Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menciptakan perdamaian dan ketentraman dalam lingkungan

masyarakat tidak sederhana apa yang kita katakan, namun dalam

masyarakat harus ada keinginan yang dicapai kemudian hukum dijadikan

sebagai suatu alat untuk merubah tingkah laku masyarakat agar terbawa

kearah tujuan yang dikehendaki. Dalam kehidupan sosial, suatu

masyarakat terutama masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari

hukum, sebagaimana frasa yang sering kita dengar yaitu Ibi societas, Ibi

Ius (dimana ada masyarakat, di situ ada hukum) oleh karena itu Indonesia

menjadi negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat).1 Dalam kehidupan

bermasyarakat terjadi interaksi antara individu dengan individu lainnya,

kelompok dengan kelompok lainnya dan seterusnya. Hubungan tersebut

dapat menimbulkan hak dan kewajiban antara satu dengan yang lainnya.

Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban itu telah diatur dalam

peraturan atau hukum yang disebut hubungan hukum. Oleh karena itu

dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat

demi mencapai ketertiban umum.2

Indonesia disebut sebagai Negara Hukum berdasarkan Pasal 1

Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Hukum

bersumber dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat baik yang sifatnya

1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenanda Media Group,
2013), hal. 41.
2
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Pidana Adat, (Jakarta:Paradnya, 2012), hal. 5.

1
tertulis maupun tidak tertulis, di mana sumber hukum yang tidak tertulis

ini banyak sekali ditemui di Indonesia. Wujud dari hukum tidak tertulis ini

berupa hukum adat yang eksistensinya tetap diakui sebagai sebuah norma

dan mempunyai daya ikat dan sanksi sebagaimana dalam Pasal 18B Ayat

(2) Undang-Undang Dasar Republik indonesia 1945 menyebutkan bahwa:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat


beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang”.

Berdasarkan Pasal tersebut dapat dipahami bahwa negara

Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan hukum adat sebagai

salah satu aturan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, selama

hukum adat tersebut masih berlaku didalam kehidupan masyarakat dan

tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia sebagai sumber hukum juga mengakui

eksistensi hukum adat sebagai salah satu bentuk hukum yang berlaku

dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia, yang mana hal

ini ditunjukkan dalam Pasal 6 Ayat (1)

Undang-Undang tersebut yang menentukan bahwa:3

“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan


kebutuhan dalam Masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa

3
Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembar Negara
Republik IndonesiaTahun 1999 Nomor 165), Pasal 6.

2
hukum adat dipandang sebagai prasarana yang digunakan oleh Masyarakat

Hukum Adat dalam memenuhi “hak adat” mereka. Hukum adat harus

diperhatikan dan dilindungi keberadaannya baik oleh hukum, masyarakat,

maupun pemerintah sehingga eksistensi atau keberadaan hukum adat

dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia dapat terus

dijaga.

Hukum adat yang merupakan hukum yang tumbuh dalam

masyarakat Indonesia, wujudnya adalah berupa kaidah-kaidah hukum

yang bangkit dan tumbuh dari dalam dan disebabkan oleh pergaulan hidup

manusia. Jadi keseluruhan norma

dan kaidah hukum adat timbul seiring dengan dinamika hubungan antar

manusia. Keseluruhan hubungan interaksi manusia dengan manusia

lainnya disebut pergaulan hidup manusia. Susunan pergaulan hidup

manusia akan menentukan sifat dan corak daripada kaidah hukum, untuk

dapat memahami sistem hukum adat sehingga dapat ditumbuhkan nilai

dari kaidah- kaidah menurut proporsinya, maka terlebih dahulu harus

dipahami sifat dan struktur susunan masyarakat di dalam mana hukum

adat itu tumbuh.4

Hukum adat bersifat sederhana karena ketentuannya lahir dari

pemikiran, tingkah laku dan kehidupan masyarakat yang juga sederhana,

namun di sisi lain hukum adat juga bersifat terbuka sehingga hukum adat

juga bercorak dapat berubah dan menyesuaikan (dinamis). Hukum adat

4
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan ke-3
(Bandung: PT Alumni, 2014), hal. 7.

3
lahir dan berlaku ditengah kehidupan masyarakat, sehingga hukum adat

juga ikut berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat tempat

hukum adat itu berlaku.5

Dalam perspektif hukum adat, hukum adat merupakan perwujudan

atau konkretisasi dari kesadaran hukum, khususnya pada masyarakat

dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana. Masyarakat patuh pada

hukum adat disebabkan oleh tiga hal, yaitu:6 pertama disebabkan oleh

pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kemudian oleh

lingkungan sosial yang menghendakinya, dan yang terakhir disebabkan

karena seseorang menganggapnya sebagai sesuatu yang sebanding atau

adil.

Salah satu aturan hukum lain yang mengatur kehidupan

bermasyarakat adalah hukum pidana. Didalam lapangan hukum pidana,

ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat yaitu

hukum pidana yang berbentuk peraturan tertulis yang bersumber pada

KUHP dan peraturan lainnya. Kemudian hukum pidana yang tidak tertulis

ataupun berupa kebiasaan yaitu hukum pidana adat.7

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law)

mengatur tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang

hidup ditengah masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya

5
Desi Apriani, “Urgensi Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”,
Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau”, Vol. 05 No. 01, Tahun 2014, hal. 7.
6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hal. 338-
339.

7
Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Ersesco, 2020), hal. 5-6.

4
ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk memulihkan

ketenteraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi adat. Dalam

mempertahankan hukum pidana adat, dimana setiap permasalahan dapat

diselesaikan secara tuntas, terhadap setiap permasalahan yang ada dan

yang mungkin ada, karena hukum pidana adat lebih mengutamakan

tercapainya tujuan, yaitu kebersamaan daripada memegang teguh suatu

ketentuan yang telah ditentukan oleh Negara.8

Di dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (3) sub b Undang-Undang

Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil (LN 1951 Nomor 9) dinyatakan bahwa:9

“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum


meteriil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula
daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh
Pengadilan Adat, ada tetap berlaku bagi kaula-kaula dan orang itu”

Menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (3) sub b UU Drt. Nomor 1 Tahun

1951 tersebut telah menegaskan dasar hukum dan eksistensi keberlakuan

hukum pidana adat di Indonesia. Ada tiga konklusi dasar dari ketentuan

Pasal 5 Ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952,

yaitu:

1. Tindak pidana adat yang tiada bandingan dalam KUHP dimana

sifatnya dianggap tindak pidana adat ringan ancaman pidananya

8
Ibid., hal. 15.
9
Indonesia, Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan
Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-
Pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9), Pasal 5.

5
adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan atau

denda sebanyak lima ratus rupiah, sesuai dengan ketentuan Pasal 30

KUHP.

2. Tindak pidana adat dalam KUHP maka ancaman pidananya ada

dalam KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di

Bali atau Mapangaddi (Bugis), Zina (Makasar) yang sebanding

dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP.

3. Sanksi adat dalam konteks di atas dapat dijadikan pidana pokok dan

atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili, dan

memutus perbuatan yang menurut hukum hidup (living law) .

Penyelesaian terhadap suatu perkara dengan hukum adat

merupakan penyelesaian perkara yang sangat efektif jika di tinjau secara

sosial. Artinya, kemungkinan suatu perkara dapat selesai sangatlah besar.

Hal ini karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan hukum adat yang

berlaku dibandingkan dengan hukum nasional/positif. Selain biayanya

relatif murah juga tidak merepotkan, artinya tidak perlu memikirkan

prosedur yang sangat membingungkan. Oleh karena itu terhadap

penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi dalam masyarakat seperti

terhadap pencurian ringan, penganiayaan ringan, maka penyelesaian dapat

diselesaikan secara adat oleh lembaga adat.

Tindak pidana pencurian dengan nilai barang relatif kecil dapat

masuk ke pengadilan dikarenakan pada saat ini Penuntut Umum (PU)

mendakwa para terdakwa pencurian ringan menggunakan Pasal 362

6
KUHP dan bukan Pasal 364 KUHP karena batasan pencurian ringan yang

diatur dalam Pasal 364 KUHP terbatas pada barang atau uang yang

nilainya di bawah Rp. 250,- (Dua Ratus Lima Puluh Rupiah). Nilai

tersebut tentunya sudah tidak relevan lagi dengan situasi saatini, karena

hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah Rp 250,-. Atas dasar

pemikiran tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan

Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, dengan

harapan penanganan tindak pidana ringan seperti pencurian ringan,

penganiyaan ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan dan sejenisnya

dapat ditangani secara proporsional dan dapat menjangkau rasa keadilan

masyarakat.10

Masyarakat hukum adat merupakan kesatuan manusia sebagai satu

kesatuan, menetap di daerah tertentu mempunyai penguasa-penguasa,

kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud dimana para anggota

kesatuan hidup dalam masyarakat yang merupakan kodrat para

anggotanya tidak berpikir untuk membubarkan ikatan tersebut atau

melepaskan diri dari ikatan itu menurut pendapat Ter Haar.11 Berdasarkan

definisi yang dikemukakan oleh Ter Haar tersebut, dapat dikataan bahwa

unsur utama keberadaan masyarakat hukum adat yaitu: merupakan

kesatuan manusia yang teratur, menetap diatas daerah tertentu,

10
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2018),
hal. 123.
11
Djamanat Samosir, Hukum Adat Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum di
Indonesia, (Bandung: NuansaAulia, 2013), hal. 73-73

7
mempunyai penguasa, mempunyai kekayaan baik berwujud maupun tidak

berwujud, adanya wilayah dengan batas-batas teritorial tertentu,

keterikatan kelompok tersebut didasarkan pada kesamaan tempat tinggal

atau keturunan. 12
Dengan demikian berdasarkan unsur-unsur/ ciri-ciri

pembentuk masyarakat hukum adat dalam rumusan tersebut, bahwa

eksistensinya hanya berdasarkan ketiga kriteria, yakni sekelompok orang

yang terikat dalam tatanan hukum adatnya, warga masyarakat hukum adat,

dan masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau

keturunan.13

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012

mengatur Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah

Denda dalam KUHP, Pasal 1 “Kenaikan nilai denda yang tercantum dalam

Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penipuan ringan), Pasal 379

(penggelapan ringan), Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 KUHP yakni

sebesar Rp.250 menjadi Rp 2.500.000,- (Dua Juta Lima Ratus Ribu

Rupiah), jumlah maksimum nilai (kerugian) hukuman denda dalam

KUHP, kecuali Pasal 303 Ayat (1), (2), Pasal 303 bis Ayat (1), Ayat (2),

dilipatgandakan (dikalikan) menjadi seribu kali. Perma ini untuk

menghindari penerapan pasal pencurian, penipuan biasa terhadap perkara

pencurian/ penggelapan ringan, sehingga tidak perlu ditahan dan diajukan

upaya hukum kasasi dan pemeriksaannya dilakukan dengan acara cepat.14

12
Ibid.
13
Ibid, hal.76.
14
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Penyelesaian Batas Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Dendan dalam KUHP, hal. 2

8
Dalam rangka untuk memberikan keadilan yang diharapkan,

dibutuhkan penyelesaian yang kooperatif dan kompromi untuk mencari

solusi yang bersifat win-win solution. Salah satu cara yang dapat ditempuh

adalah dengan menerapkan konsep Restorative Justice (keadilan

restoratif). Konsep pendekatan Restorative Justice merupakan suatu

pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan

dan keseimbangan bagi korban dan pelaku.15

Keadilan restorative yang dikemukakan oleh Ridwan Mansyur

adalah proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana, dimana

proses ini menekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban

dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan pelaku, serta

melibatkan pelaku dan korban secara aktif dan langsung didalam

penyelesaiannya.16 Salah satu penyelesaian perkara pidana dengan

pendekatan keadilan restoratif yang diterapkan di Indonesia adalah

mediasi. Pada umumnya di Indonesia kita mengenal mediasi sebagai

bentuk pilihan penyelesaian sengketa dalam bidang hukum perdata, namun

dalam perkembangannya mediasi dapat dipergunakan pada menyelesaikan

perkara- perkara pidana, yang lebih dikenal dengan Mediasi Penal.17

Pengaturan mengenai Mediasi penal dapat ditemukan di dalam

15
Afthonul Afif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), hal. 341-350.
16
Ridwan Mansyur, “Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Sistem Peradilan
Pidana dalam Perspektif Restorative Justice”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 05 Edisi No. 3,
Tahun 2016, hal. 442.
17
Dewi dan Fatahillah, Mediasi Penal, (Depok: Indie Publishing, 2011), hal. 86.

9
ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pada Pasal 1 angka 7 UU SPPA

dinyatakan bahwa, Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak

dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Lebih

lanjut lagi pada Pasal 6, disebutkan bahwa tujuan dari dilakukannya

diversi adalah sebagai berikut:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan Anak;


b. Menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Berdasarkan pengetian dan tujuan mediasi penal di atas, terkesan

kuat adanya pengertian “mediasi penal”, walaupun UU SPPA tidak secara

tegas menggunakan istilah “mediasi”.

Mediasi penal dapat dijadikan alternatif penyelesaian perkara

pidana di luar jalur penal. Mediasi penal sering dinyatakan sebagai “the

third way” atau “the third path” dalam upaya “crime control and criminal

justice system” dan telah digunakan di beberapa negara.18 Selain itu,

penyelesaian damai dan mediasi di bidang hukum pidana sebenarnya

sudah dikenal dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sudah menjadi

kearifan lokal di berbagai daerah dan hukum adat di Indonesia. 19 Dengan

keberadaan mediasi penal menurut hukum pidana adat ini setidaknya

memberikan harapan terhadap kebijakan hukum pidana mendatang akan

18
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Pidana Di Luar Pengadilan,
(Semarang: Pustaka Magister, 2012), hal. 51.
19
Ibid., hal. 52.

10
lebih memberikan perhatian lebih terhadap nilai-nilai sosial yang tumbuh

dan berkembang di dalam masyarakat.

Sebagai contoh kasus pencurian ringan yang dilakukan oleh Reza

Taufik alias Reza Bin Kusnan telah terbukti secara sah mengambil 2 (dua)

tandan buah kelapa sawit dan 1 (satu) buah agrek di Desa Rimpin Dusun

III RT/RW 007/003, Kecamatan Lubuk Batu Jaya, Kabupaten Indragiri

Hulu. Berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 16/Pid.C/2021/PN Rgt

telah terpenuhi unsur dari Pasal 364 KUHPidana “perbuatan yang

diterangkan pada Pasal 362 dan Pasal 363 butir ke-5 KUHPidana apabila

tidak dilakukan di dalam sebuah rumah atau perkarangan tertutup yang ada

di rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima

rupiah diancam dengan pencurian ringan dengan pidana paling lama tiga

bulan atau pidana denda dua ratus lima puluh rupiah”. Dan Undnag-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana serta

peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dia mengakui

perbuatannya menyatakan menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi

korban pun memaafkan perbuatan Reza Taufik dan besedia berdamai atau

diselesaikan dengan mediasi penal/berdasarkan Surat Keputusan

Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum Nomor

1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative

Justice di Lingkungan Peradilan Umum, mengatur mengenai alternatif

penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara

peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses

11
dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama

menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan

seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan

pemulihan kembali keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan

baik dalam masyarakat. Bahwa pada tanggal 13 Agustus 2021 telah

dituangkan dalam kesepakatan perdamaian yang dibuat dihadapan Hakim

dan ditandatangani oleh korban dan terdakwa di dalam persidangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

kajian lebih lanjut dan menuangkannya dalam bentuk proposal skripsi

dengan judul “Penerapan Mediasi Penal Sebagai Upaya Penyelesaian

Perkara Tindak Pidana Ringan Ditinjau Dari Hukum Pidana Adat.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian

perkara tindak pidana ringan ditinjau dari Hukum Pidana Adat?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi penal?

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yakni, diharapkan

mediasi penal dapat menjadi salah satu penyelesaian hukum

12
perkara tindak pidana ringan ditinjau dari Hukum Pidana Adat.

b. Tujuan yang ingin di capai dalam penulisan skripsi ini yaitu,

untuk menganalisa dan mempelajari apa saja yang menjadi

landasan pelaksanaan mediasi penal.

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan teoritis :

Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan kegunaan teori

dengan memberikan sebuah wawasan serta meningkatkan

kemampuan dan pemahaman baru tentang teori-teori penyelesaian

perkara tindak pidana ringan.

b. Kegunaan praktis :

1) Bagi Penulis selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana hukum, harapannya melalui penulisan ini dapat

menambah wawasan penulis tentang penyelesaian perkara

tindak pidana ringan.

2) Bagi Penegak Hukum

Dapat memberikan kontribusi pemikiran dan pemahaman bagi

penegak hukum/kepolisian dalam menjalankan kewajibannya

terkait penyelesaian perkara tindak pidana ringan.

3) Masyarakat

Untuk memberikan wawasan ilmu pengetahuan bagi

masyarakat dibidang ilmu hukum, khususnya mengenai

penyelesaian perkara tindak pidana ringan sesuai dengan

13
konstitusi dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

D. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka berpikir yang berasal

dari latar belakang Penulis dalam mengangkat kasus yang sedang dikaji

Penulis, dengan kerangka konseptual maka penulis dapat lebih

memfokuskan arah penelitiannya sehingga menjadi lebih jelas. Adapun

kerangka konseptual yang Penulis tuangkan dalam berbagai pengertian

sebagai berikut:

Menurut Purwanto dan Sulistyastuti, penerapan atau implementasi

intinya adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to

deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementor kepada

kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan

kebijakan.20

Martin Wright mengartikan Mediasi penal sebagai 21 “a process in

which victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial

third party, either directly (face- to-face) or indirectly via the third party,

enabling victim(s) to express their needs and feelings and offender(s) to

accept and act on their responsibilities”. (suatu proses di mana korban dan

pelaku kejahatan saling bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak

ketiga baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan

menggunakan pihak ketiga sebagai penghubung, memudahkan korban

20
Purwanto dan Sulistyastuti, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2012,) hal. 21.
21
Ahmad Ubbe, “Peradilan Adat dan Keadilan Restoratif”, Jurnal Media Hukum Nasional,
Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013, hal. 8.

14
untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan

juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung jawab atas

perbuatannya).

Arti kata upaya adalah usaha, ikhtiar (untuk mencapai suatu

maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar, daya upaya). 22

Poerwadarminta mengatakan bahwa upaya adalah usaha untuk

menyampaikan maksud, akal dan ikhtisar. Peter Salim dan Yeni Salim

mengatakan upaya adalah “bagian yang dimainkan oleh guru atau bagian

dari tugas utama yang harus dilaksanakan.23 Berdasarkan pengertian di

atas dapat diperjelas bahwa upaya adalah bagian dari peranan yang harus

dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu.

Rachmadi Usman mengatakan bahwa penyelesaian hukum atau

penyelesaian sengketa terbagi atas dua yaitu penyelesaian sengketa

melalui litigasi (pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui jalur non-

litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan Alternative

Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut

dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS).24

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana

semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk

mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu

penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan

Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jombang: Lintas Media,2014), hal. 568.
22

23
Peter Salim dan Yeni Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Modern English
Press, 2018), hal, 1187.
24
Rachmadi Usmani, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), hal. 8.

15
win-lose solution.25 Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa adalah

penyelesaian sengketa melalui jalur non pengadilan yang pada umumnya

ditempuh melalui cara- cara perundingan yang dipimpin atau diprakarsai

oleh pihak ketiga yang netral atau tidak memihak.26

Menurut Yahya Harahap Tindak Pidana Ringan merupakan jenis

tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara pemeriksaan tindak

pidana ringan. Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak menjelaskan

mengenai tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan.

Namun, KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.27

Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP tindak pidana ringan yaitu

Perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3

(tiga) bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500 (tujuh ribu lima

ratus rupiah); Penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf

2 bagian ini (Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran lalu lintas) (Pasal

205 ayat (1) KUHAP); Terhadap perkara yang diancam pidana kurungan

paling lama 3 (tiga) bulan atau denda lebih dari Rp 7500, juga termasuk

wewenang pemeriksaan Tipiring (Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) Nomor 18 Tahun 1983).

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (living law), diikuti

25
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta:
Grafindo Persada, 2012), hal. 16.
26
Dewi Tuti Mayati dan B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Nonlitigasi Dibidang Perdagangan, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol 13 No.1 2011, hal.
50..
27
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hal. 422

16
dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi

ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut

dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena

dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Karenanya, bagi

si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi adat oleh

masyarakat dengan musyawarah bersama pemimpin atau pengurus adat.28

E. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan penelitian ini agar tujuannya lebih

terarah dan dapat dipertanggung jawabkan maka digunakan metode

penelitian yang diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh,

kemudian menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut cara

tertentu. Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis untuk

menyelesaikan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan guna memperoleh data yang diperlukan

dari objek yang akan diteliti. Agar penelitian tersebut memenuhi syarat

keilmuan, maka diperlukan pedoman yang disebut metode penelitian, yaitu

suatu tata urutan pelaksanaan penelitian dalam pencarian data sebagai

bahan bahasan untuk memahami objek yang diteliti, dan hasil penelitian

tersebut akan dituangkan dalam penulisan laporan penelitian. Berdasarkan

masalah yang akan diteliti, metode pendekatan yang dipakai dalam

penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang

28
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 2016), hal. 3.

17
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai

bahan dasar untuk diteliti dengan mengadakan penelusuran terhadap

peraturan-peraturan yang terkait permasalahan yang dibahas.29

2. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Secara umum jenis data yang diperlukan dalam satu penelitian

hukum terarah pada penelitian data sekunder. Penelitian ini menggunakan

jenis sumber data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer.

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak

yang berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah:

1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

4) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang

Tindakan- Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan

Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-

Pengadilan Sipil;

5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak;

6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia.

7) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012

29
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke-17, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 20015), hal. 13-14.

18
Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan.

b. Bahan hukum sekunder.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang

berkaitan dengan hukum pidana adat, artikel, hasil-hasil penelitian,

laporan- laporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak

atau media elektronik.

3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang

dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :30

a. Metode historis, metode yang menggunakan analisis atas

peristiwa pada masa lampau untuk merumuskan prinsip-prinsip

umum.

b. Metode komparatif, membandingkan bermacam-macam

masyarakat beserta bidang-bidangnya untuk memperoleh

perbedaan, dan penyebabnya.

c. Metode Case Study, untuk mempelajari sedalam-dalamnya salah

satu gejala nyata dalam masyarakat, misalnya wawancara,

kuesioner, atau observasi partisipatif.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah

teknik analisis data deduktif, yaitu cara menarik kesimpulan dari hal-hal

yang bersifat umum ke hal-hal yang besifat khusus yang berpangkal pada

premis mayor (aturan hukum), premis minor (fakta hukum), dari dua hal
30
Ibid.

19
tersebut kemudian dapat ditarik suatu conclusion (konklusi).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan ini terdiri dari 5 (lima) bab

yang dalam penyusunannya terdiri dari:

Bab I Pendahuluan, menjelaskan tentang latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teoretis

menjelaskan tentang teori – teori yang digunakan, diantaranya adalah teori

keberlakukan hukum, teori keadilan restoratif, dan teori mediasi penal.

Selanjutnya pada bab III, Data hasil penelitian mengenai data dan

informasi tentang kasus posisi, proses penyidikan, dakwaan, tuntutan jaksa,

vonis hakim. Lebih lanjut pada bab IV Analisis Permasalahan dipaparkan

pembahasan terkait dengan penerapan mediasi penal sebagai upaya

penyelesaian perkara tindak pidana ringan ditinjau dari Hukum Pidana

Adat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mediasi penal.

Bab V Penutup merupakan bagian akhir dari seluruh uraian skripsi ini,

pada kesempatan ini penulis menyajikan jawaban singkat atas

permasalahan yang diangkat oleh penulis dalam penulisan skripsi ini

berdasarkan hasil penelitian dan saran sebagai tambahan solusi konkrit dari

permasalahan yang terjadi.

20
21

Anda mungkin juga menyukai