Anda di halaman 1dari 11

MASALAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) JASA

DI BIDANG KESENIAN DAN HIBURAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

DAFTAR ISI

1
DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).....................................4

A. Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)................................................4

B. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)..................................................4

2.2 Pembahasan Masalah PPN Jasa di Bidang Kesenian dan Hiburan..............5

A. Pengaturan Mengenai Jenis Jasa Yang

Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)...............................5

B. Pembahasan Masalah............................................................................6

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................................9

BAB I

PENDAHULUAN

2
1.1 Latar Belakang

Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.1

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan yang utama di Indonesia


disamping dari pendapatan yang dihasilkan oleh pertambangan minyak bumi dan
gas alam yang sangat penting peranannya dalam keberlangsungan Negara
dibidang ekonomi. Indonesia sudah sejak tahun 1950 memungut pajak atas lalu
lintas barang di dalam masyarakat, yaitu Pajak Peredaran (Barang) tahun 1950,
kemudian diganti dengan Pajak Penjualan pada tahun 1951. Pajak ini
dipertahankan sampai pada tahun 1985 yang kemudian diganti dengan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 1984.

Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan Pajak Pertambahan Nilai


(PPN) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang
dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Dasar
pemikiran pengenaan pajak ini pada dasarnya adalah untuk mengenakan pajak
pada tingkat kemampuan masyarakat untuk berkonsumsi.2

Yang dimaksud dengan daerah pabean ialah daerah yang ditentukan batas-
batasnya oleh pemerintah , dan batas-batas itu digunakan sebagai garis untuk
memungut bea-bea.3

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikeluarkan untuk menggantikan Pajak


Penjualan (PPn) yang dirasa tidak sesuai lagi dengan pertumbuhan perekonomian
di Indonesia. Dalam PPn terdapat keganjilan atau ketidakadilan seperti adanya

1
R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,
Bandung, h.6.
2
Noviane Claudya Pinkan Sambur et. al., 2015, Analisis Pengaruh Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Terhadap Daya Beli Konsumen
Kendaraan Bermotor, Vol. 15, No. 05, Manado, h. 133.
3
B. Usman dan J. Subroto, 1980, Pajak-Pajak Indonesia, cet. II, Yayasan Bina Pajak,
Jakarta, h.3.

3
pajak berganda, yaitu suatu barang lebih dari satu kali dikenakan pajak, dan pajak
atas pajak. Saat ini dengan digantinya dengan PPN, hal tersebut sudah
dihilangkan. Salah satu tujuan lain pemerintah melakukan PPN ialah untuk
menyederhanakan sistem pajak. Namun tidak menutup kemungkinan, masih
banyak permasalahan yang akan timbul mengenai kerancuan atau ketidakjelasan
suatu kalimat atau kata dalam peraturan yang mengaturnya.

Salah satu permasalahannya yaitu pajak yang dikenakan dalam bidang jasa
Kesenian dan Hiburan. Dalam Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 yang
menyebutkan bahwa “Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan
Pajak Tontonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g termasuk jasa
dibidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian
tradisional yang diselengarakan secara cuma-cuma”.4 Disini yang menjadi suatu
permasalahan yaitu penggunaan kriteria komersial. Kata komersial dapat
mengandung dua arti yang berbeda, apakah kesenian dan hiburan itu dikenakan
pajak tontonan saja ataukah dikenakan pajak tontonan dan PPN.

Maka dari itu dalam paper ini penulis akan berusaha mengulas mengenai
permasalahan yang sebagaimana telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya.
Untuk mengulas hal tersebut perlu kiranya untuk membahas satu persatu mulai
dari subjek dan objek PPN, kemudian mengulas mengenai peraturan-peraturan
yang mengatur tentang PPN khususnya dalam hal kesenian dan hiburan.

2.2 Rumusan Masalah :

4
Ahmad Yani, 2006, Solusi Masalah Pajak Pertambahan Nilai, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, h. 113.

4
1. Siapa sajakah yang menjadi subjek dan objek dari Pajak Penambahan Nilai
(PPN) ?
2. Bagaimanakah pembahasan mengenai masalah PPN jasa di bidang
kesenian dan hiburan tersebut?

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.3 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

A. Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ialah, orang atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia, yang memproduksi/mengolah
barang kena pajak dan ada kemungkinan menyerahkan atau mendistribusikan
barang kena pajak, mengimpor dan mengekspor barang kena pajak atau
melakukan jasa kena pajak dalam hubungan perusahaan atau pekerjaannya di
Daerah Pabean RI. 5

Subjek pajak dari Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah dengan
UU. No. 18 Tahun 2000 adalah pengusaha kena pajak.

Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apa pu yang dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya :

- Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan/produsen;


- Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;
- Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang; dan
- Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut pengusaha jasa.6

B. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Ketentuan pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai


Barang dan Jasa (PPN) menentukan bahwa objek PPN adalah :

5
Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Pertambahan Nilai, PT. ERESCO, Bandung, h. 27.
6
H. Bohari, 2014, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 52-53.

6
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak
(BPK);
b. Barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena
pajak tidak berwujud;
c. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan ;
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak (BPK) yang dilakukan oleh siapapun;
3. Penyerahan Jasa Pajak (JKP) di dalam daerah pabean;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).7

2.4 Pembahasan Masalah PPN Jasa di Bidang Kesenian dan Hiburan

A. Pengaturan Mengenai Jenis Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan


Nilai (PPN)

Dalam ketentuan Pasal 4A UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak


Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) terdapat 12 jenis jasa PPN yaitu :

a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis;


b. Jasa di bidang pelayanan sosial;
c. Jasa di bidang pengiriman surat dan perangko;
d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi;
7
H. Bohari, 2014, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 88.

7
e. Jasa di bidang keagamaan;
f. Jasa di bidang pendidikan;
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah digunakan Pajak Tontonan
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan;
l. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum. 8

B. Pembahasan Masalah

Dalam Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 disebutkan sebagai berikut :

“Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g termasuk jasa dibidang kesenian
yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselengarakan secara cuma-cuma”.

Sebagai pelaksanaan Pasal 4A yang telah dpaparkan diatas telah


dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang
dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Dalam Pasal 5 PP ini
seluruh 12 jenis jasa yang tidak dikenakan pajak di atas disebutkan kembali secara
eksplisit sehingga timbul kesan adanya perulangan yang seharusnya tidak perlu
terjadi.

Semua yang diatur dalam Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 mengulangi
kembali kesalahan yang dilakukan dalam Pasal 16 PP Nomor 50 Tahun 1994 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 (angka 2 huruf g). Adapun
kesalahan yang dimaksud yaitu sebagai berikut :

Tiga Peraturan Pemerintah di atas (PP No. 28 Tahun 1988, PP Nomor 50


Tahun 1994 dan PP Nomor 144 Tahun 2000), menggunakan kriteria “komersial”

8
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai.

8
untuk menentukan suatu jasa kesenian apakah akan dikenakan atau tidak
dikenakan PPN. Secara filosofis, terminologi “komersial” sebenarnya masuk
dalam domain “pajak penghasilan” sebagai pajak atas kegiatan uasaha/bisnis.
Sudah dapat diketahui bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi, sehingga
kriteria komersial menjadi tidak relevan.

Dapat dilihat melalui Pasal 1 huruf d UU Nomor 8 Tahun 1983 mulai 1


April 1985 yang kemudian diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 1994 dan UU
Nomor 18 Tahun 2000 yang kemudian materinya dialihkan menjadi Pasal 1A,
tetap merumuskan pengertian penyerahan Barang Kena Pajak antara lain adalah
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma barang kena pajak. Siapapun
sepakat bahwa pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma tidak dapat
dikategorikan sebagai kegiatan komersial tetapi tetap kegiatan ini dikenakan PPN.

Demikian juga ketentuan mengenai Jasa Kena Pajak yang menegaskan


penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak yang diberikan dengan cuma-
cuma yang juga pasti tidak mengandung unsur komersial. Lebih lanjut kriteria
“komersial” ini juga masih digunakan dalam Pasal 7 (jasa di bidang pelayanan
sosial) dan Pasal 12 (jasa di bidang penyiaran) yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000. Dalam pasal ini disebutkan pementasan
kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma termasuk jasa yang
tidak dikenakan PPN. Padahal Pasal 4A ayat 3 UU PPN dan Pasal 5 huruf g jo
Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 sudah jelas kriterianya yaitu “yang telah
dikenakan pajak tontonan”, disini dapat diketahui bahwa pertunjukan kesenian
baik yang tradisional maupun modern yang memungut bayaran pada penontonnya
sudah dikenakan pajak tontonan (sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun 1997)
dimana apabila pertunjukan kesenian yang sudah memungut bayaran ini dan
sudah dikenakan pajak tontonan ini dikenakan lagi PPN maka atas jasa itu terjadi
double taxation.

Kemudian di dalam Pasal 4A ayat 3 huruf g UU PPN dan Pasal 5 jo Pasal


11 PP Nomor 144 Tahun 2000 masih menggunakan terminologi “pajak tontonan”
sebagai pajak daerah yang dikenakan atas pertunjukan kesenian. Padahal dalam

9
UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terminologi “pajak tontonan” sudah
diganti dengan terminologi “pajak hiburan”. Dalam PP No. 60 Tahun 2001 yang
merupakan pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2000 menyebutkan bahwa objek pajak
hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Tidak
termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak
dipungut pembayaran, seperti hiburan yang telah diselenggarakan dalam rangka
pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan.

Jika kita berpegang teguh pada ketentuan hukum apa adanya, maka dapat
diartikan bahwa Direktur Jendral Pajak berwenang mengenakan PPN atas seluruh
pertunjukan kesenian karena tidak ada lagi pertunjukan yang dikenakan pajak
tontonan karena sudah berganti menjadi pajak hiburan. Jadi ketentuan yang diatur
dalam pasal 4A UU PPN Pasal 5 jo Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 tidak ada
artinya lagi. Karena “Pajak Tontonan” sekarang ini tidak ada lagi. Maka dari itu
perlu ada klarifikasi agar ketentuan itu tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu
yang ingin menarik keuntugan dari adanya perubahan terminologi itu

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari pembahasan dalam paper ini yaitu sebagai berikut :

1. Subjek pajak dari Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah
dengan UU. No. 18 Tahun 2000 adalah pengusaha kena pajak. Pada
Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa (PPN) menentukan bahwa objek PPN adalah yaitu
Penyerahan Barang Kena Pajak, Impor Barang Kena Pajak (BPK)
yang dilakukan oleh siapapun, Penyerahan Jasa Pajak (JKP) di dalam
daerah pabean, Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean, Pemanfaatan Jasa Kena
Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, Ekspor
Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Jasa dalam Bidang Kesenian dan Hiburan hanya dikenakan Pajak
Hiburan saja tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang telah diatur dalam Pasal 4A ayat 3 UU PPN dan Pasal 5 huruf g
jo Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000. Hal ini dikarenakan
Terminologi “pajak tontonan” sudah diganti dengan terminologi
“pajak hiburan” diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.

11

Anda mungkin juga menyukai