Anda di halaman 1dari 45

BAB II

FUNGSI HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN LALU LINTAS

2.1.PENGERTIAN FUNGSI HUKUM


Hukum merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum menjadi suatu kebutuhan dalam
kehidupan sosial dengan mengatur berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, mulai dari pemerintahan hingga sebagai pelindung
kepentingan masyarakat. Hukum juga merupakan bagian dari karya cipta
manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia dan
relevan dengan konsep dari nilai dasar bangsa Indonesia, yaitu sila kedua 7.
Satjipto Rahardjo mengungkapkan bahwa kesadaran yang menyebabkan
bahwa hukum merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan
tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang secara sadar dan aktif
digunakan untuk mengatur masyarakat, melalui penggunaan hukum yang
dibuat dengan sengaja8. Sementara Mochtar Kusumaatmadja menyebutkan
bahwa yang hukum merupakan suatu sistem atau tatanan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang tidak lepas dari masalah keadilan, sehingga
definisi dari hukum yang utuh/ lengkap adalah sistem atau tatanan hukum
dan asas-asas berdasarkan keadilan yang mengatur kehidupan manusia di
dalam masyarakat .
Di samping membahas mengenai pengertian dari hukum, Satjipto
Rahardjo juga mengemukakan 4 (empat) hal yang dapat diberikan oleh
hukum dalam kehidupan bermasyarakat :
1. Hukum merupakan sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan
predikbilitas di dalam kehidupan bermasyarakat;
2. Hukum merupakan sarana pemerintah untuk menetapkan sanksi;

7 Laksanto Utomo, 2012, “Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim
untuk Menciptakan Keadilan, dalam Relfleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia”, Cet. I,
Yogyakarta, Diterbitkan atas Kerjasama Thafa Media dan Asosiasi Sosiologi Hukum
Indonesia Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, hlm. 284.
8 Satjipto Rahardjo. Hukum dalam Perspektif Sejarah dan Perubahan Sosial dalam
Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional. Rajawali Press. Jakarta. 1996.
Hlm. 19.

13
3. Hukum sering dipakai pemerintah sebagai sarana untuk melindungi
melawan kritik;
4. Hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber
daya9.
Joseph Raz, seorang ahli hukum dari Israel pun turut mengemukakan
pendapatnya mengenai fungsi hukum. Joseph menyebutkan setidaknya 4
(empat) fungsi hukum, yaitu10 :
1. Preventing undesirable behaviour
2. Providing facilities for private arrangement between individuals
3. The provisions of service and the redistribution of goods
4. Settling unregulated disputes
Serupa dengan Joseph, N.E. Algra menguraikan 3 (tiga) fungsi hukum
dalam masyarakat, pertama adalah sebagai alat untuk membagikan hak
dan kewajiban di antara para anggota masyarakat. Kedua, untuk
mendistribusikan wewenang guna mengambil keputusan mengenai soal
publik (bukan privat). Ketiga adalah sebagai sebuah aturan yang
menunjukkan suatu jalan bagi penyelesaian pertentangan atau konflik yang
dapat dipaksakan 11 . Selain itu, J.F. Glastra van Loon menyebutkan 6
(enam) fungsi hukum, yaitu12 :
1. Penataan masyarakat, dan pengaturan pergaulan hidup (interrelasi dan
interaksi antar manusia);
2. Penyelesaian pertikaian;
3. Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan-aturan, jika
perlu dengan kekerasan;
4. Pengaturan hal memelihara dan mempertahankan;
5. Pengubahan tata tertib dan aturan dalam rangka penyesuaian pada
kebutuhan masyarakat;

9 ibid. hlm 20
10 Joseph Raz, The Authority of Law, Oxford: Oxford University Press, 1988, hlm 1-2.
11 N.E. Algra (et. al), Mula Hukum, Bandung: Binacipta, 1983, hlm 379-384.
12 B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Bahan Kuliah Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, 1993, hlm 1-2

14
6. Pengaturan hal perubahan tersebut.
Sunaryati Hartono pun turut mengungkapkan pendapatnya mengenai
fungsi hukum, namun dalam konteks pembangunan, yaitu :
1. Pemelihara ketertiban dan keamanan;
2. Sarana pembangunan;
3. Sarana penegak keadilan;
4. Sarana pendidikan masyarakat.
Fungsi hukum tidak dapat berdiri sendiri, perwujudan fungsi hukum
tersebut tidak terlepas dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan
dan bagaimana pelaksanaan yang dilakukan oleh penegak hukumnya.
Penegakan hukum bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian
hukum di dalam kehidupan masyarakat. Penegakan hukum dalam konteks
keadilan secara teoritis dapat dikatakan efektif jika 5 pilar hukum ini
berjalan baik, yaitu13 :
1. Instrumen hukumnya
2. Aparat penegak hukumnya
3. Warga masyarakat yang terkena lingkup peraturan hukum
4. Kebudayaan (legal culture)
5. Sarana dan fasilitas pendukung pelaksanaan hukum
Beberapa pendapat para ahli dalam pendapatnya mengenai fungsi
hukum menyebutkan fungsi menciptakan ketertiban di dalam kehidupan
sosial masyarakat. Hal ini juga yang hendak dicapai melalui penegakan
hukum sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Maka tampak jelas adanya
hubungan antara fungsi hukum dan penegakan hukum. Sudikno
Mertokusumo dalam kaitannya dengan fungsi hukum, menyatakan bahwa
fungsi kaidah hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia.
Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam
masyarakat dan kepastian hukum agar tujuan hukum tercapai, yaitu

13Santoyo, 3 September 2008, “Penegakan Hukum di Indonesia”, Vol. 8 No. 3, Fakultas


Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

15
ketertiban masyarakat14. Fungsi ini pula yang tentu melekat pada setiap
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini. Setiap
perundang-undangan yang dibentuk di Indonesia, dalam pelaksanaannya
harus dapat mewujudkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat.

2.2. FUNGSI UNDANG-UNDANG NOMOR 22/2009 TENTANG LALU


LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN (UU NO. 22/2009) DALAM
PENYELENGGARAAN LALU LINTAS DI INDONESIA
Pada pembahasan di bagian sebelumnya, sudah diuraikan secara jelas
bahwa hukum pada dasarnya merupakan hal yang sudah menjadi bagian
dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri, hukum merupakan
hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan bermasyarakat karena Indonesia
adalah negara hukum. Penegasan Indonesia sebagai negara hukum sudah
ada sejak masa lalu. Di dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) disebutkan bahwa Indonesia menganut
rechtsstaat. Seiring berjalannya waktu, UUD 1945 sudah mengalami
beberapa kali amandemen hingga saat ini namun tidak merubah Indonesia
sebagai negara hukum. Memang istilah rechtsstaat dihilangkan, namun
substansinya terwujud di dalam rumusan UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang
berbunyi “Indonesia adalah negara hukum.”. Tapi Indonesia memiliki
aliran negara hukum yang berbeda, yang dapat dikatakan begitu khas
dibandingkan konsep negara hukum lainnya. Indonesia menganut aliran
negara hukum Pancasila, mengingat bahwa Pancasila merupakan ideologi
dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Intinya, negara hukum Pancasila
berbeda dengan negara hukum lainnya karena dalam hal ini negara hukum
didasari oleh nilai-nilai Pancasila 15 . Hal ini tentu berlaku bagi semua
peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku di Indonesia,

14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996,


hlm. 11
15 MT. Azhary. 2010. “Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”. Cetakan ke-4.
Jakarta: Predia Media Group

16
termasuk dengan UU No. 22/2009 dan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.
Salah satu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan lalu lintas adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang ini
merupakan dasar hukum yang digunakan untuk mengatur kedudukan,
peranan serta pelaksanaan tugas dari Kepolisian Republik Indonesia
(Polri). Fungsi dari kepolisian sendiri tercantum di dalam pasal 2 yang
berbunyi :
“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”
Polri merupakan salah satu lembaga yang menjadi sarana pelaksanaan
fungsi pemerintah, dimana salah satu fungsi pemerintahan yang hendak
dicapai adalah ketertiban masyarakat. Pemeliharaan ketertiban masyarakat
ini merupakan salah satu dari 3 (tiga) tugas pokok Polri. Tugas pokok Polri
ditegaskan di dalam ketentuan pasal 13 yang berbunyi :
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Polri juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan SIM, hal ini
dapat dilihat dari ketentuan pasal 5 ayat (3) huruf e UU No. 22/2009 yang
berbunyi :
“Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan
Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen
dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas oleh Kepolisian
Negara Republik Indonesia.”
Dalam pelaksanaan fungsinya, Polri berada di bawah tanggung jawab
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) selaku pemimpin dari

17
Polri, hal ini tercantum di dalam UU No. 22/2009 pasal 1 angka 40 yang
berbunyi sebagai berikut :
“Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab
penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan masyarakat.”

2.2.1. Tujuan
Di samping fungsi, suatu peraturan perundang-undangan
tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang
diinginkan oleh UU No. 22/2009 tercantum di dalam bagian
menimbang huruf a dan b yang berbunyi sebagai berikut :
“a. bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran
strategis dalam emndukung pembangunan dan integrasi nasional
sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
b.bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem
transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya
untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan
kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka
mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.”
Penjabaran lebih rinci mengenai tujuan dari UU No. 22/2009 termuat
di dalam Pasal 3 huruf a –c yang berbunyi sebagai berikut :
“Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan :
a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda
angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional,
memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan

18
kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat
bangsa;
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi
masyarakat.”
Dari 3 (tiga) tujuan yang disebutkan dalam rumusan pasal diatas,
salah satu tujuan yang diharapkan adalah mewujudkan pelayanan
lalu lintas dan angkutan jalan yang tertib. Di dalam pasal 1 angka 32
UU No. 22/2009, pembuat undang-undang menjelaskan pengertian
dari ketertiban itu sendiri. Yang dimaksud dengan ketertiban dalam
UU No. 22/2009 adalah :
“Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan
berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak
dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.”
Artinya, pembuat undang-undang mengharapkan dengan
diberlakukannya UU No. 22/2009 dapat menciptakan ketertiban
dalam lalu lintas di Indonesia.
UU No. 22/2009 mengatur seluruh aspek yang berkaitan
dengan lalu lintas dan angkutan jalan, mulai dari aspek infrastruktur,
kendaraan, petugas penyelenggara hingga masyarakat sebagai subjek
dari undang-undang ini. Pengaturan aspek-aspek penting dalam
berlalu lintas menjadi faktor penting untuk mewujudkan ketertiban
dalam berlalu lintas.

2.2.2. Ruang Lingkup


Undang-undang dalam keberlakuannya tentu memiliki ruang
lingkup. Ruang lingkup ini bertujuan untuk membatasi daya berlaku
undang-undang yang terkait. Ruang lingkup keberlakuan UU No.
22/2009 tercantum di dalam pasal 4 yang berbunyi :

19
“Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan
menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman,
selamat, tertib, dan lancar melalui:
a. Kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/ atau barang di
Jalan;
b. Kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas
pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. Kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi
Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu litnas,
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”
Jika pengaturan terhadap seluruh ruang lingkup diatas berjalan
dengan baik, tentu tujuan yang diharapkan oleh pembuat undang-
undang dapat terwujud.

2.2.3. Asas-Asas
Di dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa
kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat merupakan media
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar berjalan dengan
tertib. Hukum memiliki fungsi sebagai pengatur keseimbangan
antara hak dan kewajiban masyarakat sebagai makhluk sosial guna
mencapai keadilan. Jeremy Bentham menegaskan hal tersebut
dengan pernyataan16 :
“Hukum barulah diakui sebagai hukum, jika ia memberikan
kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-
banyaknya orang.”
Melihat kepada pentingnya keberadaan dan kedudukan hukum di
dalam masyarakat, tentu pembentukan peraturan dan pelaksanaan
dari hukum tidak bisa dilepaskan dari asas hukum. Asas hukum

16Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan Teori Peradilan Judicialprudence,
Kencana, Makasar, 2007, hlm. 76

20
menjadi sebuah landasan utama dalam pembentukan hukum, dan
hal ini ditegaskan pula oleh Satjipto Rahardjo17 :
“Di tengah-tengah kehilangan suasana kehilangan totalitas
kehidupan dan totalitas jagat ketertiban, oleh karena tergusur oleh
jagat perundang-undangan kerinduan terhadap suasana keutuhan
tetap menyertai manusia yang dewasa ini sudah berhukum dengan
rezim perundang-undangan itu. Kehidupan dan jagat dan jagat
ketertiban yang utuh sudah tergusur oleh jagat perundang-
undangan.
Di tengah-tengah rimba ribuan produk legislasi yang disebut
perundang-undangan ini, kita sudah kehilangan orientasi.
Segalanya sudah menjadi terkotak-kotak, terkeping-keping,
menjadi undang-undang, kelompok undang-undang, bidang-bidang
hukum, yang masing-masing semakin memiliki logikanya sendiri.”
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa asas merupakan sebuah aturan
dasar yang abstrak yang melatar belakangi peraturan yang konkret
beserta pelaksanaan hukum di dalam masyarakat.
Tidak terkecuali UU No. 22/2009, pembentukan dan
pelaksanaannya tidaklah terlepas dari asas yang mendasarinya.
Dalam pelaksanaan undang-undang ini, ada 9 (sembilan) asas yang
menjadi dasar penyelenggaraannya. Asas-asas tersebut tercantum
di dalam pasal 2 yang berbunyi :
“Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan
memperhatikan :
a. Asas transparan;
b. Asas akuntabel;
c. Asas berkelanjutan;
d. Asas partisipatif;
e. Asas bermanfaat;
f. Asas efisien dan efektif;

17 Ibid, hlm. 11

21
g. Asas seimbang;
h. Asas terpadu; dan
i. Asas mandiri.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar atau tolak ukur pelaksanaan
dari setiap ketentuan yang tercantum di dalam UU No. 22/2009.

2.3. FUNGSI HUKUM UU No. 22/2009 TENTANG LALU LINTAS DAN


ANGKUTAN JALAN DALAM MEWUJUDKAN TERTIB
BERLALU LINTAS
Di dalam analisis skripsi ini, penulis fokus kepada fungsi dari UU No.
22/2009 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya dalam
mewujudkan ketertiban berlalu lintas. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), tertib memiliki arti 1. teratur; menurut aturan; rapi 2.
Sopan; dengan sepatutnya 3. Aturan; peraturan yang baik. Sedangkan
ketertiban memiliki arti 1. Peraturan (dalam masyarakat dan sebagainya);
keadaan serba teratur baik 18 . Kata ketertiban atau tertib sendiri banyak
ditemukan di dalam materi muatan undang-undang ini. Artinya ketertiban
merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian khusus di dalam
undang-undang ini. Pengertian ketertiban, dalam hal ini ketertiban dalam
lalu lintas tercantum di dalam pasal 1 nomor 32 yang berbunyi :
“Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan
berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan
kewajiban setiap Pengguna Jalan.”
Sebagai contoh, aspek penyelenggaraan di bidang pengembangan
teknologi bertujuan untuk mewujudkan ataupun menjamin ketertiban. Hal
ini tercantum di dalam pasal 11 yang isinya sebagai berikut :
“Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi :
a. Penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan
teknologi Kendaraan Bermotor;

18 https://kbbi.web.id/tertib diakses pada tanggal 17 Februari 2019, pukul 13.07 WIB

22
b. Pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang
menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan
c. Pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.”
Jika kita memperhatikan lebih dalam, dapat dilihat di dalam huruf c, pasal
11 menekankan bahwa ketentuan pasal 11 harus menjamin beberapa hal,
salah satunya adalah ketertiban.
Contoh lainnya adalah terkait pihak penyelenggara Jalan.
Penyelenggara jalan harus menjaga ketertiban dalam pelaksanaan
tugasnya. Hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) yang
berbunyi :
“Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/ atau
peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan,
Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas.”
Selain kedua contoh diatas, masih banyak ketentuan pasal yang secara
eksplisit menegaskan ketertiban sebagai salah satu hal yang wajib
diwujudkan. Maka dapat dikatakan bahwa UU No. 22/2009 dibentuk
untuk menjalankan fungsi hukum yang salah satu fungsinya adalah
mewujudkan ketertiban di dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya
ketertiban dalam berlalu lintas.
Tapi untuk mewujudkan ketertiban berlalu lintas, mustahil jika hanya
sebatas aturan tertulis saja. Suatu peraturan akan memiliki dampak kepada
masyarakat jika ada penegakan dan pelaksanaan oleh aparat penegak
hukum terhadap masyarakat. Penegakan dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah enforcement. Pengertian enforcement menurut Blak Law
Dictionary adalah the act of putting something such as a law into effect,
the execution of a law. Sementara aparat penegak hukum (law enforcement
officer) memiliki arti those whose duty it is to preserve the peace 19 .
Sedangkan menurut KBBI, penegak adalah yang mendirikan,

19 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O, 1999

23
menegakkan, sementara penegak hukum adalah petugas yang berhubungan
dengan masalah peradilan 20 . Penegakan hukum adalah sebuah langkah
atau usaha yang diambil oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas untuk
menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam masyarakat
dengan menggunakan beberapa perangkat, baik itu peraturan perundang-
undangan hingga aparat penegak hukumnya 21 . UU No. 22/2009 pun
mengatur mengenai aparat penegak hukumnya, mulai dari siapa yang
berwenang, apa saja kewenangannya, hingga sanksi disaat aparat penegak
hukum melakukan pelanggaran.
Oleh karena itu dapat terlihat secara jelas bahwa UU No. 22/2009
menjalankan fungsinya untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat, khususnya dalam hal berlalu lintas. Pengaturan
keseluruhan aspek yang berkaitan dengan lalu lintas dan angkutan jalan,
seperti infrastruktur, kendaraan, pengendara hingga aparat penegak
hukumnya sendiri merupakan langkah yang diambil oleh pembuat
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan ketertiban melalui
pemberlakuan undang-undang tersebut.

2.4. SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM)


Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah dalam mewujudkan
tertib berlalu lintas adalah dengan membuat peraturan tentang Surat Izin
Mengemudi (SIM). SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi yang
diberikan oleh Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan
administrasi, sehat jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas
dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1989: 341), izin adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang, dsb);
persetujuan membolehkan. Sementara menurut E. Utrecht, sesuatu

20 https://kbbi.kata.web.id/penegak-hukum/ diakses tanggal 17 Februari 2019, pukul 13.22


WIB
21 M. Husein Maruapey, 1 Juni 2017, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara”, Jurnal
Ilmu Politik dan Komunikasi, Volume VII No.

24
bersifat izin jika pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu
perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan
dengan cara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit. Izin
(vergunning)adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
Undang-Undang atau peraturan pemerintah untuk daam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-
undangan .
Pengertian lebih lanjut mengenai SIM termuat dalam Peraturan
Kapolri Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi, yaitu pasal
1 angka 4 yang berbunyi :
“Surat Izin Mengemudi yang selanjutnya disingkat SIM adalah tanda
bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian
bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan
keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.”
UU No. 22/2009 pada dasarnya sudah mengatur mengenai
persyaratan-persyaratan, baik secara administratif maupun praktek bagi
orang-orang yang ingin membuat SIM. Namun, Kapolri mengatur
prosedur pembuatan SIM tersebut lebih lanjut dengan diberlakukannya
Perkap No.9/2012. Kedua aturan diatas tentunya tidak hanya mengatur
prosedur yang harus dipenuhi oleh calon pengemudi, tapi juga mengatur
tugas dari aparatur negara yang berwenang dalam penerbitan SIM.

2.4.1. Fungsi SIM


Fungsi SIM dalam UU No. 22/2009 diatur di dalam pasal 4.
Empat fungsi dari SIM adalah sebagai legitimasi kompetensi
pengemudi, identitas pengemudi, kontrol kompetensi pengemudi
dan forensik kepolisian. Yang dimaksud dengan legitimasi
kompetensi pengemudi adalah SIM merupakan bentuk
penghargaan dari negara bagi mereka yang telah lulus dari ujian

25
teori dan ujian keterampilan melalui simulator maupun ujian
praktek. Lalu, identitas pengemudi tentu memuat keterangan
lengkap identitas pengemudi, mulai dari nama, umur, tempat
tinggal dan sebagainya. Selanjutnya kontrol kompetensi pengemudi
adalah sebagai alat yang digunakan oleh kepolisian dalam
penegakan hukum bagi para pengemudi. Terakhir adalah forensik
kepolisian yang bertujuan untuk mendukung kegiatan penyelidikan
dan penyidikan jika terjadi pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas
ataupun tindak pidana lain. Menurut salah satu dosen Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Bambang Widodo, cara untuk
membuktikan atau mengungkap kasus guna mendapatkan
kebenaran yang sesungguhnya22. Yang menjadi penekanan adalah
forensik merupakan cara untuk menemukan alat bukti atau alat
bantu untuk mendapatkan alat bukti, bukan merupakan alat bukti
itu sendiri. UU No.22/2009 juga mencantumkan fungsi dari SIM,
hal ini termuat di dalam pasal 86 ayat (1)-(3) yang berbunyi
sebagai berikut :
“(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi
mengemudi.
(2) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai registrasi Pengemudi
Kendaraan Bermotor yang memuat keterangan identitas lengkap
Pengemudi.
(3) Data pada registrasi Pengemudi dapat digunakan untuk
mendukung kegiatan penyelidikan, penyidikan, dan identifikasi
forensik kepolisian.”

2.4.2. Fungsi SIM Sebagai Instrumen Pemerintahan


Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya tentu melakukan
tindakan-tindakan hukum, baik dalam ranah hukum publik

22 https://polri.go.id/layanan-sim.php diakses tanggal 22 Januari 2019 pukul 22.50 WIB

26
23
maupun privat. Salah satu langkah yang diambil dalam
melaksanakan fungsi peerintahan, pemerintah menggunakan
instrumen-instrumen pemerintahan. Dalam hukum administrasi
negara, instrumen pemerintahan terdiri dari :
1. Instrumen Yuridis :
a. Instrumen peraturan perundang-undangan
b. Instrumen peraturan kebijaksanaan (bleidsregel)
c. Instumen perencanaan (planning)
d. Instrumen keputusan tata usaha negara
e. Instrumen hukum keperdataan
2. Instrumen kepegawaian
3. Instrumen keuangan negara
4. Instrumen benda publik
Terkait dengan UU No. 22/2009 dan SIM sebagai bagian
yang diatur dalam undang-undang tersebut, ini merupakan salah
satu contoh konkrit dari penggunaan instrumen yuridis oleh
pemerintah dalam menjalankan kegiatan pemerintahan dan
kemasyarakatan. Peraturan tentang SIM merupakan tindakan
pemerintah dalam ranah hukum publik yang menjadi instrumen
dalam mewujudkan tertib berlalu lintas di Indonesia. Lebih
spesifik lagi, instrumen yang digunakan pemerintah dalam hal ini
adalah izin. Izin merupakan salah satu instumen yang dikenal
dalam Hukum Administrasi untuk mengarahkan masyarakat
mengikuti cara tertentu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Sebagai suatu instumen hukum, izin berufungsi sebagai alat yang
bertujuan untuk mengarahkan, mengendalikan, merekayasa dan
membentuk masyarakat yang adil dan makmur. Gambaran
masyarakat yang adil dan makmur dapat diketahui melalui izin,

23Farlian Belawa Hurint, 2017, “ Jurnal Pelaksanaan Kewenangan Diskresi Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan”, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

27
dimana persyaratan-persyaratan yang terkandung dalam izin
merupakan pengendali dalam memfungsikan izin itu sendiri.24
Menurut pemahaman ilmu hukum, instrumen perizinan yang
dikeluarkan pemerintah digunakan untuk :25
1. Mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu
2. Mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan oleh aktivitas
tertentu
3. Melindungi objek-objek tertentu
4. Membagi benda-benda yang jumlahnya terbatas
5. Memberikan pengarahan dengan menyeleksi dan atau
aktivitas tertentu
Secara tidak langsung, izin sebenarnya membatasi kebebasan
masyarakat dengan membuat masyarakat mengikuti suatu cara
tertentu. Tentunya kewenangan membatasi yang dimiliki
pemerintah juga tidak boleh melanggar aturan hukum yang
berlaku.
Peraturan tentang SIM pada dasarnya mengarahkan
masyarakat untuk mengikuti tata cara yang ditetapkan dalam UU
No. 22/2009. Masyarakat diarahkan untuk melakukan
serangkaian prosedur sebelum diizinkan untuk mengendarai
kendaraan bermotor di jalan umum. Tindakan ini dilakukan oleh
pemerintah dengan harapan tujuan yang diingiinkan dapat
tercapai, salah satunya adalah mewujudkan tertib berlalu lintas.

2.4.3. Fungsi SIM Sebagai Sarana Pencegahan/ Yuridis Preventif


Dalam pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa SIM
merupakan salah satu contoh konkrit dari instrumen yuridis berupa
izin yang digunakan pemerintah untuk mengatur masyarakat. Begitu
pula dengan tujuan dari izin yang dikeluarkan pemerintah yang salah

24 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 160.
25 http://kampushukum.com/fungsi-dan-tujuan-perizinan-hukum-administrasi/ diakses
tanggal 21 Februari 2019, pukul 00.13 WIB

28
satu tujuannya adalah untuk pencegahan. Peraturan tentang SIM
merupakan salah satu sarana pencegahan atau yuridis preventif yang
digunakan oleh pemerintah. Preventif adalah sebuah tindakan yang
diambil untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan
terjadinya suatu kejadian.26
Calon pembuat SIM harus melalui serangkaian prosedur yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan terkait untuk
mendapatkan SIM. Prosedur tersebut bertujuan untuk menjamin
pengendara memiliki kompetensi mengemudi yang baik sehingga
dapat mengurangi angka kecelakaan yang disebabkan oleh faktor
pengendara. Dalam pembuatan SIM, calon pembuat SIM harus
melalui serangkaian ujian terlebih dahulu. Ujian tersebut dibagi
menjadi dua bagian, yaitu ujian teori dan ujian praktek/ simulator.
Ujian teori mengemudi dimaksudkan untuk menguji pengetahuan
calon pembuat SIM tentang aturan-aturan berlalu lintas dan
berkendara di jalan umum. Sedangkan ujian praktek bertujuan untuk
menguji kemampuan calon pembuat SIM dalam mengendalikan
kendaraan bermotor. Maka dapat dilihat bagaimana fungsi dari SIM
dalam melakukan upaya mencegah terjadinya kecelakaan di jalan
umum yang diakibatkan oleh faktor pengemudi.

2.4.4. Fungsi SIM Sebagai Sarana Pengendalian dan Tolak Ukur


Ketaatan Pengemudi
Di samping fungsi pencegahan atau yuridis preventif, SIM juga
dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sekaligus tolak ukur
ketaatan pengemudi terhadap aturan lalu lintas. Setiap orang yang
memiliki SIM dianggap sudah memahami peraturan lalu lintas yang
berlaku dan mampu berkendara dengan tertib di jalan umum. Oleh
karena itu Polisi dapat memberikan sanksi jika pengendara tidak
mematuhi peraturan lalu lintas yang berlaku saat berkendara.

26https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-preventif.html diakses tanggal 21


Februari 2019, pukul 13.51 WIB

29
Selain itu, SIM juga bisa menjadi tolak ukur ketaatan pengendara
dalam mematuhi peraturan lalu lintas yang berlaku. Dalam
kehidupan sehari-hari, masih sering ditemui pengendara-pengendara
yang memiliki SIM namun melanggar peraturan lalu lintas. Perilaku
pengendara yang memiliki SIM yang masih melakukan pelanggaran
terhadap aturan lalu lintas dapat menjadi tolak ukur ketaatan
seseorang terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku. Aparat
Kepolisian selaku pihak yang berwenang dapat mengukur tingkat
ketaatan pengendara terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku.
Aparat Kepolisian dalam hal ini dapat melakukan razia terhadap
pengendara guna memantau dan memberikan sanksi terhadap
pengendara yang melanggar aturan lalu lintas.

2.4.5. Peran Koordinasi dalam Pelaksanaan Fungsi SIM


Koordinasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh berbagai
pihak yang sederajat untuk memberikan informasi dan bersama
mengatur atau menyepakati sesuatu, sehingga proses pelaksanaan
tugas dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses
27
pelaksanaan tugas dan keberhasilan pihak yang lainnya.
Handayaningrat mengemukakan bahwa koordinasi dapat dibagi
menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :28
1. Koordinasi intern, yang terdiri atas koordinasi vertikal, koordinasi
horizontal, dan koordinasi diagonal.
2. Koordinasi ekstern termasuk koordinasi fungsional yang bersifat
horizontal
Di dalam pelaksaaan fungsi hukum tentu tidak dapat
dilepaskan dari peran berbagai pihak. Setiap pihak tentunya
memiliki peran masing-masing dalam menyokong pelaksanaan
fungsi hukum yang optimal. Untuk menyelaraskan setiap fungsi

27 http://www.pengertianpakar.com/2015/07/pengertian-koordinasi-dan-tujuan-
koordinasi.html diakses tanggal 21 Februari 2019, pukul 15.23 WIB
28 Moekijat, Koordinasi (Suatu Tinjauan Teoritis), Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 32.

30
tersebut dibutuhkan koordinasi diantara para pihak. Hal ini juga
berlaku terhadap pelaksanaan dari peraturan dan fungsi SIM.
Pelaksanaan fungsi SIM tidak terlepas dari peran pihak-pihak lain
yang tentunya memiliki fungsi masing-masing.
Yang pertama adalah pihak penegak hukum yang dalam hal ini
adalah Kepolisian. Kepolisian memegang fungsi penting dalam
penegakan aturan yang tercantum di dalam UU No. 22/2009.
Kepolisian memegang beberapa kewenangan dalam pelaksanaan
fungsi dan penegakan peraturan SIM. Kewenangan yang dimaksud
berupa penyidikan, pengawasan, pembuatan SIM hingga penegakkan
sanksi terhadap pengendara yang melanggar aturan lalu lintas.
Kedua adalah pihak yang terkait dengan perhubungan.
Kementrian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub RI)
merupakan lembaga yang memiliki tugas penyelenggaraan di bidang
perhubungan. Kemenhub RI pada dasarnya membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Kemenhub RI
memiliki fungsi sebagai berikut :29
1. Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dak
kebijakan teknis di bidang perhubungan;
2. Pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perhubungan;
3. Pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Departemen Perhubungan;
4. Pengawasan dan pelaksanaan tugas di bidang perhubungan;
5. Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di
bidang tugas dan fungsi bidang perhubungan kepada Presiden.
Kemenhub RI memiliki susunan organisasi yang memiliki
fungsional masing-masing dalam melaksanakan tugas dan fungsi
utama dari Kemenhub RI. Berikut adalah susunan organisasi
Kemenhub RI :

29 http://ppid.dephub.go.id/index.php?page=profile&categori=Tugas-dan-Fungsi diakses
tanggal 21 Februari 2019, pukul 21.06 WIB

31
1. Sekretaris Jenderal;
2. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat;
3. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut;
4. Direktorat Jenderal Perhubungan Udara;
5. Inspektorat Jenderal;
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan;
7. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan;
8. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek;
9. Staff Ahli Bidang Lingkungan Perhubungan;
10. Staff Ahli Bidang Teknologi dan Energi Perhubungan;
11. Staff Ahli Bidang Regulasi dan Keselamatan Perhubungan;
12. Staff Ahli Bidang Multimoda dan Kesisteman Perhubungan; dan
13. Staff Ahli Bidang Ekonomi dan Kemitraan Perhubungan.
Dari susunan organsisasi Kemenhub RI tersebut, lembaga yang
sangat erat kaitannya dengan SIM adalah Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat). Ditjen Hubdat merupakan
lembaga yang berada di bawah Kemenhub RI yang menjalankan
tugas dan fungsi Kemenhub RI di bidang perhubungan darat. Selain
berpedoman kepada tugas dan fungsi Kemenhub RI, Ditjen Hubdat
juga memiliki tugas dan fungsinya sendiri. Tugas yang dijalankan
oleh Ditjen Hubdat adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan
dari standarisasi teknis di bidang perhubungan darat. 30 Selanjutnya
fungsi yang dijalankan oleh Ditjen Hubdat adalah sebagai berikut :31
1. Penyiapan perumusan kebijakan Departemen Perhubungan di
bidang transporatsi jalan, transportasi sungai, danau dan
penyebrangan, transportasi perkotanan serta keselamatan
transportasi darat;

30 http://hubdat.dephub.go.id/profil-hubdat/visi-dan-misi, diakses tanggal 21 Februari


2019, pukul 21.17 WIB
31 Ibid.

32
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang transportasi jalan, transportasi
sungai, danau dan penyebrangan, transportasi perkotaan serta
keselamatan transportasi darat;
3. Penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur di
bidang transportasi jalan, transportasi sungai, danau dan
penyebrangan, transportasi perkotaan serta keselamatan
transportasi darat;
4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
5. Pelaksanaan administrasi di lingkungan Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat.
Lalu tujuan yang hendak dicapai Ditjen Hubdat adalah :32
1. Peningkatan keselamatan dan keamanan pelayanan transportasi
darat;
2. Pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana transportasi darat
yang menjangkau masyarakat dan wilayah Indonesia;
3. Peningkatan kualitas operator/ penyedia jasa di transportasi darat
yang memiliki kualitas prima di dalam manajemen produksi;
4. Peningkatan daya saing pelayanan transportasi darat sehigga
mampu berkompetisi dengan moda lainnya;
5. Pertumbuhan pembangunan transportasi darat yang merata dan
berkelanjutan
6. Penciptaan pembangunan transportasi darat yang terintegrasi
dengan moda lainnya.
Tugas dan fungsi yang dijalankan oleh Ditjen Hubdat sebagai
lembaga di bidang perhubungan memiliki hubungan yang erat
dengan fungsi dari SIM. Pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai
adalah mewujudkan ketertiban berlalu lintas, baik SIM yang
berfokus kepada sisi pengendara dan Kemenhub RI melalui lembaga
Ditjen Hubdat yang fokus kepada moda transportasi beserta teknis
perhubungan darat. Dengan adanya koordinasi yang baik diantara

32 Ibid.

33
bidang perhubungan dan SIM, tentu perwujudan ketertiban berlalu
lintas dapat tercapai.

34
BAB III
PENGATURAN SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) DALAM
KAITANNYA DENGAN TERTIB BERLALU LINTAS

3.1.TERTIB BERLALU LINTAS


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tertib berarti teratur,
menurut aturan, rapi, sopan, dengan sepatutnya, aturan, peraturan yang
baik. 33 Jika dikaitkan dengan lalu lintas, maka tertib berlalu lintas
memiliki arti tindakan mematuhi, turut kepada aturan berlalu lintas.
Seperti yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya, peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan lalu lintas adalah UU No.
22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Fungsi dari pelaksanaan
undang-undang tersebut adalah sebagai upaya pemerintah untuk
mewujudkan tertib berlalu lintas. Salah satu hal yang menjadi objek aturan
UU No. 22/2009 adalah Surat Izin Mengemudi (SIM). SIM menjadi salah
satu instrumen yang digunakan undang-undang untuk mewujudkan tertib
berlalu lintas. Oleh karena itu pada bagian selanjutnya akan dibahas
mengenai kaitan pengaturan SIM dalam mewujudkan tertib berlalu lintas.

3.2.PENGATURAN SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) DALAM


MEWUJUDKAN TERTIB BERLALU LINTAS
SIM adalah bukti registrasi dan identifikasi yang diberikan oleh Polri
kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat
jasmani dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil
mengemudikan kendaraan bermotor. SIM menjadi bukti bahwa
pengendara yang sudah memiliki SIM memang berkompetensi untuk
berkendara di jalan umum. UU No. 22/2009 juga mengatur prosedur
pembuatan SIM sebagai bagian dari upaya mewujudkan tertib berlalu
lintas.

33 https://kbbi.web.id/tertib, diakses tanggal 22 Februari 2019, pukul 08.36 WIB.

35
3.2.1. Prosedur Pembuatan SIM
Indonesia tentu memiliki dasar hukum yang digunakan untuk
mengatur mengenai prosedur pembuatan SIM. Dasar hukum yang
digunakan dalam prosedur pembuatan dan penerbitan SIM adalah
sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan
dan Pengemudi
4. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik
Indonesia
5. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan
Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara
Republik Indonesia
6. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi
Di Indonesia, prosedur pembuatan SIM tidak begitu ketat jika
dibandingkan dengan prosedur pembuatan SIM negara Selandia
Baru yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya. Pada dasarnya,
dengan memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan dan
persyaratan usia, seseorang sudah dapat mendapatkan SIM. Hal
tersebut tercantum di dalam UU No. 22/2009 pasal 81 ayat (1) yang
berbunyi :
“Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia,
administratif, kesehatan, dan lulus ujian.”

36
Syarat pertama yang harus terpenuhi adalah syarat usia. Di
dalam pasal 81 ayat (2) diatur mengenai syarat usia yang ditentukan
untuk setiap golongan SIM. Untuk SIM A, C dan D, usia paling
rendah yang harus dipenuhi oleh calon pembuat SIM adalah 17
(tujuh belas) tahun. Lalu untuk SIM B I, usia paling rendah yang
harus dipenuhi adalah 20 (dua puluh) tahun, dan untuk SIM B II,
usia paling rendah yang harus dipenuhi adalah 21 (dua puluh satu)
tahun.
Selanjutnya, syarat kedua yang harus dipenuhi adalah syarat
administratif. Yang dimaksud dengan syarat administratif adalah
identitas diri berupa KTP, pengisian formulir permohonan dan sidik
jari (pasal 81 ayat (3). Namun tetap ada syarat-syarat khusus yang
harus dipenuhi oleh calon pembuat SIM kendaraan dengan golongan
tertentu.
Syarat ketiga yang harus dipenuhi adalah syarat kesehatan.
Seperti yang tercantum di dalam pasal 81 ayat (4), syarat kesehatan
yang dimaksud adalah sehat jasmani dengan surat keterangan dari
dokter dan sehat rohani yang ditandai dengan adanya surat lulus tes
psikologis.
Lalu, syarat keempat yang harus dipenuhi adalah syarat lulus
ujian yang terdiri dari ujian teori, ujian praktek dan/atau ujian
keterampilan melalui simulator (pasal 81 ayat (5)).
Dalam Perkap No. 9/2012, SIM kembali digolongkan
berdasarkan tingkat kompetensi pengemudi, fungsi kendaraan
bermotor dan besaran berat bermotor. Hal ini tercantum di dalam
pasal 5 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :
“SIM digolongkan berdasarkan perbedaan tingkat kompetensi
Pengemudi yang dipersyaratkan untuk setiap fungsi Ranmor dan
besaran berat Ranmor.”
Baik UU No. 22/2009 dan Perkap No. 9/2012 menggolongkan SIM
menjadi 5 golongan, yaitu :

37
1. Golongan A : berlaku untuk mengemudikan mobil penumpang
dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan tidak melebihi 3.500 (tiga ribu lima ratus)
kilogram;
2. Golongan B I : berlaku untuk mengemudikan mobil
penumpang dan barang perseorangan dengan jumlah berat yang
diperbolehkan lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
3. Golongan B II : berlaku untuk mengemudikan kendaraan alat
berat, kendaraan penarik, atau kendaraan bermotor dengan
menarik kereta tempelan atau gandengan perseorangan dengan
berat yang diperbolehkan untuk kereta tempelan atau gandengan
lebih dari 1.000 (seribu) kilogram;
4. Golongan C : berlaku untuk mengemudikan sepeda motor;
5. Golongan D : berlaku untuk mengemudikan kendaraan khusus
bagi penyandang cacat.
Dalam Perkap No. 9/2012 mengatur lebih spesifik mengenai
spesifikasi kendaraan bermotor untuk setiap golongan SIM.
Penggolongan SIM sendiri dibagi dua, baik SIM perseorangan
seperti golongan diatas maupun SIM untuk kendaraan umum
(Perkap No. 9/2012 pasal 5 ayat (2)). SIM Umum dibagi menjadi 3
golongan, yaitu golongan SIM A Umum, B I Umum dan B II
Umum. Perbedaan syarat yang dimiliki oleh golongan-golongan
SIM diatas adalah sebagai berikut:
1. Syarat usia paling rendah yang diberlakukan untuk SIM
golongan A,C dan D adalah 17 tahun, sedangkan untuk SIM
golongan B I adalah 20 tahun dan golongan B II adalah 21
tahun.
2. Syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh calon pembuat SIM
golongan B I dan B II adalah sebagai berikut :

38
a. Untuk calon pembuat SIM golongan B I, calon pembuat
SIM sudah harus memiliki SIM golongan A sekurang-
kurangnya 12 (dua belas) bulan.
b. Untuk calon pembuat SIM golongan B II, calon pembuat
SIM sudah harus memiliki SIM golongan B I sekurang-
kurangnya 12 (dua belas) bulan.
3. Untuk golongan SIM A Umum, B I Umum dan B II Umum
harus memenuhi syarat tambahan sebagai berikut :
a. Untuk calon pembuat SIM golongan A Umum, calon
pembuat SIM harus memiliki SIM A sekurang-kurangnya
12 (dua belas) bulan.
b. Untuk calon pembuat SIM golongan B I Umum, calon
pembuat SIM harus memiliki SIM B I atau SIM A Umum
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
c. Untuk calon pembuat SIM golongan B II Umum, calon
pembuat SIM harus memiliki SIM B II atau SIM B I Umum
sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan.
Di dalam pasal 77 ayat (3) disebutkan bahwa calon pengemudi
harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh
melalui pendidikan dan pelatihan ataupun belajar sendiri untuk
mendapatkan SIM. Kompetensi menurut Spencer & Spencer dalam
Moeheriono adalah karakteristik yang mendasar seseorang
berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya
atau karakteristik dasar individu yang dimiliki hubungan kausal
atau sebagai sebab akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan,
efektif atau berkinerja prima atau superior di tempat kerja atau
pada situasi tertentu. Sedangkan menurut Wibowo, kompetensi
sendiri memiliki arti sebagai suatu kemampuan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan yang dilandasi atas keterampilan
dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut
oleh pekerjaan tersebut. Melihat kepada pendapat para ahli diatas

39
mengenai pengertian kompetensi, dapat dilihat bahwa kedua
pendapat diatas membahas suatu dasar atau landasan. Dasar atau
landasan ini ditujukan agar seseorang dapat melaksanakan sesuatu
sesuai kriteria ataupun situasi tertentu. Jika dikaitkan dengan
kompetensi mengemudi yang diisyaratkan oleh undang-undang
untuk dimiliki calon pembuat SIM, maka kompetensi tersebut
berkaitan dengan kemampuan dasar ataupun keterampilan dasar
agar kelak pengemudi yang memiliki SIM dapat mengemudikan
kendaraan bermotor sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh
undang-undang.
Selanjutnya, dalam undang-undang disebutkan bahwa salah
satu cara memperoleh kompetensi mengemudi adalah melalui
lembaga pendidikan yang terakreditasi pemerintah. Pendidikan dan
pelatihan menurut Sondang P. Siagian adalah sebagai berikut34 :
“Pendidikan adalah keseluruhan proses, teknik dan metode
mengajar dalam rangka mengalihkan sesuatu pengetahuan dari
seseorang kepada yang lain dengan standar sebelumnya.
Sedangkan pelatihan adalah juga proses belajar menggunakan
teknik dan metode tertentu.”
Artinya lembaga mengemudi membuat seseorang mendapatkan
kompetensi mengemudi dengan memberikan suatu pengetahuan
tentang mengemudi dengan teknik dan metode tertentu. Di
Indonesia, Kemendikbud mengeluarkan kurikulum khusus untuk
latihan mengemudi tingkat pemula. Kurikulum tersebut berjudul
Kurikulum Kursus dan Pelatihan Mengemudi Kendaraan Bermotor
Unutk Pemula Jenjang II Berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia, Indonesian Qualification Framework, dan Peraturan
Presiden No. 8 Tahun 2012. Dasar hukum yang digunakan untuk
kurikulum ini adalah :

34 Sondang P. Siagian, 1992, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta.

40
1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
3. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun
2015 tentang Standar Nasional Pendidikan
4. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia
5. Instruksi Presiden RI No. 4 Tahun 2013 tentang Program
Dekade Aksi Keselamatan Jalan
6. Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin
Mengemudi
7. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 131 Tahun
2014 tentang Standar Kompetensi Lulusan Kursus dan
Pelatihan
8. Pedoman Penyusunan Kurikulum Kursus dan Pelatihan Tahun
2014.
Kurikulum tersebut mencantumkan mengenai profil lulusan, yang
memiliki artian profil orang yang sudah melalui rangkaian
kurikulum tersebut. Selanjutnya adalah capaian pembelajaran
yang memuat hal-hal yang kelak dicapai oleh peserta diklat
mengemudi setelah melalui proses diklat. Lalu di dalam
kurikulum tersebut juga memuat mengenai bahan kajian, daftar
modul hingga rencana pembelajarannya.
Kurikulum diatas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
acuan yang jelas mengenai teknik, metode dan standar yang
digunakan oleh setiap lembaga diklat mengemudi dalam
mendidik calon pengemudi yang ingin mendapatkan kompetensi
dasar mengemudi.

41
Undang-undang tidak mewajibkan calon pembuat SIM
perorangan untuk mengikuti diklat di lembaga pendidikan yang
terakreditasi pemerintah. Namun khusus untuk SIM Umum, calon
pengemudi diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan
pengemudi angkutan umum sebagaimana diatur di dalam pasal 77
ayat (4).

3.2.2. Masa Berlaku Surat Izin Mengemudi (SIM)


Masa berlaku SIM adalah 5 sebagaimana diatur di dalam
pasal 11. Untuk prosedur perpanjangan SIM termuat di dalam
pasal 28 ayat (1) sampai (3). Perpanjangan sendiri dilakukan
sebelum masa berlaku SIM tersebut berakhir, dan jika tidak
dilakukan sebelum masa berlaku SIM berakhir, maka pemilik
SIM diharuskan untuk mengajukan pembuatan SIM baru dan
mengikuti kembali prosedur pembuatan SIM. Kekuatan berlaku
SIM dapat hilang jika :
a. Habis masa berlakunya;
b. Dalam keadaan rusak dan tidak terbaca lagi;
c. Diperoleh dengan cara tidak sah;
d. Data yang terdapat dalam SIM diubah; dan/atau
e. SIM dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

3.2.3. Sanksi
Sanksi pidana penderitaan atau nestapa yang dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-
unsur syarat tertentu. Roeslan Saleh menekankan bahwa pidana
adalah reaksi atas delik, dan berwujud nestapa yang dengan
sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.35
Terkait dengan pelanggaran saat berkendara, di saat seseorang
melakukan sebuah pelanggaran, maka SIM pelanggar akan

35Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung,
Ula, 2009. Hlm 8.

42
diberikan tanda pelanggaran. Pemberian tanda pelanggaran pada
SIM ini dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Hal ini tercantum di dalama Pasal 89 ayat (1) UU No.. 22/2009
yang berbunyi sebagai berikut :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang memberikan
tanda atau data pelanggaran terhadap Surat Izin Mengemudi
milik Pengemudi yang melakukan pelaggaran tindak pidana Lalu
Lintas.”
Ketentuan pidana terkait pelanggaran terhadap UU No. 22/2009
tercantum di dalam bab XX. Saat mengemudikan kendaraan
bermotor di jalan umum, pengendara wajib membawa SIM. Bagi
para pengendara yang tidak membawa SIM akan dikenakan
sanksi pidana, hal ini diatur di dalam pasal 281 UU No. 20/2009
yang berbunyi :
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan
yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 3 (empat) bulan atau denda paling banyak
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).”
Jika memperhatikan rumusan undang-undang terkait, sanksi
pidana yang tercantum dalam undang-undang bersifat fakultatif.
Sanksi yang diberikan berupa kurungan atau denda. Di samping
pidana kurungan dan denda, sanksi yang dapat diberikan adalah
sanksi berupa pencabutan SIM, baik sementara ataupun
permanen. Aturan terkait pencabutan SIM tercantum di dalam
Pasal 74 Perkap No. 9/2012 ayat (1) dan (2) yang berbunyi
sebagai berikut :
“(1) Dalam hal pelanggaran lalu lintas telah mencapai bobot
nilai 12 (dua belas), SIM dicabut sementara sebagai sanksi
tambahan atas dasar putusan pengadilan.

43
(2) Dalam hal bobot nilai pelanggaran lalu lintas, sebagaimana
disebut pada ayat (1), telah mencapai 18 (delapan belas), SIM
dicabut sebagai sanksi tambahan atas dasar putusan
pengadilan.”
Pencabutan SIM tersebut dilakukan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai pihak yang berwenang. Kewenangan
tersebut diatur di dalam UU No. 22/2009, tepatnya dalam pasal
89 ayat (2) yang berbunyi :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang unutuk
menahan sementara atau mencabut Surat Izin Mengemudi
sementara sebelum diputus oleh pengadilan.”
Dari beberapa peraturan perundang-undangan diatas, yang
paling berkaitan erat dengan pembuatan, pendidikan dan pelatihan
SIM adalah UU No. 22/2009 dan Perkap No. 9/2012. Selain itu,
dari semua peraturan perundang-undangan diatas dapat dilihat
bahwa yang memiliki wewenang dalam pembuatan SIM adalah
Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

44
BAB IV
FUNGSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG
BERKENAAN DENGAN SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) DALAM
MEWUJUDKAN TERTIB BERLALU LINTAS

4.1. PENYELENGGARAAN TERTIB BERLALU LINTAS


Situasi lalu lintas yang tertib merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh
pemerintah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah menggunakan
produk hukum sebagai instrumen penyelenggaraan tertib berlalu lintas.
Produk hukum yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang
dibuat untuk mengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu, dalam
hal ini adalah tertib berlalu lintas. Dalam hal ini, pemerintah membentuk
UU No. 22/2009 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya sebagai
dasar hukum lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia. Tidak hanya
sebatas membentuk peraturan perundang-undangannya saja, banyak faktor
yang mempengaruhi pengoptimalan penyelenggaraan tertib berlalu lintas
tersebut.
Pertama adalah aspek peraturan perundang-undangan itu sendiri. Kualitas
suatu peraturan perundang-undangan tentu sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan tertib berlalu lintas di Indonesia. Hal ini dikarenakan
peraturan perundang-undangan merupakan instrumen pemerintah untuk
mewujudkan ketertiban berlalu lintas. Peraturan perundang-undangan di
Indonesia haruslah bersumber kepada Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai dasar hukum dari segala
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dibuat
haruslah memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan hukum adalah alasan
mengapa adanya hukum materiil dan juga hukum formiil. Tujuan inilah
yang mengarahkan setiap pelaksanaan dari materi muatan peraturan
perundang-undangan yang ada. UU No.22/2009 dibentuk dengan beberapa
tujuan dan salah satunya adalah untuk menciptakan ketertiban dalam
lingkup lalu lintas dan angkutan jalan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan-

45
rumusan pasal yang di dalamnya banyak dicantumkan bahwa tujuan dari
pasal tersebut adalah untuk ketertiban. Tujuan umum yang hendak dicapai
oleh UU No. 22/2009 pun tercatum di dalam rumusan pasalnya
sebagaimana sudah dibahas pada bab sebelumnya. Rumusan pasal UU No.
22/2009 yang mencantumkan tujuan dari undang-undang tersebut
menunjukkan bahwa UU No. 22/2009 dibentuk dengan tujuan yang jelas.
Selain itu, undang-undang tersebut dibentuk karena lalu lintas dan dan
angkutan jalan memiliki peranan yang penting dalam pembangunan dan
integrasi nasional. Kedua hal itu merupakan dari upaya pemerintah dalam
memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, materi muatan yang
dibuat harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai oleh undang-undang
tersebut.
Selanjutnya peraturan perundang-undangan juga harus memperhatikan
masalah efektifitas dan daya guna saat ditegakkan di dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini bertujuan agar setiap peraturan perundang-undangan
yang dibuat atas dasar apa yang dibutuhkan masyarakat dan efektif untuk
mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan oleh
peraturan perundang-undangan. Intinya suatu peraturan perundang-
undangan haruslah dibuat dengan memperhatikan asas-asas yang tercantum
di dalam UU No. 12/2011 agar peraturan perundang-undangan tersebut
dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat, dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat dan tentunya membantu pemerintah
dalam usaha mencapai tujuan yang hendak dicapai. Berkaitan dengan
penyelenggaraan tertib beralu lintas di Indonesia, maka materi muatan
terkait undang-undang berlalu lintas harus dibentuk seefektif mungkin
dengan memperhatikan kondisi lalu lintas di Indonesia. Efektifitas suatu
peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama
adalah faktor hukum itu sendiri seperti yang sudah diuraikan pada bagian
sebelumnya. Kedua adalah faktor penegakan hukum sebagai bentuk
pelaksanaan dari materi muatan peraturan perundang-undangan tersebut.
Penegakan hukum sendiri sangat berkaitan dengan penyelenggara negara

46
selaku pihak yang diberikan tugas oleh pemerintah pusat untuk menjalankan
tugas penegakan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga adalah
faktor sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Keempat adalah masyarakat selaku subjek dari
peraturan perundang-undangan yang dibentuk. Masyarakat juga memegang
peranan penting dalam efektifitas peraturan perundang-undangan. Peran
masyarakat yang dimaksud adalah kesadaran hukum masyarakat dan
kepatuhan masyarakat terhadap aturan yang berlaku.
Penyelenggara negara adalah pihak yang menegakan ketentuan yang
tercantum dalam hukum. Penyelenggara negara sendiri merupakan pejabat
negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif dan
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. (UU No. 28/1999). Terkait dengan pelaksanaan fungsi UU No.
22/2009, Pemerintah pusat menunjuk Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
sebagai pihak penyelenggaranya. Artinya, Polri juga memegang peranan
penting dalam upaya penyelenggaraan tertib berlalu lintas dengan
kewenangannya menegakkan aturan yang tercantum di dalam UU No.
22/2009. Tanpa adanya penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri,
undang-undang yang dibentuk menjadi sia-sia karena tidak ada wujud
kongkrit penegakan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya
sebatas penegakkannya saja, dalam penegakkan undang-undang pun harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam UU No. 22/2009
diatur pula mengenai dan kewenangan dari Polri dalam menjalankan fungsi
undang-undang tersebut. Artinya di samping faktor Polri selaku
penyelenggara negara, pelaksanaan fungsi penyelenggara yang sesuai
undang-undang pun menjadi faktor penting dalam penyelenggaraan tertib
berlalu lintas di Indonesia. Fungsi UU No. 22/2009 dalam upaya
penyelenggaraan tertib berlalu lintas sangat bergantung kepada
penyelenggara negaranya. Penyelenggara negara yang menjalankan
fungsinya sesuai dengan aturan yang berlaku akan menunjang upaya

47
penyelenggaraan tertib berlalu lintas yang menjadi tujuan dari UU No.
22/2009.
Lalu aspek selanjutnya adalah mengenai kesadaran masyarakat terhadap
hukum. Peraturan perundang-undangan dibuat dan ditegakkan di dalam
kehidupan bermasyarakat dengan tujuan agar masyarakat menaati ketetuan
yang diatur di dalam suatu peraturan perundang-undangan. Penegakkan
aturan oleh penyelenggara negara memang penting, namun kesadaran
hukum masyarat juga tidak kalah penting. Soerjono Soekanto menyebutkan
bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat
dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada.36 Inti dari kesadaran hukum adalah kesadaran masyarakat
tentang fungsi dari hukum yang diberlakukan di dalam kehidupan
bermasyarakat. Kesadaran hukum inilah yang mendorong masyarkat untuk
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Semakin
tinggi kesadaran hukum masyarakat, meningkat juga kepatuhan masyarakat
terhadap hukum. Tentunya kesadaran hukum masyarakat juga berpengaruh
terhadap penyelenggaraan tertib berlalu lintas melalui UU No. 22/2009. Di
saat masyarakat memahami dan menyadari fungsi dari UU No. 22/2009
dalam upaya mewujudkan ketertiban berlalu lintas, maka proses
penegakkan oleh penyelenggara negara akan lebih mudah. Hal ini
dikarenakan masyarakat menyadari betul fungsi hukum UU No. 22/2009
yang salah satunya adalah untuk menciptakan ketertiban berlalu lintas.
Selanjutnya adalah sanksi yang ditegakan atas pelanggaran aturan
berlalu lintas. Sanksi pada dasarnya diberikan untuk memberikan efek jera
kepada pelanggar agar tidak mengulangi kembali perbuatannya. Sanksi
yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan bukan sekedar alat
untuk menyiksa para pelanggar, melainkan sebagai alat untuk membentuk
masyarakat yang tertib dan taat dengan aturan yang berlaku. Begitu pula
dengan aturan terkait lalu lintas, sanksi yang diberikan haruslah dapat
memberikan efek jera dan mengedukasi pelanggar agar memahami

36 Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press

48
kesalahannya, memahami aturan yang berlaku dan mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran lain di waktu yang akan datang.
Terakhir adalah mengenai aspek sarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Secara tidak langsung, sarana lalu lintas dan angkutan jalan memiliki
pengaruh yang cukup penting dalam penyelenggaraan tertib berlalu lintas.
Pembangunan sarana lalu lintas dan angkutan jalan sendiri memang menjadi
bagian dari tuags pemerintah dan diatur di dalam UU No. 22/2009. Sarana
yang dimaksud adalah rambu-rambu lalu lintas, marka jalan, penerangan
jalan, lampu lalu lintas dan sebagainya. Sarana dan prasarana inilah yang
menunjang penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Pembangunan sarana dan
prasarana yang menjadi salah satu materi muatan undang-undang
menunjukkan pentingnya sarana lalu lintas dalam lingkup lalu lintas dan
angkutan jalan. UU No. 22/2009 dan peraturan perundang-undangan terkait
lainnya sebaiknya lebih memperketat regulasi sarana dan prasarana lalu
lintas. Peraturan perundang-undangan pun mengatur mengenai pihak-pihak
yang berwenang dalam pembuatan sarana lalu lintas di Indonesia, dan
tentunya sarana tersebut memiliki standar tertentu yang dianggap memadai
untuk menunjang ketertiban berlalu lintas. Contohnya adalah rambu-rambu
lalu lintas dan lampu lalu lintas yang dibuat dengan kualitas yang baik dan
jelas, sehingga dapat dengan mudah dilihat oleh para pengguna jalan. Selain
itu juga pemberdayaan teknologi bisa menjadi salah satu opsi untuk upaya
penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Di jaman modern ini, hampir seluruh
kegiatan manusia mengandalkan teknologi yang semakin hari semakin
canggih. Hal ini pula yang hendaknya dimanfaatkan dalam pelaksanaan
fungsi peraturan perundang-undangan, khususnya dalam penyelenggaraan
tertib berlalu lintas. Contoh yang dapat dilakukan adalah dengan
menempatkan kamera pengawas di tempat-tempat yang strategis untuk
memantau aktifitas para pengguna jalan, memasang alat pengukur kecepatan
untuk memantau kendaraan yang melaju melebihi batas kecepatan, ataupun
teknologi lain yang dapat membantu fungsi dari sarana dan prasarana
tersebut. Pemberdayaan teknologi yang baik tentunya akan membantu

49
pelaksanaan tugas pemerintah dan penyelenggara negara dalam
penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Tanpa adanya sarana dan prasarana
tersebut tentunya akan menciptakan kekacauan dalam berlalu lintas dan
menghambat tercapainya tertib berlalu lintas. Selain itu, sarana dan
prasarana juga menjadi salah satu hal yang dapat menumbuhkan kesadaran
hukum pada masyarakat. Sarana dan prasarana merupakan salah satu bentuk
kongkrit dari aturan lalu lintas yang termuat di dalam peraturan perundang-
undangan. Sarana dan prasarana ini memberikan petunjuk bagi masyarakat
agar dapat berlalu lintas dengan tertib. Diharapkan dengan adanya sarana
dan prasarana yang disediakan pemerintah, masyarakat dapat memahami
maksud dan tujuan sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah.
Jika masyarakat sudah menyadari betul fungsi dari keseluruhan aturan lalu
lintas yang berlaku maka penyelenggaraan tertib berlalu lintas dalam
kehidupan bermasyarakat akan berjalan dengan baik.

4.2. FUNGSI SURAT IZIN MENGEMUDI (SIM) DALAM


PENYELEGGARAAN TERTIB BERLALU LINTAS
Pada pembahasan sebelumnya sudah disinggung mengenai faktor-
faktor penting yang menunjang penyelenggaraan tertib berlalu lintas.
Salah satu faktornya adalah mengenai peraturan perundang-undangan itu
sendiri. UU No. 22/2009 merupakan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan tertib berlalu lintas, dan
SIM menjadi salah satu bagian yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Aturan tentang SIM sendiri merupakan salah satu langkah yang diatur oleh
pemerintah untuk menciptakan ketertiban berlalu lintas. UU No. 22/2009
mengatur secara jelas mengenai prosedur pembuatan SIM seperti yang
sudah diuraikan pada bab sebelumnya, prosedur ini menjadi tolak ukur
kemampuan seseorang dalam berkendara. Sehingga para pengendara yang
sudah memiliki SIM diharapkan dapat berkendara dengan tertib sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, ada

50
beberapa fungsi lain yang tentunya bertujuan untuk menciptakan
ketertiban berlalu lintas.
Fungsi yang pertama adalah sebagai instrumen pemerintahan.
Pemerintah membentuk UU No. 22/2009 sebagai instrumen pemerintah
dalam menyelenggarakan ketertiban berlalu lintas. SIM sendiri menjadi
instrumen pemerintahan yang fokus kepada sisi pengendara, mengingat
faktor pengendara merupakan hal yang sangat penting dalam
penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Memang untuk mendapatkan SIM,
seseorang harus melalui prosedur tertentu untuk menetukan layak atau
tidaknya seseorang memiliki SIM dan diperkenankan berkendara di jalan
umum. Harapannya adalah dengan adanya SIM, pemerintah dapat
mengendalikan para pengemudi agar dapat berkendara dengan tertib.
Namun jika kita berkaca kepada data statistik angka kecelakaan di
Indonesia, faktor kecelakaan paling besar diakibatkan oleh pengemudi.
Hal ini menjadi sebuah permasalahan yang cukup penting, karena SIM
seharusnya menjadi instrumen untuk membentuk pengendara yang tertib
berlalu lintas. Namun realita yang terjadi di dalam masyarakat sejauh ini
belum menunjukkan peranan SIM dalam menciptakan ketertiban berlalu
lintas.
Kedua adalah fungsi pencegahan atau fungsi yuridis preventif. Calon
pembuat SIM harus melalui serangkaian prosedur yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan terkait untuk mendapatkan SIM. Prosedur
tersebut bertujuan untuk menjamin pengendara memiliki kompetensi
mengemudi yang baik sehingga dapat mengurangi angka kecelakaan yang
disebabkan oleh faktor pengendara. Dalam pembuatan SIM, calon
pembuat SIM harus melalui serangkaian ujian terlebih dahulu. Ujian
tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu ujian teori dan ujian praktek/
simulator. Ujian teori mengemudi dimaksudkan untuk menguji
pengetahuan calon pembuat SIM tentang aturan-aturan berlalu lintas dan
berkendara di jalan umum. Sedangkan ujian praktek bertujuan untuk
menguji kemampuan calon pembuat SIM dalam mengendalikan kendaraan

51
bermotor. Saat seseorang sudah melalui prosedur dan dinyatakan lulus,
maka orang tersebut sudah dianggap mampu berkendara dengan baik.
Namun kembali lagi kepada realita yang terjadi di dalam masyarakat,
dimana angka kecelakaan paling tinggi diakibatkan oleh faktor
pengemudi. Bahkan dari tahun ke tahun, angka kecelakaan yang
diakibatkan oleh faktor pengemudi masih tetap tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa langkah preventif yang dilakukan pemerintah hingga
saat ini masih belum menunjukkan hasil yang baik. Jika langkah
pencegahan yang dilakukan pemerintah memang sudah baik, seharusnya
berbanding lurus dengan menurunnya angka kecelakaan yang diakibatkan
oleh faktor pengemudi. Sehingga dapat terlihat bahwa fungsi SIM sebagai
langkah yuridis preventif dalam upaya penyelenggaraan tertib berlalu
lintas masih kurang optimal.
Ketiga adalah fungsi pengendalian atau pengukur ketaatan
pengendara dalam berlalu lintas. Di samping fungsi pencegahan atau
yuridis preventif, SIM juga dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian
sekaligus tolak ukur ketaatan pengemudi terhadap aturan lalu lintas. Setiap
orang yang memiliki SIM dianggap sudah memahami peraturan lalu lintas
yang berlaku dan mampu berkendara dengan tertib di jalan umum. Oleh
karena itu Polisi dapat memberikan sanksi jika pengendara tidak mematuhi
peraturan lalu lintas yang berlaku saat berkendara. Selain itu, SIM juga
bisa menjadi tolak ukur ketaatan pengendara dalam mematuhi peraturan
lalu lintas yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, masih sering
ditemui pengendara-pengendara yang memiliki SIM namun melanggar
peraturan lalu lintas. Perilaku pengendara yang memiliki SIM yang masih
melakukan pelanggaran terhadap aturan lalu lintas dapat menjadi tolak
ukur ketaatan seseorang terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku.
Aparat Kepolisian selaku pihak yang berwenang dapat mengukur tingkat
ketaatan pengendara terhadap peraturan lalu lintas yang berlaku dengan
melakukan razia terhadap pengendara guna memantau dan memberikan
sanksi terhadap pengendara yang melanggar aturan lalu lintas. Tindakan

52
razia terhadap pengendara merupakan langkah yang tepat dalam
penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Dengan adanya pemberian sanksi
terhadap pelanggar tentunya dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar
agar tidak mengulang kembali perbuatannya. Tidak berhenti sampai disitu,
sanksi yang diatur terhadap pelanggaran berlalu lintas sejauh ini dapat
dikatakan masih kurang memperhatikan sisi edukasi terhadap pelanggar.
Sanksi yang diatur di dalam UU No. 22/2009 hanya berupa denda dan
kurungan, selain itu ada sanksi pencabutan sementara SIM sebagai sanksi
tambahan dari putusan pengadilan. Sebaiknya sanksi yang diberikan lebih
menekankan aspek edukasi bagi pelanggar, misalnya seperti sanksi yang
diberlakukan di Selandia Baru dengan mencabut SIM pelanggar dan
mengahruskan pelanggar untuk menjalani tes terkait aturan berlalu lintas
untuk kembali mendapatkan SIM. Memang Indonesia mengatur mengenai
pencabutan SIM yang diatur lebih khusus di dalam Perkap No. 9/2012,
namun ketentuan mengenai pencabutan SIM tersebut masih terasa kurang
jelas dan ketat. Contohnya seperti ketentuan yang menyebutkan jika
pelanggaran sudah mencapai bobot nilai tertentu, maka SIM akan dicabut
sementara sebagai sanksi tambahan dari putusan pengadilan. Namun tidak
ada penjelasan lebih lanjut mengenai tolak ukur penghitungan bobot
pelanggaran untuk mencabut SIM pelanggar. Hal ini menunjukkan aturan
sanksi pencabutan SIM yang masih abstrak sehingga kurang menjamin
kepastian hukum bagi pelanggar.
Keempat adalah koordinasi antar sektor-sektor yang berkaitan
dengan pelaksanaan fungsi SIM.. Koordinasi menjadi hal yang sangat
penting karena lalu lintas dan angkutan jalan merupakan sebuah sistem
dan hal ini ditegaskan pada pasal 1 angka 1. Sistem tersebut terdiri dari
lalu lintas, angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan dan
pengelolanya. Bahkan di dalam penjelasan UU No. 22/2009 disebutkan
bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada semangat bahwa
penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sifatnya lintas sektor,
sehingga harus dilaksanakan secara terkoordinasi oleh para pembina

53
beserta para pemangku kepentingan (stakeholders). Dimulai dari
koordinasi dengan penyelenggara negara selaku pengelola undang-undang,
yaitu Polri. Pelaksanaan tugas dan kewenangan Polri dalam prosedur
pembuatan SIM dan penegakkan aturan merupakan peranan yang penting
dalam penyelenggaraan tertib berlalu lintas. Dengan adanya koordinasi
yang baik dalam lembaga Polri dalam pelaksanaan aturan tentang SIM
akan membantu tercapainya tujuan ketertiban berlalu lintas yang dicita-
citakan.
Selanjutnya adalah sektor perhubungan yang sangat erat kaitannya
dengan lalu lintas dan angkutan jalan. Kualitas sarana dan prasarana lalu
lintas dan angkutan jalan yang dibangun berpengaruh kepada ketertiban
berlalu lintas. Sarana dan prasarana yang dimaksud seperti kualitas jalan
umum yang baik, pemasangan marka jalan, lampu lalu lintas dan sarana
prasarana lain yang berkaitan dengan lalu lintas dan angkutan jalan.
Pengawasan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana lalu lintas juga
dapat dijadikan upaya pencegahan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Menurut Sondang. P. Siagian, pengawasan merupakan keseluruhan upaya
pengamatan pelaksanaan kegiatan operasional guna menjamin bahwa
berbagai kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan
37
sebelumnya. Artinya untuk menjamin pembangunan sarana dan
prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, perlu dilakukan pengawasan agar
berjalan dengan baik.
Selain itu koordinasi dengan sektor perindustrian, khusunya industri
kendaraan bermotor juga menjadi hal yang penting. Pihak industri
kendaraan bermotor juga haruslah memproduksi kendaraan yang
berkualitas dan dapat menjamin keamanan pengendara. Di zaman modern
ini, fitur-fitur yang dimiliki oleh kendaraan semakin beragam. Tidak
terkecuali dengan fitur-fitur keamanan yang dipersiapkan oleh produsen
kendaraan. Para produsen kendaraan bermotor juga melakukan inovasi-
inovasi yang dapat meningkatkan keamanan pengendara saat berkendara

37 Siagian, Sondang, 1998. Manajemen Stratejik. Bumi Aksara, Jakarta.

54
di jalan umum. Contoh saja fitur airbag sebagai peredam benturan untuk
pengemudi dan penumpang saat terjadi kecelakaan mobil, atau ABS
system (Anti-Lock Braking System) yang mencegah roda kendaraan
terkunci saat melakukan pengereman yang cukup keras, atau bahkan
memperkuat rangka dari kendaraan itu sendiri. Untuk wilayah Asia
Tenggara, dikenal program New Car Assessment Program for Southeast
Asian Countries (ASEAN NCAP). Program tersebut adalah pengujian
daya tahan kendaraan baru saat mengalami kecelakaan lalu lintas yang
dilakukan dengan melakukan simulasi kecelakaan terhadap mobil
bersangkutan. Program tersebut memiliki target untuk meningkatkan
standar keselamatan kendaraan, kewaspadaan pengendara dan juga
memacu produsen kendaraan untuk memproduksi kendaraan yang lebih
aman di wilayahnya masing-masing.38 Program ini sudah ada sejak bulan
Desember 2011 dan mulai mempublikasikan hasil penelitiannya pada
bulan Januari 2013. 39 Sejauh ini Indonesia masih menganut ASEAN
NCAP dalam mengukur kualitas kendaraan baru yang dijual di pasar
Indonesia. Sementara hukum di Indonesia sejauh ini hanya melakukan
upaya pengujian berkala kendaraan bermotor untuk memantau kelayakan
kendaraan bermotor yang beroperasi. Uji kelayakan ini pun hanya terbatas
kepada kendaraan umum, bus, mobil barang, dan beberapa jenis kendaraan
lain sebagaimana diatur di dalam pasal 53. Artinya koordinasi yang
dilakukan dengan sektor industri sejauh ini masih kurang dari cukup.
Sejauh ini masih belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara jelas mengenai standar keamanan kendaraan bermotor yang harus
dipenuhi oleh produsen kendaraan bermotor di Indonesia. Jika sejauh ini
Indonesia masih mengandalkan pengujian kualitas keamanan kendaraan
dengan program negara lain, akan menjadi lebih baik jika pemerintah
mulai memberlakukan program tersebut di Indonesia, atau paling tidak

38 http://www.aseancap.org/v2/?page_id=2304, diakses tanggal 8 Maret 2019, pukul 10.58 WIB


39 ibid.

55
program pengujian tersebut dijadikan bagian dari peraturan perundang-
undangan lalu lintas dan angkutan jalan.
Selanjutnya adalah sektor kesehatan yang dalam prakteknya menjadi
salah satu syarat dalam pembuatan SIM. Setiap orang yang hendak
membuat SIM diharuskan memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan
undang-undang. Hal ini dikarenakan kesehatan sangat berpengaruh kepada
kemampuan seseorang dalam berkendara. Kesehatan pengendara juga
tidak dapat dipisahkan dari faktor usia pengendaranya. Semakin tua usia
seseorang, maka semakin menurun pula kondisi fisik seseorang. Morris
dan Hopkin menyatakan bahwa permasalahan usia tua tidak terlepas dari
kondisi kesehatan secara fisik yang berpengaruh kepada kemampuan
40
berkendaranya. Hal tersebut juga yang seharusnya menjadi dasar
pertimbangan terhadap isu akan diberlakukannya SIM dengan jangka
waktu seumur hidup. Kondisi kesehatan dan kemampuan seseorang dalam
berkendara akan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia orang
tersebut. Jika SIM memiliki jangka waktu seumur hidup, maka akan
timbul keraguan mengenai fungsi SIM sebagai alat bukti kompetensi
berkendara. Di saat kompetensi berkendara pemegang SIM diragukan,
maka fungsi SIM dalam menciptakan ketertiban berlalu lintas pun turut
diragukan. Sistem jangka waktu SIM yang diatur selama 5 tahun dan dapat
diperpanjang merupakan sebuah keputusan yang bijak dalam
menyelenggarakan ketertiban berlalu lintas. Para pemilik yang ingin
memperpanjang masa berlaku SIM-nya akan kembali melalui tes
kesehatan sebagai cara untuk mengetahui kemampuan berkendara
seseorang dari sudut pandang medis. Maka koordinasi dengan sektor
kesehatan sangatlah penting guna menjamin para pengendara yang
memiliki SIM berada dalam kondisi kesehatan yang baik dan dapat
berkendara dengan baik. Sebaiknya tes kesehatan yang dilakukan oleh
Polri, baik saat pembuatan SIM maupun perpanjangan masa berlaku SIM

40 http://www.roadsafetygb.org.uk/misc/fckeditorFiles/file/downloads/IAMOlderdrivers.pdf,
diakses tanggal 6 Maret 2019, pukul 13.23 WIB

56
harus dilakuan dengan ketat. Sejauh ini prosedur tes kesehatan yang
dilakukan masih sederhana, hanya ada beberapa prosedur tes kesehatan
yang dilakukan, seperti tes pengelihatan, tes darah, dan sebagainya.
Dengan pengawasan medis yang lebih ketat dalam proses pembuatan
ataupun perpanjangan SIM tentu akan menjamin kondisi pengendara yang
lebih baik untuk berkendara di jalan umum. Jika kondisi pengendara
berada dalam kondisi yang baik, maka hal tersebut dapat menunjang upaya
penyelenggaraan tertib berlalu lintas.
Terakhir adalah keturut sertaan masyarakat dalam penyelenggaraan
tertib berlalu lintas. Seperti yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya,
bahwa masyarakat juga memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan tertib berlalu lintas yang dilakukan oleh pemerintah
melalui peraturan perundang-undangan dan penyelenggara negaranya.
Selain masyarakat harus mematuhi aturan lalu lintas yang berlaku,
masyarakat juga sebaiknya berperan aktif dalam penegakan aturan lalu
lintas. Memang masyarakat tidak punya kewenangan untuk mengadili, tapi
masyarakat memiliki hak untuk melaporkan jika menemukan tindakan
yang melanggar aturan lalu lintas. Polri menyediakan metode pelaporan
pelanggaran aturan lalu lintas secara online untuk mempermudah
masyarakat, yaitu dengan dibuatnya website Layanan Aspirasi dan
Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!). Masyarakat dapat mengakses
website https://www.lapor.go.id atau mengunduh aplikasi LAPOR! di
smartphone untuk mengirimkan laporannya kepada instansi terkait.
Dengan fasilitas yang sudah disediakan oleh penyelenggara negara,
masyarakat seharusnya terpacu untuk lebih aktif lagi dalam
penyelenggaraan tertib berlalu lintas.

57

Anda mungkin juga menyukai