Anda di halaman 1dari 12

APARAT PENEGAK HUKUM

(QS. AL-BAQOROH:188)
Dosen Pengampu:
Dr. H. Hamim Ilyas, M.Ag

Disusun oleh:
SALMA FAUZIYYAH HASNA
NIM: 23203011114

PROGRAM MAGISTER ILMU SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI YOGYA

0
BAB I
PENDAHULUAN

Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang
bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap masalah hak
asasi manusia. Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai salah satu ciri negara hukum harus
memberikan kejelasan dengan membangun dasar-dasar normativisme yuridis secara tegas,
sehingga dengan perlindungan itu dapat dijadikan acuan untuk menilai apakah negara yang
mengaku diri sebagai negara demokrasi betul-betul demokratis atau tidak, itu sangat tergantung
pada realisasi nilai-nilai demokrasi itu. Salah satu realisasi itu adalah perlindungan hak-hak
kemanusiaan.1
Masalah moralitas penegak hukum dari waktu ke waktu masih merupakan persoalan
yang relevan untuk di bicarakan, karena apa yang disajikan oleh media massa seringkali
bersifat paradoksal. Pada satu sisi, penegak hukum di tuntut untuk menjalankan tugas sesuai
dengan amanat undang-undang yang berujung pada pemberian keputusan dengan substansi
berupa keadilan bagi para pihak-pihak2 akan tetapi disisi lain dijumpai penegak hukum yang
justru melakukan tugasnya bertentangan dengan asas-asas penegakan hukum dan
inimenyebabkan citra lembaga penegak hukum dan penegakan hukum di Indonesia terpuruk
ditengah-tengah arus perubahan jaman. 3
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak
melampaui undang-undang tanpa menciderai nilai keadilan. Dalam menegakkan keadilan,
dituntut kemampuan penegak hukum mengkritisi hukum dan praktik hukum demi menemukan
apa yang seharusnya dilakukan sebagai seorang profesional. Keahlian saja tidak cukup.
Diperlukan keutamaan bersikap profesional: berani menegakkan keadilan. Konsistensi
bertindak adil menciptakan kebiasaan bersikap adil. Keutamaan bersikap adil menjadi nyata
tidak saja melalui perlakuan fair terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga lewat keberanian
menjadi whistleblower saat terjadi salah praktik profesi. Seorang profesional seharusnya tidak
mendiamkan tindakan tidak etis rekan seprofesi. Ini bagian dari pelaksanaan tugas yang tidak
mudah, namun harus dilakukan karena kemampuan bersikap adil menuntut keberanian
mempraktikkan, bukan sekadar mengetahui keadilan.

1
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju,
Bandung: 2009, hlm. 4.
2
Agus Raharjo, “Hukum dan Dilema Pencitraannya (transisi Paradigmatis Ilmu Hukum dalam Teori dan
Praktik”, Jurnal Hukum Pro Justicia Vol. 24 No.1 FH Unpar, Bandung, 2006, hlm. 1.
3
Agus Raharjo, “Fenomena Chaos dalam kehidupan Hukum Indonesia”, Jurnal Syiar madani No. IX No. 2, FH
Unisba, Bandung, 2007,hlm. 1.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. APARAT PENEGAK HUKUM


Menurut Hikmahanto Juwono menyatakan di Indonesia secara tradisional institusi
hukum yang melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, badan
peradilan dan advokat. Di luar institusi tersebut masih ada diantaranya, Direktorat
Jenderal Bea Cukai, Direktorak Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Imigrasi. Problem
dalam penegakan hukum meliputi hal: 4
1. Problem pembuatan peraturan perundang-undangan
2. Penegakan hukum sebagai komoditas, politik, penegakan hukum yang
diskriminatif
3. Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM)
4. Dan lain-lain
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yng terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai tahap akhir. Untuk menciptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum terhadap kejahatan di
indonesia merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum sehingga
memberikan efek jera. Tanpa perasaan tentram maka hasil-hasil pembangunan negara
yang menyangkut berbagai permasalahan akan terasa ada hambatan untuk mencapai
kemajuan yang maksimal karena itu untuk menegakkan hukum dan menjaga
ketenteramanya diperlukan organ yang disebut Penegak Hukum.
Berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 di jelaskan bahwa aparat penegak hukum itu
terdiri diantara lain:
a. Polisi
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata polisi adalah
suatu badan yang bertugas memelihara keamanan, ketentraman, dan ketertiban
umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan suatu anggota badan
pemerintah (pegawai Negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban).
sedangkan Menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Tugas-tugas pokok kepolisian tersebut tertuang dalam pasal 14 UU Nomor 2


Tahun 2002 bertugas antara lain:

4
Hikmahanto Juwono, “Penegakan Hukum Dalam Kajian Law And Development: Problem Dan Fundamen Bagi
Solusi Di Indonesia”,Varia Peradilan No.244 , Jakarta, 2006 hlm. 13.

2
a) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, ketertiban, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b) Menyelenggarakan segala kegiataan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lau lintas di jalan.
c) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan.
Tugas pokok dan fungsi Polri, selain sebagai pengayom masyarakat juga
sebagai penegak hukum. Fungsi tersebut merupakan sebagian dari
implementasi Pasal 1 ayat (5) UUNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menetapkan bahwa: “Keamanan dan ketertiban
masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu
prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional yang ditandai oleh
terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang
mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan
kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala
bentuk pelanggaran hukum dan bentuk- bentuk gangguan lainnya dapat
meresahkanMasyarakat dan polisi merupakan dua kegiatan yang tidak bisa di
pisahkan. Tanpa
Masyarakat, tidak akan ada polisi dan tanpa polisi, proses-proses dalam
masyarakat tidak akan berjalan dengan lancar dan produktif. Kenyataan tersebut
di atas, menurut Barda Nawawi Arief 5 , bahwa Polri dalam menjalankan
tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja
sosial pada aspek sosial dan kemasyarakatan (pelayanan dan pengabdian)
masyarakat.”

b. Jaksa

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik


Indonesia menjelaskan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan
yang memegang kekuasaan di bidang penuntutan dan kewenangan lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan Kejaksaan
terdiri dari tiga bagian, seperti dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4, yaitu pertama
Kejaksaan Agung yang berkedudukan di ibu kota negara Indonesia dan
memiliki daerah kekuasaan hukum di seluruh wilayah negara, yang kedua
Kejaksaan Tinggi yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan memiliki daerah
kekuasaan hukum di wilayah provinsi tersebut, dan yang ketiga Kejaksaan
Negeri yang berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan memiliki daerah
kekuasaan hukum di wilayah kabupaten/kota tersebut.

Definisi jaksa sendiri di jelaskan dalam Pasal 1, yakni sebagai pejabat


fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, serta memiliki wewenang lain yang berdasarkan undang-undang.
Sedangkan menurut UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU
Nomor 16 Tahun 2004, jaksa adalah pegawai negeri sipil dengan jabatan

5
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal.,5

3
fungsional yang memiliki kekhususan dan melaksanakan tugas, fungsi, dan
kewenangan.

Kode etik kejaksaan memiliki arti yang sama dengan kode etik profesi
lainnya yang mengandung nilai yang membentuk kepribadian,etika, moral, dan
spiritual sebagai aturan berperilaku profesional. Yang mana apabila dilaksanakan
sesuai dengan tujuan, akan menghasilkan jaksa yang memiliki standar moral yang
baik dalam menjalankan tugasnya. Sehingga proses hukum di negara kita berfokus
pada kesuksesan pelaksanaanyaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(Komis Simanjuntak et al., n.d.)6

Adapun Tugas pokok sebagai Jaksa sebagai berikut:

1. Jaksa Penyelidik, tugasnya adalah melakukan penyelidikan atas suatu perkara


yang dilaporkan atau ditemukan oleh kepolisian atau instansi terkait. Dalam
melakukan penyelidikan, jaksa penyelidik memiliki kewenangan untuk
memeriksa saksi, meminta keterangan ahli, mengumpulkan bukti, dan
melakukan tindakan penyitaan terhadap barang bukti. Setelah selesai
melakukan penyelidikan, jaksa penyelidik akan menentukan apakah perkara
tersebut layak untuk ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak.
2. Jaksa Penyidik, tugasnya adalah melakukan penyidikan atas suatu perkara
yang telah ditingkatkan dari penyelidikan. Dalam melakukan penyidikan, jaksa
penyidik memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan jaksa
penyelidik. Jaksa penyidik dapat memeriksa tersangka, mengeluarkan surat
perintah penangkapan, melakukan penggeledahan, dan melakukan tindakan
penyitaan terhadap barang bukti. Setelah selesai melakukan penyidikan, jaksa
penyidik akan menentukan apakah perkara tersebut layak untuk ditingkatkan ke
tahap penuntutan atau tidak.
3. Jaksa Penuntut Umum, tugasnya adalah menuntut perkara yang telah
ditingkatkan ke tahap penuntutan. Dalam melakukan tuntutan, jaksa penuntut
umum harus mengajukan dakwaan yang didasarkan pada fakta dan bukti yang
ditemukan selama penyidikan. Jaksa penuntut umum juga harus menjelaskan
secara terperinci mengenai tindak pidana yang didakwakan, serta mengajukan
tuntutan pidana yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Jaksa Eksekutor Kejaksaan, tugasnya adalah melakukan eksekusi terhadap
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jaksa eksekutor
kejaksaan bertanggung jawab untuk mengeksekusi hukuman pidana yang
dijatuhkan oleh pengadilan, seperti penahanan, penggeledahan, penyitaan harta
benda, dan sebagainya.
5. Jaksa Pengacara Negara, tugasnya adalah memberikan bantuan hukum
kepada pemerintah dan lembaga negara dalam hal-hal yang berkaitan dengan
hukum dan perundang-undangan. Jaksa pengacara negara juga dapat
memberikan nasihat hukum kepada lembaga negara dan instansi pemerintah
dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain itu, jaksa pengacara negara juga
dapat menjadi pengacara dalam perkara-perkara yang melibatkan pemerintah
atau lembaga negara.

6
Komis Simanjuntak, Suriani, Dany Try Hutama Hutabarat, &Rinda Alpadira. (n.d.). Peran Jaksa Dalam
PelaksanaanDiversiTerhadap Pidana Anak.hlm.8

4
c. Hakim

Hakim adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk dapat mengadili,
memutuskan perkara-perkara yang tidak bertanggung dan memimpin perkara hukum
yang diajukan ke Pengadilan atau Mahkamah. Dalam kasus juri, hakim seorang pejabat
yang melakukan kekuasaan kehakiman dan memimpin persidangan yang diatur dalam
undang-undang, baik sendiri atau sebagian dari panel hakim. Kekuasaan, fungsi, metode
pengangkatan, disiplin, dan pelatihan hakim sangat bervariasi di berbagai yurisdiksi.

Tugas-tugas pokok untuk seorang Hakim adalah Hakim memiliki tugas dan wewenang
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara yang diajukan dalam
persidangan. Pasal 11 UU Kekuasaan Kehakiman mengatur, pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
alasan tidak ada hukum atau hukum kurang jelas. Untuk itu, hakim wajib memeriksa dan
mengadili setiap perkara dalam persidangan. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara, setidaknya dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim. Tiga
orang hakim tersebut terdiri dari satu hakim ketua serta dua hakim anggota.
d. Adokat
Advokat dan pengacara merupakan dua istilah yang artinya sama, hal ini diatur
dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum. Profesi memberikan jasa hukum
ini bisa di dalam pengadilan atau di luar pengadilan. Orang yang ingin menjadi advokat
perlu menempuh pendidikan sarjana hukum dan melanjutkan ke pendidikan khusus
profesi advokat. Di pasal 9 kode etik seorang Advokat ysitu, Setiap Advokat wajib
tunduk dan mematuhi Kode atas pelaksanaan dan Pengawasan atas pelaksanaan Kode
Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan. 7

Profesi di bidang hukum cukup beragam, salah satu yang populer yaitu advokat atau
pengacara. Menjadi seorang advokat bisa menjadi impian dari seorang sarjana hukum.
Tapi seorang sarjana hukum masih perlu mengikuti pendidikan lanjutan sehingga bisa
menjadi advokat. Advokat memiliki tugas penting dalam membantu orang yang sedang
dalam masalah hukum. Mereka bisa jadi harus membela terdakwa kasus pidana berat
atau membela terdakwa kasus korupsi. Berikut ini beberapa tugas dan wewenang
seorang advokat:

1. Memegang tegung sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum,


keadilan, dan kebenaran.
2. Melaksanakan kode etik advokat
3. Menjunjung tinggi dan mengutamakan nilai keadilan, kebenaran, dan moralitas.
4. Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat, dan martabat
advokat.
5. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat
dengan terus belajar untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum

7
Anotasi Jefri UU 18 Tahun 2003 Advokat,hal.4

5
6. Menangani perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional
maupun internasional.
7. Menjaga hubungan baik dengan klien dan rekan sejawat

Para penegak hukum dapat ditinjau dari berbagai perspektif sebagai individu atau
manusia dengan kualitas, kualifikasi dan kultur kerja nya masing-masing sehingga peran
dari pejabat penegak hukum sangat dominan. Selain itu peran kelembagaan atau institusi
penegak hukum dengannmasalah-masalah masing-masinggbelum terinstutisionalisasikan
secara rasional dan inpersonal. Di samping itu, penegakan hukum memerlukan
keteladanan dan kepemimpinan sehingga dapat menjadi penggerak dan inspirator
penegakan hukum yang pastiidan efektif dalam mencapai keadilan. Integritas dan loyalitas
menjadi dambaan bagi penegakan hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum.
Tetapi ironisnya yang kerap kali terjadi setiap yang berperkara di pengadilan pada
umumnya ingin menang bukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Peran polisi, jaksa, hakim dan pengacara sangat menonjol karena penegak hukum
dapat dilihat pertama, sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi dan
kultur kerjanya masing-masing. Dalam Pengertian demikian persoalan penegakan hukum
tergantung pelaku, pejabat, atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua, dapat pula
dilihat institusi, badan atau organisasi dengan kualitas birokrasinya sendiri-sendiri. Kedua
unsur itu harus dipahami secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitannya
dengan setiap unsur dan faktor-faktor yang mendukung sebagai suatu sistem hukum.
Selain itu perlu diperhatikan adalah peningkatan peran dari penegak hukum dengan
meningkatkan mutu dan kualitasnya seperti peningkatan pendidikan dan profesi sehingga
akan dihasilkan penegak hukum yang profesional dan kalau perlu diberikan semacam
sertifikasi. Termasuk yang sangat perlu diperhatikan adalah peningkatan kesejahteraan
penegak hukum seperti polisi dan lain-lain.

Sikap profesionalisme sangat mencerminkan sikap seorang terdahap pekerjaan maupun


jenis pekerjaannya/profesinya. Menurut Siagian, profesionalisme adalah keandalan dalam
melaksanakan tugas sehingga terlaksana dengan mutu yang baik, waktu yang tepat, cermat,
dan dengan prosedur yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam menjalankan
profesinya, penegak hukum harus mengedepankan nilai etika profesi dalam pelaksanaan
tugasnya agar proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Karena, jika kita sudah
melakukan suatu pekerjaan secara profesionalisme sudah dapat dipastikan kita melakukan
pekerjaan tersebut dengan mengedepankan etika-etika dalam bekerja.
Aparat penegak hukum memiliki kode etik dalam menjalankan profesinya. Hakim,
Jaksa, dan Polisi tidak dapat seenaknya menjalankan tugas dan wewenang tanpa pedoman
perilaku dalam berprofesi. Jika diamati, ketentuan dalam Kode Etik Profesi masing-masing
aparat penegak hukum mewajibkan agar setiap tugas dan wewenang dijalankan sesuai
dengan jalur hukum dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Dalam mengemban tugas
pemeliharaan keamanan dan ketertiban nasional, tiap-tiap anggota Polri harus
menjalankannya dengan berlandas pada ketentuan berperilaku petugas penegak hukum
(code of conduct) dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Standar-standar dalam
code of conduct dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi malpraktik
profesional atau tidak. Dapat dikatakan telah terjadi malpraktik apabila seorang profesional
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya telah melakukan tindakan yang tidak

6
profesional di bawah standar atau sub-standar profesinya, menimbulkan kerugian (damage)
terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya.

B. TAFSIR QS. AL-BAQOROH AYAT 188

َ ْ َ ْ ً َ ُ ُ ْ َ َّ ُ ْ َ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ْ ُ ََْ ْ ُ َ َ ْ َ ُُ َْ ََ
‫اط ِل وتدلوا ِبها ِإَل الحك ِام ِلتأ كلوا ف ِريق ِامن أموا ِل‬
ِ ‫وَل تأ كل ْوا أ ْموال َ ْكم ب َينكَم ِبالب‬
ُ َّ
‫اْلث ِم َوأنت ْم ت ْعل ُمون‬ ‫ب‬
ِ ِ ِ ‫اس‬ ‫الن‬
wa lâ ta'kulû amwâlakum bainakum bil-bâthili wa tudlû bihâ ilal-ḫukkâmi lita'kulû
farîqam min amwâlin-nâsi bil-itsmi wa antum ta‘lamûn

artimya: “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal
kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqoroh;188)8

Asbabun Nuzul Qs. Al-Baqoroh ayat 188 yaitu, ayat ini turun untuk Umru’ul
bin Abis abdan bin Asyra’ Al-Hadhramy yang saling memperdebatkan tentang
sebidang tanah. Umru’ul berusaja mendapatkan tanah itu agar menjadi miliknya dengan
bersumpah di depan Hakim, lalu turunlah ayat ini. Qs. Al-Baqoroh ayat 188 ini
memberikan peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang lain dengan
jalan Bathil.

Larangan mengambil Harta orang lain dengan cara yang Bathil

Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain
dengan jalan bathil. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah
ditentukan Allah. Para ahli tafsir mengatakan banyak hal yang dilarang yang termasuk
dalam lingkup bagian pertama ayat ini, antara lain:

a. Makan uang riba


b. Menerima harta tanpa ada hak untuk itu.
c. Makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual. 9

Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap
hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara
yang batil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang
membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barangkali di antara kamu ada yang
lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan- alasan
yang saya dengar. Maka siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya untuk
memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia
mengambil harta itu, maka ini berarti saya memberikan sepotong api neraka

8
Qs. Al-Baqoroh ayat 188
9
Al-Imam AbuJarir ath-Thabari,Jami' al-B'!)'an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal.57

7
kepadanya". (Mendengar ucapan itu) keduanya saling menangis dan masing-masing
berkata. Saya bersedia mengikhlaskan harta bagian saya untuk teman saya. Lalu
Rasulullah saw memerintahkan, "Pergilah kamu berdua dengan penuh rasa
persaudaraan dan lakukanlah undian dan saling menghalalkan bagianmu masing-
masing menurut hasil undian itu ". (Riwayat Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan
lain-lain).

Dibawah ini pendapat ulama-ulama tafsir yang menerangkan tafsir dari Qs. Al-
Baqoroh ayat 188 diantaranya yaitu:

Tafsir Wajiz Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir
negeri Suriah10

Janganlah kalian memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, yaitu sesuatu
yang tidak diperbolehkan syariat untuk diambil, seperti bayaran pezina, dukun, dan
khamr. Janganlah kalian mengadukan perkara tersebut, yaitu perkara tentang harta
tersebut kepada hakim, dan janganlah kalian membelokkan hukum yang telah berjalan
dengan uang suap dan semacamnya. Dan keputusan hakim itu tidak menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Dan kalian mengetahui bahwa kalian menzalimi
orang lain dengan mengambil harta tersebut. Ayat ini turun untuk Imriul Qays bin Abis
dan Abdan bin Asyra’ Al-Hadramy yang saling memperdebatkan sebidang tanah, Dan
orang pertama ingin bersumpah, lalu turunlah ayat {Wa laa ta’kuluu amwaalakum
bainakum bil baathili}

Tafsir Aisarut Tafasir / Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di
Masjid Nabawi

a) Al-Bathil adalahLawan dari kebenaran (al-Haq)


b) Tudlu adalah Al-Idla’ bisy syai’ maknanya adalah mengulurkan sesuatu, yang
dimaksud di sini adalah memberikan suap kepada hakim dan jaksa agar
memenangkan perkaranyasehingga dapat mengambil harta orang lain.
c) Fariiqan adalah sebagian atau potongan dari harta.
d) Bil itsmi adalah dengan dosa di sini maknanya adalah dengan suap dan
persaksian palsu yang dilakukan, serta sumpah yang dilakukan oleh orang fajir,
yaitu bersumpah dengan kedustaan agar hakim mengeluarkan putusan yang
salah, namun dikemas dalam bentuk kebenaran.

Pada makna ayat sebelumnya, Allah Ta’ala menerangkan tentang hukum-


hukum yang diturunkan kepada manusia agar mereka bertakwa, dengan melakukan
perintah-perintah Nya dan menjauhi larangan-larangan Nya. Pada ayat ini Allah
menjelaskan tentang hukum memakan harta orang lain secara bathil. Hukumnya
adalah haram. Tidak halal bagi seorang muslim untuk memakan harta saudaranya
tanpa kerelaan darinya. Kemudian Allah ta’ala menyebutkan jenis yang lebih parah
dibandingkan makan harta orang lain secara bathil, yaitu dengan memberikan suap
kepada hakim dan jaksa agar memberikan putusan yang tidak benar kepada lawannya.
Mereka melibatkan hakim dalam memutuskan hukum yang tidak sesuai kebenaran
serta memakan harta saudaranya dengan persaksian dan sumpah palsu. Firman Allah

10
Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munirft al-Aqidah wa asy-Syari'ah wa a/Manha}, (Damsyiq: Dar al-Fikr,
2005), hal. 530

8
Ta’ala,”Dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” Maknanya sedang kalian mengetahui jika
hal itu haram. Hikmah yang bisa diambil dari Qs. Al-Baqoroh ayat 188 diantara lain:

a. Keharaman memakan harta muslim dengan jalan yang tidak benar, baik dengan
mencuri, merampas, menipu, berlaku curang ataupun pemalsuan.
b. Keharaman suap (rasuah) yang dibayarkan kepada hakim agar memberikan
putusan yang tidak sesuai dengan kebenaran.
c. Harta orang kafir yang tidak memerangi umat Islam, seperti harta orang muslim
dari segi keharamannya. Kecuali harta muslim lebih haram untuk diambil
berdasarkan hadits,”Setiap muslim atas muslim lainnya haram darah, jiwa, dan
hartanya.” (HR Muslim) dan berdasarkan firman Allah Ta’ala,”Dan janganlah
kalian memakan harta sebahagian kalian..” Allah Ta’ala menujukan pembicaraan
kepada orang muslim.

Tafsir Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir Riyadh, di bawah pengawasan Syaikh


Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram

Dan janganlah sebagian dari kalian mengambil harta sebagian yang lain secara
batil, seperti mencuri, merampas dan menipu. Juga janganlah kalian mengajukan
gugatan ke penguasa (pengadilan) untuk mengambil sebagian harta orang lain secara
tidak benar, padahal kalian tahu bahwa Allah mengharamkan hal itu. Jadi melakukan
perbuatan dosa disertai kesadaran bahwa perbuatan itu diharamkan akan lebih buruk
nilainya dan lebih besar hukumannya.

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di

Janganlah kalian mengambil harta sebagian kalian, artinya, harta orang lain. Allah
menyandarkan harta itu kepada mereka, karena sepatutnya seorang muslim mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, ia menghormati hartanya
sebagaimana hartanya dihormati, dan karena tindakannya memakan harta orang lain
membuat orang lain akan berani memakan hartanya saat ia mampu.

Dan karena tindakannya memakan harta itu ada dua macam; pertama, dengan hak
dan kedua, dengan batil, dan hal yang diharamkan dari kedua macam itu adalah ketika
ia memakan harta orang lain dengan cara yang batil, maka Allah membatasinya dengan
hal tersebut. Termasuk dalam hal itu adalah memakan harta orang lain dengan cara
pemaksaan, pencurian, penghianatan pada suatu titipan atau pinjaman atau
semacamnya, dan juga termasuk dalam hal itu adalah mengambilnya dengan cara barter
yaitu dengan barter yang diharamkan, seperti akad akad riba, perjudian secara
keseluruhan; semua itu adalah cara memakan harta orang lain dengan batil, karena
bukan dalam bentuk pertukaran imbalan yang dibolehkan. Juga termasuk di dalam hal
ini adalah mengambil dengan cara berbuat curang dalam jual-beli, penyewaan, dan
semacamnya, dan termasuk dalam hal ini juga adalah menggunakan orang-orang
upahan lalu memakan hasil upah mereka. Demikian juga mengambil upah atas suatu
pekerjaan yang belum ditunaikan. Termasuk dalam hal itu juga adalah mengambil upah
terhadap ibadah dan perbuatan-perbuatan ketaatan, dimana semua itu tidaklah menjadi
sah sehingga hanya diniatkan untuk Allah semata. Termasuk dalam hal itu juga adalah

9
mengambil harta harta zakat, sedekah, wakaf, dan wasiat oleh orang yang tidak
memiliki hak darinya atau lebih dari haknya yang semestinya.

Semua itu dan yang semacamnya merupakan bentuk-bentuk memakan harta


dengan batil dan semua itu tidaklah halal dengan segala bentuknya walaupun
perselisihan terjadi padanya atau dibawa ke pengadilan agama, dimana orang yang
hendak memakan harta dengan cara yang batil berdalih dengan hujjah yang
mengungguli hujjah orang yang benar, lalu Hakim memutuskan untuk memenangkan
perkara nya dengan hujjah tersebut. Keputusan hukum dari kalian tidak membolehkan
dan menghalalkan yang telah diharamkan, karena ia hanya menetapkan keputusan atas
dasar apa yang ia dengar. Kalau tidak demikian, maka hakikat segala perkara tetaplah
ada, karena keputusan hakim yang memenangkan orang yang hendak mengambil harta
dengan batil tersebut tidak mendatangkan ketenangan, tidak ada pula keraguan
keraguan (tentang keharaman) bahkan tidak pula rasa lega. Dan barangsiapa yang
mengemukakan di hadapan Hakim hujah-hujah yang batil lalu Hakim memenangkan
perkaranya, maka sesungguhnya hal itu tidaklah halal baginya, dan barangsiapa yang
telah memakan harta orang lain dengan batil dan dosa, sedang ia mengetahui hal itu,
maka hukumannya tentu akan lebih keras.

Dengan demikian, seorang wakil (kuasa hukum atau pengacara) apabila


mengetahui bahwa orang yang mewakilkan nya itu batil dalam gugatannya, maka
tidaklah halal baginya untuk berseteru demi membela seorang yang berkhianat,
sebagaimana firman Allah :"dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat," (Qs. An-nisa ayat 105)

BAB III

10
PENUTUP

Kesimpulan

Surah Al-Baqarah ayat 188 sebagaimana yang telah di sebutkan, kita dapat
menyimpulkan bahwa Allah SWT bermaksud menginformasikan kepada kita tentang
larangannya untuk memakan harta yang haram, serta melarang untuk memberikah Sesuatu
kepada para hakim dengan tujuan menyuap karena akan berimplikasi kepada moral
masyarakat, perekonomian, dan lain sebagainya. Pada saat ini sering kita dengar orang yang
berkata: “Pekerjaan haram itu sudah menjadi lumrah pada saat ini dan kita tidak dapat
melepaskan diri dari hal tersebut.” Pada dasarnya tidaklah demikian, segala pekerjaan itu harus
dimulai dari yang halal dan anggota keluarga harus dapat mengarahkan sang suami agar
mencari harta yang halal agar berkah. Seorang anak yang berani menolak dinafkahi ibunya dari
hasil tari (joget) perut atau bernyanyi, bisa menyadarkan orang tuanya dari perbuatan maksiat
itu. Tak hanya itu, bahkan banyak juga orang menganggap bahwa memberikan sesuatu kepada
seseorang dengan maksud dan tujuan tertentu “pelicin” itu sudah kebiasaan yang hampir sudah
menjadi kebutuhan.

Oleh karena itu, kepemilikan harta di dunia hanya sebagai titipan saja karena pemilik
sesungguhnya hanyalah Allah SWT. semata. Tinggal lagi, tergantung individunya bagaimana
cara ia memperoleh dan menggunakan hartanya, apakah di jalan yang benar, atau di jalan yang
salah.

11

Anda mungkin juga menyukai