Anda di halaman 1dari 7

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai ras, suku, budaya, dan agama

menyebabkan banyak kepercayaan dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat yang berbeda
pada setiap daerahnya. Kehidupan spiritual di Indonesia sangat kental dan memiliki agama yang
merupakan sumber moral dan spiritual yang dianggap sebagai bagian dari tradisi yang tidak
pernah ditinggalkan. Hingga saat ini meskipun telah ada hukum nasional yang berlaku, tetapi
masih banyak masyarakat yang memberlakukan hukum adat dengan tujuan menciptakan
ketertiban dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakatnya. Tidak hanya itu, masyarakat
adat juga menerapkan sanksi adat sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dengan
menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya. Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis
(unstatutary law) atau tidak terkodifikasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, atau
dapat dikatakan sebagai hukum kebiasaan (customary law). Meskipun tidak tertulis, hukum adat
bersifat mengikat bagi masyarakat adatnya, karena hukum tersebut merupakan nilai-nilai yang
telah disepakati secara turun temurun bersama oleh masyarakat dan didalamnya tercermin rasa
keadilan masyarakat.

Eksistensi hukum adat sendiri telah diakui dalam Amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang telah mengakui eksistensi dari
hukum adat sebagai hukum yang tumbuh dari nilai-nilai asli yang hidup dalam masyarakat
Indonesia yang secara rinci dijelaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatur
bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang.” Selain itu,
juga terdapat beberapa peraturan perundang-undangan lain yang telah melegitimasi eksistensi
hukum adat salah satunya yaitu pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), bahwa “dalam rangka penegakan hak asasi manusia,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat, dan pemerintah”, berdasarkan kedua ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa telah pantas apabila dikatakan bahwa hukum adat telah mendapatkan tempat dalam sistem
hukum nasional Indonesia.

Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian
hukum kepada hukum adat dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan
penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Jaminan kepastian hukum oleh
konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi)
sebagai pemberi dan pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini
sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) bahwa, “Hakim dan Hakim Konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”, pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam mengadili dan meutus suatu
perkara, hakim wajib mempertimbangkan sumber-sumber hukum yang ada dan berlaku di
Indonesia termasuk pula hukum yang hidup dalam masyarakat adat. Bahkan seorang hakim, jika
ia menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis, ia harus
dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat. Artinya hakim juga
harus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat dikatakan sebagai hukum perdata-nya
masyarakat Indonesia. Sehingga dalam hal hakim tidak menemukan aturan hukum dalam suatu
perkara yang ditanganinya oleh karena tidak ada ketentuan undangundang yang mengaturnya,
hakim wajib untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini berlaku pula
pada suatu perkara pidana, bahwa Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan hukum atas suatu perkara pidana, hakim juga
harus menggali hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum yang hidup.

Meskipun telah diatur dan dilegitimasi dalam konstitusi dan beberapa peraturan
perundang-undangan, penerapan hukum adat dalam suatu perkara pidana atau dalam hukum
pidana sering kali berbenturan dengan penerapan asas legalitas (the principle of legality) yang
menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah diatur
dalam undang-undang hukum pidana sebelum perbuatan tersebut dilakukan, asas legalitas sendiri
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa, “Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai
sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Pengaturan pasal tersebut
bukan berarti hukum adat tidak mendapatkan tempat untuk diberlakukan. Batasan yang diberikan
di dalam asas legalitas sejatinya bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum di dalam
penanganan perkara pidana, dan mencegah kesewenangwenangan hakim di dalam memutus
perkara.
Pada penerapan dalam kehidupan masyarakat banyak perbuatan-perbuatan yang menurut
hukum adat merupakan suatu delik adat sebagai perbuatan yang tercela akan tetapi KUHP tidak
mengatur demikian. Sehingga, pelaku delik hukum adat tidak dapat dijatuhi sanksi berdasarkan
hukum pidana karena dianggap hal tersebut akan menimbulkan rasa ketidakadilan dalam
masyarakat. Karena hukum adat itu sendiri lahir dari kebutuhan kebiasaan rakyat Indonesia.
Maka dengan sendirinya hukum adat dapat mampu menjawab segala masalah-masalah hukum
yang dihadapi oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari di suatu daerah tertentu. Hukum adat
harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum nasional karena secara alamiah situasi dan
kondisi masyarakat di masing-masing daerah berbeda. Perbedaan itu juga selanjutnya
menimbulkan variasi dalam nilai-nilai sosial budaya mereka, termasuk nilai-nilai hukum sebagai
produk budaya.

Oleh karena itu, perlu adanya penataan hukum yang dapat mengakomodir ketentuan
hukum adat kedalam hukum pidana nasional dengan mempertimbangkan delik adat, sanksi delik
adat, serta mekanisme penerapan hukum pidana nasional dalam menangani perakara dalam
hukum adat. Hal tersebut diperlukan agar delik-delik hukum adat dapat menyatu secara rapi dan
dapat beriringan dengan hukum pidana nasional. Karena urgensi tersebut maka dibentuklah
Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU KUHP)
yang telah mengatur dan mengakomodir ketentuan-ketentuan hukum adat dalam hukum pidana
nasional Indonesia.

Dalam UU KUHP hukum adat dikenal dengan sebutan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hukum adat secara garis besar diterapkan dalam UU KUHP yaitu pada ketentuan
Pasal 2 ayat (1) yang mengecualikan penerapan asas legalitas bahwa penerapan asas legalitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 tidak akan mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) memberikan definisi hukum adat, yakni “Yang dimaksud
dengan "hukum yang hidup dalam masyarakaf adalah hukum adat yang menentukan bahwa
seseorang yang melalrukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum yang hidup di dalam
masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum tidak tertr:lis yang masih berlaku dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk memperkuat keberlakuan hukum
yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat
tersebut.” Kemudian Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat
dapat berlaku selama tidak diatur dalam UU KUHP dan sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Untuk
mendukung penerapan hukum adat dalam pasal tersebut Pasal 12 ayat (2) mengatur mengenai
unsur suatu tindakan dapat dikatakan sevagai tindak pidana yakni salah satunya apabila tindakan
tersebut bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, bahwa “Untuk dinyatakan
sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan
oleh peraturan perundangundangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.”

Penerapan hukum adat dalam UU KUHP secara lebih rinci diatur dalam BAB XXXIV
UU KHUP yang mengatur tentang Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam
Masyarakat. UU KUHP dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa hukum adat harus
diatur pula dalam Peraturan Daerah guna memperkuat pemberlakuan hukum adat pada
masyarakat daerah tersebut. Kemudian secara lebih lanjut Pasal 2 ayat (3) mengatur bahwa
terkait ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum adat secara lebih lanjut akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pedoman bagi pemerintah daerah untuk menetapkan
hukum adat dalam Peraturan Daerah. Hukum adat yang akan diakomodir dalam Peraturan
Daerah kemudian harus ditetapkan dan disetujui oleh DPRD. Selain itu, penetapan itu tentu saja
dengan suatu pembatasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
kesatuan.

UU KUHP sendiri tidak mengatur secara rinci mengenai penerapan hukum adat oleh
hakim. Akan tetapi Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman mangatur bahwa hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim
konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kemudian Pasal 50 UU
Kekuasaan Kehakiman mengatur pula bahwa putusan hakim atas perkara hukum adat harus juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Sehingga meskipun tidak diatur dalam
UU KUHP, penerapan hukum adat oleh hakim serta pertimbangan hakim dalam memutus
perkara adat diterapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur mengenai hal
tersebut.

Terkait pemberlakuan hukum adat sehingga dapat diterapkan sebagai rujukan hakim
dalam memutus suatu perkara pidana, Anto Soemarman berpendapat bahwa otoritas tersebut
diperoleh apabila ketentuan-ketentuan hukum adat diakui dan dipegang teguh oleh tokoh
masyarakat adat, pemuka adat, selain dari dipegang oleh masyarakat adat itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa otoritas tokoh hukum adat yang diakui dan dijadikan
rujukan majelis hakim dalam memutus suatu perkara pidana yang menyangkut ketentuan dalam
hukum adat, yaitu:

a. Tokoh-tokoh hukum adat sering dijadikan saksi ahli dalam sidang-sidang peradilan;
b. Apa yang dialami oleh tokoh- tokoh hukum adat merupakan suatu pelestarian nilai-nilai
hukum adat, yang selalu diperlihara dari generasi kegenerasi sehingga karenanya hukum
adat juga berwujud personifikasi tokoh-tokoh hukum adat; dan
c. Dalam kenyataannya penghormatan masyarakat terhada pemuka-pemuka masyarakat
masih terasa sehingga pemukapemuka masyarakat itulah panutan mereka. Karena
pemuka- pemuka masyarakat adalah panutan masyarakat;
d. Tokoh yang akan apa yang difatwakan mempunyai daya tersendiri.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berwenang untuk


memutus perkara adat ialah tokok-tokoh hukum adat sebagaimana tersebut diatas, untuk
kemudian berdasarkan putusan tersebut dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan hakim dalam
memutus suatu perkara pidana dengan delik adat, namun dengan tetap memperhatikan peraturan
perundang-undangan nasional yang berlaku pula. Namun, perlu diatur pula mengenai batasan
penerapan hukum adat dalam penyelesaian suatu perkara pidana. Hakim perlu menelaah secara
mendalam dan menggunakan intuisinya untuk memberikan penilaian terhadap ketentuan yang
akan digunakan sebagai rujukan dalam perkara pidana tersebut. Mengenai persoalan ini,
Mahkamah Agusng telah mengatur mengenai pengadopsian hukum adat kedalam hukum pidana
nasional dengan menetapkan suatu yurisprudensi yang pada intinya mengatur bahwa, hakim
memiliki kebebasan untuk menentukan sejauh mana penerapan hukum adat sepanjang hal
tersebut tidak bertentangan dengan hukum nasional, rasa keadilan masyarakat, dan Hak Asasi
Manusia. Kebebasan hakim untuk menentukan demikian ini harus dimaknai sebagai kebebasan
yudisial yang dimiliki oleh hakim. Yurisprudensi tersebut juga mengatur legitimasi terkait
penjatuhan sanksi, dapat berupa sanksi pemidanaan sebagaimana diatur di dalam KUHP maupun
menerapkan ketentuan sanksi.

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan ini memberikan makna bahwa hakim
sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
menerima, memeriksa, mengadili, dan selanjutnya menjatuhkan putusan, merupakan suatu
kewajiban untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara yang diajukan padanya. Meskipun
ketentuan hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas, maka tidak boleh menjadi alasan bagi
hakim untuk menolaknya. Kemudian sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman
yang mngatur bahwa hakim sebagai perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, maka hakim harus terjun ke tengahtengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian, hakim akan dapat memberikan putusan yang sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Apabila dimaknai kata “menggali” dalam isi pasal
tersebut, maka dapat diasumsikan bahwa hukumnya sudah ada, tetapi masih tersembunyi
sehingga untuk menemukannya hakim harus berusaha mencari dengan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat kemudian mengikutinya dan selanjutnya memahaminya
agar putusan itu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat.

Hakim menemukan hukum melalui sumbersumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini
tidak menganut pandangan legisme yang hanya menerima undang-undang saja sebagai
satusatunya hukum dan sumber hukum. Sebaliknya di sini, hakim dapat menemukan hukum
melalui sumber-sumber hukum, yaitu undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin,
hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum yang dianut oleh masyarakat. Keterbatasan seorang
hakim dalam menafsirkan hukum adat kedalam hukum pidana, dapat dijelaskan hakim dilarang
melakukan penafsiran analogi karena mencegah ketidakpastian hukum dan tindakan
sewenangwenang hakim dalam melakukan putusan. Oleh karenanya, dibutuhkan tokoh-tokoh
hukum adat yang mana putusanya dapat dijadikan rujukanoleh hakim dalam memutus dan
memberikan sanksi terhadap pekara pidana dengan delik hukum adat.

Sanksi pidana sendiri menurut konsepsi adat adalah bertujuan untuk mengembalikan
keseimbangan kosmis, keseimbangan anatara dunia lahir dengan dunia ghaib, untuk
mendatangkan rasa damai sesama warga masyarakat atau antara anggota masyarakat dengan
masyarkat lainnya, disamping itu pemidanaan harus bersifat adil, dalam arti bahwa pemidanaan
tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban dan oleh masyarkat sehingga
dengan demikian maka gangguan, ketidak seimbangan atau konflik tersebut akan menjadi sirna.

Hukum adat sebagai hukum hidup, digambarkan oleh Vinogadoff seperti dikutip Satjipto
Rahardjo, bahwa hukum lahir serta merta dari kandungan masyarakat, dari praktik-praktik yang
secara langsung bertumbuh dari konveniensi, baik dari masyarakat maupun perorangan. Adat
istiadat, kebiasaan sebagai tingkah laku (rule of behaviour) mendapat sifat hukum pada ketika
petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya ketika terhadap orang yang melanggar
peraturan itu, atau ketika petugas hukum bertindak mencegah pelanggaran peraturan itu

Dalam ranah hukum pidana, terdapat contoh kasus hakim yang juga mengakui pidana
adat sebagai sumber hukum, yaitu dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor
427/Pid/2008 dimana dalam putusannya mejelis hakim yang memutus perkara ini
mempertimbangkan dan menghargai hukum adat yang berlaku. Kasus ini pada intinya ialah
majelis hakim menghukum seseorang karena melakukan persetubuhan di luar perkawinan.
Mengingat perilaku tersebut pada dasarnya tidak dilarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”), hakim kemudian menautkan putusannya kepada hukum adat setempat dalam
pengambilan putusannya.

Referensi

Anto Soemarman, 2003, Hukum Adat: Perspektif Sekarang dan Mendatang, Adicita
Karya Nusa, Yogyakarta.

Aria Zurnetti, 2015, The Implementation of Adat Law Sanction in the Juvenile Criminal
Case, Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai