Anda di halaman 1dari 6

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

SOSIOLOGI HUKUM

Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hukum Adat di


Indonesia

OLEH :

TJOKORDA ISTRI AGUNG ADINTYA DEVI


KELAS A / REGULER PAGI

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Hukum Adat di Indonesia

Pengertian Hukum Adat


Istilah hukum adat adalah merupakan terjemahaan dari istilah (bahasa) Belanda “Adat
Recht” yang awalnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje. Menurut
Soejono Soekanto hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya
kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Kebiasaan yang merupakan hukum adat
adalah perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama.
Hukum tidak tertulis atau hukum adat didasarkan pada proses interaksi dalam
masyarakat, dan kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta
mempelancar proses interaksi tersebut. Sehingga, seringkali hukum adat dinamakan “ a
system of stabilized interactional expentacies”. Selain itu hukum adat juga memiliki fungsi
sebagai sistem pengendalian sosial yang memberikan perananya dalam rangka terciptanya
keteraturan masyarakat. Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang di tempuh
kelompok atau orang masyarakat, sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai denagn
harapan kelompok atau masyarakat. Di sinilah pentingnya keberadaan hukum adat sebagai
sistem pengendalian sosial yang diharapkan agar anggota masyarakat mematuhi norma-
norma sosial sehingga terciptanya keselarasan dalam kehidupan sosial

Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat pada Zaman Kolonial

Hukum adat telah diakui sejak zaman kolonial Belanda yaitu pada Pasal 75 Regerings
Reglement baru (disingkat R.R baru), berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920, menyatakan
bahwa Hukum Eropa akan berlaku bagi golongan Eropa dan bagi orang Indonesia Asli
dengan sukarela bahwa akan tunduk terhadap hukum Eropa. Sedangkan dalam lapangan
perdata bagi golongan orang Indonesia yang lain, akan berlaku hukum adat dengan syarat
tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang diakui umum. Sebaliknya apabila
peraturan hukum adat bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau terdapat suatu masalah
yang tidak diatur dalam hukum adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum
perdata Eropa sebagai pedoman. Pasal 75 RR tersebut dipertegas oleh pasal 130 IS yang
menyatakan bahwa daerah-daerah diberi kebebasan untuk menganut hukumnya sendiri.

Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat pada Awal Kemerdekaan Indonesia

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sehari berikutnya tanggal
18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar 1945. Dasar hukum berlakunya
hukum adat ketika jaman penjajahan masuk ke wilayah setelah Indonesia merdeka melalui
pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa segala badan
negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar.

Pada awal-awal kemerdekaan muncul paham yang hendak memperjuangkan


terwujudnya hukum nasional dengan cara mengangkat hukum rakyat, yaitu hukum adat,
menjadi hukum nasional. Pelopor dari ide tersebut mayoritas adalah golongan tua, suatu ide
yang sejak awal dikemukakan oleh nasionalis-nasionalis generasi sebelumnya, yang
menyatakan bahwa hukum adat layak diangkat sebagai hukum nasional yang modern.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit tidak ada satu pasal pun yang
menyatakan berlakunya hukum adat di Indonesia. Hal ini berbeda apabila dibandingkan
dengan Konstitusi RIS, yang secara konstitusional dapat diketemukan pasal-pasal yang
merupakan landasan hukum berlakunya hukum adat, sebagaimana dinyatakan dalam pasal
146 ayat (1) yang menyatakan bahwa keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasan dan
dalam perkara hukuman harus menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan hukum
adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Pasal 146 ayat (1) Konsitusi RIS tersebut ditegaskan
kembali dalam pasal 104 (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat Dewasa Ini

Dewasa ini konfigurasi hukum telah berubah dan hukum adat adalah bagian organik
dari hukum negara. Setelah mengalami empat kali perubahan (amandemen) UUD NRI 1945
melahirkan perubahan fundamental pada struktur dan orgaisasi ketatanegaraan yang
membawa implikasi sangat besar pada praktik penyelenggraan kehidupan bernegara di
Indonesia terutama mengenai hukum adat itu sendiri. Salah satu hasil perubahan tersebut
adalah dicantumkannya Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan bahwa :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Dengan demikian dalam konstitusi yang baru ini, kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh Negara Indonesia.
Negara juga menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional sebagai bagian
dari Hak Asasi Manusia yang harus mendapat perlindungan , pemajuan, penegakan dan
pemenuhan dari Negara, terutama pemerintah seperti yang ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat
(3) dan ayat (4) UUD NRI 1945. Dengan demikian pada Pasal 28 I ini hukum adat selain
mendapat pengakuan, juga mendapatkan perlindungan dari Negara.

Selain pada UUD NRI 1945 terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan 
nasional yang memeperkuat berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini antara lain :
1. Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam lampiran A paragraf 402 disebutkan
bahwa:

- Asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan
berlandaskan Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil
dan makmur.

- Dalam usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat diperhatikan kenyataan-


kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam pemyempurnaan UU hukum
perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan faktor-faktor agama, adat dan
lain-lain.

2. UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan


kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil.

Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara berangsur-angsurkan ditentukan oleh


menteri kehakiman, dihapus:
a. Segala pengadilan swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera 
Timur dahulu, Kalimantan Barat dan negara Indonesia Timur dahulu.
b. Segala pengadilan adat kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU Drt.  No.
1 tahun 1951 hakim desa tetap dipertahankan.

3. UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat (4) UUPA mengatur tentang
pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum adat untuk melaksanakan
hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat merupakan aparat
pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah yang ada di
wilayahnya.

Pasal 3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sepanjang
menurut kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan
dengan UU atau peraturan yang lebih tinggi.

Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air,
udara dan ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan pembatasan) tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang.
Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada agama (Abdurahman,
1978:75).

4. UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok Kehutanan


Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat adat, Hukum Adat dan
anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu peraturan yang demi tercapainya
tujuan yang dimaksud oleh UU ini.
5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Pasal 50 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala putusan pengadilan selain harus
memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
- Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.

Secara implisit hukum adat dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili dan
memutus perkara di pengadilan, karena yang dimaksud sumber hukum tidak tertulis
dalam pasal 50 ayat (1) adalah hukum adat. Dan yang dimaksud dengan nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat, salah satunya adalah hukum adat, dengan
asumsi bahwa hukum adat adalah hukum yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Kedua pasal tersebut memberikan kewenangan kepada hakim dalam
memutus perkara dengan mendasarkan pada hukum adat.

6. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan


- Pasal 35 ayat (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, ayat (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta
benda yang diperoleh oleh masing-masing pihak sebagai hadiah, warisan, adalah
berada di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
- Pasal 36 ayat (1) mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, ayat (2) mengenai harat bawaan masing-masing,
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.
- Pasal 37, jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.
- Pasal 42, anak sah adalah anak yang lahir di dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.

7. UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan PP No. 4 1988 tentang Rumah
Susun. UU No. 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum Adat dengan cara
dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu, asas pemisahan hirizontal.

8. PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


PP No. 24 tahun 1997 merupakan penyempurnaan PP No. 10 tahun 1961. PP No. 24
tahun 1997 diundangkan pada juli 1997 dan berlaku efektif 8 oktober 1997, yang
mengangkat dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu lembaga
rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan menjadikannya sebagai
hak milik dengan syarat yaitu iktikad baik selama 20 tahun berturut-turt tanpa ada
gangguan/tuntutan dari pihak lain dan disaksikan atau diakui oleh masyarakat
lembaga aquisitive verjaring kehilangan hak untuk menuntut hak milik.
Daftar Pustaka

Buku :

Setiady, Tolib, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Bandung.

Soejon, Soekanto, 2002, Hukum Adat di Indonesia, cet ke-V, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Mustari , A. Suriyaman, 2009, Hukum Adat, Pelita Pustaka, Jakarta.

Sudantra, I Ketut, 2016, Pengakuan Peradilan Adat dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman, Swasta Nulus, Denpasar.

Undang-Undang :

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 41 tahun 1999 Pokok Kehutanan

Undang-Undang Darurat. No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk


Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Dan Acara Pengadilan Sipil

Undang-Undang No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Anda mungkin juga menyukai