FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
DAFTAR ISI
1
DAFTAR ISI.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
B. Pembahasan Masalah............................................................................6
3.1 Kesimpulan.................................................................................................9
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.1 Latar Belakang
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment.1
Yang dimaksud dengan daerah pabean ialah daerah yang ditentukan batas-
batasnya oleh pemerintah , dan batas-batas itu digunakan sebagai garis untuk
memungut bea-bea.3
1
R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,
Bandung, h.6.
2
Noviane Claudya Pinkan Sambur et. al., 2015, Analisis Pengaruh Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Terhadap Daya Beli Konsumen
Kendaraan Bermotor, Vol. 15, No. 05, Manado, h. 133.
3
B. Usman dan J. Subroto, 1980, Pajak-Pajak Indonesia, cet. II, Yayasan Bina Pajak,
Jakarta, h.3.
3
pajak berganda, yaitu suatu barang lebih dari satu kali dikenakan pajak, dan pajak
atas pajak. Saat ini dengan digantinya dengan PPN, hal tersebut sudah
dihilangkan. Salah satu tujuan lain pemerintah melakukan PPN ialah untuk
menyederhanakan sistem pajak. Namun tidak menutup kemungkinan, masih
banyak permasalahan yang akan timbul mengenai kerancuan atau ketidakjelasan
suatu kalimat atau kata dalam peraturan yang mengaturnya.
Salah satu permasalahannya yaitu pajak yang dikenakan dalam bidang jasa
Kesenian dan Hiburan. Dalam Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 yang
menyebutkan bahwa “Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan
Pajak Tontonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g termasuk jasa
dibidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian
tradisional yang diselengarakan secara cuma-cuma”.4 Disini yang menjadi suatu
permasalahan yaitu penggunaan kriteria komersial. Kata komersial dapat
mengandung dua arti yang berbeda, apakah kesenian dan hiburan itu dikenakan
pajak tontonan saja ataukah dikenakan pajak tontonan dan PPN.
Maka dari itu dalam paper ini penulis akan berusaha mengulas mengenai
permasalahan yang sebagaimana telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya.
Untuk mengulas hal tersebut perlu kiranya untuk membahas satu persatu mulai
dari subjek dan objek PPN, kemudian mengulas mengenai peraturan-peraturan
yang mengatur tentang PPN khususnya dalam hal kesenian dan hiburan.
4
Ahmad Yani, 2006, Solusi Masalah Pajak Pertambahan Nilai, Kencana Predana Media
Group, Jakarta, h. 113.
4
1. Siapa sajakah yang menjadi subjek dan objek dari Pajak Penambahan Nilai
(PPN) ?
2. Bagaimanakah pembahasan mengenai masalah PPN jasa di bidang
kesenian dan hiburan tersebut?
5
BAB II
PEMBAHASAN
Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ialah, orang atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia, yang memproduksi/mengolah
barang kena pajak dan ada kemungkinan menyerahkan atau mendistribusikan
barang kena pajak, mengimpor dan mengekspor barang kena pajak atau
melakukan jasa kena pajak dalam hubungan perusahaan atau pekerjaannya di
Daerah Pabean RI. 5
Subjek pajak dari Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah dengan
UU. No. 18 Tahun 2000 adalah pengusaha kena pajak.
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apa pu yang dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya :
5
Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Pertambahan Nilai, PT. ERESCO, Bandung, h. 27.
6
H. Bohari, 2014, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 52-53.
6
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha. Penyerahan barang yang dikenakan pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan barang kena pajak
(BPK);
b. Barang yang tidak berwujud yang diserahkan merupakan barang kena
pajak tidak berwujud;
c. Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean, dan ;
d. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak (BPK) yang dilakukan oleh siapapun;
3. Penyerahan Jasa Pajak (JKP) di dalam daerah pabean;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam
daerah pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).7
7
e. Jasa di bidang keagamaan;
f. Jasa di bidang pendidikan;
g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah digunakan Pajak Tontonan
h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan;
i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air;
j. Jasa di bidang tenaga kerja;
k. Jasa di bidang perhotelan;
l. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum. 8
B. Pembahasan Masalah
“Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g termasuk jasa dibidang kesenian
yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian tradisional yang
diselengarakan secara cuma-cuma”.
Semua yang diatur dalam Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 mengulangi
kembali kesalahan yang dilakukan dalam Pasal 16 PP Nomor 50 Tahun 1994 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 (angka 2 huruf g). Adapun
kesalahan yang dimaksud yaitu sebagai berikut :
8
Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai.
8
untuk menentukan suatu jasa kesenian apakah akan dikenakan atau tidak
dikenakan PPN. Secara filosofis, terminologi “komersial” sebenarnya masuk
dalam domain “pajak penghasilan” sebagai pajak atas kegiatan uasaha/bisnis.
Sudah dapat diketahui bahwa PPN merupakan pajak atas konsumsi, sehingga
kriteria komersial menjadi tidak relevan.
9
UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terminologi “pajak tontonan” sudah
diganti dengan terminologi “pajak hiburan”. Dalam PP No. 60 Tahun 2001 yang
merupakan pelaksanaan UU No. 34 Tahun 2000 menyebutkan bahwa objek pajak
hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Tidak
termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak
dipungut pembayaran, seperti hiburan yang telah diselenggarakan dalam rangka
pernikahan, upacara adat, dan kegiatan keagamaan.
Jika kita berpegang teguh pada ketentuan hukum apa adanya, maka dapat
diartikan bahwa Direktur Jendral Pajak berwenang mengenakan PPN atas seluruh
pertunjukan kesenian karena tidak ada lagi pertunjukan yang dikenakan pajak
tontonan karena sudah berganti menjadi pajak hiburan. Jadi ketentuan yang diatur
dalam pasal 4A UU PPN Pasal 5 jo Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000 tidak ada
artinya lagi. Karena “Pajak Tontonan” sekarang ini tidak ada lagi. Maka dari itu
perlu ada klarifikasi agar ketentuan itu tidak disalahgunakan oleh pihak tertentu
yang ingin menarik keuntugan dari adanya perubahan terminologi itu
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan dalam paper ini yaitu sebagai berikut :
1. Subjek pajak dari Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang telah diubah
dengan UU. No. 18 Tahun 2000 adalah pengusaha kena pajak. Pada
Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa (PPN) menentukan bahwa objek PPN adalah yaitu
Penyerahan Barang Kena Pajak, Impor Barang Kena Pajak (BPK)
yang dilakukan oleh siapapun, Penyerahan Jasa Pajak (JKP) di dalam
daerah pabean, Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar daerah pabean di dalam daerah pabean, Pemanfaatan Jasa Kena
Pajak (JKP) dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, Ekspor
Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Jasa dalam Bidang Kesenian dan Hiburan hanya dikenakan Pajak
Hiburan saja tidak lagi dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
yang telah diatur dalam Pasal 4A ayat 3 UU PPN dan Pasal 5 huruf g
jo Pasal 11 PP Nomor 144 Tahun 2000. Hal ini dikarenakan
Terminologi “pajak tontonan” sudah diganti dengan terminologi
“pajak hiburan” diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
11