PENDAHULUAN
maka dari itu kepentingan manusia dapat terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
(Mertokusumo, 2002: 71). Hukum dapat dirasakan dan diwujudkan dalam bentuk
kompleks, wujud hukum itu dikendalikan oleh sejumlah asas, doktrin, teori, atau
filosofi hukum yang diakui oleh sistem hukum secara universal didalam
kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam aspek
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana (KHNI dan MaPPI, 2004: 3).
Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun
RI), yang menyatakan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
hukum sangatlah penting, hal itu dikarenakan Kejaksaan selaku institusi tempat
dan wewenang Kejaksaan. Salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam
Kejaksaan RI bahwa :
bukanlah perdebatan baru terkait kriteria sejauh mana kepentingan umum yang
rumusan atau definisi serta bahasan dari kepentingan negara, bangsa, dan/atau
masyarakat pada umumnya. Didalam KUHAP tidak mengatur secara tegas terkait
yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Kemudian dalam Pasal 14 huruf h yang
menentukan bahwa salah satu wewenang Penuntut Umum adalah perbuatan untuk
huruf h, Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP juga menyatakan bahwa perbuatan
lain yang dapat dilakukan oleh penuntut umum yaitu berupa penghentian
dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a KUHAP. Dengan demikian, kriteria
(Muhaimin, 2017, Vol. 17: 5). Hal tersebut, dikarenakan Penuntut Umum tidak
hanya melihat kejahatan itu sendiri lepas dan kejahatan hubungannya dengan
sebab dan akibat dan kejahatan itu didalam masyarakat dan hanya mencocokan
kejadian sesuai dengan porsi yang sebenarnya dan kemudian memikirkan cara
hukum. Kedua hal tersebut harus saling mempengaruhi satu sama lain dengan
kepentingan umum (Harahap, 2005: 436). Ataupun berdasarkan hak Jaksa Agung
berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan
menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya (Nasution, 2004: 36). Hal ini
disebut dengan diskresi, yang dimana menurut Soebekti di dalam Kamus Hukum,
kedudukan dari Penuntut Umum, yaitu adanya kewengan untuk menuntut perkara
jabatan jika dipandang perlu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan sifat,
Hal tersebut di atas tentu merupakan titik tolak dan dasar serta alasan
mengapa Jaksa Agung yang notabene sebagai Penuntut Umum Tertinggi dalam
hukum masih tetap menjadi bahan prioritas dalam melakukan penuntutan maupun
menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama didepan hukum yang
erat kaitannya dengan asas equality before the law, maka seharusnya ketentuan
berlaku.
Hal ini sebagai jaminan objektifitas dalam menangani suatu perkara, dan
Indonesia agar aturan-aturan terkait asas oportunitas yang sesuai dengan Pasal 35
huruf c UU Kejaksaan RI, tidak menjadi aturan yang disalahgunakan oleh instansi
Sehingga yang menjadi catatan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum
perkara dapat menjadi suatu hal yang bisa dinilai sebagai suatu tindakan pilih
kasis yang mencerminkan sikap penegak hukum pro diskriminasi oleh negara
wakil rakyat untuk menindak dan menuntut perbuatan pidana didalam sistem
pemerintahan presidensiil. Oleh karena itu, Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa
pertanyaan apakah Kejaksaan bebas murni dari intervensi atau campur tangan
golongan (Nasution, 2004: 36). Hal itu dikarenakan Kejaksaan Agung tidak
dengan judicial power yaitu bebas dari eksekutif. Sehingga, perlu adanya batasan
sejauhmana campur tangan dari pemerintah, hal ini penting ketika seorang Jaksa
2004: 18).
Oleh karena mengesampingkan perkara merupakan wewenang, bukan tidak
oleh Yusril Ihza Mahendra di dalam bukunya O.C Kaligis yang menyatakan
bahwa bukanlah suatu hal yang mustahil apabila dikemudian hari ketentuan
mengesampingkan perkara pidana ini dapat digugat di muka pengadilan, hal ini
tersebut, Jaksa Agung memiliki alasan yang kuat dan cukup, bahwa syarat demi
kepentingan umum yang dijadikan sebagai tolak ukur telah terpenuhi dan
Salah satu kasus yang menerapkan asas oportunitas oleh Jaksa Agung
tersebut diawali ketika ada indikasi dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh
diketuai oleh Prof. Adnan Buyung Nasution guna memverifikasi fakta dan data
rekomendasi kepada Presiden. Salah satu hasil rekomendasi tersebut adalah untuk
2019).
karena siapapun yang ada di Indonesia kedudukannya sama dimuka hukum tanpa
terkecuali, maka dengan adanya pemberian surat keputusan tersebut timbul rasa
tersebut merupakan hak yang sudah ada dasar hukumnya kepada Jaksa Agung,
akan tetapi belum ada indikator yang jelas mengenai siapa saja yang berhak untuk
diberikan.
demikian yang terjadi bukan lagi rule of law melainkan rule of man, yang berarti
kedudukan sama di hadapan hukum tidak lagi diindahkan oleh Jaksa Agung. Hal
yang demikian ini dapat berpotensi memberikan citra buruk terhadap institusi
masyarakat atas aturan yang demikian meskipun perbuatan yang dilakukan oleh
terhadap kasus apa atau kapan dapat diterapkan, serta alasan demi kepentingan
penulis tertarik untuk menggali lebih dalam terkait penerapan asas oportunitas
oleh Jaksa Agung dalam sistem peradilan pidana dalam bentuk proposal skripsi
Indonesia”.
1.2 Identifikasi Masalah
Indonesia 1945.
sistematis sesuai pokok fokus kajian, maka penulis akan menguraikan pokok-
Jaksa Agung.
Indonesia ?
dasar pertimbangan terhadap penerapan asas oportunitas oleh Jaksa Agung dalam
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
teoritis dan praktis yang satu sama lain terkait. Melalui penelitian ini penulis
1. Manfaat Teoritis
hukum.
kepastian hukum.