kata majemuk, terdiri atas dua kata, metodologi dan

64
penelitian. Kata metodologi berasal dari kata Yunani, methodos yang berarti cara,

dan logos yang berarti ilmu, sehingga metodologi dapat diartikan dengan suatu

disiplin yang berhubungan dengan metode, peraturan, kaedah yang diikuti dalam

ilmu pengetahuan.

“Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang


didasarkan kepada suatu metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang
bertujuan mempelajari suatu gejala tertentu dengan jalan
menganalisisnya, karena penelitian di dalam ilmu-ilmu sosial merupakan
suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk
memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulan-
kesimpulan yang tidak meragukan.62

”Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam mengembangkan ilmu


pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran
sistematis, metodologis dan konsisten, karena melalui proses penelitian
tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan supaya dalam menganalisi permasalahan tersebut
menemukan dan memecahkan suatu permasalahan dengan baik dan
benar.”63

1. Jenis Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa, fungsi utama dari adanya

penelitian hukum adalah menemukan suatu pandangan baru yang dapat

menghasilkan suatu pandangan, teori, konsep baru dalam menyelesaikan suatu

permasalahan hukum yang terjadi.64

Berdasarkan rumusan masalah di atas, jenis penelitian ini adalah

Penelitian Hukum Normatif. Menurut Bambang Waluyo, penelitian hukum

normatif dijelaskan sebagai berikut:

“Penelitian hukum normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut


sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian
62
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( J a k a r t a : Ghalia
Indonesia, 1988), hlm.13
63
Suparmoko, Metode Penelitian Praktis, (Yogyakarta, 1991), hlm. 1
64
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005) hlm. 35
65
hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukkan pada
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain
sebagai penelitian atau studi dokumen disebabkan penelitian ini
banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan. Dalam penelitian hukum yang normatif biasanya
dipergunakan sumber-sumber data sekunder saja, yaitu buku-buku,
buku harian, peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan
pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum yang
terkemuka.”65

Menurut Abdulkadir Muhammad, penelitian hukum normatif

dijelaskan sebagai berikut:

“Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan


studi kasus hukum normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya
mengkaji rancangan undang-undang. Pokok kajiannya adalah hukum
yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam
masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga
penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif,
asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in
concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan
hukum, dan sejarah hukum

Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam proposal tesis ini yaitu

penelitian hukum normatif. Dalam penelitian yang dimaksud oleh penulis

adalah penelitian yang dilakukan terhadap norma hukum tertulis dalam hal ini

adalah Putusan Hakim Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan PUTUSAN

NOMOR 67/Pid.B/2012/PN.Slm.

2. Metode Pendekatan

Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam penelitian hukum

diperlukan suatu model pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, Penulis

akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu (permasalahan-

65
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991),
hlm.6.
66
permasalahan) yang sedang dicari jawabannya.66 Macam-macam pendekatan

yang digunkanak oleh penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang

dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dikaji.

Pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti

untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu

undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang

dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.

Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) ini

dilakukan penelitian sinkronisasi perundang-undangan baik vertical

maupun horizontal. Sehingga di dalam penelitian ini dilakukan dengan

pendekatan Undang-undang yaitu Undang-Undang Hukum Pidana dan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981tentang Hukum

Acara Pidana dan Lembaran Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 76

dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Yang

menjadi fokus dalam penelitian normatif ini adalah bahwa hakim

seharusnya merujuk pada Pasal 55 KUHP tentang tindakan penyertaan,

Pasal 263 ayat (2) tentang menggunakan surat palsu, 264 ayat (2) tentang

isinya tidak sejati atau dipalsukan seolah-olah benar.

2. Pendekatan Konsep (conseptual approach)

Pendekatan konseptual dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-

66
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 93
67
prinsip hukum. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam pandangan-

pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum. Adanya kekaburan

dalam putusan hakim terkait tentang Nebis In Idem, karena hakim

memberikan putusan bahwa Ny. Mawar Muria Rini dalam Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN.Slm menyatakan tidak dapat diterima karena perkara

tersebut Nebis In Idem sementara Notaris Endang Murniati pernah diputus

lepas dari segala tuntutan kemudian diajukan lagi oleh penuntut dan

hasilnya adalah berdasarkan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.Slm

dinyatakan terbukti secara sah. penting bagi peneliti untuk memahami

konsep Nebis In Idem.

Menurut Yahya Harahap Nebis In Idem adalah “seseorang tidak

dapat dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama terhadap

mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah didaili dan

telah diputus perkaranya oleh hakim serta putusan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap”.67

Menurut Wirjono Prodjodikiro pada pokoknya menyatakan ada 3

(tiga) pendapat mengenai pengertian perbuatan yang sama ini :68

1. Bahwa perbuatan yang sama diarttikan sebagai perbuatan seperti yang


dirumuskan oleh kejaksaan dalam tuntutan yang pertama gagal,
dibandingkan dengan perbuatan seperti yang dirumuskan dalam
tuntutan kedua, sehingga dengan demikian pengertian Nebis in Idem
tidak akan pernah dilakukan;
2. Bahwa perbuatan yang sama adalah sebagai apa yang dimaksud dengan
materieel feit yaitu perbuatan yang nyata diperbuat, terlepas dari
apakah perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak. Pengertian
67
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidika dan
Penuntutannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm. 152
68
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, hlm. 162-163
68
ini tidak memuaskan karena masih dianggap memperkosa tujuan
menentramkan terdakwa sebagai tujuan diadakannya ketentuan Nebis
In Idem;
3. Bahwa perbuatan yang sama diartikan sebagai suatu kejadian yang luas
(gebeurtenis) dan meliputi banyak perbuatan yang masing-masing
merupakan materieel feit.

Berdasrkan pada uraian di atas menurut pendapat para ahli penulis

dapat menyimpulkan berdasarkan pada permasalahan yang sedang diteliti

yaitu berkaitan dengan konsep Nebis In Idem adanya kekaburan dalam

putusan hakim sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bagian di atas.

Hakim seharusnya tidak memberikan alasan kepada Ny. Mawar Muria Rini

bahwa tuntutan yang diajukan pemohon adalah bertentangan dengan asas

Nebis In Idem, apabila hakim berpendapat demikian seharunya hakim juga

memberikan alasan yang sama kepada Notaris Endang Murniati tetapi

justru sebaliknya Notaris tersebut dinyatakan bersalah karena terbukti

bersalah. Dalam ini penulis sepakat dengan hakim karena memberikan

sanksi kepadanya tetapi yang menjadi kekeliruan hakim tidak menerima

tuntutan pemohon dalam putusan nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dengan

alasan Nebis In Idem pada hal penulis mencermati bahwa kualifikasi yang

dituntut berbeda dengan tuntutan yang pertama yaitu dalam Putusan Nomor

576/Pid.B/2008/ PN. Slmn seharusnya dikenakan sanksi juga.

3. Pendekatan Kasus (case approach)

pendekatan kasus ini bertujuan untuk mempelajari kaidah-kaidah

hukum yang dilakukan dalam praktek hukum yang dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan

69
berkaitan dengan permasalahan penelitian pertama untuk dijadikan

referensi bagi ketajaman analisis penelitian ini. Bahwa hakim keliru dalam

menerapkan hukum dan memutus suatu perkara tidak memberikan

kepastian hukum dan rasa keadilan terhadap Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN.Slm Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.Slm.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki perundang-

undangan. Bahan hukum primer disini terdiri dari perundang-undangan,

yang terdiri dari:

1) Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slm dan Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN.Slm.

2) Pasal 55, 75, 263 ayat (2), 264 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)

3) Pasal 156 ayat (2), 184 dan 197 ayat (2) Kitab Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah suatu bahan yang menjadi

penunjang sebagai penjelasan dari bahan primer. Bahan sekunder ini

merupakan kumpulan pustaka misalnya adalah literatur hukum yang

berkaitan dengan penelitian ini, “Penelitian Tesis Rustanto dengan Judul

70
Analisis Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan pengadilan Yang Telah

Memperoleh Kekuata Hukum Tetap Oleh Jaksa Dalam Praktik Peradilan

Pidana di Indonesia, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Bali,

Tahun 2011” dipergunakan sebagai bahan dasar orisinalitas penelitian,

Black’s Law tentang pengertian sistem peradilan pidana.

4. Tehknik Penelusuran Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

penelusuran melalui kegiatan library research, yaitu mengumpulkan berbagai

bahan hukum, baik berupa peraturan perundang-undangan, kode etik profesi,

literartur, karya ilmiah dan hasil penelitian terdahulu, dokumen, pendapat

praktisi hukum, majalah renvoi, serta berbagai buku yang relevan yang

terkait dengan tanggung jawab pidana bagi notaris dalam tindak pidana

penyertaan terkait keterangan palsu oleh penghadap dalam akta otentik.

Mengenai Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian tesis ini adalah dengan melakukan kegiatan membaca secara

kritis analisis lalu menemukan permasalahan dan isu hukum yang akan

diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan

permasalahan yang penulis teliti.

5. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan-bahan hukum dikumpulkan terlebih dahulu lalu dilakukan

analisis secara sistematis yaitu dengan mengaitkan peraturan perundang-

undangan satu dengan lain dan tentu saja didukung dengan bahan-bahan

hukum lainnya, misalnya adalah teori dan konsep hukum dan menyertakan

71
hasil wawancara langsung dengan responden sebagai data pendukung, terkait

dengan permasalahan yang diteliti.

Setelah itu penulis akan menganalisis semua bahan hukum tersebut

menggunakan interpretasi gramatikal atau menurut bahasa, dan metode

analogi atau dikenal dengan argumentum per analogium, maksudnya adalah

menarik sesuatu dari khusus ke umum atau dalam hal ini adalah melihat suatu

fakta atau kenyataan kemudian menariknya pada suatu peraturan umum yang

ada, selain itu digunakan Interpretasi logis untuk memaknai aturan-aturan

hukum dan bahan-bahan hukum lainnya mengenai permasalahan yang telah

dikaji supaya dapat menemukan solusi dari permasalahan tersebut.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kontruksi hukum dalam pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm.

4.1.1 Putusan Hakim Nomor Perkara 66/Pid.B/2012/PN. Slm

A. Identitas Putusan :

Pengadilan Tempat Putusan ditetapkan : Pengadilan Negeri Sleman


72
Tanggal Putusan ditetapkan : senin 10 nopember 2014

Susunan Majelis Hakim :

Sutikna, S.H (ketua)

Iwan Anggoro Warsita, S.H.,M.H (anggota)

Danardono, S.H (anggota)

Nama Terdakwa : NY. Dra. Mawar Muria Rini

B. Kasus posisi

Pada bagian ini dideskripsikan rangkaian fakta (peristiwa konkret) yang

terungkap dalam perkara ini, sehingga secara utuh dapat diketahui duduk

perkara yang sebenarnya. Referensi utama yang digunakan oleh penulis

adalah uraian yang tertulis di dalam putusan hakim. Uraian kasus posisi

ini agar diruntut secara kronologis, sehingga fakta yang lebih awal terjadi

dideskripsikan lebih dahulu daripada fakta yang terjadi kemudian.

Penyajian diberikan dalam bentuk matriks dan bentuk tabel, semata-mata

mempermudah pemahaman urutan peristiwa yang dimaksud. Uraian

kasus yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Tanggal Keterangan

1 Juni 2004 Saksi korban Ir. Gregorius Daryanto telah ditelpon oleh saksi
Hendricus Mulyono yang mengatakan bahwa ada seseorang yang
ingin membeli tanah milik saksi korban Ir. Gregorius Daryanto
sebagaimana SHM No. 717 seluas 1.309 m2 dan SHM 718
seluas 2.955 m2 kemudian korban Ir. Gregorius Daryanto
memperbolehkan tanah tersebut dijual kepada siapapun dengan
harga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu) permeter persegi
5 Juni 2004 Terdakwa Dra. Mawar Muria Rini ditemani oleh saksi Hendricus
Mulyono dan saksi Edi Purwanto datang kerumah saksi korban
Ir. Gregorius Daryanto untuk membicarakan kelanjutan jual belli
tanah miliknya.
73
Setelah terjadi tawar menawar akhirnya tanah tersebut disepakati
dengan harga Rp. 275.000 m2 sehingga harga keseluruhan tanah
milik korban Ir. Gregorius Daryanto sebesar Rp. 1.170.000.000.
atas kesepakatan tukar menukar tersebut dibuatkan oleh saksi Ir.
Gregorius Daryanto, surat perjanjian yang kemudian ditanda
tangani oleh terdakwa, saksi Ir. Gregorius Daryanto, dan 2 orang
saksi yaitu Hendricus Mulyono dan Edy Purwanto tanpa tanggal.
Kemudian Terdakwa Dra. Mawar Muria Rini bersedia membayar
uang tunai kepada korban Ir. Gregorius Daryanto sebesar Rp.
380.000.000, sedangkan sisa pembayaran sebesar Rp.
790.000.000 alam dibayar dengan cara tukar guling tanah milik
Dra. Mawar Muria Rini seluas 6320 m2. Terdakwa Dra. Mawar
Muria Rini menyatakan bersedia membiayai seluruh proses balik
nama tanah milik terdakwa kepada korban Ir. Gregorius
Daryanto dalam waktu 2 bulan.
Bahwa setelah terjadi kesepakatan tersebut, teradakwa Dra.
Mawar Muria Rini saat itu memberikan 1 Bilyet Giro Bank
Niaga senilaai Rp. 300.000.000, jatuh tempo akhir agustus 2004,
sebagai tanda pembayaran secara tunai atas kesepakatan ual beli
tanah tersebut sisanya akan dibayar dengan cara tukar guling.
10 Juni 2004 Untuk menindaklanjutkan jual beli dengan cara tukar guling
tanah antara saksi korban Ir. Gregorius Daryanto sekitar Pukul
11.00 Wib korban Ir. Gregorius Daryanto bersama dengan saksi
Hendricus Mulyono datang ke kantor Notaris/PPAT Endang
Murniati, SH. Kemudian dikantor Notaris/PPAT tersebut
bertemu dengan terdakwa Dra. Mawar Muria Rini.
Selanjutnya Notaris/PPAT Endang Murniati, SH, dijelaskan
kepada saksi korban Ir. Gregorius Daryanto dan Dra. Mawar
Muria Rini disaksikan oleh saksi Hendricus Muyono tentang
rencana tukar guling tanah antara saksi korban Ir. Gregorius
Daryanto dengan terdakwa Dra. Mawar Muria Rini dan saat itu
Notaris/PPAT Endang Murniati, SH konfirmasi kepada saksi Ir.
Gregorius Daryanto apakah benar ada rencana tukar guling tanah
SHM 717 dan SHM 718 milik saksi Ir. Gregorius Daryanto
dengan tanah milik terdakwa Dra. Mawar Muria Rini

Kemudia Notaris/PPAT Endang Murniati meminta kepada saksi


Ir. Gregorius Daryanto untuk menandatangi surat yang telah
dipersiapkan oleh Notaris/PPAT. Namun saksi korban Ir.
Gregorius Daryanto saat itu tidak sempat membaca isi
keseluruhan dari surat tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh saksi
korban Ir. Gregorius Daryanto karena dia percaya kepada
Notaris/PPAT, bahwa yang dia tandatangi adalah sebuah surat
kesepakatan tentang tukar guling dan bukan akte perikatan jual
74
beli.
Notaris/PPAT Endang Murniati saat itu menaytakan sanggup
untuk memproses tanah milik Dra. Mawar Muria Rini menjadi
atas nama Ir. Gregorius Daryanto terlebih dahulu, baru kemudian
tanah milik saksi korban Ir. Gregorius Daryanto diproses menjadi
atas nama Dra. Mawar Muria Rini sesuai dengan perjanjian awal
(perjanjian di bawah tangan antara saksi korban Ir. Gregorius
Daryanto dan Dra. Mawar Muria Rini tanggal 5 juni 2004)
Saat itu saksi korban Ir. Gregorius Daryanto hanya menandatangi
satu kali saja sedangkan untuk lembar berikutnya beberapa kali
paraf dan tidak tanda tangan kemudian Notaris/PPAT meminta
kepada saksi untuk menyerahkan kedua SHM 717 dan SHM 718
yang akan digunakan untuk melakukan pengecekan ke kantor
BPN kabupaten Sleman.
11 Juni 2004 Ir. Gregorius Daryanto menyerahkan dua SHM masing masing
SHM 717 dan 718 kepada Notaris/PPAT Endang Murniati, SH
lalu dibuatkan tanda terima
14 Juni 2004 SHM 717 dan 718 tersebut diserahkan kepada terdakwa Dra.
Mawar Muria Rini.
14 Agustus Ir. Gregorius Daryanto pergi keluar negeri (ke Negara Oman)
Samapai 13 untuk berbisnis.
Oktober 2004
14 Oktober 2004 tiba kembali ke Indonesia
1 Nopember 2004 Notaris/PPAT Endang Murniati, SH menyerahkan perikatan jual
beli No. 65 tertanggal 31 Mei 2004 dan Kuasa Menjual No. 51
tertanggal 30 september 2004 dan kuasa menjual No. 52
tertanggal 30 september 2004 kepada terdakwa Dra. Mawar
Muria Rini, dijadikan dasar untuk melakukan jual beli atas tanah
milik saksi Ir. Gregorius Damayanto antara terdakwa dan saksi
Ir. Delthy Rinaldi.
Diskripsi Kasus Notaris/PPAT Endang Murniati, SH bekerja sama dengan
terdakwa Dra. Mawar Muria ini untuk memalsukan surat yang
akan digunakan untuk melakukan transksi jual beli tanah milik
saksi Ir. Gregorius Damayanto yang akan dijual kepada Ir.
Delthy Rinaldi.
Saksi Ir. Gregorius Damayanto tidak pernah menyuruh atau
menandatangani akta Jual beli dan dan Akta kuasa menjual
Bahwa seolah-olah surat yang dibuat oleh Notaris/PPAT seolah-
olah benar namun sesungguhnya surat tersebut adalah palsu tidak
memuat suatu kebenaran
9 September 2005 Bahwa saksi Ir. Delthy Rinaldhy membeli tanah SHM no. 717
dan SHM No. 718 milik Gregorius Daryanto yang terletak di
Juwangen, Purwomartani, Kalasan, Sleman dari terdakwa.
Dasar saksi membeli tanah objek tersebut karena adanya
perikatan Jual Beli No. 65 tanggal 31 Mei 2004 dan Akta Kuasa
Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004 dari
75
Gregorius Daryanto kepada terdakwa yang dibuat oleh Notaris
Endang Murniati, SH.
Bahwa saksi membeli tanah tersebut dengan harga Rp. 400.000,-
per meter persegi.
Ir. Delthy Rinaldhy menyerahkan uang sebesar Rp.
1.300.000.000 melalui transfer Bank Niaga atas nama terdakwa
29 Oktober 2005 Menyerahkan sisa pembayaran secara tunai kepada terdakwa
sebesar 375.000.000
19 Januari 2006 Bahwa Ir. Gregorius Daryanto bersama saksi Hendricus Multono
dan terdakwa Endang Murniati, SH bertemu dengan saksi Ir.
Delthy Rinaldi di depan Hotel Regency kemudian saksi Ir.
Delthy Rinaldi memberitahukan kepada Ir. Gregorius Daryanto
bahwa tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718 telah dijual oleh
Dra. Mawar Muria Rini kepadanya dengan menunjukan bukti
transfer uang dari Ir. Delthy Rinaldi kepada Dra. Mawar Muria
Rini senilai Rp. 1.300.000.000
Bahwa saksi Ir. Delthy Rinaldi bersedia membeli tanah tersebut
karena telah diperkuat adanya Akta Perikatan Jual beli No. 65
tanggal 31 Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 tertanggal 30
september 2004 dan Akta kuasa menjual No. 52 tertanggal 30
september 2004 yang dibuat oleh Notaris/PPAT Endang
Murnaiti, SH
Bahwa Ir. Gregorius Damayanto merasa tidak pernah melakukan
tanda tangan di Akta Pengikatan Jual Beli dan Akta Kuasa
Menjual kepada Dra. Mawar Muria Rini di Notaris/PPAT
Endang Murniati, SH.
Selanjutnya saksi Ir. Gregorius Daryanto mencermati tanda
tangan yang ada di ketiga akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT
Endang Murniati, SH dan ternyata ketiga tanda tangan yang ada
baik yang ada dalam Akta jual beli maupun yang ada di Akta
Kuasa menjual adalah bukan tanda tangan Ir. Gregorius
Daryanto, kejadian tersebut dilaporkan ke Polda DIY untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
9 maret 2006 Terdakwa dan Ir. Delthy Rinaldhy datang ke kantor
Notaris/PPAT Sugiarto, SH untuk melakukan transaksi Jual Beli
dengan.
Notaris Sugiarto, SH membuatkan Akta Jual beli No. 35 dan No.
36 atas tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718 atas nama
Gregorius Daryanto tersebut, sebagai pihak penjual adalah
terdakwa sedangkan pihak pembeli adalah Ir. Delthy Rinaldhy.
Saksi Ir. Bahwa Terdakwa bersama Hendrikus Mulyono datang ke rumah
Gregorius saksi mau membeli tanah saksi yang tercantum dalam 2
Daryanto Sertifikat Hak Milik yaitu No. 717 dengan luas 1.309 M2 dan
SHM No. 718 dengan luas 2.995 M2, terletak di Juwangen,
Purwomartani, Kalasan, Sleman
Bahwa saksi menawarkan permeternya sebesar Rp. 400.000,-
76
dan Terdakwa menawar dengan harga sebesar Rp. 275.000,-
harga jadi dengan total harga keseluruhan sebesar Rp.
1.170.000.000,- bersih, tetapi pembayaran akan diangsur
sebanyak 10 kali. saksi tidak setuju, kemudian Terdakwa
menawarkan tukar guling Sleman seluas 6.320 M2 dengan
kesepakatan saksi menerima tambahan uang sebesar Rp.
380.000.000,-. Kemudian dibuat Surat Perjanjian tertanggal 5
Juni 2004;
Bahwa selanjutnya pada tanggal 10 Juni 2004, saksi bersama
Terdakwa dan Pak Hendrikus Mulyono menghadap Notaris
Endang Murniati, untuk dibuatkan akta tukar gulingnya;
Bahwa saksi pernah menandatangani Akte tukar guling dan
beberapa kali paraf. Akta yang saksi tandatangani itu sebelumnya
sudah disiapkan oleh Notaris Endang.
Bahwa saksi merasa belum pernah menandatangani Surat Kuasa
Menjual No. 51 dan No. 52 tertanggal 30 September 2004 yang
dibuat oleh Notaris Endang, pada tanggal itu saki sedang berada
di luar negeri dan saksi belum datang lagi ke Indonesia hingga
tahun 2005
Bahwa saksi juga mengaku tidak pernah menandatangani Akta
Perikatan Jual Beli No. 65 tertanggal 31 Mei 2004.
Bahwa ketika saksi melakukan kesepakatan dengan Terdakwa
dalam Surat Perjanjian itu yang ditekankan adalah tukar
gulingnya
Saksi Cecilia Bahwa saksi mengetahi masalah tukar guling tersebut karena
Setawati diberitahu oleh suami saksi. Bahwa saksi belum pernah dimintai
persetujuan terhadap tukar guling tanah tersebut dan belum
pernah diajak ke Notaris Endang Murniati untuk tanda tangan
surat perjanjian
Bahwa benar, suami saksi pernah menerima transfer uang dari
Terdakwa untuk pembayaran kaitan dengan tukar guling tanah
tersebut, tetapi jumlahnya saksi tidak tahu dan Bahwa saksi
belum pernah melihat Akta Jual Beli yang dibuat antara
Terdakwa dengan suami saksi. Bahwa saksi juga tidak pernah
dimintai KTP untuk proses tukar guling tanah
Bahwa sekarang tanah saksi dan suami yang akan ditukar guling
dengan tanah milik Terdakwa tersebut telah menjadi atas nama
Delthi Renaldhy, tetapi saksi tidak tahu kenapa tanah tersebut
bisa dibalik ke Delthi Renaldhy
Saksi Hendrikus Bahwa saksi mengetahui perkara ini adalah masalah tukar guling
Mulyono tanah tetapi tidak selesai.
Bahwa saksi bisa masalah tukar guling tersebut karena rumah
saksi dekat dengan tanah milik Ir. Gregorius Daryanto tersebut,
dan saksi juga sebagai Ketua RW-nya, dan dalam proses tukar
guling tersebut saksi ikut terlibat di dalamnya
Bahwa sewaktu di Notaris dibuatkan Surat Perjanjian tukar
77
guling, yang tanda tangan adalah Ir. Greogerus Daryanto,
Terdakwa, dan saksi juga tanda tangan sebagai saksinya
Bahwa proses tukar guling tanah tidak selesai, kemudian timbul
masalah yaitu ada orang bernama Ir. Delthy Rinaldhy yang
membangun rumah diatas tanah milik Ir. Greogerus Daryanto
yang akan ditukar guling tersebut. Ketika saksi tanya Ir. Delthy
Rinaldhy bahwa ia telah membeli tanah tersebut dari terdakwa
Bahwa saksi tidak mengetahui tentang Surat Kuasa Menjual
No.51 dan No.52 tanggal 30 September 2004, tetapi yang
setahu saksi pada tanggal 30 September 2004 Pak Ir. Gregorius
sedang berada di Oman
Saksi Endang Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa, dan Terdakwa pernah
Murniati, SH menjadi klien saksi dalam pembuatan Akta-akta
Bahwa seingat saksi saat itu ada 3 Akta yang dibuat, yaitu Akta
Perikatan Jual BeliNo. 65, Akta Kuasa Menjual No 51 dan No.
52.
Bahwa yang menjadi pihak Penjual adalah Ir. Gregorius
Daryanto yaitu tanah miliknya yang terdiri dari SHM. No.
717 dan SHM No. 718 yang terletak di Juwangen,
Purwomartani, Kalasan, Sleman, dan yang menjadi pihak
pembeli adalah Terdakwa
Bahwa Akta perikatan Jual Beli No. 65 ditandatangani pada
tanggal 31 Mei 2004, itu dilakukan di Kantor saksi dengan
ditanda tangani oleh Terdakwa, Ir. Gregorius Daryanto,
Hendrikus Mulyono, dan Edi Purwanto
Bahwa pada saat penandatanganan Akta perikatan Jual Beli No.
65 isteri Gregorius Daryanto tidak datang, tapi katanya
menyetujui. Dan blangko persetujuan saksi serahkan kepada
Terdakwa
Bahwa tidak benar jika dikatakan bahwa tanda tangan di Akta
tersebut palsu, karena ketika datang ke kantor saksi para pihak
tanda tangan 3 Akta yaitu1 tanda tangan Akta Jual Beli dan 2
Akta Kuasa Menjual.
Saksi Heri Bahwa saksi bekerja di BPN Sleman sejak tahun 2006 sampai
Susanto, SH dengan tahun 2012. jual beli tanah terhadap tanah objek
sengketa milik Ir. Gregorius Daryanto yang tercantum dalam 2
Sertifikat Hak Milik No. 717 seluas 1309 M2, dan SHM No. 718
seluas 2955 M2 yang terletak di Juwangen, Purwomartani,
Kalasan, Sleman
Bahwa berdasarkan Akta Jual Beli PPAT Notaris Sugiharto, SH.
No. 35 dan No. 36 tanggal 9 Maret 2006 dan Surat Kuasa
Menjual No. 51 dan No. 52 tertanggal 30 September 2004 atas
nama Terdakwa selaku Kuasa dari Ir. Gregorius Daryanto, tanah
objek sengketa milik Ir. Gregorius Daryanto tersebut
kepemilikannya beralih ke Ir. Delthy Rinaldhy. Dan telah
digabung menjadi SHM No. 8572
78
Bahwa dalam Surat Kuasa Menjual, sebagai pihak penjual
adalah Ir. Gregorius Daryanto sedangkan Terdakwa sebagai
pihak pembelinya
Saksi Eddy Bahwa saksi pernah bekerja di PT. Mahako yang dipimpin
Purwanto Terdakwa, sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005, saksi
sebagai Staf Teknik dengan bidang tugas salah satunya
mengurusi kapling tanah yang dibeli oleh Terdakwa
Bahwa awalnya pak Gregorius menawarkan tanah untuk dibeli
kemudian setelah dilakukan pembicaraan, maka dilakukan tukar
guling antara tanah milik Gregorius tersebut yang ditukar guling
dengan tanah Terdakwa yang terletak di Teguhan, Kalitirto,
Berbah, Sleman
Bahwa saksi mengetahui hal itu karena saksi pernah diajak
Terdakwa bersama Henrikus Mulyono menemui Pak Gregorius
Daryanto di rumahnya, dan saksi mendengar pembicaraan antara
Terdakwa dengan Pak Gregorius Daryanto mengenai tukar
guling tanah tersebut. Kemudian saksi disuruh mengkapling,
pengerukan serta meratakan tanah yang di Juwangen tersebut
Saksi Heri Bahwa saksi diminta menjadi saksi berkaitan dengan paspor atas
Sudiono nama Gregorius Daryanto. Bahwa Paspor atas nama Gregorius
Daryanto dikeluarkan oleh kantor Imigrasi Yogyakarta pada
tanggal 17 Januari 2001 berlaku sampai dengan tanggal 17
Januari 2006
Bahwa dari Paspor tersebut mengenai cap-cap dari bandara, pada
tanggal 24 Agustus 2004 Gregorius Daryanto keluar dari
Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta dan masuk ke negara
Oman pada tanggal 25 Agustus 2004, kemudian keluar dari
negara Oman pada tanggal 13 Oktober 2004, dan sampai di
Bandara Soekarno-Hatta pada tanggal 14 Oktober 2004.
Bahwa melihat Paspor tersebut, menurut saya pada tanggal
30 September 2004 keberadaan Gregorius Daryanto ada di
Negara Oman.
Saksi Ir. Delthy Bahwa saki telah membeli tanah objek sengketa yaitu tanah
Rinaldhy SHM No. 717 dan tanah SHM No. 718 milik Gregorius
Daryanto yang terletak di Juwangen, Purwomartani, Kalasan,
Sleman dari Terdakwa
Bahwa dasarnya saksi membeli tanah objek sengketa tersebut
karena ada Perikatan Jual beli No. 65 tanggal 31 Me 2004 dan
Akta Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September
2004 dari Gregorius Daryanto kepada Terdakwa yang dibuat
oleh Notaris Endang Murniati, SH
Bahwa saksi membeli tanah SHM No. 717 luas 1309 M2 dan
tanah SHM No. 718 luas 2955 M2 tersebut pada tanggal 9
September 2005 dengan harga Rp. 400.000,- per meter persegi
Bahwa saksi telah menyerahkan uang sebesar Rp.
1.300.000.000,- melalui transfer Bank Niaga atas nama
79
Terdakwa dan secara tunai tanggal 29 Oktober 2005 sebesar Rp.
375.000.000,- yang diterima Terdakwa
Bahwa pada waktu dibuatkan Akta Jual Beli saksi tidak
bertemu dengan Gregorius Daryanto tetapi pada saat itu saya
melihat KTP atas nama Gregorius Daryanto dan isterinya.
Bahwa sebelumnya saksi belum pernah bertemu dengan
Gregorius Daryanto
Saksi Sugiharto, Bahwa saksi pernah membuat Akta Jual Beli No. 35 dan No. 36
SH tanggal 9 Maret 2006 atas tanah SHM No. 717 dan SHM No.
718 atas nama Gregorius Daryanto tersebut, sebagai pihak
penjual adalah Terdakwa, sedangkan pihak pembeli adalah Ir.
Delthy Rinaldhy
Bahwa kejadiannya pada awal tahun 2006 Terdakwa datang
pada saksi sambil membawa Surat Kuasa Menjual dari
Gregorius Daryanto dengan No. 51 dan No. 52 tertanggal 30
September 2004, selanjutnya saksi tanyakan ke Notaris
Endang Murniati karena yang membuat perikatan Jual belinya,
dan Notaris Endang membenarkannya; memberi Kuasa untuk
menjual terhadap tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718
kepada Terdakwa
Bahwa yang menjadi dasar adanya Surat Kuasa Menjual tersebut
adalah adanya perikatan jual beli lunas antara Ir. Gregorius
Daryanto dengan Terdakwa. Bahwa yang membuat Akta
perikatan jual beli lunas adalah Notaris EndangMurniati, SH.
Saksi A de Bahwa saksi sebagai mantan karyawan Terdakwa pernah
Charge Israrizal membangun Perumahan Bandara 1 kemudian Terdakwa akan
mengembangkannya dengan Perumahan Bandara II ditanah
Terdakwa dari hasil tukar guling tanah milik Gregorius Daryanto
Bahwa saksi kemudan mengarap tanah tersebut dengan membuat
kapling-kapling
Bahwa saat itu Gregorius Daryanto juga pernah datang ke lokasi
dan ia malah mau beli kios bagian depan yang katanya nantinya
untuk saudaranya
Bahwa ketika tanah terdakwa yang akan dipergunakan lokasi
Perumahan Bandara II dikapling-kapling, Gregorius Daryanto
tidak berkeberatan Bahwa ketika tanah terdakwa yang akan
dipergunakan lokasi Perumahan Bandara II dikapling-kapling,
Gregorius Daryanto tidak berkeberatan
Saksi A de Bahwa saksi sudah lama kenal dengan Terdakwa dan saksi
Charge Ismanto, pernah menjadi Penasehat Hukum Terdakwa, yaitu dalam
SH., M.Si perkara pidana No. 576/Pid.B/2008/PN.Slmn., dengan dakwaan
penipuan dan atau penggelapan.
Bahwa yang merasa ditipu adalah Gregorius Daryanto, obyeknya
tanah dalam Sertifikat Hak Milik No. 717 dan SHM No. 718 atas
nama Gregorius Daryanto dalam rangka tukar guling antara
tanah milik Gregorius Daryanto dengan tanah milik
80
Terdakwa yang terletak di Teguhan, Kalitirto, Berbah, Sleman.
Tukar guling tersebut akhirnya tidak selesai, karena bermasalah
hingga tidak dapat diproses.
Bahwa yang saksi masih ingat sebagian barang bukti yang
diajukan dipersidangan, diantaranya perikatan jual beli antara
Gregorius Daryanto dengan Terdakwa, perikatan Jual Beli
tersebut dibuat dengan cara dibawah tangan
Keterangan Ahli Bahwa yang dimaksud dengan Akta Otentik adalah Akta yang
SIGIT dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang yaitu dibuat
RIYANTO, dihadapan Pejabat yang berwenang dan bentuknya sesuai
SH,M.Si undang-undang, isinya menjadi tanggung jawab Notaris dan
dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang dan ada pihak yang
tidak menghadap didepan Notaris atau ada ditempat lain maka
Akta tersebut tidak sah
Bahwa Notaris bertanggung jawab atas kebenaran formil dari
suatu akta yang dibuatnya, sedangkan isinya yang bertanggung
jawab para pihak. Bahwa jika akta yang dibuat tidak sesuai
dengan keadaan sebenarnya, otomatis semua perbuatan atau
produk yang timbul sebagai akibat dari digunakan Akta yang
tidak sah, maka tidak sah juga.
Bahwa asas Nebis In Idem tidak berlaku bagi terdakwa mampu
menyembunyikan seluruh unsur yang apabila diketahui akan
menghasilakn kejahatan, kemudian juga bisa mampu
mengupayakan tuntutan pidana hanya berdasrkan satu
pelanggaran atau terdakwa mampu mengelabuhi seluruh
persidangan untuk mengambil langkah yang keliru, maka
tuntutan untuk yang kedua kalinya boleh dilakukan.
Keterangan Dr. Bahwa yang dimaksud Nebis in idem adalah orang tidak dapat
Muhammad Arif dilakukan penuntutan untuk kedua kalinya dalam perkara atau
Setiawan, tindak pidana yang sama. Bahwa asas nebis in idem ini bersifat
S.H.,M.S universal diberlakukan hampir disemua Negara, dengan tujuan
untuk memberikan kepastian hukum baik bagi pelaku, korban
dan masyarakat. Sehingga bagi pelaku hal ini memberikan
kepastian hukum tidak akan terus menerus dituntut oleh Negara
dalam suatu peristiwa yang telah ditentukan statusnya oleh
lembaga peradilan yang sah; Bahwa nebis in idem diatur dalam
pasal 76 KUHP
Keterangan Bahwa Terdakwa kenal dengan Gregorius Daryanto sejak
Terdakwa Dra. bulan April 2004 karena dikenalkan oleh Hendrikus Mulyono.
Mawar Muria Bahwa Gregorius Daryanto mempunyai tanah di
Rini Purwomartani dan kebetulan Terdakwa mempunyai tanah
disebelahnya. Kemudian Terdakwa berkeinginan untuk membeli
tanah Gregorius Daryanto tersebut SHM No. 718 seluas 2955
M2 milik Gregorius Daryanto dengan cara tukar guling tanah
milik Terdakwa yang ada di Teguhan, Kalitirto, Berbah,
Sleman seluas 6310 M2 dengan kesepakatan harga tanah
81
milik Gregorius Daryanto Terdakwa beli dengan harga Rp.
275.000 per meter persegi.
Bahwa pada tanggal 3 April 2004 Terdakwa datang bersama
Hendrikus Mulyono dan Edi Purwanto pernah datang ke rumah
Gregorius Daryanto membicarakan masalah jual beli tanah
dengan cara tukar guling.
Bahwa Terdakwa kenal dengan Notaris Endang Murniati, SH.
Bahwa terdakwa pernah datang ke Notaris Endang Murniati, SH
bersama bersama Gregorius Daryanto, Hendrikus Mulyono.
Bahwa Terdakwa pernah membuat Surat Perjanjian yang
Terdakwa tandatangani dan ditandatangani pula oleh Gregorius
Daryanto, yang isinya Ir. Gregorius Daryanto menjual tanah
miliknya SHM 717 dan 718 dengan cara tukar guling dengan
tanah milik Terdakwa.
Bahw tindak lanjut dari pernjanjian tersebut adalah dibuatkan
perikatan jual beli dan telah ditandatangani dan diberi tanggal
31 Mei 2004, sedangkan Kuasa Menjual belum ada tanggal
dan bulannya dengan alasan nanti kalau sudah ada pembayaran
baru diberi tanggal.
Bahwa perikatan jual beli dan Kuasa Menjual dibuat di
Notaris Endang Murniati, SH. Dan yang hadir di kantor Notaris
Endang Murniati, SH., untuk penandatanganan Perikatan Jual
Beli dan Kuasa Menjual adalah Terdakwa, Gregorius Daryanto,
dan Hendrikus Mulyono

NO NAMA KESAKSIAN YANG SAMA


1. Gregorius Daryanto datang ke Notaris untuk menandatangani Akta Tukar
Guling dan beberapa kali paraf
Tidak pernah menandatangi Surat Kuasa menjual No.
51 dan No. 52 tanggal 30 September yang dibuat oleh
Notaris Endang, karna saksi pada tanggal tersebut
sedang berada di luar negeri.
2. Cecilia Setiawati Saksi belum pernah dimintai persetujuan terhadap
tukar guling tanah tersebut dan belum pernah diajak ke
Notaris Endang Murniati untuk tanda tangan surat
perjanjian.
82
3. Hendrikus Mulyono Datang ke Notaris untuk dibuatkan surat perjanjian
tukar guling, yang tanda tangan adalah Gregorius
Daryanto, terdakwa, dan saksi juga tanda tangan.
Saksi tidak mengetahui tentang Surat Kuasa Menjual
No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2014, tetapi
setahu saksi pada tanggal 30 September 2004
Gregorius sedang berada di Oman.
4. Eddy Purwanto Ikut menandatangi Surat Perjanjian tukar guling
5. Heri Sudiono Melihat paspor tersebut menurut saya pada tanggal 30
September 2004 keberadaan Gregorius Daryanto ada
di Negara Oman
6. Ahli Sigit Riyanto akta yang dibuat tidak sesuai dengan tanggal serta ada
pihak yang tidak menghadap di depan Notaris akta
tersebut adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan
faktanya maka itu palsu.
seseorang dapat dituntut kedua kali apabila dalam
putusan hakim masih mungkin untuk diulangi dan
Nebis In Idem tidak berlaku bagi terdakwa yang
mampu menyembunyikan seluruh unsur yang apabila
diketahui akan menghasilkan kejahatan.

NO NAMA KESAKSIAN YANG BERBEDA

1. Endang Murniati Ada 3 akta yang dibuat, yaitu akta pengikatan jual beli
No. 65, Akta Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52
Akta Pengikatan Jual Beli No. 65 ditandatangani oleh
Terdakwa, Gregorius Daryanto Hendrikus Mulyono,
dan Edi Purwanto pada tanggal 31 Mei 2004.
2. Heri Susanto Dasar perailhan tanah kepada Delthy Rinaldhy adalah
karena Terdakwa selaku kuasa dari Gregorius
Daryanto yang dibuktikan dengan surat kuasa menjual
No. 51 dan No. 52 dan akta pengikatn jaul beli no. 65
3. Sugiharto Terdakwa Datang Pada Saksi Dengan Membawa Surat
83
Kuasa Menjual Dari Gregorius Daryanto Dengan No.
51 Dan No.52 Tertanggal 30 September 2004,
Kemudian Saksi Tanyakan Ke Notaris Endang
Murniati Karena Yang Membuat Perikatan Jual
Belinya Dan Notaris Endang membenarkan.
Dasar adanya surat kuasa menjual tersebut adanya
perikatan jual beli beli lunas antara terdakwa dan
Gregorius Daryanto
4. Mawar Muria Rini Perikatan jaul beli dan Kuasa Menjual dibuat di
Notaris Endang Murniati serta ditandatangi oleh
terdakwa, Gregorius Daryanto dan Hendrikus
Mulyono.
5. Nur Ismanto Terdakwa pernah di putus dalam putusan perkara
pidana No.576/Pid.B/2008/PN.Slmn dengan dakwaan
Penipuan dan atau Penggelapan
6. Ahli Muhammad Arif Nebis In idem adalah orang tidak dapat dilakukan
penuntutan untuk kedua kalinya dalam perkara atau
Setiawan tindak pidana yang sama

Perkara yang sama yaitu perkara yang sesungguhnya


terjadi yang dilakukan oleh terdakwa. Hal ini dapat
dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan dapat
dilihat dari dakwaan Penuntut Umum.
Terdapat Nebis In Idem Seharusnya Ditingkat
Penyidik Sudah Dapat Dihentikan, Pada Saat Proses
Penuntutan, Penuntut Umum Dapat Menerbitkan
Penghentian Penuntutan Dan Apabila Diketahui
Adanya Nebis In Idem Pada Proses Persidangan,
Seharusnya Hakim juga dapat menerbitkan perintah
penghentian persidangan.
NO FAKTA-FAKTA DI PERSIDANGAN

1. Pada bulan Mei-Juni 2004 bertempat dirumah Gregorius Daryanto telah terjadi
kesepakatan tukar menukar tanah antara Gregorius Daryanto dengan terdakwa
Mawar Muria Rini.
2. Kesepakatan tukar menukar tanah tersebut dibuatkan oleh saksi Gregorius
Daryanto surat perjanjiannya yang kemudian ditanda tangani oleh terdakwa,
saksi Gregorius Daryanto, dan 2 orang saksi yaitu Hendricus Mulyono dan Edy
Purwanto tanpa tanggal.
3. Surat perjanjian tersebut di bawa ke Notaris sehingga oleh Notaris Endang
Murniati dibuatkan akta perikatan jual beli nomor 65 tanggal 31 Mei 2004, Akta
Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004

84
4. Sesuai tertera dalam akta perikatan jual beli No. 65 penandatanganan akta
tersebut dilakukan pada tanggal 31 Mei 2004 sedangkan penandatangan akta
kuasa menjual No.51 dan akta kuasa menjual No. 52 dilakukan pada tanggal 30
September 2004
5. Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta perikatan jual beli
Nomor 65 tanggal 31 Mei 2004 karena Gregorius menyakini datang ke Notaris
pad tanggal 10 Juni 2004.
6. Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta Kuasa Menjual No. 51
dan No. 52 tanggal 30 September 2004 karena pada tanggal tersebut sedang
berada di Oman
7. Endang Murniati Dan Terdakwa Menerangkan Bahwa Tanda Tangan Dalam
Perikatan Jual Beli Nomor 65 Tanggal 31 Mei 2004 Sedangkan Dalam Akta
Kuasa Menjual No. 51 Dan No. 52 Tanggal 30 September 2004, Endang
Murniati tanggal tertera dalam akta tersebut tidak benar dilakukan
penandatanganan tersebut yang benar penandatanganni pada tanggal 31 Mei
2004.
8 Bedasarkan berita acara pemeriksaan dari hasil Laboratorium Kriminalistik
kesimpulannya menerangkan: Satu bundel surat kuasa jual Nomor 51; Satu
bundel surat kuasa jual Nomor 52 dan Satu bundel surat kuasa menjual Nomor
65, Gregorius dan isterinya sebagai pihak kesatu dengan Mawar Muria Rini
tangagl 31 Mei 2004 dengan tanda tangan Gregorius Daryanto sebagai
pembanding adalah merupakan tanda tangan berbeda.

C. Dasar hukum yang Digunakan

1) Pasal 264 ayat (2)

2) Pasal 263 ayat (2)

D. Silogisme dalam Putusan Hakim


Kronologis singkat perkara dalam fakta hukum persidangan
(fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan sesuai dengan keyakinan
Majelis hakim).
Mawar Muria Rini (Umur 54 Tahun), seorang Karyawan Swasta,
jalan Affandi Gg. Bayu No. 4 Mrican Kelurahan Caturtunggal, kecamatan
Depok, Kabupaten Sleman.
Awalnya Pada tanggal 5 Juni tahun 2004 bertempat dirumah
Gregorius Daryanto (Penjual)telah terjadi kesepakatan tukar menukar
tanah terdakwa Mawar Muria Rini (Pembeli). Kesepakatan tukar
menukar tanah tersebut dibuatkan oleh Gregorius Daryanto surat
perjanjiannya yang kemudian ditanda tangani oleh Mawar Muria Rini,

85
Gregorius Daryanto, dan 2 orang saksi yaitu Hendricus Mulyono dan Edy
Purwanto tanpa tanggal.
Surat perjanjian tersebut di bawa ke Notaris sehingga oleh Notaris
Endang Murniati dibuatkan akta perikatan jual beli nomor 65 tanggal 31
Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September
2004. Sesuai tertera dalam akta perikatan jual beli No. 65
penandatanganan akta tersebut dilakukan pada tanggal 31 Mei 2004
sedangkan penandatangan akta kuasa menjual No.51 dan akta kuasa
menjual No. 52 dilakukan pada tanggal 30 September 2004.
Bahwa Gregorius (Penjual/pemilik) tidak mengakui tanda
tangannya dalam Akta perikatan jual beli Nomor 65 tanggal 31 Mei 2004
karena Gregorius menyakini datang ke Notaris pada tanggal 10 Juni 2004.
Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta Kuasa Menjual
No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004 karena pada tanggal
tersebut sedang berada di Oman.
Endang Murniati (Notaris/PPAT)dan Mawar Muria Rini
menerangkan bahwa Tanda Tangan dalam Perikatan jual beli Nomor 65
tanggal 31 Mei 2004 Sedangkan dalam akta kuasa menjual No. 51 dan
No. 52 tanggal 30 september 2004, Endang Murniati tanggal tertera
dalam akta tersebut tidak benar dilakukan penandatanganan tersebut yang
benar penandatanganni pada tanggal 31 Mei 2004.
Bedasarkan berita acara pemeriksaan dari hasil Laboratorium
Kriminalistik kesimpulannya menerangkan: Satu bundel surat kuasa jual
Nomor 51;Satu bundel surat kuasa jual Nomor 52 dan Satu bundel surat
kuasa menjual Nomor 65, Gregorius dan isterinya sebagai pihak kesatu
dengan Mawar Muria Rini tanggal 31 Mei 2004 dengan tanda tangan
Gregorius Daryanto sebagai pembanding adalah merupakan TANDA
TANGAN BERBEDA.”
Sehingga Mawar Muria Rini (Umur 54 Tahun), dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-seolah sejati karena
pemakaian surat itu menimbulkan kerugian. surat tanggal 30 Mei dan 31
September 2004 dipakai untuk dialihkan kepada Ir. Delthy Rinaldhy
(Pembeli).
Bahwa Mawar Muria Rini (Umur 54 tahun), didakwa melanggar
Pasal 263 ayat (2) KUHP menegaskan bahwa:

“Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan


sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati,
jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian”.

1) Analisis Norma

a) Sasaran Norma : Semua orang


b) Modus Perilaku : Larangan
c) Objek Norma :
(1) Barang Siapa;
86
(2)Memakai Surat Palsu; dan
(3)Diancam Jika Pemakaian Surat Tersebut
dapat Menimbulkan Kerugian.
d) Kondisi Norma : Tempus dan locus delicti (tunduk pada
ketentuan hukum pidana).
2) Unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

a) Unsur barang siapa;


b) Unsur memakai surat palsu; dan
c) Unsur diancam jika pemakaian surat tersebut dapat
menimbulkan kerugian.

(1) Unsur “Barang Siapa”


 Premis mayor ;
Semua orang telah dewasa, cakap hukum, dan melakukan
tindak pidana di Indonesia adalah subjek hukum
“barangsiapa” atau orang perorangan yang dapat diancam
dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP.
 Premis minor ;
Mawar Muria Rini adalah orang yang secara hukum telah
dewasa, cakap hukum, dan melakukan tindak pidana di
Indoesia.
 Konklusi ;
Mawar Muria Rini adalah subjek hukum “barangsiapa”
atau orang perorangan yang diancam dengan Pasal 263 ayat
(2) KUHP.
(2) Unsur “Memakai Surat Palsu”
 Premis mayor ;
Segala tindakan dan perbuatan dengan cara memakai surat
palsu menurut Pasal 263 ayat (2) KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan Mawar Muria Rini dengan cara memakai surat
palsu atau seolah-olah surat yang digunakan tersebut adalah
benar atau sejati untuk peralihan hak kepada pihak lain
tanpa persetujuan oleh pihak pemilik.
 Konklusi ;
Tindakan Mawar Muria Rini adalah perbuatan memakai
surat palsu atau seolah-olah surat yang digunakan tersebut
adalah benar atau sejati untuk peralihan hak kepada pihak
lain tanpa persetujuan oleh pihak pemilik menurut Pasal
263 ayat (2) KUHP.

87
(3) “Unsur Pemakaian Surat Tersebut Menimbulkan
Kerugian”
 Premis mayor ;
Segala tindakan yang dilakukan dengan cara memakai surat
yang berisi tidak benar dan menimbulkan kerugian bagi
orang lain yang dapat diancam dengan Pasal 263 ayat (2)
KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini adalah
dengan cara memakai surat palsu yang sebenarnya dapat
menimbulkan kerugian bagi pemilik.
 Konklusi ;
Tindakan Mawar Muria Rini adalah perbuatan memakai
surat palsu menimbulkan kerugian bagi pemilik menurut
Pasal 263 ayat (2) KUHP.
Akhirnya:
Dengan memperhatikan bahwa unsur-unsur perbuatan yang
dilakukan oleh Mawar Muria Rini terbukti memakai surat palsu, berupa
Akta pengikatan jual beli dan Akta Kuasa Menjual untuk digunakan dalam
menjual objek yang dikuasai kepada pihak ketiga sehingga pemakaian
surat palsu tersebut mangakibatkan kerugian bagi pihak pemilik/penjual
tangan pertama dan terpenuhi segala unsur. Maka jaksa penuntut umum
sampai pada kesimpulan memberikan dakwaan kepada terdakwa bahwa
perbuatan Mawar Muria Rini (terdakwah) dianggap memenuhi kualifikasi
tindak pidana menurut Pasal 263 ayat (2) KUHP.

Berdasarkan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor:


66/Pid.B/2012/PN.Slmn. Tanggal 1 Februari 2012: Bahwa Mawar Muria
Rini (Umur 54 tahun) dinyatakan telah melanggar asas Nebis In Idem
dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) menegaskan bahwa:
“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi,
orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim
Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi
tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan
swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-
pengadilan tersebut”.

Analisis Norma

1) Sasaran Norma : Semua orang


2) Modus Perilaku : Larangan
3) Objek Norma :
a) Barang Siapa;
88
b) Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama
c) Pelakunya sama dan atas perbuatan/peristiwa
pidana yang sama;
d) Korban yang diajukan adalah sama;
e) Objeknya sama atau satu;
f) Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
4) Kondisi Norma : Tempus dan locus delicti (tunduk pada ketentuan
hukum pidana)
Unsur-unsur tindak pidana:
1) Barang Siapa;
2) Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama
3) Pelakunya sama dan atas perbuatan/peristiwa pidana yang sama;
4) Korban yang diajukan adalah sama;
5) Objeknya sama atau satu;
6) Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Silogisme pasal yang diterapkan:


1) Unsur "Barangsiapa"
 Premis mayor:
Semua orang yang telah dewasa, cakap hukum, dan melakukan
tindak pidana di Indonesia adalah subjek hukum "barangsiapa"
(orang perorangan) yang dapat diancam dengan Pasal 76 ayat (1)
KUHP.
 Premis minor:
Mawar Muria Rini adalah orang yang telah dewasa, cakap
hukum, dan melakukan tindak pidana di Indonesia.
 Konklusi:
Mawar Muria Rini adalah subjek hukum "barangsiapa" (orang
perorangan) yang dapat diancam dengan Pasal 76 ayat (1) KUHP.

2) Unsur “Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama”


 Premis mayor:
Perbuatan yang sama yang dilakukan oleh terdakwa dan peristiwa
pidananya sudah pernah didakwakan untuk kedua kalinya termuat
dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.
 Premis minor:
Perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini adalah
persitiwa pidananya sudah pernah didakwakan untuk kedua
kalinya.
 Konklusi:

89
Perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini adalah dan
peristiwa pidananya sudah pernah didakwakan untuk kedua kalinya
termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.
3) Unsur “Pelakunya sama dan atas perbuatan/peristiwa pidana
yang sama”
 Premis mayor ;
Segala tindakan yang dilakukan dimana pelakunya sama dan atas
perbuatan/presitiwa pidana yang sama terhadap sesuatu hal tesebut
termuat dalam Pasal 76 ayat 1 (Nebis In Idem) KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini yang dimaksud
pernah Ia lakukan sebelumnya dan atas perbuatan/peristiwa pidana
yang sama terhadap sesuatu hal yang dimaksud dituntut Pasal 263
ayat (2) KUHP.
 Konklusi ;
Tindakan Mawar Muria Rini ADALAH perbuatan yang pernah Ia
lakukan sebelumnya atas perbuatan/peristiwa pidana yang sama
terhadap sesuatu hal yang dimaksud dituntut Pasal 263 ayat (2)
KUHP yang menurut Pasal 76 ayat 1 (Nebis In Idem) KUHP.
4) Unsur “Korban yang diajukan adalah sama”
 Premis mayor ;
Segala tindakan yang dilakukan dalam perbuatan dimana korban
yang diajukan adalah sama yang termuat dalam Pasal 76 ayat 1
(Nebis In Idem) KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini yang dimaksud
dimana Ia sebagai korban sama yang diajukan di persidangan.
 Konklusi ;
Tindakan Mawar Muria Rini ADALAH Ia korban sama yang
diajukan di persidangan yang didakwakan dengan Pasal 263 ayat (2)
KUHP yang menurut Pasal 76 ayat 1 (Nebis In Idem) KUHP.
5) Unsur “Objeknya sama atau satu”
 Premis mayor:
Segala tindakan atau Perbuatan yang objeknya sama atau satu
termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.
 Premis minor:
Segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria
Rini adalah dengan objek yang sama atau satu, pernah dituntut
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
 Konklusi:
Perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria Rini adalah Segala
tindakan atau Perbuatan yang objeknya sama atau satu termuat
dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.
6) Putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
 Premis mayor:

90
Segala tindakan atau Perbuatan telah mendapatkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap termuat dalam Pasal 76
ayat (1) KUHP.
 Premis minor:
Segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria
Rini, pernah mendapatkan putusan pengadilan yang sama
berkekuatan hukum tetap.
 Konklusi:
Segala tindakan atau Perbuatan yang dilakukan oleh Mawar Muria
Rini telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap termuat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP.
Akhirnya:
Berdasarkan Pertimbangan Hakim perbuatan yang dilakukan oleh
Mawar Muria Rini adalah perbuatan yang didakwakan kedua kalinya
dengan perkara yang sama, pada saat itu Mawar Muria Rini sebagai
Pelakunya sama (kedua kalinya) dan atas perbuatan/peristiwa pidana yang
sama juga yang didakwa oleh Jaksa dengan Pasal 263 ayat (2), pada
persidangan selanjutnya Mawar Muria Rini sebagai korban yang sama
dalam perkara ini sehingga Hakim memutuskan bahwa Mawar Muria Rini
tersebut diputus dengan Putusan Nebis in idem yang diatur dalam
ketentuan pasal 76 ayat (1), dimana objek yang termuat dalam perkara ini
adalah sama atau satu, dengan demikian perkara yang dimaksud dalam
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terhadap Putusan
Nomor 576/Pid.B/2008/PN. SLMN terpenuhi segala unsur. Maka Hakim
sampai pada kesimpulan memberikan Putusan Nebis in idem bahwa
perbuatan Mawar Muria Rini (terdakwa) dianggap memenuhi kualifikasi
tindak pidana yang menurut pasal 76 ayat (1) KUHP.
E. Amar Putusan

1. Menerima keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa;


2. Menyatakan Penuntutan Umum tidak dapat diterima
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4. Memerintahkan barang bukti yang diajukan dalam perkara ini
sebanyak (14 macam) dikembalikan pada saksi Ir. Gregorius
Daryanto;
5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

F. Analisis Penulis terhadap Amar Putusan

91
Adapun pendapat panulis dalam mencermati amar putusan

hakim dalam Perkara Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slmn dipilah menjadi dua

bagian yaitu :

1) Pendapat Positif Penulis

Ketika penulis mencermati dan memahami lebih dalam

terkait dasar pertimbangan hakim tidak menerima tuntutan dari Jaksa

Penuntut Umum yaitu dengan dasar bahwa putusan yang telah

diajukan adalah bertentangan dengan asas Nebis In Idem , ada

beberapa syarat-syarat suatu perkara berlaku asas Nebis in idem yaitu

sebagai berikut :

a) Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama dengan


yang peristiwa pidananya sudah pernah didakwakan:
b) Pelakunya sama dan atas perbautan/peristiwa yang sama;
c) Korban yang diajukan sama, atau ada tambahan yang belum
pernah diajukan dalam perkara tetapi tidak menjadi dasar
untuk kedua kalinya penuntutan atas hal yang sama;
d) Objek sama atau satu;
e) Terhadap peristiwa pidana tersebut telah ada putusan
pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Bahwa dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara

tersebut menurut penulis yaitu hakim memandang perkara tersebut

dari segala perbuatan dan tindakan yang pernah dilakukan oleh

terdakwa adalah perbuatan yang memiliki usnur-unsur perbautan yang

sama baik kesamaan dalam bentuk peristiwa hukum yang pernah

diajukan maupun kesamaan objeknya sama atau satu serta kesamaan

pelaku yang didakwakan dan telah memiliki kekautan hukum tetap

pada putusan persidangan sebelumnya. Sehingga penulis berpendpat


92
hakim dalam memutuskan perakra tersebut merupakan pengulangan

perkara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dengan dasar itu

hakim semata-mata dalam memutuskan perkara tersebut hanya

didasarkan pada keyakin hakim saja. Dengan demikian hakim

memandang bahwa perkara ini adalah telah memenuhi segala unsur-

unsur yang termuat dalam pasal 76 ayat (1) KUHP. yang menegaskan

bahwa :

“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi,


orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim
Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai
pengadilan-pengadilan tersebut”.
Dari penjelasan pada pasal diatas bahwa perbuatan yang dilakukan

oleh terdalwa sudah sesuai dengan asas Nebis in idem.

2) Pendapat Negatif Penulis

Ketika penulis mencermati dan memahami lebih dalam

terkait Dasar pertimbangan hakim dengan alasan Nebis In Idem adalah

kurang tepat, karena berdasarkan kesaksian yang ditulis pada bagian

diatas bahwa tujuan utama kedatangan saksi dan terdakwa ke Notaris

adalah untuk membuat akta pengikatan jual beli dan tidak membuat

Akta Kuasa Menjual sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian

diatas.

Jika dilihat Berdasarkan beberapa syarat-syarat diatas

apabila dihubungkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh


93
terdakwa tidak bisa dikatakan perbuatannya adalah Nebis In Idem,

karena tidak semua syarat-syarat tersebut terpenuhi. Jika melihat pada

poin pertama perbuatan yang diajukan untuk kedua kalinya adalah

sama sementara tuntutan yang diajukan dalam surat dakwaan yang

dulunya dituntut dengan pasal yang berbeda yaitu : Pasal 372 dan

pasal 378 KUHP Yang menegaskan bahwa :

Pasal 372:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus rupiah”
Pasal 378:
“Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”

Selanjutnya dalam putusan yang sedang penulis bahas dalam

Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slmn yaitu dengan dakwaan pasal

263 ayat (2) sehingga kualifikasi perbuatan yang diajukan atau

dituntut sangat berbeda dalam putusan terdahulu. Oleh karena itu

penulis kurang setuju dengan pertimbangan hakim dengan dasar Nebis

In Idem.

Berdasarkan pada fakta dipersidangan berdasarkan pada

bukti Laboratorium Kriminalistik dengan pihak yang mengadukan

94
tidak sama dengan tanda tangan aslinya. Artinya bahwa tanda tangan

yang ada dalam surat Kuasa Menjual Nomor 51 dan 52 adalah tanda

tangan palsu karena pada saat tanda tangan tersebut pelapor tidak

berada di Indonesia.

Dalam putusan tidak disebutkan siapa yang memalsukan

tanda tangan tersebut serta tidak menyebutkan alasan-alasan mengapa

tanda tangan dalam surat kuasa tersebut dipalsukan. Tetapi ketika

penulis mencermati berdasarkan pada fakta-fakta dipersidangan

adalah benar bahwa tanda tangan tersebut palsu, sehingga surat yang

dipakai sebagai kuasa untuk menjual tanah tersebut kepada pihak lain

adalah surat palsu.

Berdasarkan pada analisi norma hukum dalam dakwaan

yang telah diajukan, bahwa perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa

sangat memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tetapi dalam

dakwaan kurangnya menambahkan pasal 55 KUHP. Karena terdakwa

melakukan tindakan turut serta dalam menggunakan surat kuasa

menjual kepada pihak lain.

Pendapat akhir dari penulis menarik beberapa kesimpulan

yang terdapat beberapa kekeliruan atau kekurangan dalam putusan

tersebut diatas yaitu :

1. Tentang dakwaan batal demi hukum karena tidak disusun


secara cermat, jelas dan lengkap perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa, sehingga tidak memenuhi
ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHP; yang
berbunyi :

95
“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditanda tangani serta berisi” :
 Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka;
 Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan;
2. Tentang keberatan yang menyatakan seharusnya penuntut
umum dalam dakwaan menggunakan ketentuan Pasal 55
ayat (1) ke 1 KUHP dalam surat dakwaan;
3. Bahwa hakim dalam melihat dan memutuskan perakara
tersebut hanya mengedepankan keyakinan tanpa melakukan
pertimbangan yang lebih cermat berdasarkan norma hukum
yang berlaku.
4. Bahwa akar permasalahan tersebut terjadinya mis –
komunikasi antara pihak pertama (penjual), pihak kedua
(pembeli) dan pihak ketiga sebagai pembuat akta (Notaris)
bahwa dalam kesepakatan tersebut kedudukan Notaris
hanya melaksanakan keinginan dari kedua belah pihak. Dan
seharusnya kasus ini adalah mengarah kepada keperdataan
dimana pihak pertama menyepakati akta tersebut tidak
diberikan nomor akta tetapi pemberian nomor akta yaitu
Perikatan Jual Beli Nomor 65 Tanggal 31 Mei 2004
Sedangkan Dalam Akta Kuasa Menjual No. 51 Dan No. 52
Tanggal 30 September 2004tersebut manakala pembeli
melunasi sisa pembayaran dalam kesepakatan tersebut,
itulah sebabnya pengambilan nomor akta dilakukan ketika
terjadi pelunasan, meski pihak penjual sedang berada di
Oman.
Dengan demikian hakim seharusnya lebih cermat lagi dalam
memberikan pertimbangan hukum dalam putusan ini, karena
berdasarkan pada fakta-fakta yang ada dipersidangan sudah
sangat jelas bahwa surat kuasa yang dibuat bukanlah tanda
tangan yang sebenarnya, sehingga sangat jelas bahwa surat
kuasa yang dipakai tersebut adalah surat palsu, seharusnya
hakim tidak memberikan putusan dengan alasan karena
bertentangan dengan asas Nebis in idem, pertimbangan hukum
yang diberikan oleh hakim tidak tepat karena lebih memihak
kepada terdakwa dan keterangan ahli yang diajukan oleh
terdakwa sehingga tidak memberikan rasa keadilan.

96
4.1.2 Putusan Hakim Nomor Perkara 67/Pid.B/2012/PN. Slm

A. Identitas Putusan :

Pengadilan Tempat Putusan ditetapkan : Pengadilan Negeri Sleman

Tanggal Putusan ditetapkan : senin 10 nopember 2014

Susunan Majelis Hakim :

Sutikna, S.H (ketua)

Iwan Anggoro Warsita, S.H.,M.H (anggota)

Danardono, S.H (anggota)

Nama Terdakwa : NY. Endang Muniati, SH

B. Kasus posisi

Pada bagian ini dideskripsikan rangkaian fakta (peristiwa konkret) yang

terungkap dalam perkara ini, sehingga secara utuh dapat diketahui duduk

perkara yang sebenarnya. Referensi utama yang digunakan oleh penulis

adalah uraian yang tertulis di dalam putusan hakim. Uraian kasus posisi ini

agar diruntut secara kronologis, sehingga fakta yang lebih awal terjadi

dideskripsikan lebih dahulu daripada fakta yang terjadi kemudian.

Penyajian diberikan dalam bentuk matriks dan bentuk tabel, semata-mata

mempermudah pemahaman urutan peristiwa yang dimaksud. Uraian kasus

yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Tanggal Keterangan

1 Juni 2004 Saksi korban Ir. Gregorius Daryanto telah ditelpon oleh saksi
97
Hendricus Mulyono yang mengatakan bahwa ada seseorang yang
ingin membeli tanah milik saksi korban Ir. Gregorius Daryanto
sebagaimana SHM No. 717 seluas 1.309 m2 dan SHM 718 seluas
2.955 m2 kemudian korban Ir. Gregorius Daryanto
memperbolehkan tanah tersebut dijual kepada siapapun dengan
harga Rp. 400.000,- (empat ratus ribu) permeter persegi
5 Juni 2004 saksi Dra. Mawar Muria Rini ditemani oleh saksi Hendricus
Mulyono dan saksi Edi Purwanto datang kerumah saksi korban Ir.
Gregorius Daryanto untuk membicarakan kelanjutan jual belli
tanah miliknya.
Setelah terjadi tawar menawar akhirnya tanah tersebut disepakati
dengan harga Rp. 275.000 m2 sehingga harga keseluruhan tanah
milik korban Ir. Gregorius Daryanto sebesar Rp. 1.170.000.000.
atas kesepakatan tukar menukar tersebut dibuatkan oleh saksi Ir.
Gregorius Daryanto, surat perjanjian yang kemudian ditanda
tangani oleh terdakwa, saksi Ir. Gregorius Daryanto, dan 2 orang
saksi yaitu Hendricus Mulyono dan Edy Purwanto tanpa tanggal.
Kemudian saksi Dra. Mawar Muria Rini bersedia membayar uang
tunai kepada korban Ir. Gregorius Daryanto sebesar Rp.
380.000.000, sedangkan sisa pembayaran sebesar Rp. 790.000.000
alam dibayar dengan cara tukar guling tanah milik Dra. Mawar
Muria Rini seluas 6320 m2. saksi Dra. Mawar Muria Rini
menyatakan bersedia membiayai seluruh proses balik nama tanah
milik terdakwa kepada korban Ir. Gregorius Daryanto dalam
waktu 2 bulan.
Bahwa setelah terjadi kesepakatan tersebut, saksi Dra. Mawar
Muria Rini saat itu memberikan 1 Bilyet Giro Bank Niaga senilaai
Rp. 300.000.000, jatuh tempo akhir agustus 2004, sebagai tanda
pembayaran secara tunai atas kesepakatan jual beli tanah tersebut
sisanya akan dibayar dengan cara tukar guling.
10 Juni 2004 Untuk menindaklanjutkan jual beli dengan cara tukar guling tanah
antara saksi korban Ir. Gregorius Daryanto sekitar Pukul 11.00
Wib korban Ir. Gregorius Daryanto bersama dengan saksi
Hendricus Mulyono datang ke kantor terdakwa Notaris/PPAT
Endang Murniati, SH. Kemudian dikantor terdakwa Notaris/PPAT
tersebut bertemu dengan saksi Dra. Mawar Muria Rini.
Selanjutnya terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati, SH,
dijelaskan kepada saksi korban Ir. Gregorius Daryanto dan Dra.
Mawar Muria Rini disaksikan oleh saksi Hendricus Muyono
tentang rencana tukar guling tanah antara saksi korban Ir.
Gregorius Daryanto dengan saksi Dra. Mawar Muria Rini dan saat
itu terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati, SH konfirmasi
kepada saksi Ir. Gregorius Daryanto apakah benar ada rencana
tukar guling tanah SHM 717 dan SHM 718 milik saksi Ir.
Gregorius Daryanto dengan tanah milik saksi Dra. Mawar Muria
98
Rini
Kemudia terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati meminta
kepada saksi Ir. Gregorius Daryanto untuk menandatangi surat
yang telah dipersiapkan oleh terdakwa Notaris/PPAT. Namun
saksi korban Ir. Gregorius Daryanto saat itu tidak sempat
membaca isi keseluruhan dari surat tersebut. Hal tersebut
dilakukan oleh saksi korban Ir. Gregorius Daryanto karena dia
percaya kepada terdakwa Notaris/PPAT, bahwa yang dia
tandatangi adalah sebuah surat kesepakatan tentang tukar guling
dan bukan akte perikatan jual beli.
Terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati saat itu menaytakan
sanggup untuk memproses tanah milik Dra. Mawar Muria Rini
menjadi atas nama Ir. Gregorius Daryanto terlebih dahulu, baru
kemudian tanah milik saksi korban Ir. Gregorius Daryanto
diproses menjadi atas nama Dra. Mawar Muria Rini sesuai dengan
perjanjian awal (perjanjian di bawah tangan antara saksi korban Ir.
Gregorius Daryanto dan Dra. Mawar Muria Rini tanggal 5 juni
2004)
Saat itu saksi korban Ir. Gregorius Daryanto hanya menandatangi
satu kali saja sedangkan untuk lembar berikutnya beberapa kali
paraf dan tidak tanda tangan kemudian terdakwa Notaris/PPAT
meminta kepada saksi untuk menyerahkan kedua SHM 717 dan
SHM 718 yang akan digunakan untuk melakukan pengecekan ke
kantor BPN kabupaten Sleman.
11 Juni 2004 Ir. Gregorius Daryanto menyerahkan dua SHM masing masing
SHM 717 dan 718 kepada terdakwa Notaris/PPAT Endang
Murniati, SH lalu dibuatkan tanda terima
14 Juni 2004 SHM 717 dan 718 tersebut diserahkan kepada saksi Dra. Mawar
Muria Rini.
14 Agustus Ir. Gregorius Daryanto pergi keluar negeri (ke Negara Oman)
Samapai 13 untuk berbisnis.
Oktober 2004
14 Oktober 2004 tiba kembali ke Indonesia
1 Nopember 2004 Terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati, SH menyerahkan
perikatan jual beli No. 65 tertanggal 31 Mei 2004 dan Kuasa
Menjual No. 51 tertanggal 30 september 2004 dan kuasa menjual
No. 52 tertanggal 30 september 2004 kepada saksi Dra. Mawar
Muria Rini, dijadikan dasar untuk melakukan jual beli atas tanah
milik saksi Ir. Gregorius Damayanto antara terdakwa dan saksi Ir.
Delthy Rinaldi.

Diskripsi Kasus Terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati, SH bekerja sama


dengan saksi Dra. Mawar Muria ini untuk memalsukan surat yang
akan digunakan untuk melakukan transksi jual beli tanah milik
saksi Ir. Gregorius Damayanto yang akan dijual kepada Ir. Delthy
99
Rinaldi.
Saksi Ir. Gregorius Damayanto tidak pernah menyuruh atau
menandatangani akta Jual beli dan dan Akta kuasa menjual
Bahwa seolah-olah surat yang dibuat oleh terdakwa Notaris/PPAT
seolah-olah benar namun sesungguhnya surat tersebut adalah palsu
tidak memuat suatu kebenaran
9 September 2005 Bahwa saksi Ir. Delthy Rinaldhy membeli tanah SHM no. 717 dan
SHM No. 718 milik Gregorius Daryanto yang terletak di
Juwangen, Purwomartani, Kalasan, Sleman dari terdakwa.
Dasar saksi membeli tanah objek tersebut karena adanya perikatan
Jual Beli No. 65 tanggal 31 Mei 2004 dan Akta Kuasa Menjual
No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004 dari Gregorius
Daryanto kepada terdakwa yang dibuat oleh Notaris Endang
Murniati, SH.
Bahwa saksi membeli tanah tersebut dengan harga Rp. 400.000,-
per meter persegi.
Ir. Delthy Rinaldhy menyerahkan uang sebesar Rp. 1.300.000.000
melalui transfer Bank Niaga atas nama terdakwa
29 Oktober 2005 Menyerahkan sisa pembayaran secara tunai kepada terdakwa
sebesar 375.000.000
19 Januari 2006 Bahwa Ir. Gregorius Daryanto bersama saksi Hendricus Multono
dan terdakwa Endang Murniati, SH bertemu dengan saksi Ir.
Delthy Rinaldi di depan Hotel Regency kemudian saksi Ir. Delthy
Rinaldi memberitahukan kepada Ir. Gregorius Daryanto bahwa
tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718 telah dijual oleh Dra.
Mawar Muria Rini kepadanya dengan menunjukan bukti transfer
uang dari Ir. Delthy Rinaldi kepada Dra. Mawar Muria Rini senilai
Rp. 1.300.000.000
Bahwa saksi Ir. Delthy Rinaldi bersedia membeli tanah tersebut
karena telah diperkuat adanya Akta Perikatan Jual beli No. 65
tanggal 31 Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 tertanggal 30
september 2004 dan Akta kuasa menjual No. 52 tertanggal 30
september 2004 yang dibuat oleh Notaris/PPAT Endang Murnaiti,
SH
Bahwa Ir. Gregorius Damayanto merasa tidak pernah melakukan
tanda tangan di Akta Pengikatan Jual Beli dan Akta Kuasa
Menjual kepada Dra. Mawar Muria Rini di Notaris/PPAT Endang
Murniati, SH.
Selanjutnya saksi Ir. Gregorius Daryanto mencermati tanda tangan
yang ada di ketiga akta yang dibuat oleh terdakwa Notaris/PPAT
Endang Murniati, SH dan ternyata ketiga tanda tangan yang ada
baik yang ada dalam Akta jual beli maupun yang ada di Akta
Kuasa menjual adalah bukan tanda tangan Ir. Gregorius Daryanto,
kejadian tersebut dilaporkan ke Polda DIY untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
9 maret 2006 Saksi Dra. Mawar Muria Rini dan Ir. Delthy Rinaldhy datang ke
100
kantor Notaris/PPAT Sugiarto, SH untuk melakukan transaksi Jual
Beli dengan.
Notaris Sugiarto, SH membuatkan Akta Jual beli No. 35 dan No.
36 atas tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718 atas nama
Gregorius Daryanto tersebut, sebagai pihak penjual adalah
terdakwa sedangkan pihak pembeli adalah Ir. Delthy Rinaldhy.
Saksi Hendrikus Bahwa saksi mengetahui perkara ini adalah masalah tukar guling
Mulyono tanah tetapi tidak selesai.
Bahwa proses legalitas kesepakatan tukar guling tanah yaitu pada
tanggal 10 Juni 2004 saksi bersama Gregorius Daryanto dan
Mawar Muria Rini datang ke Notaris. Sewaktu di Notaris
dibuatkan Surat Perjanjian tukar guling, yang tanda tangan
adalah Ir. Greogerus Daryanto, Mawar Muria Rini, dan saksi
juga tanda tangan sebagai saksinya
Bahwa saksi tahu sewaktu berada di notaris Pak. Gregorius
Daryanto tanda tangan pada kertas kosong yang belum ada
tulisannya yang disodorkan oleh terdakwa Endang Murniati dan
yang menyaksikan adalah saksi sendiri, serta Mawar Muria Rini
Bahwa proses tukar guling tanah tidak selesai, kemudian timbul
masalah yaitu ada orang bernama Ir. Delthy Rinaldhy yang
membangun rumah diatas tanah milik Ir. Greogerus Daryanto yang
akan ditukar guling tersebut. Ketika saksi tanya Ir. Delthy
Rinaldhy bahwa ia telah membeli tanah tersebut dari Mawar Muria
Rini
Bahwa saksi tidak mengetahui tentang Surat Kuasa Menjual
No.51 dan No.52 tanggal 30 September 2004, tetapi yang setahu
saksi pada tanggal 30 September 2004 Pak Ir. Gregorius sedang
berada di Oman.
Saksi Ir. Bahwa saksi Mawar Muria Rini bersama Hendrikus Mulyono
Gregorius datang ke rumah saksi mau membeli tanah saksi yang
Daryanto tercantum dalam 2 Sertifikat Hak Milik yaitu No. 717 dengan
luas 1.309 M2 dan SHM No. 718 dengan luas 2.995 M2, terletak
di Juwangen, Purwomartani, Kalasan, Sleman
Bahwa saksi menawarkan permeternya sebesar Rp. 400.000,-
dan Mawar Muria Rini menawar dengan harga sebesar Rp.
275.000,- harga jadi dengan total harga keseluruhan sebesar Rp.
1.170.000.000,- bersih, tetapi pembayaran akan diangsur sebanyak
10 kali. saksi tidak setuju, kemudian Mawar Muria Rini
menawarkan tukar guling Sleman seluas 6.320 M2 dengan
kesepakatan saksi menerima tambahan uang sebesar Rp.
380.000.000,-. Kemudian dibuat Surat Perjanjian tertanggal 5 Juni
2004;
Bahwa selanjutnya pada tanggal 10 Juni 2004, saksi bersama
Mawar Muria Rini dan Pak Hendrikus Mulyono menghadap
terdakwa Notaris Endang Murniati, untuk dibuatkan akta tukar
gulingnya;
101
Bahwa saksi pernah menandatangani Akte tukar guling dan
beberapa kali paraf. Akta yang saksi tandatangani itu sebelumnya
sudah disiapkan oleh terdakwa Notaris Endang.
Bahwa saksi merasa belum pernah menandatangani Surat Kuasa
Menjual No. 51 dan No. 52 tertanggal 30 September 2004 yang
dibuat oleh Notaris Endang, pada tanggal itu saki sedang berada di
luar negeri dan saksi belum datang lagi ke Indonesia hingga tahun
2005
Bahwa saksi juga mengaku tidak pernah menandatangani Akta
Perikatan Jual Beli No. 65 tertanggal 31 Mei 2004.
Bahwa ketika saksi melakukan kesepakatan dengan Mawar Muria
Rini dalam Surat Perjanjian itu yang ditekankan adalah tukar
gulingnya
Saksi Cecilia Bahwa saksi mengetahi masalah tukar guling tersebut karena
Setawati diberitahu oleh suami saksi. Bahwa saksi belum pernah dimintai
persetujuan terhadap tukar guling tanah tersebut dan belum pernah
diajak ke Notaris Endang Murniati untuk tanda tangan surat
perjanjian
Bahwa benar, suami saksi pernah menerima transfer uang dari
Mawar Muria Rini untuk pembayaran kaitan dengan tukar guling
tanah tersebut, tetapi jumlahnya saksi tidak tahu dan Bahwa saksi
belum pernah melihat Akta Jual Beli yang dibuat antara Terdakwa
dengan suami saksi. Bahwa saksi juga tidak pernah dimintai KTP
untuk proses tukar guling tanah
Bahwa sekarang tanah saksi dan suami yang akan ditukar guling
dengan tanah milik Mawar Muria Rini tersebut telah menjadi atas
nama Delthi Renaldhy, tetapi saksi tidak tahu kenapa tanah
tersebut bisa dibalik ke Delthi Renaldhy
Saksi Eddy Bahwa saksi pernah bekerja di PT. Mahako yang dipimpin Mawar
Purwanto Muria Rini, sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2005, saksi
sebagai Staf Teknik dengan bidang tugas salah satunya mengurusi
kapling tanah yang dibeli oleh Mawar Muria Rini
Bahwa awalnya Pak Gregorius menawarkan tanah untuk dibeli
kemudian setelah dilakukan pembicaraan, maka dilakukan tukar
guling antara tanah milik Gregorius tersebut yang ditukar guling
dengan tanah Mawar Muria Rini yang terletak di Teguhan,
Kalitirto, Berbah, Sleman
Bahwa saksi mengetahui hal itu karena saksi pernah diajak
bersama Henrikus Mulyono menemui Pak Gregorius Daryanto di
rumahnya, dan saksi mendengar pembicaraan antara Mawar Muria
Rini dengan Pak Gregorius Daryanto mengenai tukar guling tanah
tersebut. Kemudian saksi disuruh mengkapling, pengerukan serta
meratakan tanah yang di Juwangen tersebut
Saksi Heri Bahwa saksi diminta menjadi saksi berkaitan dengan paspor atas
Sudiono. SH nama Gregorius Daryanto. Bahwa Paspor atas nama Gregorius
Daryanto dikeluarkan oleh kantor Imigrasi Yogyakarta pada
102
tanggal 17 Januari 2001 berlaku sampai dengan tanggal 17 Januari
2006
Bahwa dari Paspor tersebut mengenai cap-cap dari bandara, pada
tanggal 24 Agustus 2004 Gregorius Daryanto keluar dari
Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta dan masuk ke negara
Oman pada tanggal 25 Agustus 2004, kemudian keluar dari negara
Oman pada tanggal 13 Oktober 2004, dan sampai di Bandara
Soekarno-Hatta pada tanggal 14 Oktober 2004.
Bahwa melihat Paspor tersebut, menurut saya pada tanggal 30
September 2004 keberadaan Gregorius Daryanto ada di Negara
Oman.
Saksi Heri Bahwa saksi bekerja di BPN Sleman sejak tahun 2006 sampai
Susanto, SH dengan tahun 2012. jual beli tanah terhadap tanah objek
sengketa milik Ir. Gregorius Daryanto yang tercantum dalam 2
Sertifikat Hak Milik No. 717 seluas 1309 M2, dan SHM No. 718
seluas 2955 M2 yang terletak di Juwangen, Purwomartani,
Kalasan, Sleman
Bahwa berdasarkan Akta Jual Beli PPAT Notaris Sugiharto, SH.
No. 35 dan No. 36 tanggal 9 Maret 2006 dan Surat Kuasa Menjual
No. 51 dan No. 52 tertanggal 30 September 2004 atas nama
Mawar Muria Rini selaku Kuasa dari Ir. Gregorius Daryanto,
tanah objek sengketa milik Ir. Gregorius Daryanto tersebut
kepemilikannya beralih ke Ir. Delthy Rinaldhy. Dan telah
digabung menjadi SHM No. 8572
Bahwa dalam Surat Kuasa Menjual, sebagai pihak penjual adalah
Ir. Gregorius Daryanto sedangkan Mawar Muria Rini sebagai
pihak pembelinya
Saksi Ir. Delthy Bahwa saki telah membeli tanah objek sengketa yaitu tanah SHM
Rinaldhy No. 717 dan tanah SHM No. 718 milik Gregorius Daryanto yang
terletak di Juwangen, Purwomartani, Kalasan, Sleman dari Mawar
Muri Rini.
Bahwa dasarnya saksi membeli tanah objek sengketa tersebut
karena ada Perikatan Jual beli No. 65 tanggal 31 Me 2004 dan
Akta Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September
2004 dari Gregorius Daryanto kepada Mawar Muria Rini yang
dibuat oleh terdakwa Notaris Endang Murniati, SH
Bahwa saksi membeli tanah SHM No. 717 luas 1309 M2 dan
tanah SHM No. 718 luas 2955 M2 tersebut pada tanggal 9
September 2005 dengan harga Rp. 400.000,- per meter persegi
Bahwa saksi telah menyerahkan uang sebesar Rp. 1.300.000.000,-
melalui transfer Bank Niaga atas nama Mawar Muria Rini dan
secara tunai tanggal 29 Oktober 2005 sebesar Rp. 375.000.000,-
yang diterima Mawar Muria Rini
Bahwa pada waktu dibuatkan Akta Jual Beli saksi tidak bertemu
dengan Gregorius Daryanto tetapi pada saat itu saya melihat KTP
atas nama Gregorius Daryanto dan isterinya.
103
Bahwa sebelumnya saksi belum pernah bertemu dengan Gregorius
Daryanto
Saksi Sugiharto, Bahwa saksi pernah membuat Akta Jual Beli No. 35 dan No. 36
SH tanggal 9 Maret 2006 atas tanah SHM No. 717 dan SHM No. 718
atas nama Gregorius Daryanto tersebut, sebagai pihak penjual
adalah Mawar Muria Rini, sedangkan pihak pembeli adalah Ir.
Delthy Rinaldhy
Bahwa kejadiannya pada awal tahun 2006 Mawar Muria Rini
datang pada saksi sambil membawa Surat Kuasa Menjual dari
Gregorius Daryanto dengan No. 51 dan No. 52 tertanggal 30
September 2004, selanjutnya saksi tanyakan ke terdakwa
Notaris Endang Murniati karena yang membuat perikatan Jual
belinya, dan terdakwa Notaris Endang membenarkannya;
memberi Kuasa untuk menjual terhadap tanah SHM No. 717
dan SHM No. 718 kepada Terdakwa
Bahwa yang menjadi dasar adanya Surat Kuasa Menjual tersebut
adalah adanya perikatan jual beli lunas antara Ir. Gregorius
Daryanto dengan Terdakwa. Bahwa yang membuat Akta
perikatan jual beli lunas adalah Notaris EndangMurniati, SH.
Saksi Dra. Mawar Bahwa Terdakwa kenal dengan Gregorius Daryanto sejak bulan
Muria Rini April 2004 karena dikenalkan oleh Hendrikus Mulyono.
Bahwa Gregorius Daryanto mempunyai tanah di Purwomartani
dan kebetulan Terdakwa mempunyai tanah disebelahnya.
Kemudian Terdakwa berkeinginan untuk membeli tanah
Gregorius Daryanto tersebut SHM No. 718 seluas 2955 M2 milik
Gregorius Daryanto dengan cara tukar guling tanah milik
Terdakwa yang ada di Teguhan, Kalitirto, Berbah, Sleman seluas
6310 M2 dengan kesepakatan harga tanah milik Gregorius
Daryanto Terdakwa beli dengan harga Rp. 275.000 per meter
persegi.
Bahwa pada tanggal 3 April 2004 Terdakwa datang bersama
Hendrikus Mulyono dan Edi Purwanto pernah datang ke rumah
Gregorius Daryanto membicarakan masalah jual beli tanah dengan
cara tukar guling.
Bahwa Terdakwa kenal dengan Notaris Endang Murniati, SH.
Bahwa terdakwa pernah datang ke Notaris Endang Murniati, SH
bersama bersama Gregorius Daryanto, Hendrikus Mulyono.
Bahwa Terdakwa pernah membuat Surat Perjanjian yang
Terdakwa tandatangani dan ditandatangani pula oleh Gregorius
Daryanto, yang isinya Ir. Gregorius Daryanto menjual tanah
miliknya SHM 717 dan 718 dengan cara tukar guling dengan
tanah milik Terdakwa.
Bahw tindak lanjut dari pernjanjian tersebut adalah dibuatkan
perikatan jual beli dan telah ditandatangani dan diberi tanggal
31 Mei 2004, sedangkan Kuasa Menjual belum ada tanggal dan
bulannya dengan alasan nanti kalau sudah ada pembayaran baru
104
diberi tanggal.
Bahwa perikatan jual beli dan Kuasa Menjual dibuat di Notaris
Endang Murniati, SH. Dan yang hadir di kantor Notaris Endang
Murniati, SH., untuk penandatanganan Perikatan Jual Beli dan
Kuasa Menjual adalah Terdakwa, Gregorius Daryanto, dan
Hendrikus Mulyono
Saksi A de Bahwa saksi sudah lama kenal dengan Terdakwa dan saksi
Charge Nur pernah menjadi Penasehat Hukum Terdakwa, yaitu dalam perkara
Ismanto, SH., pidana No. 576/Pid.B/2008/PN.Slmn., dengan dakwaan penipuan
M.Si dan atau penggelapan.
Bahwa yang merasa ditipu adalah Gregorius Daryanto, obyeknya
tanah dalam Sertifikat Hak Milik No. 717 dan SHM No. 718 atas
nama Gregorius Daryanto dalam rangka tukar guling antara tanah
milik Gregorius Daryanto dengan tanah milik Mawar Muria
Rini yang terletak di Teguhan, Kalitirto, Berbah, Sleman.
Tukar guling tersebut akhirnya tidak selesai, karena bermasalah
hingga tidak dapat diproses.
Bahwa yang saksi masih ingat sebagian barang bukti yang
diajukan dipersidangan, diantaranya perikatan jual beli antara
Gregorius Daryanto dengan Mawar Muria Rini, perikatan Jual
Beli tersebut dibuat dengan cara dibawah tangan
Saksi A de Bahwa saksi melakukan investigasi yang berkaitan dengan perkara
Charge Yusar ini pada awal bulan Januari 2012 yaitu tentang kepemilikan SHM.
Yusman 717 dan 718 tersebut
Bahwa setelah melakukan investigasi saksi melaporkan dengan
mengirimkan surat kepada Gubernur menyampaikan tentang
masalah kepemilikan tanah oleh non WNI , saksi juga melakukan
investigasi keypad Ketua RT dan RW bahwa ada 2 (dua)
dokumen KTP ganda dan menurut Ketua RT dan RW bahawa
Ir.Gregorius Daryanto bukan penduduk Kalitirto, Berbah, Sleman ;
Bahwa benar saat itu saksi pernah bertemu dengan Ir. Gregorius
Daryanto dan istrinya dan berjanji akan merubah status tanahnya
dari hak milik menjadi hak guna bangunan dan pada waktu itu
Ir.Gregorius Daryanto juga membenarkan KTP yang di Kalitirto ;
Bahwa saksi tidak tahu Surat Kuasa Menjual dan perikatan jual
beli tanah tersebut ;
Keterangan Ahli Ahli hukum pidana FH UGM
dari Sigit Riyanto, Bahwa yang dimaksud dengan akta otentik adalah akta yang
SH.,Msi dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang yaitu dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang dan bentuknya sesuai undang-
undang, isinya menjadi tanggung jawab notaris dan dibuat di
hadapan berwenang.

Bahwa akta yang dibuat tidak sesuai dengan tanggal, misalnya


dibuat setelahnya dan ada pihak yang tidak menghadap di depan

105
Notaris atau ada tdtempat lain maka Akta tersebut tidak sah.
Apabila dalam delik formil kalau akta yang dibuat tersebut tidak
sesuai dengan fakta maka itu palsu.
Bahwa Mengenai Asas Nebis In Idem Adalah Seorang Tidak
Dapat Dilakukan Penuntutan Untuk Kedua Kalinya Dalam Tindak
Pidana Yang Sama.
Bahwa Asas Nebis In Idem diatur dalam pasal 76 KUHP yang
terdiri dari 2 ayat yaitu :
Ayat (1) kecuali dalam putusan hakim masih mungkin diulangi,
orang tidak boleh dituntut 2 kali karena perbuatan yang oleh
hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
mendapatkan putusan yang menjadi tetap.
Ayat (2) jika putusan yang menjadi tetap bersal dari hakim lain,
maka terhadap orang itu dan karena perbuatan itu pula tidak boleh
dilakukan penuntutan dalam hal :
Putusan pembebasan dari tuduhan atau pelepasan dari tuntutan.
Putusan beru[a [emidanaan dan pidananya telah dijalani
seluruhnya atau telah diebri ampun atau wewenang untuk
menjalaninya telah dihapus
Bahwa asas Nebis In Idem tidak berlaku bagi terdakwa mampu
menyembunyikan seluruh unsur yang apabila diketahui akan
menghasilakn kejahatan, kemudian juga bisa mampu
mengupayakan tuntutan pidana hanya berdasrkan satu pelanggaran
atau terdakwa mampu mengelabuhi seluruh persidangan untuk
mengambil langkah yang keliru, maka tuntutan untuk yang kedua
kalinya boleh dilakukan.
Keterangan Ahli Dosen Fakultas Hukum
dari DR. Joko Bahwa saksi sebagai dosen Fakultas Hukum dalam perkara
Sukisno, SH, CN akan memberikan pendapat tentang pembuatan akta otentik.
Bahwa akta dianggap sah apabila isinya dibacakan dihadapan
para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan azas kesepakatan
kontrak.
Bahwa dalam pembuatan akta otentik notaries harus
dibacakan dihadapan para pihak tentang isi dan tujuan
pembuatan akta tersebut ,yaitu para pihak mengetahui apa isi
dari Akte tersebut dan untuk mengklarifikasi apakah isi akte
tersebut sudah sesuai untuk memenuhi kesepakatan formil
maupun materiil.
Bahwa apabila seorang Notaris akan membuat dan
menandatangani Akte Perikatan Jual Beli dan Surat Kuasa
Menjual harus dihadiri para pihak dan harus ada kesepakatan
dari para pihak kemudian dibacakan dihadapan para pihak
setelah itu baru ditandatangani oleh para pihak , apabila dalam
penulisan hari, tanggal bulan dan tahun ke dalam Akte Notaris
tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya makaakibatnya akta

106
tersebut tidak sah dan merupakan bentuk pemalsuan akte;
Bahwa apabila ada tandatangan yang tidak sama dalam suatu
Akte, apabila hal tersebut diketahui oleh para saksi dan Notaris
tetapi orangnya sama dan hadir dihadapan Notaris maka tanda
tangan tersebut dianggap sah.
Keterangan Bahwa terdakwa diajukan kepersidangan karena terdakwa
Terdakwa Endang didakwa melakukan pemalsuan surat;
Murniati, SH Bahwa benar terdakwa pernah diperiksa di penyidik dan
membenarkan BAP dipenyidik;
Bahwa awalnya Dra. Mawar Muria Rini datang ke kantor
terdakwa untuk menitipkan 3 ( tiga) bidang tanah yang terletak
di Berbah terdiri dari 1 SHM dan 2 (dua) letter C dari tanah
sawah dengan maksud untuk proses dikonversi dari letter C
(tanah sawah) menjadi Sertifikat Hak Milik (tanah pekarangan),
kemudian 2 (dua) minggu kemudian yaitu pada tanggal 4 Mei
2004 Dra. Mawar Muria Rini datang lagi ke tempat terdakwa
bersama Ir.Gregorius Daryanto bermaksud untuk membeli tanah
milik Pak Gregorius Daryanto SHM 77 dan 718 yang terletak di
Juwangen, Purwomartani, Kalasan, Sleman yang lokasinya
bersebelahan dengan tanah yang sedang dibangun perumahan
oleh Mawar Muria Rini ;
Bahwa benar terjadi kesepakatan jual beli dan dibuatkan perikatan
jual beli terhadap SHM 717 dan 718 pada tanggal 31 Mei 2004;
Bahwa perikatan jual beli No. 65 dibuat dan ditandatangani pada
tanggal 31 Mei 2004 dikantor terdakwa tetapi hari dan
penanggalannya belum diisi;
Bahwa yang hadir pada waktu itu Gregorius Daryanto, Mawar
Muria Rini, Hendrikus Mulyono dan Edhi Purwanto tetapi yang
tanda tangan di hadapan terdakwa adalah Gregorius Daryanto dan
Mawar Muria Rini;
Bahwa benar perikatan jual beli tersebut kemudian diikuti akte
kuasa jual dibuat pada tanggal 31 Mei 2004, tetapi pada waktu
itu tidak dibuat pada tanggal 31 Mei 2004 dan penanggalannya
dibuat tanggal 30 September 2004 berdasarkan kesepakatan para
pihak yaitu dalam kesepakatan dicantumkan didalam Akte
Perikatan Jual Beli tertanggal 31 Mei 2004 tetapi pelaksanaannya
akan dilakukan pada tanggal 30 September 2004;Bahwa pada
waktu penanggalan akte kuasa menjual yang hadir ditempat
terdakwa hanya Mawar Muria Rini , sedangkan Pak Gregorius
Daryanto tidak hadir dihadapan terdakwa, tetapi didalam akte
kuasa menjual disebutkan Ir. Gregorius Daryanto menghadap
terdakwa;Bahwa pada tanggal 30 September 2004 Ir. Gregorius
Daryanto sedang berada di negara Oman;
Bahwa Ir. Gregorius Daryanto menyerahkan sertifikat no. 717 dan
718 miliknya pada tanggal 1 juni 2004 setelah tanda tangan
perikatan jual beli tanggal 31 Mei 2004.

NO NAMA KESAKSIAN YANG SAMA

107
1. Hendrikus Mulyono Saat saksi berada di kantor notaris Gregorius Daryanto
tanda tangan pada kertas kosong yang belum ada
tulisannya yang disodorkan oleh terdakwa yang
menyaksikan adalah saksi sendiri serta mawar muria
rini
Tidak pernah menandatangi Surat Kuasa menjual No.
51 dan No. 52 tanggal 30 September yang dibuat oleh
Notaris Endang, karna saksi pada tanggal tersebut
sedang berada di luar negeri.
2. Gregorius Daryanto Saksi pernah menandatangani akte tukar guling
dihadapan Notaris
Saksi belum pernah tanda menandatangani surat kuasa
menjual Nomor 51 dan Nomor 52 tertanggal 30
September 2004 karena pada tanggal tersebut sedang
berada di oman setelah itu tidak datang lagi ke
Indonesia sampai dengan tahun 2005.
4. Eddy Purwanto Ikut menandatangi Surat Perjanjian tukar guling
5. Heri Sudiono Melihat paspor tersebut menurut saya pada tanggal 30
September 2004 keberadaan Gregorius Daryanto ada
di Negara Oman
6. Ahli Sigit Riyanto akta yang dibuat tidak sesuai dengan tanggal serta ada
pihak yang tidak menghadap di depan Notaris akta
tersebut adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan
faktanya maka itu palsu.
seseorang dapat dituntut kedua kali apabila dalam
putusan hakim masih mungkin untuk diulangi dan
Nebis In Idem tidak berlaku bagi terdakwa yang
mampu menyembunyikan seluruh unsur yang apabila
diketahui akan menghasilkan kejahatan.
NO NAMA KESAKSIAN YANG BERBEDA

1. Mawar Muria Rini Tindak lanjut dari perikatan jual beli tersebut adalah
dibuatkan perikatan jual beli dan telah ditandatangani
dan diberi tanggal 31 Mei sedangkan kuasa menjual
tidak diberi tanggal dan bulannya masih kosongan
Periaktan jual beli dan kuasa menjual tersebut dibuat
di kantor Notaris Endang Murniati dan ketika saksi
datang perikatan jual beli da surat kuasa menjual
tersebut sudah diketik rapi sudah dipersiapkan
sehingga saksi tinggal tanda tangan saja.
108
Saksi tanda tangan sebanyak tiga kali satu kali untuk
perikatan jual beli dan dua kali untuk kuasa menjual.
2. Endang Murniawati Perikatan jual beli dan dibuatkan dan ditandatangani
pada tanggal 31 Mei 2004 di kantor terdakwa tetapi
hari dan penaggalan belum diisi.
Perikatan jual beli tersebut kemudian diikuti akta
kuasa menjual tanggal 31 Mei 2004, tetapi pada waktu
itu tidak dibuat pada tanggal 31 Mei 2004 tetapi dibuat
tanggal 31 September 2004 dibuat berdasarkan
kesepakatan para pihak.
Waktu penanggalan akte kuasa menjual yang hadir
ditempat terdakwa hanya mawar muria rini, gregorius
tidak hadir tetapi dalam akte kuasa menjual disebutkan
gregorius menghadap terdakwa.
3. Nur Iswanto Terdakwa pernah di putus dalam putusan perkara
pidana No.576/Pid.B/2008/PN.Slmn denga dakwaan
Penipuan dan atau Penggelapan
6. Ahli Djoko Suksino Akta dianggap sah apabila isinya dibacakan dihadapan
para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan asas
kesepakatan kontrak
Dalam membuat akta harus dihadiri para pihak calon
penjual dan pembeli perikatan jual beli selalu diikuti
kuasa menjual.
NO FAKTA-FAKTA DI PERSIDANGAN

1. Pada bulan Mei-Juni 2004 bertempat dirumah Gregorius Daryanto telah terjadi
kesepakatan tukar menukar tanah antara Gregorius Daryanto dengan terdakwa
Mawar Muria Rini.
2. Kesepakatan tukar menukar tanah tersebut dibuatkan oleh saksi Gregorius
Daryanto surat perjanjiannya yang kemudian ditanda tangani oleh terdakwa,
saksi Gregorius Daryanto, dan 2 orang saksi yaitu Hendricus Mulyono dan Edy
Purwanto tanpa tanggal.
3. Surat perjanjian tersebut di bawa ke Notaris sehingga oleh Notaris Endang
Murniati dibuatkan akta perikatan jual beli nomor 65 tanggal 31 Mei 2004, Akta
Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004
4. Sesuai tertera dalam akta perikatan jual beli No. 65 penandatanganan akta
tersebut dilakukan pada tanggal 31 Mei 2004 sedangkan penandatangan akta
kuasa menjual No.51 dan akta kuasa menjual No. 52 dilakukan pada tanggal 30
September 2004
5. Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta perikatan jual beli
Nomor 65 tanggal 31 Mei 2004 karena Gregorius menyakini datang ke Notaris

109
pad tanggal 10 Juni 2004.
6. Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta Kuasa Menjual No. 51
dan No. 52 tanggal 30 September 2004 karena pada tanggal tersebut sedang
berada di Oman
7. Endang Murniati Dan Terdakwa Menerangkan Bahwa Tanda Tangan Dalam
Perikatan Jual Beli Nomor 65 Tanggal 31 Mei 2004 Sedangkan Dalam Akta
Kuasa Menjual No. 51 Dan No. 52 Tanggal 30 September 2004, Endang
Murniati tanggal tertera dalam akta tersebut tidak benar dilakukan
penandatanganan tersebut yang benar penandatanganni pada tanggal 31 Mei
2004.
8 Bedasarkan berita acara pemeriksaan dari hasil Laboratorium Kriminalistik
kesimpulannya menerangkan: Satu bundel surat kuasa jual Nomor 51; Satu
bundel surat kuasa jual Nomor 52 dan Satu bundel surat kuasa menjual Nomor
65, Gregorius dan isterinya sebagai pihak kesatu dengan Mawar Muria Rini
tangagl 31 Mei 2004 dengan tanda tangan Gregorius Daryanto sebagai
pembanding adalah merupakan tanda tangan berbeda.

C. Dasar Hukum Yang Digunakan

1) Pasal 263 ayat (1) KUHP

2) Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP

D. Silogisme dalam putusan Hakim

Kronologis singkat perkara dalam fakta hukum persidangan


(fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan sesuai dengan keyakinan
Majelis hakim)
“Endang Murniawati, SH (Umur 50 tahun) seoarang notaris
PPAT bertempat di kantor/PPAT Endang Murniati, SH jalan Kolombo
No.2A, Kelurahan Caturtunggal, kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Awalnya Pada bulan Mei-Juni 2004 bertempat dirumah
Gregorius Daryanto (Penjual) telah terjadi kesepakatan tukar menukar
tanah antara Gregorius Daryanto dengan Mawar Muria Rini (Pembeli).
Kesepakatan tukar menukar tanah tersebut dibuatkan oleh Gregorius
Daryanto surat perjanjiannya yang kemudian ditanda tangani oleh Mawar
Muria Rini, Gregorius Daryanto, dan 2 orang saksi yaitu Hendricus
Mulyono dan Edy Purwanto tanpa tanggal.
Surat perjanjian tersebut di bawa ke Notaris sehingga oleh Notaris
Endang Murniati dibuatkan akta perikatan jual beli nomor 65 tanggal 31
Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September
2004. Sesuai tertera dalam akta perikatan jual beli No. 65
penandatanganan akta tersebut dilakukan pada tanggal 31 Mei 2004

110
sedangkan penandatangan akta kuasa menjual No.51 dan akta kuasa
menjual No. 52 dilakukan pada tanggal 30 September 2004.
Bahwa Gregorius (Penjual/pemilik) tidak mengakui tanda
tangannya dalam Akta perikatan jual beli Nomor 65 tanggal 31 Mei 2004
karena Gregorius menyakini datang ke Notaris pada tanggal 10 Juni 2004.
Gregorius tidak mengakui tanda tangannya dalam Akta Kuasa Menjual
No. 51 dan No. 52 tanggal 30 September 2004 karena pada tanggal
tersebut sedang berada di Oman.
Endang Murniati dan Mawar Muria Rini menerangkan bahwa
Tanda Tangan dalam Perikatan jual beli Nomor 65 tanggal 31 Mei 2004
Sedangkan dalam akta kuasa menjual No. 51 dan No. 52 tanggal 30
september 2004, Endang Murniati tanggal tertera dalam akta tersebut tidak
benar dilakukan penandatanganan tersebut yang benar penandatanganni
pada tanggal 31 Mei 2004.
Bedasarkan berita acara pemeriksaan dari hasil Laboratorium
Kriminalistik kesimpulannya menerangkan: Satu bundel surat kuasa jual
Nomor 51;Satu bundel surat kuasa jual Nomor 52 dan Satu bundel surat
kuasa menjual Nomor 65, Gregorius dan isterinya sebagai pihak kesatu
dengan Mawar Muria Rini tangagl 31 Mei 2004 dengan tanda tangan
Gregorius Daryanto sebagai pembanding adalah merupakan TANDA
TANGAN BERBEDA.”
Sehingg Notaris/PPAT Endang Murniati (Umur 50 tahun)
bertempat di kantor/PPAT Endang Murniati, SH pada tanggal 30 Mei dan
31 September 2004 telah membuat surat palsu atau memalsukan surat,
yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang,
atau yang diperuntuhkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu.
Bahwa Endang Murniati, SH (Umur 50 tahun) berdasarkan
Nomor: 67/Pid.B/2012/PN.Slmn. Tanggal 28 Februari 2012: telah
melanggar ketentuan

Pasal 264 ayat 1 angka 1 KUHP menegaskan bahwa:

“Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama


delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta otentik” berupa
Akte otentik Perikatan jual beli dan Surat Kuasa Menjual.
Analisis Norma:
1) Sasaran Norma : Semua orang
2) Modus Perilaku : Larangan
3) Objek Norma :

a) Barang Siapa;
b) Pemalsuan Surat;
111
c) Dilakukan Terhadap Akta-Akta Otentik;
d) Diancam Jika Pemakaian Surat Itu Dapat
Menimbulkan Kerugian.
4) Kondisi Norma : Tempus dan locus delicti (tunduk pada ketentuan
hukum pidana)
Unsur-unsur tindak pidana:
1) Unsur “Barang Siapa”;
2) Unsur “Pemalsuan Surat”;
3) Unsur “Dilakukan Terhadap Akta-Akta Otentik”; dan
4) Unsur “diancam Jika Pemakaian Surat Itu Dapat Menimbulkan”.

Silogisme pasal yang diterapkan:


1) Unsur "Barangsiapa"
 Premis mayor:
Semua orang yang telah dewasa, cakap hukum, dan melakukan
tindak pidana di Indonesia ADALAH subjek hukum "barangsiapa"
(orang perorangan) yang dapat diancam dengan Pasal 264 ayat (1)
ke-1 KUHP.
 Premis minor:
Endang Murniati ADALAH orang yang telah dewasa, cakap
hukum, dan melakukan tindak pidana di Indonesia.
 Konklusi:
Endang Murniati ADALAH subjek hukum "barangsiapa" (orang
perorangan) yang diancam dengan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP.
2) Unsur “Pemalsuan Surat”
 Premis Mayor ;
Semua tindakan dan perbuatan dengan cara membuat surat seolah-
olah isi surat yang dibuat itu adalah benar menurut Pasal 264 ayat
(1) KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan Endang Murniati ADALAH membuat surat dengan cara
tidak berdasarkan pada kenyataannya atau tidak ada kebenarannya
dan/atau membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya
(tidak benar).
 Konklusi ;
Tindakan Endang Murniati ADALAH perbuatan memalsukan surat
yang berhubungan mengenai surat otentik menurut Pasal 264 ayat
(1) ke-1 KUHP.

3) Unsur “Dilakukan Terhadap Akta-Akta Otentik”

112
 Premis mayor ;
Segala tindakan yang dilakukan dengan cara memalsukan surat
(elemen-elemen atau syarat-syarat) termuat dalam Pasal 263
KHUP ditambah bahwa surat yang dipalsukan akta otentik yang
berisi tidak benar diancam dengan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan yang dilakukan oleh Endang Murniati dengan
memalsukan isi akta otentik berupa Akta perikatan jual beli dan
Akta Kuasa Menjual tersebut seolah-olah adalah benar.
 Konklusi ;
Tindakan Endang Murniati adalah perbuatan melanggar yang
Dilakukan Terhadap Akta-Akta Otentik berupa Akta perikatan
jual beli dan Akta Kuasa Menjual menurut Pasal 264 ayat (1) ke-1
KUHP.
4) “Unsur Pemakaian Surat Tersebut Menimbulkan Kerugian”
 Premis mayor ;
Segala tindakan yang dilakukan dengan cara memakai surat atau
akta otentik tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain
dapat diancam dengan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP.
 Premis minor ;
Tindakan yang dilakukan Endang Murniati dengan memakai surat
atau akta otentik yang sebenarnya dapat menimbulkan kerugian
bagi pemilik.
 Konklusi ;
Tindakan Endang Murniati adalah memakai surat atau akta otentik
menimbulkan kerugian bagi pemilik menurut Pasal 264 ayat (1)
ke-1 KUHP.
Akhirnya:
Dengan memperhatikan bahwa unsur-unsur perbuatan yang
dilakukan oleh Endang Murniati terbukti melakukan pemalsuan surat,
yang “Dilakukan Terhadap Akta-Akta Otentik berupa Akta
perikatan jual beli dan Akta Kuasa Menjual serta memakai akta
otentik tersebut untuk mengalihkan hak kepada pihak ketiga sehingga
mangakibatkan kerugian bagi pihak pemilik/penjual dan terpenuhi
segala unsur. maka hakim akan sampai pada kesimpulan bahwa
perbuatan Endang Murniati memenuhi kualifikasi tindak pidana
menurut Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP.

E. Amar Putusan

113
1) Menyatakan terdakwa Ny. Endang Murniati, SH; terbukti secara sah
dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMALSUAN
SURAT BERUPA AKTA OTENTIK”;
2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ny. Endang Murniati, SH, oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 9
(sembilan) bulan;
3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4) Memerintahkan barang bukti yang diajukan dalam perkara ini
sebanyak (26 macam) dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk
dijadikan barang bukti dalam perkara lain;
5) Membebankan biaya perkara kepada terdakwa.

F. Analisis Penulis Terhadap Amar Putusan

Adapun pendapat panulis dalam mencermati amar putusan hakim

dalam Perkara Nomor 67/Pid.B/2012/PN.Slmn Bahwa terdakwa telah di

dakwa oleh penuntut Umum dengan dakwaan alternatif kesatu : melanggar

Pasal 263 ayat 1 KUHP atau kedua : melanggar Pasal 264 ayat (1) ke-1

KUHP. Karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara Alternatif

maka majelis akan mempertimbangkan dakwaan yang paling sesuai

dengan fakta-fakta yuridis yaitu pada dakwaan kedua yaitu Pasal 264 ayat

(1) ke-1 KUHP yang menegaskan bahwa:

“Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama


delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta otentik”
berupa Akte otentik Perikatan jual beli dan Surat Kuasa
Menjual.
Bahwa sudah jelas pertimbangan hakim terhadap terdakwa

diancam dengan pasal diatas sebab kualifikasi perbuatan pada sidang

sebelumnya yang dilakukan oleh terdakwa berbeda dengan kualifikasi

perbuatan unsur perbuatan yang didakwakan dalam persidangan saat ini .

114
Berdasarkan pada pertimbangan hakim dalam putusan ini,

hakim sudah memberikan putusan dengan baik karena cara berpikir untuk

memutus perkara ini memiliki cara berpikir yang berbeda. Pertimbangan

hukum yang diberikan oleh hakim terhadap Notaris tersebut sangatlah

tepat walaupun Notaris tersebut pernah didakwa dan dituntut dalam

perkara yang sama dalam Putusan Nomor 576/Pid. B/2008/PN.Slmn jo

No. 2179/K/Pid/2009 yang menyatakan bahwa notaris tersebut melakukan

tindak pidana penipuan.

Seharusnya ketika hakim tersebut memiliki cara berpikir sama

dengan hakim yang memutus perkara Nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slmn

maka pertimbangan hukum yang akan diberikan dengan alasan dan dalil

yang sama yaitu melanggar asas Nebis in idem namun pada kenyataannya

hakim tersebut memliki pola berpikir yang berbeda yaitu memberikan

tuntutan atau sanksi pidana bagi Notaris.

Berdasarkan pada premis mayor dan minor hakim lebih

mengikuti pada kesaksian sama serta diperkuat dengan fakta-fakta yang

diungkapkan dalam persidangan sehingga dapat disimpulkan bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh notaris tersebut telah sesuai dengan

penerapan hukumnya seingga sangat tepat ketika notaris tersebut diberikan

sanksi pidana. Akan menjadi tidak adil ketika yang menanggung perbuatan

tersebut hanya ditanggung oleh Notaris selaku terdakwa. Namun yang

melakukan perbuatan tersebut Notaris tersebut tidak melakukannya dengan

sendiri karena adanya bantuan dari Mawar Muria Rini dalam putusan

115
nomor 66/Pid.B/2012/PN.Slmn seharusnya mendapatkan sanksi pidana,

oleh karena kekeliruan hakim maka terdakwa terbebas dari tuntutan

pidana.

Namun penulis berpendapat dalam perkara ini, meski hakim

telah cermat dalam mengambil keputusan yang memutuskan dalam

persidangan untuk tetap ditahan (divonis Hukuman), terdapat kelemahan

ketidaksesuaian dalam penerapan pasal yang menurut peulis melanggar

asas keadilan hukum yaitu dimana pada persidangan sebelumnya pembeli

atas nama Mawar Muria Rini dan Notaris atas nama Ny. Endang Murniati,

S.H., di dakwa dan diputuskan oleh hakim dalam persidangan tersebut

dengan pasal dan unsur yang sama yaitu tentang perbuatan penggelapan

(Pasal 372 KUHP) dan perbuatan penipuan (Pasal 378 KUHP), namun

disuatu sisi sudut pandang yang lain dasar pertimbangan hakim tidak

diterapkan asas Nebis in idem terhadap terdakwa Ny. Endang Murniati,

S.H., adalah seorang Notaris yang merupakan pejabat yang diberikan

kewenangan dalam membuat segala perbuatan hukum dan

bertanggungjawab atas apa yang dibuat berdasarkan kewenangannya

sebagai pejabat pembuat Akta.

Dengan Demikian berdasarkan pada putusan ini hakim benar-

benar sangat cermat dalam mengkaji unsur-unsur pidana sehingga amar

putusan yang diberikan oleh hakim sangat tepat karena notaris tersebut

melakukan kesalahan yang sangat fatal yaitu memalsukan tandatangan

tersebut sehingga surat yang dipakai adalah surat kuasa palsu karena tidak

116
sesuai dengan tanda tangan penjualnya berdasarkan hasil laboratorium

kriminal dinyatakan tandatangan penjual yaitu BERBEDA dengan tanda

tangan pemiliknya yaitu Palsu.

4.1.3 Kontruksi hukum dalam pertimbangan hukum dalam Putusan


Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.
Slm.
“Kontruksi putusan hakim menggambarkan bagaimana alur
kerangka pikir hakim dalam memahami kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan hukum. konstruksi putusan hakim
menjadi sangat penting oleh karena di dalamnya dapat dilihat dan
dimaknai sebagai kaidah keteraturan nilai-nilai keadilan,
kepastian dan kemanfaatan dari hukum. konstruksi putusan hakim
bukan sekedar dokumen hukum dalam penegakan hukum, tetapi
konstruksi putusan hakim menjadi risalah sejarah proses
penegakan hukum dalam membangun peradaban manusia di
muka bumi. Hukum merupakan landasan dan arah dari
pembangunan sistem yang membentuk tata kehidupan yang
beradab, putusan hakim merupakan hukum yang konkrit dan
langsung mengikat, oleh karenanya putusan hakim merupakan
risalah sejarah dalam membangun peradaban umat manusia.”69

Kontruksi putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat

merupakan suatu bagian yang terpenting untuk melihat karakteristik dari

suatu negara melalui penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

merdeka. Konstruksi putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat salah

satu tujuan negara untuk menerapkan rasa keadilan, kemanfaatan dan

kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat yang harus berjalan dan

bertindak sesuai dengan norma-norma yang ada.

Konstruksi kepastian hukum merupakan bagian dari kerangka

berfikir dalam memaknai dan memahami ketentuan normatif hukum


69
Untuk lebih lanjut bisa lihat Disertasi Sidik Sunaryo, Rekonstruksi Putusan Hakim
Perkara Korupsi Dalam Perspekstif Hukum Progresif, fakultas hukum universitas brawijaya
malang, 2016, hal. 64
117
positif dalam perkra pemalsuan surat. Konstruksi dalam perkara

pemalsuan ini sebagai wujud untuk sikap sosial dan sikap mental hakim

dalam menegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Setiap pertimbangan

hakim dapat dijadikan cermin untuk melihat apakah hakim tersebut dalam

putusan sudah benar-benar memberikan kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan bagi masyarakat, oleh sebab itu penulis menyajikan

gambaran terkait putusan hakim dalam tabel di bawah ini.

1) Gambaran konstruksi hukum dalam Putusan Nomor


66/Pid.B/2012/PN. Slm.

Kontruksi hukum dalam perkara pemalsuan surat tersebut

mencerminkan ketidakteraturan logika hakim dalam menyusun

pertimbangan, pertimbangan hukum dan amar pututsan. Fakta hukum

membuktikan perbuatan terdakwa bersalah secara sah dan

menyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum.70 namun hakim

tidak mejadikan sebagai dasar dalam membuat amar putusan . fakta

hukum membuktian bahwa perbuatan terdakwa tersebut sanga jelas

yang dibuktikan dengan bukti surat dan keterangna saksi, namun

hakim tidak menjadikannya sebagai dasar dalam menentukan

kualifikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

terdakwa.

70
Wujud perbuatan melawan hukum dalam perakra tersebut adalah menggunakan surat
palsu atau surat kuasa menjual palsu untuk melakukan peralihan hak atas tanah dan merugikan
pemilik tanah tersebut.
118
Ketidakpastian hukum atau kekeliruan dalam konstruksi

putusan hakim perakra pemalsuan surat dapat dilihat dalam fakta

hukum sebagai berikut:

1. Terdakwa membeli tanah kepada Ir. Gregorius Daryanto


namun tidak lunas, kemudian dibuatkan perjanjian tukar
guling;
2. Perjanjian yang dibuat oleh terdakwa dan saksi di bawa ke
kantor Notaris;
3. Saksi Notaris Endang Murniati membuat perjanjian terkait
tukar guling tanah;
4. Saksi hanya melakukan tanda tangan satu kali pada akta
pengikatan jual beli;
5. Saksi tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa
menjual kepada terdakwa;
6. Dalam berita acara laboratorium Kriminalistik Tandan tangan
pada surat kuasa menjual tersebut merupakan tanda tangan
berbeda dengan pemilik tanah yang sesungguhnya.
7. Terdakwa mengakui telah menggunakan surat kuasa menjual
tersebut untuk mengalihkan tanah kepada saksi Ir. Delthy
Rinaldi;

Fakta-fakta hukum yang terungkap sebagaimana di atas jelas

terbukti secara sah dan meyakinkan dalam persidangan, namun tidak

dipergunakan oleh hakim dalam melakukan konstruksi penyusunan

pertimbangan fakta hukum, pertimbangan hukum dan amar putusan

yang dibuatnya. Konstruksi amar putusan hakim dalam perkara

pemalsuan surat adalah sebagai berikut :

1. Menerima keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa;


2. Menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima;
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan
harkat serta martabatnya;
4. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

119
Fakta yang terungkap dalam persidangan yang sebenarnya

memenuhi kualifikasi konstruksi unsur perbuatan terdakwa yang

memenuhi unsur perbuatan sebagaimana dalam dakwaan alternatif

jaksa, oleh hakim diabaikan begitu saja tanpa dasar dan argumentasi

yang memadai. Hakim tidak hanya melakukan kehilafan dalam

mengadili terdakwa, tetapi secara nyata melakukan kekeliruan dalam

menerapkan hukum terkait dengan kualifikasi unsur perbuatan

terdakwa sebagaimana dalam surat dakwaan tersebut.

Konstruksi kepastian hukum dalam putusan hakim perkara

pemalsuan surat, telah keliru secara nyata dalam mengkonstruksi fakta

hukum yang terungkanp dalam persidangan, sebagai perbuatan yang

secara sebenarnya dilakukan oleh terdakwa. Kekeliruan secara nyata

hakim dalam mengkonstruksi segala fakta hukum yang terungkap

dalam persidangan adalah tidak menjadikan fakta hukum yang

terungkap dalam persidangan sebagai dasar mengkonstruksikan

pertimbangan hukum.

Konstruksi hukum dalam putusan hakim perkara pemalsuan

surat tersebut juga menjadi pembenar perbuatan-perbuatan melawan

hukum tidak dapat dimaknai sebagai perbuatan yang telah secara jelas

melanggar hukum tertulis.

Konsturksi keadilan dalam putusan hakim merupakan hakekat

dari putusan hakim yang konkrit dan langsung mengikat. Konstruksi

keadilan dalam putusan hakim mencerminkan kehendak ideologi

120
hukum dalam tatanan negara hukum yang sebenarnya. Konstruksi

keadilan dalam putusan hakim tidak saja merupakan metode dalam

menegakan konsep negara hukum, tetapi sebagai dasar dalam

mewujudkan negara hukum melalui penyelenggaraan peradilan yang

merdeka.

Konstruksi keadilan dalam putusan hakim perkara pemalsuan

surat merupakan dasar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan

mencerdaskan kehidupan bangsa. Kontruksi keadilan ini dapat

dijadikan sebagai cermin yang menjamin hajat hidup orang banyak.

Konstruksi keadilan dalam putusan hakim perkara pemalsuan surat

dapat dilihat dalam dua perspektif yakni konstruksi keadilan

prosedural dan konstruksi keadilan substansial. Konstruksi keadilan

prosedural mengandung makna bahwa putusan hakim perkara

pemalsuan surat, apakah dalam menyusun pertimbangan fakta hukum,

pertimbangan hukum, dan amar putusan sudah sedah sesuai dengan

prosedur hukum formil. Konstruksi keadilan substansial dapat dilihat

dari landasan hukum dipergunakan sudah tepat dan benar atau belum

tepat dan belum benar.

2) Gambaran konstruksi hukum dalam Putusan Nomor


67/Pid.B/2012/PN. Slm.

Kontruksi hukum dalam perkara pemalsuan surat tersebut

mencerminkan ketidakteraturan logika hakim dalam menyususn

pertimbangan fakta hukum, pertimbangan hukum dan amar pututsan.

Fakta hukum membuktikan perbuatan terdakwa bersalah secara sah


121
dan menyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum.71 namun

hakim tidak mejadikan sebagai dasar dalam membuat amar putusan .

fakta hukum membuktian bahwa perbuatan terdakwa tersebut sangat

jelas yang dibuktikan dengan bukti surat dan keterangna saksi, namun

hakim tidak menjadikannya sebagai dasar dalam menentukan

kualifikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

terdakwa.

Ketidakpastian hukum atau kekeliruan dalam konstruksi

putusan hakim perkara pemalsuan surat dapat dilihat dalam fakta

hukum sebagai berikut:

1) Dra. Mawar Muria Rini membeli tanah kepada Ir. Gregorius


Daryanto dengan harga Rp. 1.170.000.000, karena terlalu
mahal maka Dra. Mawar Muria Rini menawarkan untuk tukar
guling,72 namun tidak lunas, kemudian dibuatkan perjanjian
tukar guling;
2) Harga tanah tukar guling tersebut adalah Rp. 790.000.000
tanah yang akan dibeli adalah Rp. 1.170.000.000 jadi sisa
pembayaran tersebut menajdi 380.000.000.
3) Keduanya sepakat untuk melakukan Perjanjian, perjanjiant
tersebut dibuat oleh saksi Dra. Mawar Muria Rini dan saksi
pergi ke kantor Notaris;
4) Saksi Notaris Endang Murniati membuat perjanjian terkait
tuker guling tanah;
5) Aktanya sudah dipersipakan oleh terdakwa Saksi hanya
melakukan tanda tangan satu kali pada akta pengikatan jual
beli tersebut;
6) Saksi tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa
menjual kepada terdakwa;

71
Wujud perbuatan melawan hukum dalam perakra tersebut adalah menggunakan surat
palsu atau surat kuasa menjual palsu untuk melakukan peralihan hak atas tanah dan merugikan
pemilik tanah tersebut.
72
Tukar guling adalah tindakan untuk menukarkan tanah tersebut kepada penjual tanah
kemudian sisa dari pembayaran tanah tersebut akan dibayar dengan uang tunai.
122
7) Dalam berita acara laboratorium Kriminalistik Tandan tangan
pada surat kuasa menjual tersebut merupakan tanda tangan
berbeda dengan pemilik tanah yang sesungguhnya.
8) Terdakwa yang mengeluarkan surat kuasa menjual tersebut.
9) Surat kuasa menjual tersebut dibuat tidak dalam keadaan yang
sebenarnya;

Fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, setidaknya

dapat dipergunakan oleh hakim sebagai dasar untuk mengkualifikasi

kepastian unsur pebuatan terdakwa ke dalam dua unsur perbuatan,

yakni melawan hukum dan penyalagunaan kewenangan. Kepastian

kualifikasi usur perbuatan terungkap dari fakta hukum bahwa surat

kuasa menjual yang dibuat oleh terdakwa adalah tidak berdasarkan

keadaan yang sebenarnya sehingga isi dari surat tersebut adalah palsu,

fakta yang lain pemilik tanah hanya menandatangani satu akta yaitu

akta jual beli. Konstruksi amar putusan hakim dalam perkara

pemalsuan surat adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa NY.ENDANG MURNIATI, SH;


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “PEMALSUAN SURAT BERUPA AKTA
OTENTIK;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa NY.ENDANG
MURNIATI, SH oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 9 (sembilan) bulan Menyatakan
penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan barang bukti untuk diserahkan kepada jaksa
5. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar
Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah);

123
Hakim hanya menyatakan terdakwa “terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat

terhadap akta otentik,”, hakim tidak memberikan penegasan terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan

kualifikasi unsur perbuatan yang sama yang ada dalam dakwaan jaksa.

Membaca putusan-putusan hakim tidak cukup hanya secara

laterlijke saja terhadap apa yang tersurat dalalm putusan. Tetapi

membaca putusan harus pula mampu memberikan penafsiran dan

pemahaman terhadap apa-apa yang tersurat (understanding of

understanding). Putusan hakim pada hakekatnya adalah merefleksikan

pemahaman hakim (understanding) terhadap rumusan ketentuan pasal-

pasal Undang-undang kemudian dikaitkan dengna fakta-fakta yang

terungkap dipersidangan, untuk selanjutnya ditafsirkan sedemikian

rupa berdasarkan pengalaman-pengalaman hakim di dalam memutus

dan mengadili perkara selama menjalani profesinya. Jadi hakekatnya

hukum yang sebenarnya adalah putusan hakim. Karena putusan hakim

inilah rumusan pasal-pasal dalam Undang-undang menjadi ‘hidup’ dan

mempunyai daya berlakunya. Sementara rumusan pasal Undang-

undang masih bersifat abstrak tidak bernilai apapun dan terkadang

hanya bersifat kaidah.

Sementara itu, penulis dalam posisi sebagai pihak yang

mencoba melihat dan mengkaji putusan hakim, juga akan memahami

substansi putusan hakim (understanding) yang sedang diteliti, yang

124
biasanya juga merupakan refleksi penulis di dalam menjelaskan hukum

dalam kenyataan kaitannya dengan konsepsi (mindset) penulis tentang

benar dan adil secara yuridis, sosiologis, filosofis, psikologis, budaya,

politik.

Sehingga dengan demikian bisa terhadap kebenaran dan

keadilan dari dua perspektif ini akan secara inheren muncul, yang

selanjutnya akan melahirkan pemahaman baru terkait dengna hukum

dan keadilan dalam putusan hakim.

Apabila dilihat secara formal putusan hakim Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm

tersebut terlihat sudah memenuhi hal-hal yang termuat dalam

ketentuan pasal 197 jo 199 KUHAP, Karena hakim terlihat menganut

paham legisme yakni hukum adalah Undang-undang bertindak tidak

cermat dan tidak hati-hati. Walaupun putusan hakim memenuhi

substansial pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP, yakni : pernyataan

bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,

dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang

undangan yang menjadi dasar putusan. Hakim dalam amar putusan

menyatakan tidak menerima tuntutan dari jaksa penuntut umum, wajib

menyebutkan dasar hukumnya yakni sesuai ketentuan pasal 191 huruf

a, KUHAP, yakni :

apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan


disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinan, maka
terdakwa diputus bebas.
125
Berdasarkan pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP, hakim dalam

menolak tuntutan jaksa penuntut umum sudah memberikan alasan

yang menjadi dasar untuk menolak tuntutan yang didakwakan oleh

hakim. Alasan dan Dasar yang digunakan oleh hakim untuk menolak

tuntutan jaksa akan diuraikan sebagai berikut :

Dalam perkara ini berlaku asas Nebis In Idem atau tidak,

sesuai ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP, Majelis akan

mempertimbangkan apakah perkara yang disidangkan sekarang ini

memenuhi ke 5 (lima) syarat tersebut, sebagai berikut :

1. Perbuatan yang didakwakan kedua kalinya sama dengan


yang peristiwa pidananya sudah pernah didakwakan;
Bahwa mengenai pengertian perbuatan yang sama, KUHP

tidak memberikan penjelasan, oleh karenanya pengertian perbuatan

yang sama harus mengacu kepada doktrin dan yurisprudensi;

menurut Wirjono Prodjodikoro,73 pad pokoknya menyatakan ada 3

(tiga) pendapat mengenai pengertian perbuatan yang sama, yaitu :

1) Bahwa perbuatan yang sama diartikan sebagai perbuatan


seperti yang dirumuskan oleh Kejaksaan dalam tuntutan
pertama yang gagal, dibandingkan dengan perbuatan seperti
yang dirumuskan dalam tuntutan kedua, sehingga dengan
pengertian ini maka prinsip Nebis in Idem tidak akan pernah
dilakukan;
2) Bahwa perbuatan yang sama adalah sebagai apa yang
dimaksud dengan materieel feit yaitu perbuatan yang nyata
diperbuat, terlepas dari apakah perbuatan itu merupakan tindak
pidana atau tidak. Pengertian ini tidak memuaskan karena
masih dianggap memperkosa tujuan menentramkan terdakwa
sebagai tujuan diadakannya ketentuan Nebis in Idem;
3) Bahwa perbuatan yang sama diartikan sebagai suatu kejadian
73
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia hal. 162-163
126
yang luas (gebeurenis) dan yang meliputi banyak perbuatan
yang masing-masing merupakan materieel feit;

Dengan demikian perbuatan yang sama dalam Pasal 76

ayat (1) KUHP haruslah diartikan sebagai suatu kejadian yang luas

dan yang meliputi banyak perbuatan yang masing-masing

merupakan materieel feit; untuk menilai apakah dalam suatu

perkara berlaku Nebis in Idem, menurut Muh. Arif Setiawan,

berpendapat bahwa pengertian perbuatan yang sama yaitu

perbuatan yang sesungguhnya terjadi yang dilakukan oleh

Terdakwa, hal itu dapat dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan

(BAP) dan dakwaan Penuntut Umum, bahwa dengan demikian

untuk mengetahui ada tidak perbuatan yang sama dalam perkara

ini harus diteliti berkas perkara yang sekarang dengan berkas

perkara Nomor 576/Pid.B/2008/PN.Slmn.

Dalam perkara No. 66/Pid.B/2012/PN.Slmn. ini Terdakwa

didakwa dengan dakwaan alternatif, Pertama sebagaimana diatur

dan diancam dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP atau Kedua

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 264 ayat (2)

KUHP yang pada pokoknya perbuatan Terdakwa dilakukan dengan

cara Terdakwa telah memakai surat yang isinya tidak benar atau

dipalsukan, atau memakai surat palsu yaitu memakai Akta

Perikatan Jual Beli No.65 tanggal 31 Mei 2004, Akta Kuasa

Menjual No.51 tanggal 30 September 2004 dan Akta Kuasa

Menjual No.52 tanggal 30 September 2004 yang isinya tidak

benar atau dipalsukan karena saksi korban Ir. Gregorius Daryanto

sebagai pihak dalam Akta-Akta tersebut tidak pernah


127
menandatangani ketiga akta tersebut dengan alasan karena saksi Ir.

Gregorius Daryanto hanya menandatangani akta tukar guling pada

tanggal 11 Juni 2004, dan pada tanggal 30 September 2004 Ir.

Gregorius Daryanto berada di Negara Oman sejak tanggal 24

Agustus 2004 sampai dengan tanggal 13 Oktober 2004, sedangkan

dalam perkara Nomor 576/Pid.B/2008/PN.Slmn, Terdakwa

(sebagai Terdakwa I bersama-sama dengan Ny. Endang Murniati,

S.H., sebagai Terdakwa II) didakwa dengan dakwaan alternatif,

yaitu Kesatu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal

372 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Kedua sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam pasal 378 jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP, yang pada pokoknya juga mengenai perbuatan

Terdakwa dalam memakai Akta Perikatan Jual Beli No.65 tanggal

31 Mei 2004, Akta Kuasa Menjual No. 51 tanggal 30 September

2004 dan Akta Kuasa Menjual No.52 tanggal 30 September 2004,

pada hal saksi korban (Ir. Gregorius Daryanto) merasa tidak pernah

menanda tangani akta-akta tersebut.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan terhadap saksi-saksi

yang dibuat oleh Penyidik dalam berkas perkara pidana Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn dan dalam berkas yang sekarang ini,

maka perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa pada pokoknya

mengenai hubungan hukum antara saksi korban Ir. Gregorius

Daryanto dengan Terdakwa, dari awalnya ada kesepakatan untuk

melakukan tukar guling tanah Ir. Gregorius Daryanto yang terletak

di Juwangen dengan tanah milik Terdakwa yang terletak di

Kalitirto, yang kemudian kesepakatan tersebut dibawa ke Notaris


128
Endang Murniati, S.H., kemudian terbit Akta Perikatan Jual Beli

No.65 tanggal 31 Mei 2004, dan Akta Kuasa Menjual No.51 yang

tanda tangannya tidak diakui oleh korban Ir. Gregorius Daryanto;

berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis

berkesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan dalam perkara

Nomor 66/Pid.B/2012/ PN.Slmn., sekarang ini adalah sama dengan

perbuatan yang didakwakan dalam perkara Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn;

2. Pelakunya sama dan atas perbuatan/peristiwa pidana yang


sama;
Dalam perkara ini pelaku yang didakwakan dalam perkara

yang sekarang adalah Dra. MAWAR MURIA RINI sama orangnya

dengan Dra. MAWAR MURIA RINI dalam perkara pidana yang

dahulu yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Sleman Nomor

576/Pid.B/2008/PN.Slmn jo. Putusan MARI No. 2179 K/Pid/2009,

Terdakwa Dra. MAWAR MURIA RINI (SEBAGAI Terdakwa I

bersama-sama dengan Ny. ENDANG MURNIATI, S.H., sebagai

Terdakwa II) dengan demikian pelaku tindak pidana yang didakwa

dalam perkara yang sekarang ini adalah sama dengan Terdakwa I

dalam perkara No. 576/Pid.B/2008/PN.Slmn jo Putusan MARI

No.2179 K/Pid/2009.

3. Korban yang diajukan sama, atau ada tambahan yang belum


pernah diajukan dalam perkara tetapi tidak menjadi dasar
untuk kedua kali penuntutan atas hal yang sama;
Dalam perkara ini pelapor yang juga selaku saksi korban

adalah Ir. Gregorius Daryanto, sedangkan dari berkas perkara

129
No. 576/Pid.B/2008/ PN.SLMN, setelah diteliti ternyata

pelapornya juga sama yaitu Ir. Gregorius Daryanto, sehingga

syarat poin 3 ini juga telah terpenuhi .

4. Obyek sama atau satu;

Obyek perbuatan yang dijadikan pokok dakwaan dalam

perkara ini adalah 2 (dua) bidang tanah SHM No.717 seluas

1.309 M2 dan SHM No.718 seluas 2.955 M2, keduanya semula

atas nama Ir. Gregorius Daryanto, terletak di Dusun Juwangen,

dalam perkara Nomor 576/Pid.B/2008/ PN.SLMN jo. Putusan

MARI No.2179 K/PID/2009.

5. Terhadap peristiwa pidana tersebut telah ada putusan


Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa yang dimaksud putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap adalah putusan yang sudah tidak ada lagi upaya

hukum biasa yang dapat ditempuh, dan putusan tersebut harus

dimaknai sebagai putusan dalam bidang hukum pidana, sehingga

walaupun suatu perbuatan sudah ada putusan hukum yang

berkekuatan hukum tetap, tetapi dalam bidang hukum lain,

misalnya perdata atau tata usaha negara, maka jika perbuatan

tersebut kemudian diajukan untuk diadili dalam perkara pidana,

dalam hal ini maka tidak berlaku asas nebis in idem.

Selain hal tersebut pengertian putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap juga harus dimaknai suatu putusan yang sudah

mempertimbangkan pokok perkaranya, termasuk putusan bebas dan

lepas dari segala tuntutan hukum, tidak bisa dikatakan ada nebis jika

perkara yang terdahulu putusannya baru mempertimbangkan syarat


130
formal surat dakwaan, proses penyidikan yang tidak sah dan

sebagainya yang tidak menyangkut pokok perkaranya, Putusan

Pengadilan Negeri Sleman Nomor 576/ Pid.B/2008/PN.SLMN jo.

Putusan MARI No.2179 K/PID/2009, Terdakwa Dra. MAWAR

MURIA RINI diadili dalam perkara pidana, yang amar putusannya

pada pokoknya menyatakan melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan

hukum, dengan demikian perkara pidana tersebut telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, karena sudah tidak tersedia lagi upaya hukum

biasa.

Menurut penulis berdasarkan dasar dan alasan yang sudah

dikemukakan oleh hakim dalam perkara ini, ketidakcermatan hakim

dalam mencatumkan dasar dasar hukum, hal ini dapat menimbulkan

kekeliruan dan kekaburan norma dalam pertimbangan hakim tersebut.

Ketika pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.

Slm menyatakan tidak diterima yang berarti bahwa terdakwa tidak

dapat dipidana, sementara dalam Putusan Nomor Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN. Slm terdakwa Notaris/PPAT Endang Murniati, SH

pertimbangan hakim adalah menyatakan terbukti secara hukum dan

bersalah seharusnya amar putusan yang diberikan oleh hakim kepada

kedua terdakwa tersebut sama tidak ada bedanya. Karena kedua

tersangka tersebut sama-sama melakukan tindak pidana.

Dalam putusan ini hakim melakukan pengaburan perkara

dengan tidak secara lengkap mencantumkan dasar hukum yang

131
menjadi dasar putusannya. Khususnya tidak secara cermat

mencantumkan ketentuan pasal 199 ayat (1) huruf b KUHAP. Sebab

apabila tidak dicantumkannya ketentuan pasal 199 ayat (1) huruf b

KUHAP ini, akan berakibat putusan batal demi hukum. hal ini

dinyatakan secara tegas.

Namun demikian aspek kepastian hukum yang dapat menjamin

keadilan juga menjadi sangat penting, apalagi dalam kondisi

amsyarakat indonesia yang tradisional nilai keadilan ini. Putusan

pemalsuan surat dalam perkara ini juga seharusnya melihat aspek

kepastian, kemanfaatan dan keadilan dengan cara mencantumkan dasar

hukum putusan secara lengkap dan jelas serta harus memenuhi rasa

keadilan supaya para pelanggar hukum tidak bisa bebas dari hukuman.

Sehingga dengan demikian pencantuman ketentuan pasal 197

ayat (1) huruf h jo 199 KUHAP sangat penting dalam putusan ini.

Sebab akibat batal demi hukum. dengan konsekuensi batal demi

hukum maka putusan hakim tersebut dianggap tidak pernah ada.

Karena dianggap tidak pernah ada maka keadaan harus dikembalikan

seperti keadaan semula sebelum perkara ini ada. Meskipun putusan

yang dibuat hakim dalam perkara ini isinya bebas, namun proses yang

mendahului, menyertai dan mengikuti perkara ini tidak bisa hilang dan

dilupakan begitu saja oleh para pihak dan masyarakat.

Selanjutnya dalam putusan hakim sudah menggunakan dasar

pasal 183 jo 185 KUHAP. Dalam putusan hakim sudah memeriksa dan

132
membuktikan alat bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa,

keterangan ahli, dan surat. Namun keempat alat bukti tersebut

dipandang oleh hakim tidak terbukti bahkan hakim menolak putusan

tersebut karena mengandung unsur Nebis In Idem sebagaimana yang

sudah diuraikan pada bagian di atas. Tetapi secara substansi hakim

masih belum memberikan gambaran yang utuh tentang uraian dari

keyakinannya. Misalnya hakim tidak menunjukan bahwa dalam

putusannya mempertimbangkan ketentuan pasal 185 ayat (6) huruf a,b

dan d, KUHAP yakni : hakim tidak sungguh-sungguh memperhatikan

persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; hakim

tidak sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan

saksi dan alat bukti lain; dan hakim tidak sungguh-sungguh

memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu

yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan

itu dipercaya. Hakim tidak pernah menilai keterangan saksi-saksi

khusunya dari teman terdakwa. Secara kesusilan dan cara hidup para

saksi tersebut yang dalam kasus ini sangat terkait dan melakukan

perbuatan sebagaiamana yang dilakukan oleh terdakwa tidak

diperhatikan oleh hakim. Dalam keadaan demikian tidak mungkin

dapat diharapkan para saksi akan memberikan keterangan yang

memberatkan terdakwa, karena sama dengan memberatkan dirinya

sendiri.

133
Kelalaian hakim yang berikutnya tidak cermat memahami

ketentuan pasal 185 ayat (6) huruf a,b dan d tersebut. Padahal dalam

persidangan hakim seharusnya sadar dan paham, bahwa sebagian besar

saksi dalam perkara ini adalah saksi dengan kategori saksi mahkota,

karena kolega terdakwa. Dengan kedudukan demikian, sudah barang

tertentu saksi-saksi tersebut tidak akan memberikan keterangan yang

sebenarnya oleh sebab dapat menyeret diri para saksi tersebut sebagai

pihak yang juga harus bertanggung jawab. Hakim harusnya menggali

alat bukti lain yang dapat saja substansinya berasal dari keterangan

saksi. Misalnya alat bukti petunjuk dan surat. Dalam ketentuan pasal

188.74 Jadi hakim seharusnya menggunakan ketentuan pasal 188

KUHAP ini. Sebab dalam persidangan hakim sudah memeriksa para

saksi, kemudian memeriksa surat, yang tidak pernah dibantah

keabsahannya baik oleh terdakwa maupun oleh JPU serta oleh hakim

sendiri. Dengan demikian andai saja hakim memahami kontruksi

hukum yang demikian, maka putusan perkara ini tidak bebas atau tidak

lepas dari segala tuntuan serta tuntuan jaksa tidak diterima/ditolak

melainkan berupa pemidanaan, denda dan pengganti uang negara.

Ketentuan pasal 188 KUHAP ini memang menuntut hakim

harus mampu menemukan hukum dalam putusannya. Frasa

74
Pasal 188 ayat (1) petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, bak antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Ayat (2) : petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi, b. Surat, c.
Keterangan terdakwa. Ayat (3): penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan ahti nuraninya.
134
penilaian...arif lagi bijaksana adalah kata kunci agar hakim melakukan

penemuan hukum. Dengan penemuan hukum melalui ketentuan pasal

188 KUHAP terebut, diharapkan tidak ada putusan hakim yang tidak

mencerminkan keadilan. Untuk melihat apakah putusan hakim dalam

perkara ini, sudah tepat atau sudah adil tidak cukup hanya dilihat dari

kesimpulannya atau amar putusan yang memutus bebas atau lepas dari

segala tuntutan. Tetapi prosedur untuk sampai pada keputusan bebas

inilah yang penting untuk dicermati.

Berdasarkan Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm amar

putusannya adalah hakim tidak menerima tuntutan dari jaksa penuntut

umum, hal ini sangat tidak memenuhi rasa keadilan, karena

berdasarkan pada pasal 183.75 Hakim bisa menjatuhkan pidana kepada

seseorang ketika memenuhi dua alat bukti yang sah, berkaitan dengan

perkara ini dengan terdakwa Dra. Mawar Muria Rini secara prosedur

dan fakta yang sudah terungkap di pengadilan serta tuntutan yang

dijatuhkan kepada terdakwa tersebut telah memenuhi unsur-unsur serta

alat-alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan surat.

Kurangnya pemahaman hakim terhadap pasal 76 KUHP, maka

terdakwa tersebut dibebaskan. Sehingga dalam hal ini putusan hakim

tersebut tidak memberikan manfaat dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Sementara dalam Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Yang

menjadi terdakwanya adalah Notaris/PPAT Endang Murniati, SH

75
Pasal 183 : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
135
dalam amar putusannya terdakwa dinyatakan terbuktis secara sah

melakukan tindak pidana. Ketika dicermati dalam putusan tersebut

terdakwa memang memenuhi unsur-unsur yang didakwakan dan fakta-

fakta serta alat-alat bukti di persidangkan, walaupun terdakwa tersebut

sudah pernah dituntut bersama dengan terdakwa Dra. Mawar Muria

Rini yaitu dalam Putusan Nomor 576/Pid.B/2008/PN.Slm, tetapi hasil

akhirnya hakim memutuskan bebas kepada terdakwa Dra. Mawar

Muria Rini dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm. Dalam hal

ini hakim telah keliru dalam amar putusannya karena tidak

memberikan keadilan terhadap kedua terdakwa dan kedua putusan

tersebut.

Penemuan hukum dapat dilakukan hakim dalam putusan ini

apabila hakim menggunakan penalaran hukum dengan benar. Menurut

Shidarta76, langkah prioritas menuju penerapan model penalaran

hukum yang sesuai dengan konteks keIndonesiaan, adalah organisasi

dalam sistem hukm, yakni organisasi perundang-undangan, peradilan,

bantun hukum, dan pemerintah hukum, tampaknya prioritas terpenting

dan mendesak harus diletakan pada institusi peradilan. Pengembangan

hukum terpenting dalam lapangan kegiatan peradilan ini tentu saja

adalah hakim.

Pendapat Shidarta tersebut sangat tepat diungkapkan disini,

sebab nampak hakim yang memutus perkara ini tidak memahami

76
Shidarta, Kharakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesian, CV. Utomo,
Bandung, hal. 539
136
penalaran hukum dengan baik untuk menemukan keadilan dalam

putusannya. Seharusnya hakim menggunakan kearifan dan

kebijaksanaannya untuk memperkuat keyakinannya apakah terdakwa

bersalah atau tidak bersalah. Sebab hanya dengan sikap arif dan bijak

inilah seharusnya keyakinan hakim harus dibangun. Tidak dibangun

atas dasar suka tidak suka yang muncul karena ketidakmampuan hakim

dalam memahami hukum dan keadilan dalam perkara ini.

Hukum menjadi tidak bisa berkembang ditangani hakim

seperti yang memutus perkara ini. Kegiatan peradilan di tangan dan

kaki hakim yang memutus perkara ini, dipandang seperti kegiatan

‘arisan’, kumpulnya majelis hakim, terdakwa, penasehat hukum, jaksa,

panitera, layaknya seperti paguyuban ‘arisan’, bertemu dan berkumpul

karena punya kepentingan untuk narik uang arisan, dan bagi yang

belum atau sudah narik uang arisan berharap dapat hidangan lezat dari

tuan rumah.

Dalam kajian yang dilakukan, memang penulis belum

menemukan upaya-upaya untuk mendapatkan alat bukti diperoleh

dengan cara melawan hukum, baik oleh jaksa maupun oleh terdakwa

dan atau penasehat hukumnya. Berdasarkan kajian terhadap isi putusan

, penulis alat bukti yakni : keterangan saksi, keterangan terdakwa,

keterangan ahli, dan surat, yang diajukan oleh JPU atau penasehat

hukum ke persidangan yang diperoleh dengan tidak secara melawan

hukum. tetapi secara substansi saksi yang diajukan JPU terkesan lebih

137
banyak menguntungkan terdakwa. Bahkan hakim tidak dengan

sungguh-sungguh mencermati substansi alat bukti yang terungkap

dipersidangan. Hakim justru tidak melakukan tugasnya dengan baik,

yakni memeriksa, memutus dan mengadili perkara pemalsuan surat

tersebut.

Secara akademis, sistem pembuktian yang dilaksanakan oleh

hakim dapat dilihat secara yuridis, doktrin ilmu hukum, dan

yurisprudensi. sebab denga ketiga aspek inilah kita dapat menganalisis

apakah suatu putusan hakim sudah sesuai dengan dengan prinsip-

prinsip kaidah berfir secara benar. Hukum acara pidana sebagaiamana

yang disebut KUHAP, memberikan banyak regulasi dan penegasan

terkait pembuktian yang harus diikuti oleh hakim di dalam praktek

peradilan. Meskipun keberadaan KUHAP masih banyak menimbulkan

kritik, tetapi setidaknya KUHAP secara mutatis mutandis harus

menjadi dasar utama dalam sistem pembuktian perkara di pengadilan

oleh hakim. Secara yuridis, hakim dalam perkara harus menjadikan

dasar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana, khususnya ketentuan pasal 183, 184,

185, 186, 187, 191, 192, 194, 195, 197, 199, 200, 202. Namun hakim

belum menggunakan dasar ini dalam membuktikan alat bukti dalam

persidangan. Hakim hanya menggunakan sebagian kecil ketentuan

183, 184 dan 191 KUHAP yang lainnya belum nampak.

138
4.1.4 Kontruksi hukum dalam pertimbangan hukum dalam Putusan
Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.
Slm Dalam Perspektif Teori Pembuktian.

1. Teori Pembuktian Negatif (Negative Wettlijk).

Menurut sistem pembuktian ini, hakim tidak terikat pada alat-

alat bukti yang sah. Pokoknya asal saja ada keyakinan pada hakim

tentang kesalahan tertuduh yang didasarkan pada alasan yang dapat

dimengerti dan yang dibenarkan oleh pengalaman. Jadi walaupun

tidak cukup bukti, asal hakim yakin, maka hakim dapat menjalankan

dan menghukum seorang terdakwa. Sistem ini banyak kelemahannya,

antaranya hakim dapat bertindak sewenang-wenang berdasarkan

perasaannya saja. Hal ini sangat subjektif dan sangat rentan terjadinya

permainan dan mudahnya hakim dipengaruhi oleh kekuatan supra

pengadilan, yang dalam praktek keadaan ini mendorong lahirnya

mafia pengadilan.

Teori ini dianut dalam HIR, sebagai ternyata dalam pasal 294

HIR ayat (1), yang pada dasarnya ialah :

a. Keharusan adanya keyakinan hakim, dan keyakinan itu

didasarkan kepada;

b. Alat-alat bukti yang sah.

2. Teori Pembuktian Positif (Positive Wettlijk)

Menurut Sistem ini adalah merupakan kebalikan dari sistem

pembuktian negativ. Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim

hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum

139
yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka

hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi

hukuman dengan tidak menghiraukan keyakinan. Pokoknya, kalau ada

bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum. Tentu sistem

ini banyak kelemahannya, karena hakim sebagai manusia pada

dasarnya untuk menyatakan orang itu bersalah dan menghukum

tertuduh harus dihargai keyakinannya. Dan pula suatu bukti tidak

selalu mutlak. Titik berat ini dari sistem ini adalah positivitas. Teori

ini dianut oleh KUHAP, sebagaimana ternyata pasal 183 KUHAP,

yang berbunyi sebagai berikut : hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya

dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah

melakukannya.

3. Teori Pembuktian bebas (Vrij Bewijst)

Dalam sistem ketiga ini, untuk menyatakan orang itu bersalah

dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus

didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah

dilakukan suatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang

melakukan perbuatan itu. Sistem ini jauh lebih baik dari pada kedua

sistim diatas, sebab sistem ini merupakan gabungan dan kompromi

dari sistem negativ dan sistem posistif.

Sistem ini dianut dalam hukum acara sebagaimana dalam

140
RIB, yakni jika ditarik dari kesimpulan ketentuan pasal 294 RIB yang

berbunyi sebagai berikut :

a) Tidak seorangpun yang boleh dikenakan hukuman, selain jika


hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah,
bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan
bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang
perbuatan itu.
b) Atas sangka saja atau keterangan yang tidak cukup, tidak
seorangpun yang boleh dihukum.

Sistem tersebut dianut dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 6 ayat (2) yang

menentukan sebagai berikut : tidak seorangpun yang dapat dijatuhi

pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah

menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan

yang didakwakan atas dirinya.

Perkembangan teori pembuktian telah terjadi sedemikian

rupa, sehingga lahir teori pembuktian yang baru dan modern.

Misalnya berikut ini dikemukakan teori pembuktian modern sebagai

berikut :

a) Teori pembuktian dengan keyakinan belaka .

b) Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif

c) Teori pembuktian menurut undang-undang secara negativ

d) Teori pembuktian keyakinan atas alasan negativ

e) Teori pembuktian negativ menurut undang-undang

141
4. Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim (Conviction
Intime/Conviction Raisonance)
Suatu sistem pembuktian yang menentukan, salah tidaknya

seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan

hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan

terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan

keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan

boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti itu diabaikan

hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau

pengakuan terdakwa. Sistem ini sudah barang tentu mengandung

kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada saat

seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa

didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa

membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun

kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-aalt bukti yang

lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem

ini menyerahkan sepenuhnya kesalahan terdakwa terbukti apa tidak

mutlak kepada hakim. Keyakinan hakim merupakan penentuan

kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.

Sistem pembuktian ini lebih menekankan kepada keyakinan

hakim dalam menjatuhkan pidana. Lebih lanjut sistem pembuktian

ini dibagi menjadi dua bentuk polarisasi yaitu yang pertama

Conviction Intime dimana dalam bentuk ini kesalahan terdakwa

bergantung kepada keyakinan hakim belaka, sehingga hakim tidak

142
terikat oleh suatu peraturan.77 Dalam sistem pembuktian ini hakim

memiliki peranan yang sangat besar dimana apabila hakim memiliki

keyakinan bahwa terdakwa benar melakukan suatu tindak pdana maka

terdakwa dapat dihukum begitupun sebaliknya. Dapat dikatakn pula

dalam sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa berdasarkan pada

alat bukti yang ditentukan dalam undang- undang.

Sedangkan bentuk polarisasi yang kedua adalah Conviction

Raisonance dimana dalam hal ini dapat dikatakan keyakinan hakim

tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah atau

tidaknya terdakwa, akan tetapi faktir keyakinan hakim disini

dibatasi.78 Dalam sistem pembuktian ini hakim tidak sembarangan

memberikan keyakinannya tetapi hakim harus menjabarkan secara

rinci alasan- alasan apa yang menjadi dasar dari keyakinannya

tersebut dan alasan yang diberikan tersebutlah harusnya logis dan

masuk akal.

5. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif


(Positief Wettelijke Bewijs Theorie).
Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini tidak ikut

berperan menentukan salah tidaknya terdakwa. Untuk menentukan

salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti

dalam undang-undang. Tidak perlu ada keyakinan hakim terhadap

kesalahan terdakwa, apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian

77
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis,Praktik dan
Masalahnya, Alumni, Bandung, 2007, h.243
78
M. Yahya Harahap, Op.cit, h.256
143
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak

lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.

Dalam sistem ini hakim sebagai corong undang-undang (speaker of

law) dan bukan corong keadilan (speaker of justice). Hakim wajib

mencari dan kebenaran salah tidaknya terdakwa sesuai dengan tata

cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-

undang. Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip

penghukuman berdasarkan hukum. artinya penjatuhan hukuman

terhadap seseorang, semata-mata tidak diletakan dibawah kewenangan

hakim. Tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan

asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dapat dipidana jika apa

yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Kelemahan pada

sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan

perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara

pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran.

6. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara Negatif


(Negative Wettelijke Bewijs Theorie).
Sistem pembuktian ini adalah merupakan teori antara sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem

pemuktian menurut keyakinan (conviction in time). Sehingga dapat

dikatakan bahwa sistem pembuktian menurut undang-undang negatif

adalah : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan

hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang

144
sah menurut undang-undang. Komponen sistem pembuktian ini

adalah.

a) Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan


dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
b) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas
ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.

Sekalipun secara teoritis antara kedua komponen itu tidak

saling dominan, tapi dalam praktek secara terselubung unsur

keyakinan hakimlah yang paling menentukan dan dapat melemparkan

secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi seorang

hakim yang kurang hati-hati.

7. Teori Keyakinan Atas Alasan Logis


Sistem pembuktian ini agak mirip dengna sistem pembuktian

menurut Undang-undang secara negatif. Persamaannya adalah dalam

hal hakim harus diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin

bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya dan lagi

bahwa keyakinan harus disertai penyebutan alasan-alasan yang

berdasarkan atas suatu rangkaian bauh pikiran (logika). Perbedaannya,

pada teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif

menghendaki alasan-alasan yang disebutkan oleh undang-undang,

sebagai alat bukti. Tidak memperbolehkan menggunakan alat bukti

lain yang tidak disebutkan dalam undang-undang dan tentang cara

mempergunakan alat bukti, hakim terikat kepada ketentuan undang-

undang.

145
Pada sistem negatif alat-alat bukti sudah ditentukan oelh

undang-undang. Hal ini berarti hakim mesti menjatuhkan pidana. Ini

tergantung pada keyakinan hakim atas kebenaran. Pada sistem atas

alasan logis, hakim dalam memakai dan menyebutkan alasan-alasan

untuk megnambil keputusan tidak terikat pada penyebutan alat-alat

bukti dalam undang-undang, melainkan hakim leluasa untuk memakai

alat-alat bukti lain asal saja semua dengan dasar alasan yang tepat

menurut logika.

8. Sistem Pembuktian Yang Dianut KUHAP


Dalam pasal 183 KUHAP, menentukan bahwa hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya. Jika dibandingkan dengan pasal 294

HIR yang berbunyi: tidak akan dijatuhkan hukuman kepada

seorangpun jika hakim tidak yakin kesalahan terdakwa dengan upaya

bukti menurut undang-undang bahwa benar telah terjadi pebuatan

pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.

Dari ketentuan pasal 183 KUHAP dan pasal 294 HIR tersebut

dapat disimpulkan bahwa kedua-duanya menganut sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif. Perbedaan penekanan pada

syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah dalam pasal

183 KUHAP. Dengan demikian pasal 183 KUHAP, untuk

menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan


146
pidana kepada seorang terdakwa, harus :

a) Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah;

b) Dan atas keerbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti

yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana

benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya.

Dalam penjelasan pasal 183 KUHAP dikemukaakan bahwa

pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem

pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di

Indonesia ialah sistem pembuktian menurut undang-undnag secara

negatif. Demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum.

atau dengan kata lain KUHAP menganut gabungan pembuktian

conviction intime dengan sistem pembuktian menurut undang-undang

secara positif. Hakim pada umumnya sudah merasa cukup menimpali

keterbuktian itu dengan rumusan kalimat yang sudah model dan baku:

kesalahan terdakwa telah terbukti dan diyakini.

Isi pertimbangan seperti itu hanya beroisi tulisan yang berisi

pengulangan kalimat keterangan terdakwa dan keterangan saksi tanpa

suatu kemampuan dalam menyusun uraian pertimbangan dalam

menyimpulkan pendapat tentang keyakinan hakim akan kesalahan

terdakwa. Sehingga dengan demikian berdasarkan pasal 183 KUHAP

tersebut, tidak dibenarkan menghukum seorang terdakwa yang

147
kesalahannya tidak terbukti secara sah menurut undang-undang yang

juga digabung dengan keyakinan hakim. Namun demikian jika hakim

tidak mencantumkan keyakinan, kealpaan itu tidak mengakibatkan

batalnya putusan (cenderung ke sistem pembuktian menurut undang-

undang secara positif).

Dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, telah ditentukan

secara terperinci alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,

yakni :

a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat petunjuk
d) Keterangan terdakwa

Jadi pasal 184 KUHAP tersebut secara kaku/strict dalam

menentukan macam atau jenis alat bukti yang sah menurut undang-

undang, sehingga tidak memberikan kemungkinan peluang sedikitpun

alat bukti lain selain kelima alat bukti tersebut untuk dipertimbangkan

menjadi alat bukti pelengkap atau penunjang.

Selain itu KUHAP juga menganut prinsip minimum

pembuktian, yakni minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup

memadai untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa paling

sedikit dua alat bukti yang sah (pasal 183 KUHAP). Pasal lain yang

menjadi penegas dan penjelas terhadap prinsip pembuktian minimum

tersebut adalah pasal :

a) Pasal 185 ayat (2) : keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim
148
disingkat dengan istilah unus testis nulls testis.
b) Pasal 189 ayat (4) : keterangan atau pengakuan terdakwa saja
tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Dalam kajian terhadap putusan tersebut, hakim kelihatan

menganalisis secara proporsional argumen penasehat hukum

khususnya tentang memahami pasal 76 KUHP yaitu tentang nebis in

idem sehingga hakim menolah tuntutan yang ajukan oleh penuntut

umu yaitu Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm, hakim terebut

berpendapat putusan tersebut sudah pernah memilik kekautan hukum

tetap sehingga tidak patut untuk diajukan kedua kalinya.

Ketidaknetralan hakim dalam menganalisis argumentasi

penasehat hukum dan jaksa inilah sebenarnya yang menjadi salah satu

unsur sumber persoalan kurang tepatnya substans putusan ini apabila

dilihat dalam sudut pandang hukum acara pidana yang berlaku yakni

KUHAP. Di atas sudah dijelaskan doktrin dan teori sistem pembuktian

dalam perkara pidana. Namun demikian hakim kelihatannya tidak

mengetahui konsep doktrin tersebut. Padahal teori tentang sistem

pembuktian tersebut dapat menjadi kaidah untuk menuntun hakim

dalam menganailis argumen jaksa dan penasehat hukum secara

objektif.

149
4.1.5 Kontruksi hukum dalam pertimbangan hukum dalam Putusan
Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.
Slm Dalam Perspektif Teori Keadilan.

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar

hukum”.79 Di antara ketiga asas tersebut tersebut sulit untuk ditegakkan

secara bersamaan, karena untuk menegakkan yang satu, harus

mengalahkan/mengorbankan yang lainnya. Pendapat Gustav Radbruch

sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bismar Siregar yang menyatakan:

untuk menegakkan keadilan, saya korbankan kepastian hukum, akan saya

korbankan hukum itu, karena hukum hanyalah sarana, sedangkan

tujuannya adalah keadilan.80

Sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan,

dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will

be judged as how law treats people and how it distributes its

benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan

bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.81

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim

menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum,

baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam

79
Gustav Radbruch, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and
Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, 1950, h. 107. Lihat
juga Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, h. 95.
80
Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta,1996, h. 154.
81
Peter Mahmud Marzuki, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”,
dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, Agustus, 1997, h. 28.
150
mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau

dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan,

dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam

kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan.

Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan

putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering

merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula

sebaliknya.82

Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan.83 “bahwa kita

harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh

pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”.

Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch

tersebut, sebagaimana dikatakannya:

“Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi

tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan

Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah

terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih

realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis

maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang

kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada

kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.

82
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, h. 95-96
83
Ibid., h. 96.
151
Keadilan menurut Aristoteles adalah kebajikan yang berkaitan

dengan hubungan antar manusia. Keadilan artinya berbuat kebajikan, atau

dengan kata lain keadilan merupakan kebajikan yang utama. Aristoteles

menyatakan: justice consists intreating equals equally and unequals

unequally, in proportion to their inequality.84 Prinsip ini beranjak dari

asumsi untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang

tidak sama juga diperlakukan tidak sama secara proporsional. Aristoteles

membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu:

Pertama keadilan distribusi, adalah keadilan yang ditentukan


oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak
dan kebaikan bagi anggota- anggota masyarakat menurut prinsip
kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif yaitu keadilan
yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini
melawan serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan
pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali
status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang
bersangkutan atau dengan cara mengganti atas miliknya yang
hilang.85

Selanjutnya di kemukakan oleh Thomas Aquinas adalah:

Keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan


terhadap person manusia (acceptio personarum) dan
keluhurannya (dignitas). Dalam kontek keadilan distributive,
keadilan dan kepatutan (equitas) tidak tercapai semata- mata
dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar
kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (acqualitas
rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan, yaitu: 1) kesamaan

84
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 36.
85
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta,2006, h. 47
152
proporsional (acqualitas proportionis); dan 2) kesamaan
kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas).86

John Rawls berpendapat: Keadilan sebagai fairness yang subjek

utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara

lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban

fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerjasama

sosial.87

Keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak

untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh

hukum (unsur hak), sedangkan disisi lain, perlindungan ini pada

akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu.

Keadilan itu sesungguhnya berhubungan dengan hati nurani,

bukan hanya sekedar definisi dan juga bukan soal formal-formalan. Ia

berhubungan erat dengan praksis kehidupan sehari-hari dari manusia.

sehingga tepatlah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch :

“Summum ius summa inuiria”, bahwa keadilan teringgi itu adalah hati

nurani.88

Hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun memiliki

keyakinan hakim atau hati nurani namun keyakinan hakim tersebut harus

bersifat arif dan bijaksana. Ketika alat-alat bukti sudah memenuhi seabgai

pelaku tindak pidana maka hakim dalam pertimbangan hukumnya harus

86
E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Kanisius, Yogyakarta, 2002, h. 90-91.
87
John Rawls, A Theory Of Justice; Teori Keadilan, Pustaka Belajar, Tanpa Tahun, h. 7
88
Jeremies Lemek, Mencari Keadilan Pandangan Kritis Terhadap Penegakkan
Hukum di Indonesia, Galang Press, Yogyakarta, 2007, h. 25.
153
memberikan sanksi pidana, tidak semata-mata di tolak tuntutan yang

diberikan oleh jaksa sebagaiman Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm

hakim menolak putusan tersebut artinya hakim hanya mengutamakan hari

nuraninya. Untuk menegakan keadilan hakim harus memperhatikan

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatu putusan

pengadilan, apalagi yang telah dilakukan sebagai yurisprudensi tetap,

adalah jawaban terhadap ketidak berhasilan pembuat undang-undang, apa

lagi dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang seharusnya tercermin dari

naskah undang-undang.

Aspek keadilan menurut Sabini yang dikutip oleh Yasti

Probowati Rahayu, penerapan keadilan meliputi dua hal yaitu, keadilan

substansial dan keadilan prosedural. Maka untuk melihat sudahkan

Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor

67/Pid.B/2012/PN. Slm, diputus oleh Majelis Hakim yang bertugas secara

adil, maka sesungguhnya bisa dilihat dari keadilan substansial, misalnya

dengan meninjau kembali sudahkah hakim dalam amar putusannya

menerapkan aturan atau norma tertulis yang diatur oleh peraturan

perundang-undangan terkait, yaitu baik dalam hal menilai apakah

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa memang telah benar-benar

memenuhi unsur-unsur yang didalihkan dalam pasal yang ditunjuk,

ataukah dalam hal hakim menjatuhkan sanksi sudah sesuai dengan apa

yang diatur dalam ketentuan pasal yang dimaksud.

154
Keputusan hakim yang membuktikan dakwaan jaksa secara utuh

adalah wujud konkrit tidak adailnya putusan hakim tersebut. Khusunya

dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm. Menurut hakim perbuatan

terdakwa yang dituntut oleh jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan

sudah pernah pernah diputus menjadi lepas dari segala tuntutan dalam

Putusan Nomor 576/ Pid.B/2008/PN. Karena sesungguhnya perbuatan

yang di dalilkan yaitu pasal 55 jo 278 KUHP, terbukti tetapi salah dalam

penerapan pasalnya Slm, namun jaksa melakukan penuntutan untuk kedua

kalinya dengan penuntutan pasal 263 ayat (2), ketika dicermati lebih

dalam dasar pertimbangan hakim yaitu pasal 76 KUHP, tuntutan yang

dikenakan terhadap terdakwa berbeda dalam putusan sebelumnya.

Sehingga pertimbangan hakim dalam hal ini keliru dan tidak memenuhi

rasa keadilan. Karena dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm,

perbuatan yang didakwakan oleh jaksa secara substansi memenuhi unsur-

unsur tindak pidana, hakim seharusnya menjalankan tugasnya untuk

memeriksa, memutus dan mengadili putusan tersebut memperhatikan

secara cermat dakwaan yang didakwa oleh jaksa penuntut umum.

Bukti lain putusan hakim tidak adil adalah karena ketentaun

mengenai pasal tidak dijadikan pertimbanganmenjatuhkan pidana,

padahal seharunya menjadi dasar hukum hakim dalam menjatuhkan

sanksi pidana penjara dan denda kepada terdakwa, karena perbuatan

terdakwa termasuk dalam tindakan penyertaan sebagaimana ketentuan

155
pasal 55 KUHP.89 Serta melanggar pasal 263 ayat (2)KUHP.90 Maka

sesungguhnya sudah jelas sifat melawan hukumnya terdakwa. Namun

hakim tetapi tidak membuktikan unsur tindak pidana dan unsur kesalahan

terdakwa yang ada dalam dakwaan jaksa.

Berbeda dengan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Hakim

memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut hingga dasar

pertimbangan hakim sudah sesuai dan memenuhi rasa keadilan. Padahal

terdakwa sebelumnya sudah pernah diadili dalam Putusan Nomor 576/

Pid.B/2008/PN, dalam amar putusan menyatakan lepas dari segala

tuntutan, seharusnya pertimbangan hakim adalah sama dengan Putusan

Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm yaitu memenuhi pasal 76 JUHP. Tetapi

dalam kenyataannya hakim hanya menjatuhkan saknsi pidana kepada

terdakwa dalam Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm sementara

terdakwa dalam Putusan Nomor. 66/Pid.B/2012/PN. Slm hakim tidak

memberikan sanksi pidana tetapi membebaskan terdakwa. Padahal

terdakwa melakukan tindak pidana pemalsuan secara bersama-sama.

Dalam hal ini, menurut Satjipto Rahardjo91, hakim yang tidak

menerapkan hukum sebagaimana mestinya atau melanggar hukum, yang

89
Pasal 55 KUHP yaitu (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana : 1. Mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. 2. mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (2). Terhadap
penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-
akibatnya.
90
Pasal 263 ayat (2) : Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan kerugian
91
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman, Bandung, Penerbit Alumni, 1989
156
salah satunya kesalahan atau kekeliruan menerapkan hukum, dengan

bentuk yaitu, pertama kesengajaan sebagai cara menyembunyikan

keberpihakan, kedua kelalaian atau kurang cermat adalah hakim yang

tidak baik. Jika ringannya putusan hakim merupakan kesengajaan hakim

atau kelalaian hakim dalam menerapkan hukum, maka hakim yang

demikian bisa dikategorikan tidak jujur. Hukum yang sesungguhnya

melindungi kepentingan seseorang hak tidak hanya dilindungi oleh

hukum, tetapi juga adanya pengakuan terhadapnya dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam

rangka kepentingan tersebut, menjadi tidak berdaya.

Hakim telah melanggar kewajibannya, karena kalau ia

melanggar kewajibannya, maka ia memperkosa hak seseorang, karena

hak mengandung perlindungan kepentingan dan kehendak. Lebih jauh

Salmond,92 mengatakan, hak mempunyai mengandung ciri kemerdekaan,

kekuasaan dan imunitas. Sedangkan menurut fitzgerald, ciri melekat pada

hukum salah satunya adalah hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan

pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan yang

disebut dengan isi dari hak. Sedangkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 93, hakim

dalam bertindak dan berbuat wajib tidak membeda bedakan siapapun

yang terlibat dalam hukum.

92
Lihat Huijeber, T. Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Dalam Rahayu. 1995,
Ibid hal 154
93
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
157
4.1.6 Perbedaan antara Pemalsuan dan Penipuan.
1. Pemalsuan

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap


kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan
bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang
teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat
berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat
dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan
ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.94

Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam


kelompok kejahatan “penipuan”, tetapi tidak semua perbuatan
penipuan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok
kejahatan penipuan, apabila seseorang memberikan gambaran tentang
sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau
kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain
terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas
barang/surat tersebut itu adalah benar atau asli.95

Pemalsuan terhadap tulisan/surat terjadi apabila isinya atas surat

itu yang tidak benar digambarkan sebagai benar. Pembahasan tentang

pemalsuan surat yang tertuang di dalam Pasal 263 KUHP terlebih

dahulu diuraikan aspek-aspek tentang unsur-unsur di dalam suatu tindak

pidana atau perbuatan pidana itu. Seperti diketahui bersama bahwa

terdapat beberapa istilah yang merupakan terjemahan dari istilah

Belanda "Strafboarfrii" ke dalam bahasa Indonesia. Istilah "peristiwa

pidana" adalah sebagai terjemahan dari istilah Belanda "Strafbaar feit"

atau "delict". Dalam perumusan unsur-unsur delik atau tindak pidana,

perbuatan pidana maupun peristiwa pidana, dikenal beberapa cara. Oleh

Junkers disebutkan empat jenis metode rumusan delik di datum

46
undang-undang, yang terdiri atas :
94
H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Log. Cit.
95
Ibid
158
a. Cara yang paling lazim adalah menerangkan isi delik dari
keterangan itu dapat dijabarkan unsur-unsur perbuatan yang
dapat di pidana, seperti misalnya Pasal 279, 281, 286, 242
dan sebagainya dari KUHP.
b. Dengan cara menerangkan/memberikan unsur-unsur dan
memberikan pensifatan/kualitikasi, seperti misalnya pemalsuan
Pasal 263, pencurian Pasal 362, penggelapan Pasal 372,
penipuan Pasal 378 dari KUHP.
c. Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan
pensifatan kualifikasi saja seperti misalnya penganiayaan Pasal
351, pembunuhan Pasal 338 dari KUHP.
d. Kadangkala undang-undang merumuskan ancaman pidana-
nya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat
kemudian seperti misalnya, Pasal 521 dan Pasal 122 ayat 1
KUHP).

Dari uraian-uraian di atas, marilah kita kaji dan bahas tentang

Pasal 263 KUHP dan unsur-unsurnya di mana bunyi daripada Pasal 263

KUHP, sebagai berikut :

(1) “Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu
pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan atau menyuruh
orang lain mempergunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan
tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat
mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat,
dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) “Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan


sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah
surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat
mendatangkan sesuatu kerugian.
50
Unsur-unsur daripada Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah meliputi:
a. Unsur Objektif
1) Perbuatan:
a) membuat surat palsu;
b) memalsu.
2) Objeknya yakni surat:
159
a) yang dapat menimbulkan hak;
b) yang menimbulkan suatu perikatan;
c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal.
3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tertentu.

b. Unsur Subjektif:
Dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli
dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan
orang tersebut.
Adapun penjelasan terhadap Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah: 96
a. Yang diartikan surat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP ini adalah segala
surat yang baik ditulis tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin
dan lain- lainnya. Namun oleh penulis, dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini, surat tidak hanya ditulis,
dicetak dan lainnya, tetapi telah ada pula surat elektronik yang tidak
ditulis atau tertera pada selembar kertas.
b. Surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
1) dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk,
surat andil dan lain-lain),
2) dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian
piutang,
3) dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kwitansi atau surat
semacam itu) atau,
4) suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi
sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran,
buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan,
obligasi dan masih banyak lagi).
5) Walaupun pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara
langsung adanya suatu hak, melainkan hak itu timbul dari adanya
perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang dalam surat itu, tetapi
ada surat-surat tertentu yang disebut surat formil yang langsung
melahirkan suatu hak tertentu, misalnya cek, bilyet giro, wesel,
surat izin mengemudi, ijazah dan lain sebagainya.
6) Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat
yang karena perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli
melahirkan hak si penjual untuk menerima uang pembayaran
harga benda, dan pembeli mempunyai hak untuk memperoleh atau
menerima benda yang dibelinya. Begitu juga dengan surat yang
berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada
dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu
perikatan. Misalnya suatu Kuitansi yang bersisi penyerahan

96
R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 197-198.
160
sejumlah uang tertentu dalam hal dan dalam hubungannya dengan
misalnya jual beli, hutang piutang dan lain sebagainya.

Mengenai unsur “surat yang diperuntuhkan sebagi bukti

akan adanya sesuatu hal” di dalamnya ada 2 (dua) hal yang perlu

dibicarakan, yakni: Mengenai diperuntuhkan sebagai bukti;

 Tentang sesuatu hal.


 Sesuatu hal, adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu baik
yang karena diadakan (misalnya perkawinan) Maupun karena
peristiwa alam (misalnya kelahiran dan kematian), peristiwa
mana mempunyai perjanjian jual beli, perjanjian sewa dan
sebagainya).97
“Membuat surat palsu” sama dengan membuat yang isinya bukan

semestinya (tidak benar), atau membuat surat demikian rupa, sehingga

menunjukkan asal surat itu yang tidak benar. Pegawai polisi membuat

prosesperbal yang berisi sesuatu cerita yang tidak benar dari orang

yang menerangkan kepadanya, tidak masuk pengertian membuat proses-

perbal palsu. Ia membuat proses- perbal palsu, apabila pegawai polisi itu

menuliskan dalam proses perbalnya lain daripada hal yang diceritakannya

kepadanya oleh orang tersebut. “Memalsu surat” sama dengan

mengubah surat demikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi

yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli.

Adapun caranya bermacam-macam, tidak senantiasa perlu, bahwa

surat itu diganti dengan yang lain. Dapat pula dilakukan dengan jalan

mengurangkan, menambah atau merubah sesuatu dari surat itu. Memalsu

tandatangan masuk pengertian memalsu surat dalam pasal ini. Demikian

97
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah
Agung dan Hoge Raad, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 155.
161
pula penempelan foto orang lain daripada pemegang yang tidak

berhak dalam suatu surat ijazah sekolah, ijazah mengemudi (rijbewijs),

harus dipandang dalam suatu pemalsuan.

Sedangkan perbuatan memalsukan surat menurut Soenarto


Soerodibroto adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara
bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang
berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi
surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya
menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran
ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang
tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak
berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. 98

2. Penipuan

Kejahatan penipuan atau bedrog itu diatur didalam Pasal 378-395


KUHP, Buku II Bab ke XXV. Di dalam Bab ke XXV tersebut
dipergunakan perkataan “Penipuan” atau “Bedrog”, “karena
sesungguhnya didalam bab tersebut diatur sejumlah perbuatan-
perbuatan yang ditujukan terhadap harta benda, dalam mana oleh si
pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu
atau dipergunakan tipu muslihat.” Tindak pidana penipuan dalam
bentuk pokok diatur dalam Pasal 378KUHP.99

Pasal 378 KUHP Barang siapa dengan maksud untuk


menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak,
mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan
tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakan orang lain
untuk menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian
hutang atau meniadakan suatu piutang, karena salah telah melakukan
penipuan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun.

Mengenai kejahatan penipuan pada Pasal 378 KUHP, Soesilo

merumuskan sebagai berikut :

1. Kejahatan ini dinamakan kejahatan penipuan. Penipu itu pekerjaannya :


a. Membujuk orang supaya memberikan barang, membuat
98
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pengadilan Negeri Cirebon
Nomor12/1972 B, tertanggal 5 Juli 1972.
99
Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru, 1984),
hlm.262
162
utang atau menghapuskan piutang.
b. Maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hak.
c. Membujuknya itu dengan memakai :
1) Nama palsu atau keadaan palsu
2) Akal cerdik (tipu muslihat) atau
3) Karangan perkataan bohong
2. Membujuk yaitu melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap
orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat sesuatu yang apabila
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat
demikian itu.
3. Tentang barang tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus
kepunyaan orang lain, jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang
sendiri, juga dapat masuk penipuan, asal elemen-elemen lain
dipenuhinya.
4. Seperti halnya juga dengan pencurian, maka penipuanpun jika
dilakukan dalam kalangan kekeluargaan berlaku peraturan yang tersebut
dalam Pasal 367 jo 394.100

Hakekat dari kejahatan penipuan itu adalah maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, dengan

mempergunakan upaya-upaya penipuan seperti yang disebutkan secara

limitative di dalam Pasal 378 KUHP.

Menurut M. Sudrajat Bassar, penipuan adalah suatu bentuk


berkicau, “sifat umum dari perbuatan berkicau itu adalah bahwa
orang dibuat keliru, dan oleh karena itu ia rela menyerahkan
barangnya atau uangnya.101

Sebagai cara penipuan dalam Pasal 378 KUHP, menurut M.

Sudrajat Bassar menyebutkan :

1. Menggunakan nama palsu


Nama palsu adalah nama yang berlainan dengan nama yang
sebenarnya, akan tetapi kalau si penipu itu menggunakan nama orang
lain yang sama namanya dengan ia sendiri, maka ia tidak dapat
dikatakan menggunakan nama palsu, tetapi ia dapat dipersalahkan
100
Ibid
101
Bassar, Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP, Bandung : Remaja
Karya,1986, hlm. 81
163
melakukan “tipu muslihat” atau “susunan belit dusta”.
2. Menggunakan kedudukan palsu
Seseorang dapat dipersalahkan menipu dengan menggunakan
kedudukan palsu.
3. Menggunakan tipu muslihat
Yang dimaksud dengan tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang
dapat menimbulkan kepercayaan atas pengakuan-pengakuan yang
sebenarnya bohong, dan atas gambaran peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya dibuat sedemikian rupa sehingga kepalsuan itu dapat
mengelabuhi orang yang biasanya berhati-hati.
4. Menggunakan susunan belit dusta
Kebohongan itu harus sedemikian rupa berbelit-belitnya sehingga
merupakan suatu keseluruhan yang nampaknya seperti benar atau
betul dan tidak mudah ditemukan dimana kepalsuannya. Akal tipu ini
suka bercampur dengan tipu muslihat yang tersebut dalam butir 3, dan
oleh karenanya sukar dipisahkan. Untuk mengetahui tindak pidana
penipuan dalam bentuk pokok yang lebih mendalam, maka penulis
akan menguraikan unsur-unsur tindak pidana penipuan dalam Pasal
378 KUHP.

Pasal 378 KUHP Barang siapa dengan maksud untuk


menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum dengan memakai nama palsu atau martabat
(hoedanigheid) palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian
kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.

Menurut Moh. Anwar, tindak pidana penipuan dalam bentuk

pokok seperti yang diatur dalam Pasal 378 KUHP terdiri dari unsur-unsur

sebagai berikut :

1. Unsur subyektif : dengan maksud

a. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

b. Dengan melawan hukum.

2. Unsur obyektif : membujuk atau menggerakan orang lain dengan alat


pembujuk atau penggerak
a. Memakai nama palsu.

164
b. Memakai keadaan palsu.
c. Rangkaian kata-kata bohong.
d. Tipu muslihat agar :
1) menyerahkan sesuatu barang
2) membuat hutang
3) menghapus piutang.102

Unsur subyektif dengan maksud adalah kesengajaan. Ada tiga

corak kesengajaan yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan.


b. Kesengajaan dengan sadar kepastian.
c. Kesengajaan sebagai sadar kemungkinan.

Dengan maksud “diartikan tujuan terdekat bila pelaku masih

membutuhkan tindakan lain untuk mencapai maksud itu harus ditujukan

kepada menguntungkan dengan melawan hukum, hingga pelaku harus

mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya itu harus bersifat

melawan hukum.” Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan jalan melawan hukum. Syarat dari melawan hukum harus selalu

dihubungkan dengan alat-alat penggerak atau pembujuk yang

dipergunakan.

Alat pembujuk atau penggerak yang dipergunakan dalam

perbuatan membujuk atau menggerakan orang agar menyerahkan sesuatu

barang terdiri atas empat jenis cara yaitu :

1. Nama palsu.
Penggunaan nama yang bukan nama sendiri, tetapi nama orang
lain, bahkan penggunaan nama yang tidak dimiliki oleh
siapapun juga termasuk didalam penggunaan nama palsu.
Dalam nama ini termasuk juga nama tambahan dengan syarat
yang harus tidak dikenal oleh orang lain.
2. Keadaan atau sifat palsu.
102

165
Pemakaian keadaan atau sifat palsu adalah pernyataan dari
seseorang, bahwa ia ada dalam suatu keadaan tertentu, keadaan
mana memberikan hak-hak kepada orang yang ada dalam
keadaan itu, misalnya seseorang swasta mengaku anggota
polisi, atau mengaku petugas PLN.
3. Rangkaian kata-kata bohong.
Disyaratkan bahwa harus terdapat beberapa kata bohong yang
diucapkan, suatu kata bohong saja dianggap tidak cukup
sebagai alat penggerak ataupun alat bujuk. Rangkaian kata-kata
bohong yang diucapkan secara tersusun, hingga merupakan
suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu yang logis dan
benar. Jadi kata- kata itu tersusun hingga kata-kata yang satu
membenarkan atau memperkuat kata yang lain.
4. Tipu muslihat
Tipu muslihat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan
sedemikian rupa, hingga perbuatan-perbuatan itu menimbulkan
kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran dari sesuatu kepada
orang lain. Jadi tidak terdiri atas ucapan, tetapi atas perbuatan
atau tindakan suatu perbuatan saja sudah dapat dianggap
sebagai tipu muslihat. Menunjukkan surat-surat yang palsu,
memperlihatkan barang yang palsu adalah tipu muslihat.

Keempat alat pembujuk atau penggerak ini dapat dipergunakan

secara alternatif maupun secara komulatif. Unsur obyektif membujuk atau

menggerakkan orang agar menyerahkan, sebenarnya lebih tepat

dipergunakan istilah menggerakkan dari pada istilah membujuk, untuk

melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan ( levering ) dalam

pengertian hukum perdata. Dalam perbuatan menggerakkan orang untuk

menyerahkan harus disyaratkan adanya hubungan kasual antara alat

penggerak itu dan penyerahan barang dan sebagainya. Penyerahan sesuatu

barang yang telah terjadi sebagai akibat penggunaan alat penggerak atau

pembujuk itu belum cukup terbukti tanpa mengemukakan pengaruh-

pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakan alat-alat penggerak atau

pembujuk itu. Alat itu pertama-tama harus menimbulkan dorongan didalam

166
jiwa seseorang untuk menyerahkan sesuatu barang. Psychee dari korban

karena penggunaan alat penggerak atau pembujuk tergerak sedemikian

rupa, hingga orang itu melakukan penyerahan barang itu. Tanpa

penggunaan alat atau cara itu korban tidak akan tergerak psycheenya dan

penyerahan sesuatu tidak akan terjadi.

Penggunaan cara-cara atau alat-alat penggerak itu menciptakan

suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal, hingga

orang itu terpedaya karenanya. Apabila orang yang dibujuk atau digerakkan

mengetahui atau memahami, bahwa alat-alat penggerak atau pembujuk itu

tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran, maka fisiknya tidak

tergerak dan karenanya ia tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran,

maka psycheenya tidak tergerak dan karenanya ia tidak tersesat atau

terpedaya, hingga dengan demikian tidak terdapat perbuatan penggerakan

atau membujuk dengan alat-alat penggerak atau pembujuk, meskipun orang

lain menyerahkan barangnya.

Kata-kata “untuk mengadakan suatu perikatan utang“ di dalam

rumusan tindak pidana penipuan, oleh beberapa orang penerjemah WVS

telah diartikan secara tidak sama, yakni ada yang telah menerjemahkan

dengan kata-kata “supaya memberi utang“ dan ada pula yang telah

menerjemahkan dengan kata-kata “supaya membuat utang“. Kata-kata

“perikatan utang“ dalam rumusan Pasal 378 KUHP itu mempunyai arti

yang sifatnya umum menurut tata bahasa, dan bukan mempunyai arti

menurut BW. Perikatan utang seperti itu dapat dibuat dalam berbagai

167
perjanjian kredit di depan notaris, akan tetapi juga dapat dibuat dalam

berbagai bentuk tulisan, misalnya dalam bentuk kwitansi yang harus

ditandatangani oleh orang yang ditipu seolah-olah orang tersebut

mempunyai utang sebesar uang yang dinyatakan diatas kertas segel

tersebut.

Sehingga sangat jelas apa yang sudah penulis uraikan pada bagian

diatas bahwa pemalsuan surat adalah salah satu bagian atau tergolong dalam

tindak pidana penipuan, namun tidak semua penipuan itu berbentuk

pemalsuan, hal ini tergantung pada alat pembujuk yang akan digunakan

subjek hukum untuk melakukan penipuan terhadap orang lain baik melalui

pemalsuan suarat maupun melalui barang atau uang yang mampu

memperdaya orang lain.

4.2 Kepastian Hukum Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan

Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm.

168
Kontruksi putusan hakim menggambarkan bagaimana alur kerangka pikir

hakim dalam memahami kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum.

konstruksi putusan hakim menjadi sangat penting oleh karena di dalamnya dapat

dilihat dan dimaknai sebagai kaidah keteraturan nilai-nilai keadilan, kepastian dan

kemanfaatan dari hukum. konstruksi putusan hakim bukan sekedar dokumen

hukum dalam penegakan hukum, tetapi konstruksi putusan hakim menjadi risalah

sejarah proses penegakan hukum dalam membangun peradaban manusia di muka

bumi. Hukum merupakan landasan dan arah dari pembangunan sistem yang

membentuk tata kehidupan yang beradab, putusan hakim merupakan hukum yang

konkrit dan langsung mengikat, oleh karenanya putusan hakim merupakan risalah

sejarah dalam membangun peradaban umat manusia.103

Kontruksi putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat merupakan

suatu bagian yang terpenting untuk melihat karakteristik dari suatu negara melalui

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Konstruksi putusan hakim

dalam perkara pemalsuan surat salah satu tujuan negara untuk menerapkan rasa

keailan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat yang

harus berjalan dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang ada.

Konstruksi kepastian hukum merupakan bagian dari kerangka berfikir

dalam memaknai dan memahami ketentuan normatif hukum positif dalam perkra

pemalsuan surat. Konstruksi dalam perkara pemalsuan ini sebagai wujud untuk

sikap sosial dan sikap mental hakim dalam menegakan hukum dan keadilan di

Indonesia. Setiap pertimbangan hakim dapat dijadikan cermin untuk melihat

103
Untuk lebih lanjut bisa lihat Disertasi Sidik Sunaryo, Rekonstruksi Putusan Hakim
Perkara Korupsi Dalam Perspekstif Hukum Progresif, fakultas hukum universitas brawijaya
malang, 2016, hal. 64
169
apakah hakim tersebut dalam putusan sudah benar-benar memberikan kepastian

huku, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, oleh sebab itu penulis

menyajikan gambaran terkait putusan hakim dalam tabel di bawah ini.

1) Gambaran konstruksi hukum dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN.


Slm.
Kontruksi hukum dalam perkara pemalsuan surat tersebut

mencerminkan ketidakteraturan logika hakim dalam menyususn pertimbangan

fakta hukum, pertimbangan hukum dan amar pututsan. Fakta hukum

membuktikan perbuatan terdakwa bersalah secara sah dan menyakinkan

melakukan perbuatan melawan hukum.104 namun hakim tidak mejadikan

sebagai dasar dalam membuat amar putusan . fakta hukum membuktian bahwa

perbuatan terdakwa tersebut sanga jelas yang dibuktikan dengan bukti surat

dan keterangna saksi, namun hakim tidak menjadikannya sebagai dasar dalam

menentukan kualifikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

terdakwa.

Ketidakpastian hukum atau kekeliruan dalam konstruksi putusan

hakim perakra pemalsuan surat dapat dilihat dalam fakta hukum sebagai

berikut:

1. Terdakwa membeli tanah kepada Ir. Gregorius Daryanto namun tidak


lunas, kemudian dibuatkan perjanjian tukar guling;
2. Perjanjian yang dibuat oleh terdakwa dan saksi di bawa ke kantor
Notaris;
3. Saksi Notaris Endang Murniati membuat perjanjian terkait tuker
guling tanah;
4. Saksi hanya melakukan tanda tangan satu kali pada akta pengikatan
jual beli;
104
Wujud perbuatan melawan hukum dalam perakra tersebut adalah menggunakan surat
palsu atau surat kuasa menjual palsu untuk melakukan peralihan hak atas tanah dan merugikan
pemilik tanah tersebut.
170
5. Saksi tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa
menjual kepada terdakwa;
6. Dalam berita acara laboratorium Kriminalistik Tandan tangan pada
surat kuasa menjual tersebut merupakan tanda tangan berbeda
dengan pemilik tanah yang sesungguhnya.
7. Terdakwa mengakui telah menggunakan surat kuasa menjual tersebut
untuk mengalihkan tanah kepada saksi Ir. Delthy Rinaldi;

Fakta-fakta hukum yang terungkap sebagaimana di atas jelas terbukti

secara sah dan meyakinkan dalam persidangan, namun tidak dipergunakan

oleh hakim dalam melakukan konstruksi penyusunan pertimbangan fakta

hukum, pertimbangan hukum dan amar putusan yang dibuatnya. Konstruksi

amar putusan hakim dalam perkara pemalsuan surat adalah sebagai berikut :

1. Menerima keberatan dari Penasehat Hukum Terdakwa;


2. Menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima;
3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Fakta yang terungkap dalam persidangan yang sebenarnya memenuhi

kualifikasi konstruksi unsur perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur

perbuatan sebagaimana dalam dakwaan alternatif jaksa, oleh hakim diabaikan

begitu saja tanpa dasar dan argumentasi yang memadai. Hakim tidak hanya

melakukan kehilafan dalam mengadili terdakwa, tetapi secara nyata

melakukan kekeliruan dalam menerapkan hukum terkait dengan kualifikasi

unsur perbuatan terdakwa sebagaimana dalam surat dakwaan tersebut.

Konstruksi kepastian hukum dalam putusan hakim perkara pemalsuan

surat, telah keliru secara nyata dalam mengkonstruksi fakta hukum yang

terungkanp dalam persidangan, sebagai perbuatan yang secara sebenarnya

dilakukan oleh terdakwa. Kekeliruan secara nyata hakim dalam


171
mengkonstruksi segala fakta hukum yang terungkap dalam persidangan adalah

tidak menjadikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagai

dasar mengkonstruksikan pertimbangan hukum.

Konstruksi hukum dalam putusan hakim perkara pemalsuan surat

tersebut juga menjadi pembenar perbuatan-perbuatan melawan hukum tidak

dapat dimaknai sebagai perbuatan yang telah secara jelas melanggar hukum

tertulis.

Konsturksi keadilan dalam putusan hakim merupakan hakekat dari

putusan hakim yang konkrit dan langsung mengikat. Konstruksi keadilan

dalam putusan hakim mencerminkan kehendak ideologi hukum dalam tatanan

negara hukum yang sebenarnya. Konstruksi keadilan dalam putusan hakim

tidak saja merupakan metode dalam menegakan konsep negara hukum, tetapi

sebagai dasar dalam mewujudkan negara hukum melalui penyelenggaraan

peradilan yang merdeka.

Konstruksi keadilan dalam putusan hakim perkara pemalsuan surat

merupakan dasar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan

kehidupan bangsa. Kontruksi keadilan ini dapat dijadikan sebagai cermin yang

menjamin hajat hidup orang banyak. Konstruksi keadilan dalam putusan

hakim perkara pemalsuan surat dapat dilihat dalam dua perspektif yakni

konstruksi keadilan prosedural dan konstruksi keadilan substansial. Konstruksi

keadilan prosedural mengandung makna bahwa putusan hakim perkara

pemalsuan surat, apakah dalam menyusun pertimbangan fakta hukum,

pertimbangan hukum, dan amar putusan sudah sedah sesuai dengan prosedur

172
hukum formil. Konstruksi keadilan substansial dapat dilihat dari landasan

hukum dipergunakan sudah tepat dan benar atau belum tepat dan belum benar.

2) Gambaran konstruksi hukum dalam Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN.


Slm.
Kontruksi hukum dalam perkara pemalsuan surat tersebut

mencerminkan ketidakteraturan logika hakim dalam menyususn pertimbangan

fakta hukum, pertimbangan hukum dan amar pututsan. Fakta hukum

membuktikan perbuatan terdakwa bersalah secara sah dan menyakinkan

melakukan perbuatan melawan hukum.105 namun hakim tidak mejadikan

sebagai dasar dalam membuat amar putusan . fakta hukum membuktian bahwa

perbuatan terdakwa tersebut sanga jelas yang dibuktikan dengan bukti surat

dan keterangna saksi, namun hakim tidak menjadikannya sebagai dasar dalam

menentukan kualifikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh

terdakwa.

Ketidakpastian hukum atau kekeliruan dalam konstruksi putusan

hakim perakra pemalsuan surat dapat dilihat dalam fakta hukum sebagai

berikut:

1) Dra. Mawar Muria Rini membeli tanah kepada Ir. Gregorius


Daryanto dengan harga Rp. 1.170.000.000, karena terlalu mahal
maka Dra. Mawar Muria Rini menawarkan untuk tukar guling, 106
namun tidak lunas, kemudian dibuatkan perjanjian tukar guling;
c) Harga tanah tukar guling tersebut adalah Rp. 790.000.000 tanah yang
akan dibeli adalah Rp. 1.170.000.000 jadi sisa pembayaran tersebut
menajdi 380.000.000.

105
Wujud perbuatan melawan hukum dalam perakra tersebut adalah menggunakan surat
palsu atau surat kuasa menjual palsu untuk melakukan peralihan hak atas tanah dan merugikan
pemilik tanah tersebut.
106
Tukar guling adalah tindakan untuk menukarkan tanah tersebut kepada penjual tanah
kemudian sisa dari pembayaran tanah tersebut akan dibayar dengan uang tunai.
173
d) Keduanya sepakat untuk melakukan Perjanjian, perjanjiant tersebut
dibuat oleh saksi Dra. Mawar Muria Rini dan saksi pergi ke kantor
Notaris;
e) Saksi Notaris Endang Murniati membuat perjanjian terkait tuker
guling tanah;
f) Aktanya sudah dipersipakan oleh terdakwa Saksi hanya melakukan
tanda tangan satu kali pada akta pengikatan jual beli tersebut;
g) Saksi tidak pernah membuat dan menandatangani surat kuasa
menjual kepada terdakwa;
h) Dalam berita acara laboratorium Kriminalistik Tandan tangan pada
surat kuasa menjual tersebut merupakan tanda tangan berbeda
dengan pemilik tanah yang sesungguhnya.
i) Terdakwa yang mengeluarkan surat kuasa menjual tersebut.
j) Surat kuasa menjual tersebut dibuat tidak dalam keadaan yang
sebenarnya;

Fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, setidaknya dapat

dipergunakan oleh hakim sebagai dasar untuk mengkualifikasi kepastian unsur

pebuatan terdakwa ke dalam dua unsur perbuatan, yakni melawan hukum dan

penyalagunaan kewenangan. Kepastian kualifikasi usur perbuatan terungkap

dari fakta hukum bahwa suat kuasa menjual yang dibuat oleh terdakwa adalah

tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya sehingga isi dari surat tersebut

adalah palsu, fakta yang lain pemilik tanah hanya menandatangani satu akta

yaitu akta jual beli. Konstruksi amar putusan hakim dalam perkara pemalsuan

surat adalah sebagai berikut :

6. Menyatakan Terdakwa NY.ENDANG MURNIATI, SH; terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PEMALSUAN
SURAT BERUPA AKTA OTENTIK;
7. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa NY.ENDANG MURNIATI, SH
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 9
(sembilan) bulan Menyatakan penuntutan Penuntut Umum tidak dapat
diterima;
8. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
174
9. Memerintahkan barang bukti untuk diserahkan kepada jaksa
10. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000,-
(lima ribu rupiah);

Hakim hanya menyatakan terdakwa “terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan surat terhadap akta

otentik, ha”, hakim tidak memberikan penegasan terdakwa terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah telah melakukan kualifikasi unsur perbuatan yang

sama yang ada dalam dakwaan jaksa.

3) Kepastian Hukum Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan


Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Dalam Perspeksitf Hukum Acara Pidana

Dakwaan secara substantif pada hakekatnya merefleksikan

pemahaman jaksa (uderstanding) terhadap rumusan ketentuan pasal-pasal

undang-undang kemudian dikaitkan dengan fakta-fakta hukum. hakim wajib

dan harus memiliki pemahaman yang utuh terkait dengan substansi dakwaan

Jaksa Penuntut Umum. Dakwaan JPU menjadi satu-satunya dasar hakim untuk

memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara dalam proses persidangan.

Dalam putusan ini hakim melakukan pengaburan perkara dengan tidak

secara lengkap mencantumkan dasar hukum yang menjadi dasar putusannya.

Khususnya tidak secara cermat mencantumkan ketentuan pasal 199 ayat (1)

huruf b KUHAP. Sebab apabila tidak dicantumkannya ketentuan pasal 199

ayat (1) huruf b KUHAP ini, akan berakibat putusan batal demi hukum. hal ini

dinyatakan secara tegas.

Namun demikian aspek kepastian hukum yang dapat menjamin

keadilan juga menjadi sangat penting, apalagi dalam kondisi masyarakat

Indonesia yang tradisional nilai keadilan ini. Putusan pemalsuan surat dalam
175
perkara ini juga seharusnya melihat aspek kepastian, kemanfaatan dan

keadilan dengan cara mencantumkan dasar hukum putusan secara lengkap dan

jelas serta harus memenuhi rasa keadilan supaya para pelanggar hukum tidak

bisa bebas dari hukuman.

Sehingga dengan demikian pencantuman ketentuan pasal 197 ayat (1)

huruf h jo 199 KUHAP sangat penting dalam putusan ini. Sebab akibat batal

demi hukum. dengan konsekuensi batal demi hukum maka putusan hakim

tersebut dianggap tidak pernah ada. Karena dianggap tidak pernah ada maka

keadaan harus dikembalikan seperti keadaan semula sebelum perkara ini ada.

Meskipun putusan yang dibuat hakim dalam perkara ini isinya bebas, namun

proses yang mendahului, menyertai dan mengikuti perkara ini tidak bisa

hilang dan dilupakan begitu saja oleh para pihak dan masyarakat.

Selanjutnya dalam putusan hakim sudah menggunakan dasar pasal

183 jo 185 KUHAP. Dalam putusan hakim sudah memeriksa dan

membuktikan alat bukti keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan

ahli, dan surat. Namun keempat alat bukti tersebut dipandang oleh hakim tidak

terbukti bahkan hakim menolak putusan tersebut karena mengandung unsur

Nebis In Idem sebagaimana yang sudah diuraikan pada bagian di atas. Tetapi

secara substansi hakim masih belum memberikan gambaran yang utuh tentang

uraian dari keyakinannya. Misalnya hakim tidak menunjukan bahwa dalam

putusannya mempertimbangkan ketentuan pasal 185 ayat (6) huruf a,b dan d,

KUHAP yakni : hakim tidak sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian

antara keterangan saksi satu dengan yang lain; hakim tidak sungguh-sungguh

176
memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi dan alat bukti lain; dan

hakim tidak sungguh-sungguh memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi

serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya

keterangan itu dipercaya. Hakim tidak pernah menilai keterangan saksi-saksi

khusunya dari teman terdakwa. Secara kesusilan dan cara hidup para saksi

tersebut yang dalam kasus ini sangat terkait dan melakukan perbuatan

sebagaiamana yang dilakukan oleh terdakwa tidak diperhatikan oleh hakim.

Dalam keadaan demikian tidak mungkin dapat diharapkan para saksi akan

memberikan keterangan yang memberatkan terdakwa, karena sama dengan

memberatkan dirinya sendiri.

Kelalaian hakim yang berikutnya tidak cermat memahami ketentuan

pasal 185 ayat (6) huruf a,b dan d tersebut. Padahal dalam persidangan hakim

seharusnya sadar dan paham, bahwa sebagian besar saksi dalam perkara ini

adalah saksi dengan kategori saksi mahkota, karena kolega terdakwa. Dengan

kedudukan demikian, sudah barang tertentu saksi-saksi tersebut tidak akan

memberikan keterangan yang sebenarnya oleh sebab dapat menyeret diri para

saksi tersebut sebagai pihak yang juga harus bertanggung jawab. Hakim

harusnya menggali alat bukti lain yang dapat saja substansinya berasal dari

keterangan saksi. Misalnya alat bukti petunjuk dan surat. Dalam ketentuan

pasal 188.107 Jadi hakim seharusnya menggunakan ketentuan pasal 188

107
Pasal 188 ayat (1) petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, bak antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Ayat (2) : petunjuk
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi, b. Surat, c.
Keterangan terdakwa. Ayat (3): penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan ahti nuraninya.
177
KUHAP ini. Sebab dalam persidangan hakim sudah memeriksa para saksi,

kemudian memeriksa surat, yang tidak pernah dibantah keabsahannya baik

oleh terdakwa maupun oleh JPU serta oleh hakim sendiri. Dengan demikian

andai saja hakim memahami kontruksi hukum yang demikian, maka putusan

perkara ini tidak bebas atau tidak lepas dari segala tuntuan serta tuntuan jaksa

tidak diterima/ditolak melainkan berupa pemidanaan, denda dan pengganti

uang negara. Ketentuan pasal 188 KUHAP ini memang menuntut hakim harus

mampu menemukan hukum dalam putusannya. Frasa penilaian...arif lagi

bijaksana adalah kata kunci agar hakim melakukan penemuan hukum. Dengan

penemuan hukum melalui ketentuan pasal 188 KUHAP terebut, diharapkan

tidak ada putusan hakim yang tidak mencerminkan keadilan. Untuk melihat

apakah putusan hakim dalam perkara ini, sudah tepat atau sudah adil tidak

cukup hanya dilihat dari kesimpulannya atau amar putusan yang memutus

bebas atau lepas dari segala tuntutan. Tetapi prosedur untuk sampai pada

keputusan bebas inilah yang penting untuk dicermati.

Berdasarkan Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm amar putusannya

adalah hakim tidak menerima tuntutan dari jaksa penuntut umum, hal ini

sangat tidak memenuhi rasa keadilan, karena berdasarkan pada pasal 183.108

Hakim bisa menjatuhkan pidana kepada seseorang ketika memenuhi dua alat

bukti yang sah, berkaitan dengan perkara ini dengan terdakwa Dra. Mawar

Muria Rini secara prosedur dan fakta yang sudah terungkap di pengadilan

serta tuntutan yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut telah memenuhi


108
Pasal 183 : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
178
unsur-unsur serta alat-alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli dan

surat.

Oleh karena kurangnya pemahaman hakim terhadap pasal 76 KUHP,

maka terdakwa tersebut dibebaskan. Sehingga dalam hal ini putusan hakim

tersebut tidak memberikan manfaat dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Sementara dalam Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Yang menjadi

terdakwanya adalah Notaris/PPAT Endang Murniati, SH dalam amar

putusannya terdakwa dinyatakan terbukti secara sah melakukan tindak pidana.

Ketika dicermati dalam putusan tersebut terdakwa memang memenuhi unsur-

unsur yang didakwakan dan fakta-fakta serta alat-alat bukti di persidangkan,

walaupun terdakwa tersebut sudah pernah dituntut bersama dengan terdakwa

Dra. Mawar Muria Rini yaitu dalam Putusan Nomor 576/Pid.B/2008/PN.Slm,

tetapi hasil akhirnya hakim memutuskan bebas kepada terdakwa Dra. Mawar

Muria Rini dalam Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm. Dalam hal ini

hakim telah keliru dalam amar putusannya karena tidak memberikan keadilan

terhadap kedua terdakwa dan kedua putusan tersebut.

Penemuan hukum dapat dilakukan hakim dalam putusan ini apabila

hakim menggunakan penalaran hukum dengan benar. Menurut Shidarta 109,

langkah prioritas menuju penerapan model penalaran hukum yang sesuai

dengan konteks keIndonesiaan, adalah organisasi dalam sistem hukm, yakni

organisasi perundang-undangan, peradilan, bantun hukum, dan pemerintah

hukum, tampaknya prioritas terpenting dan mendesak harus diletakan pada

109
Shidarta, Kharakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesian, CV. Utomo,
Bandung, hal. 539
179
institusi peradilan. Pengembangan hukum terpenting dalam lapangan kegiatan

peradilan ini tentu saja adalah hakim.

Pendapat Shidarta tersebut sangat tepat diungkapkan disini, sebab

nampak hakim yang memutus perkara ini tidak memahami penalaran hukum

dengan baik untuk menemukan keadilan dalam putusannya. Seharusnya hakim

menggunakan kearifan dan kebijaksanaannya untuk memperkuat

keyakinannya apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Sebab hanya

dengan sikap arif dan bijak inilah seharusnya keyakinan hakim harus

dibangun. Tidak dibangun atas dasar suka tidak suka yang muncul karena

ketidakmampuan hakim dalam memahami hukum dan keadilan dalam perkara

ini.

Hukum menjadi tidak bisa berkembang ditangani hakim seperti yang

memutus perkara ini. Kegiatan peradilan di tangan dan kaki hakim yang

memutus perkara ini, dipandang seperti kegiatan ‘arisan’, kumpulnya majelis

hakim, terdakwa, penasehat hukum, jaksa, panitera, layaknya seperti

paguyuban ‘arisan’, bertemu dan berkumpul karena punya kepentingan untuk

narik uang arisan, dan bagi yang belum atau sudah narik uang arisan berharap

dapat hidangan lezat dari tuan rumah.

Dalam kajian yang dilakukan, memang penulis belum menemukan

upaya-upaya untuk mendapatkan alat bukti diperoleh dengan cara melawan

hukum, baik oleh jaksa maupun oleh terdakwa dan atau penasehat hukumnya.

Berdasarkan kajian terhadap isi putusan , penulis alat bukti yakni : keterangan

saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, dan surat, yang diajukan oleh

180
JPU atau penasehat hukum ke persidangan yang diperoleh dengan tidak secara

melawan hukum. tetapi secara substansi saksi yang diajukan JPU terkesan

lebih banyak menguntungkan terdakwa. Bahkan hakim tidak dengan sungguh-

sungguh mencermati substansi alat bukti yang terungkap dipersidangan.

Hakim justru tidak melakukan tugasnya dengan baik, yakni memeriksa,

memutus dan mengadili perkara pemalsuan surat tersebut.

Secara akademis, sistem pembuktian yang dilaksanakan oleh hakim

dapat dilihat secara yuridis, doktrin ilmu hukum, dan yurisprudensi. sebab

dengan ketiga aspek inilah kita dapat menganalisis apakah suatu putusan

hakim sudah sesuai dengan dengan prinsip-prinsip kaidah berfir secara benar.

Hukum acara pidana sebagaiamana yang disebut KUHAP, memberikan

banyak regulasi dan penegasan terkait pembuktian yang harus diikuti oleh

hakim di dalam praktek peradilan. Meskipun keberadaan KUHAP masih

banyak menimbulkan kritik, tetapi setidaknya KUHAP secara mutatis

mutandis harus menjadi dasar utama dalam sistem pembuktian perkara di

pengadilan oleh hakim. Secara yuridis, hakim dalam perkara harus menjadikan

dasar ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, khususnya ketentuan pasal 183, 184, 185, 186, 187,

191, 192, 194, 195, 197, 199, 200, 202. Namun hakim belum menggunakan

dasar ini dalam membuktikan alat bukti dalam persidangan. Hakim hanya

menggunakan sebagian kecil ketentuan 183, 184 dan 191 KUHAP yang

lainnya belum nampak. Sehingga putusan yang dibuat oleh hakim tidak

memberikan kepastian hukum karena secara prosedural dan substansi tidak

181
berdasarkan norma dan kaidah hukum, salah satu faktor penyebabnya adalah

karena tidak cermat dan kurang arif serta bijaksana dalam memutus perkara

tersebut.

4) Kepastian Hukum Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan


Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. Dalam Perspeksitf Teori Kepastian
Hukum.
Kepastian memiliki arti “ketentuan, ketetapan”, sedangkan jika kata

kepastian digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum,

memiliki arti perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak

dan kewajiban setiap warga negara.110

Pada tahun 1748 Moentesquieu menulis buku De iesprit des lois (The

Spirit of Laws) sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan kaum

monarki, karena kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum peradilan

pada saat itu secara nyata menjadi pelayanan monarki.111

Pada tahun 1764 seorang pemikir hukum Italia yang bernama Gesare

Beccaria menulis buku berjudul De delliti e delle pene, yang menerapkan

gagasan Moentesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya, seorang dapat

dihukum jika tindakan itu telah diputuskan oleh legislative sebelumnya,

dan oleh sebab itu eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila

terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak

legislative. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen sine

110
Anton M. Moeliono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, jakarta, Balai Pustaka, 2008, hal.
1028
111
E. Utrecht dan Moh. Saleh J. Jindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru
dan Sinar Harapan, Jakarta, 1989, h. 388.
182
legi, yang tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga

terhadap kesewenang-wenangan negara.112

Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers:

Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga


aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian
hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam
arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua
orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan
atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum
memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang
ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin
bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus
ditaati.113

Selanjutnya Peter Mahmud Marzuki juga memberikan pendapatnya

mengani kepastian hukum yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,


adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua,
berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa
pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi
dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim
yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.114

Mengetahui perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan

yang kedua adalah berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
112
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, h. 93.
113
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas,
Kanisius, Yogyakarta, 2007, h. 163.
114
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2013, hal. 158.
183
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara

terhadap individu, kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam

penerapannya.115 Dengan demikian bahwa dalam kepastian hukum tidak hanya

mengenai konsistensensi aturan-aturan atau pasal-pasalnya saja tetapi juga

dalam penerapannya.

Menurut Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian

hukum itu mempunyai tiga arti, yaitu:

“Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur


masalah pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai
kedudukan hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan hukum administrasi negara. Ketiga,
mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang-wenang
(eigenrechting) dari pihak manapun, juga tindakan dari pihak
pemerintah”.116

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah

satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno

Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu.117

Sependapat dengan pernyataan dari Sudikno Mertokusumo, setiap

tindakan yang dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara tidak boleh

115
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, ( Kencana : Jakarta, 2013), hlm. 137
116
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, hlm. 53
117
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2007, h. 145.
184
hanya mengendepankan keyakinan hakim tetapi hakim harus memperhatikan

setiap keputusan berdasarkan substansial. Hal ini salah satu bentuk untuk

mengontrol perilaku hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara, jagan sampai mengorbankan orang lain.

Bachsan Mustafa mengungkapkan, bahwa kepastian hukum itu

mempunyai tiga arti, yaitu:

Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang mengatur masalah


pemerintah tertentu yang abstrak. Kedua, pasti mengenai kedudukan
hukum dari subjek dan objek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-
peraturan hukum administrasi negara. Ketiga, mencegah kemungkinan
timbulnya perbuatan sewenang-wenang (eigenrechting) dari pihak
manapun, juga tindakan dari pihak pemerintah.118
Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum

bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia. Lebih

lanjut Van Kan menyatakan:

Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu


menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum
tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena
hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu
terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan
hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan, 2) kepastian
dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika
hukum itu sebanyak-banyaknya undang- undang, tidak ada ketentuan
yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan
pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan
di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-
lainan (tertutup).119

Penulis sepakat terhadap pendapat yang disampai oleh Van Kan

berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi yaitu terkait hakim dalam


118
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 2001, h. 53.
119
E. Fernando M. Manullang, Op.cit, h. 92.
185
memutus suatu perkara apabila dihubungakan dengan pokok pikirannya

adalah hakim dalam memutus suatu perkara harus bersikap netral tidak

membeda-bedakan, sebagaimana sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, 120 artinya

harus memperhatikan tujuan utama dari hukum tersebut yaitu kepastian

hukum kemanfaatan dan keadilan, kemudian antara keyakinan yang dimiliki

oleh hakim tidak boleh bertentangan dengan kepastian hukum. dalam hal ini

hakim bertindak harus sesuai dengan kaidah dan norma-norma dalam

KUHAP.

Hukum dan keadilan sesungguhnya tidak dibuat tetapi ditemukan

dalam sitem sosial. Hal ini sesuai dengan prinsip Ubi Isu Ibi Societas, dimana

ada hukum disitu pasti ada masyarakat. Masyarakat tidak membuat hukum

tetapi masyarakat menemukan hukum secara inherent dalam sistem sosial

yang terbentuk. Dalam kerangka demikian hukum tidak dapat disamakan

dengan nilai yang membungkus kepentingan elit masyarakat yang sedang

berkuasa. Tetapi hukum merupakan nilai yang membingkai kepentingan

masyarakat.

Kontruksi pemikiran manusia, khusunya hakim kemudian menjadi

salah suatu sebab berkembangnya hukum itu secara dinamis. Pergulatan

pemikiran manusia mengenai keadilan selalu bermuara kepada kepentingan

yang harus dilindungi dari masing-masing individu yakni apa yang kemudian

disebut dengan hak itu. Kemudian berkembang ada hak dasar manusia (basic

120
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
186
right) dan hak asasi manusia (human right). Konsepsi hak ini dipandang

sebagai sebuah kepentingan hakiki dari manusia yang harus mendapatkan

jaminan perlindungan dalam hukum secara universal. Bahkan hakekat hukum

sebenarnya adalah teknis sosial yang mampu menjamin hak-hak dimaksud.

Jaminan hak-hak tersebut kemudian harus menjadi arahan dalam kehidupan

masyarakat seacar luas dengan apa yang disebut dengan bangsa. Keberadaban

sebuah bangsa selalu diukur dari sampai seberapa mampu sebuah bangsa

tersebut dengan tegas mencantumkan hak-hak warganya dalam hukum dasar

mereka yang disepakati secara bulat dan utuh.

Kemudian konstruksi pemikiran tentang hukum tidak berhenti sampai

pada konsepsi hak semata. Sebab hukum harus mampu menjaga

keseimbangan perikehidupan warga masyarakat sebuah bangsa secara

proporsional. Disamping hak, hukum juga harus menjamin bahwa setiap

individu masyarakat wajib melaksanakan kewajiban dasar dan kewajiban

asasi. Penghormatan dan jeminan hak tidak mungkin dapat terwujud apabila

tidak ada jaminan pelaksanaan kewajiban secara konstitusional.

Konstruksi pemikiran hukum berkembang cepat sejalan dengan

perkembangan kebutuhan kehidupan msayarakat dalam bentuk organisasi

kekuasaan yang modern dengan apa yang disebut dengan negara. Negara

menjadi salah satu jelamaan komunitas manusia dalam memperjuangkan

kesejahteraan hidupnya secara adil dan merata. Berbagai macam konsepsi

tujuan bernegara melalui tujuan hukumnya. Dari mulai pencapai ketertiban

sampai dengan kesejahteraan yang sifatnya materiil dan imateriil.

187
Ketika masyarakat sudah hidup dalam komunitas organisasi

kekuasaan modrn yang disebut dengan negara, kemudian berkembang

konstruksi pemikiran hukum yang seharusnya mampu menjamin pengaturan

hak dan kewajiban antara warga negara dengan penguasa negara. Penguasa

negara wajib memberikan jaminan dan pemenuhan hak-hak warga negaranya

dalam akses terhadap keadilan untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.

Dalam setiap hak warga negara disitu harus dapat dipastikan adanya

kewajiban penguasa negara untuk memenuhinya. Cara berhukum negara harus

selaras dengan cara berhukum warga negaranya.

Di dalam undang-udang yang dibuat sendiri-sendiri tersebut juga

sudah pula mencoba mempertautkan antara lembaga yang satu dengan

lembaga yang lain. Pertautan tersebut dimaksud agar tidak terjadi

ketidakharmonisan antara mereka sehingga dapat mengganggu pemenuhan

jaminan hak-hak warga negara dalam mengakses dan mendapatkan ekadilan

secara konstitusional. Namun demikian persoalan selalu muncul antara

penegak hukum khususnya dalam hal ini adalah hakim, yang disebabkan oleh

ketidak mampuannya dalam memahami berhukum secara benar, melalui

konstruksi pemikiran hakim yang sempit dan tidak komprehensif. Ketidak

mampuan hakim dalam berfikir tersebut juga mengakibatkan distrosi makna

dan nilai keadilan yang seharusnya menjadi hak warga negara untuk

mendapatkannya. Pikiran hakim menerabas dan menerobos dipahami sebagai

pikiran reformatif yang wajib dilakukan dengan alasan keadilan yang semu.

Undang-undang yang selama ini mejadi satu-satunya alat dan media untuk

188
menegakan hukum dan keadilan oleh hakim seharusnya dipandang tidak

relevan lagi untuk tetap dijadikan dasar utama sebagai acuam bagi hakim

dalam berhukum di dalam pengadilan.

Putusan-putusan hakim yang dibuat dalam beberapa kasus yang telah

diuraikan di atas, memang sudah mulai mengarah kepada pergeseran

pemahaman bahwa hukum adalah Undang-Undang (legisme). Dalam sistem

civil law yang awalnya tidak dikenal sumber hukum adalah dari

Yurisprudensi, kemudian dalam praktek peradilan Yurisprudensi menjadi

salah satu dasar hakim dalam menemukan hukum lama yang dianggap relevan

dengan peristiwa hukum baru yang sedang diadili. Proses penemuan hukum

melalui Yurisprudensi ini memang tidak salah dalam konsepsi hukum civil

law yang tidak murni yang sudah dianut NKRI. Tetapi pemahaman para

hakim bahwa Yurisprudensi adalah wujud penemuan hukum yang dibenarkan

adalah membutuhkan waktu dan sumber daya manusia hakim benar-benar

memiliki integritas moral, sosial, intelektual tinggi.

Dalam doktrin ilmu hukum, Yurisprudensi disamakan dengan

Undang-Undang. Sebab Yurisprudensi mengikatnya sama dengan

mengikatnya undang-undang. Hanya saja kalau undang-undang mengikatnya

adalah terhadap semua ketentuannya sedangkan kalau Yurisprudensi

mengikatnya terbatas pada peristiwa hukum tertentu yang sama atau

dipersamakan oleh penegak hukum dikemudian hari. Perdebatan apakah

Yurisprudensi wajib diikuti atau sekedar pilihan bagi penegak hukum dalam

upaya menemukan hukum dan keadilan, memang masih layak untuk

189
diperdebatkan secara mendalam. Sebab apabila Yurisprudensi disamakan

dengan undang-undang, berarti perlu diselesaikan terlebih dahulu apa yang

dimaksud dengan kepastian hukum dan kepastian keadilan. Apakah undang-

undang mencerminkan kepstian hukum sedangkan Yurisprudensi

mencerminkan kepastian keadilan. Bukankah di dalam kepastian keadilan

sudah tentu terdapat kepastian, sekalipun dalam kepastian hukum belum tentu

terdapat kepastian keadilan.

Menurut Satjipto Rahardjo121, apabila kita bersedia untuk

menempatkan tatanan hukum positif dalam konteks dan pada peta tatanan

(order) yang lebih besar, maka substansi alternatif, tatanan alternatif, artinya

diluar hukum positif memang senantiasa ada dalam masyarakat. Dalam ilmu

hukum yang legalistik-positivistik hukum sebagai institusi pengaturan yang

komoleks telah direduksi menjadi suatu yang sederhana, linier, mekanistik,

terutama untuk kepentingan profesi. Pendapat Satjipto ini memberikan

penegasan bahwa keteraturan hukum hanya dilihat dalam perspektif hukum

formal negara tetapi harus diseimbangkan dengan nilai-nilai yang ada dan

berkembang di masyarakat. Sehingga keteraturan dan ketidakteraturan hukum

harus dilihat dalam perspektif negara dan masyrakat secara menyeluruh.

Ketidakteraturan hukum dalam putusan hakim, secara lugas juga

dikemukakan oleh Busyro Muqoddas122, menilai bahwa ada empat mafia

peradilan di Indonesia. Pertama, penundaan pembacaan putusan oleh majelis

121
Satjipto Rahardjo, penegakan hukum progresif, pt. Kompas media nusantara, jakarta,
2010, hal. 16
122
Busyro Muqoddas, Ideologi Pengacara Jalanan Penyuara Nurani Keadilan, Jakarta,
Komisi Yudisial RI, hal. 152-153
190
hakim. “kalau ditanyakan ke panitera akan mendapat sinyal bahwa hakim

minta sesuatu”. Kedua, manipulasi fakta hukum. hakim sengaja tidak

memberikan penilaian terhadap satu fakta atau bukti tertentu sehingga

putusannya ringan. Ketiga, “manipulasi penerapan peraturan perundang-

undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap

dipersidangan. Majelis hakim mencari peraturan hukum sendiri sehingga

fakta-fakta hukum ditafsirkan berbeda”. Keempat, pencarian peraturan

perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa tidak

memberatkan terdakwa khususnya dalam perkara pemalsuan surat.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kontruksi Hukum dalam pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor

66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm.

Bahwa terjadi kekeliruan putusan, seharusnya hakim tidak memutuskan

Nebis in idem, sebab pada persidangan pertama Mawar Muria Rini

dikenakan pasal penggelapan dan penipuan disinlah letak kekeliaruan

hakim dalam menerapkan hukum karena pada sidang yang kedua Mawar

191
Muria Rini didakwa dengan Pasal yang berbeda yaitu Pasal 263 ayat (2)

KUHP tentang memakai surat palsu, alasan inilah yang menyebabkan

secara normatif menyebabkan kontradiksi putusan hakim terhadap

terdakwa terjadinya kekeliruan penerapan putusan tersebut. Sementara

pada putusan Putusan Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. terdakwa (Notaris)

diputus berbeda dengan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP dengan hukuman 1

tahun 8 bulan , hal ini terjadi perbedaan putusan diantara keduanya dimana

Notaris memiliki kedudukan hukum sebagai pejabat negara, oleh sebab itu

dia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap tindak pidana pemalsuan

beruapa akta otentik. Sehingga tidak tercapainya unsur asas keadilan

hukum, karena keduanya sama-sama menggunakan akta tersebut.

2. Kepastian Hukum Putusan Nomor 66/Pid.B/2012/PN. Slm dan Putusan

Nomor 67/Pid.B/2012/PN. Slm. hakim dalam putusannya tidak

memberikan kepastian hukum karena belum memenuhi dalam ketentuan-

ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana, khususnya ketentuan pasal 183, 184, 185, 186, 187, 191, 192, 194,

195, 197, 199, 200, 202. hakim belum menggunakan dasar ini dalam

membuktikan alat bukti dalam persidangan. Hakim hanya menggunakan

sebagian kecil ketentuan 183, 184 dan 191 KUHAP yang lainnya belum

nampak. Sehingga putusan yang dibuat oleh hakim tidak memberikan

kepastian hukum karena secara prosedural dan substansi tidak berdasarkan

norma dan kaidah hukum, salah satu faktor penyebabnya adalah karena

tidak cermat dan kurang arif serta bijaksana dalam memutus perkara

192
tersebut. Baik terhadap putusan Mawar Muria Rini maupun putusan yang

diberikan kepada Endang Murniati (Notaris), yang seharsunya dapat

diselesaikan melalui sidang keperdataan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum


Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010;
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991;
HMA Kuffal, KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang: UMM Press, 2003;
Lawrence M. Friedman, Introduction to the America Law, New York, W.W.
Northon & Company, 1984;
M. Hariwijaya, Metodologi dan Tekni Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi,
Yogyakarta: Azzagrafika,2007;
193
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2000;
Nanda Agung Dewantara, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani
Suatu Masalah Perkara Pidana, Jakarta: Aksara Persada Indonesia,
1987;
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan ke-7,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011;
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005;
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indoensia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 1993;
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1980;
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988;
Seodharyo Soimin, Kitab Undang-undang hukum Perdata, Jakarta: Sinar
Grafika, 1996;
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia-UI
Press,Jakarta, 2007.
Soemitro Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke-6,
Yogyakarta: Liberty, 1998;
Suparmoko, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, Liberty, 1991;
Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2006;
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidika dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 152

194

Anda mungkin juga menyukai