PPN DAN PPn BM: Terminologi yang Digunakan dan Subjek & Objek Pajak
7.1 TERMINOLOGI
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBm)
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, selanjutnya diubah menjadi UU
No. 11 Tahun 1994 dan berubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000, kemudian
sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2009 dan mulai
berlaku pada tanggal 1 April 2010.
Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPN (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009) mengatur
bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
2. Impor Barang Kena Pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
7. Ekspror Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Peraturan mengenai PPN dan PPnBM ada dalam undang-undang yang sama
karena PPnBM tidak dapat dikenakan sendiri tanpa pengenaan PPN. Hampir semua
barang yang dikonsumsi dikenakan PPN, sedangkan penyerahan PPnBM bersifat
lebih spesifik yaitu pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang masuk
dalam kategori barang mewah oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
menghasilkan barang mewah/pada waktu impor. Jadi dapat dikatakan bahwa
PPnBM merupakan pungutan pelengkap atas pengenaan PPN.
C. Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM
Atas penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh produsen/impor BKP yang
tergolong mewah, di samping dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM dengan
pertimbangan:
Diperlukan adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi.
Diperlukan adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong
mewah.
Diperlukan adanya perlindungan terhadap produsen kecil/tradisional.
D. Subjek PPnBM
Subjek PPnBM adalah PKP yang menghasilkan BKP tergolong mewah dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, dan pengusaha yang mengimpor barang
yang tergolong mewah. Walaupun demikian karena PPn dan PPNBM merupakan
pajak tidak langsung, maka prinsipnya beban pajak dapat digeser kepada pihak lain.
Subjek pajak PPnBM dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
1. Pengusaha Kena Pajak
PKP adalah pribadi/badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan
usaha/pekerjaannya menghasilkan BKP, mengimpor BKP, mengekspor BKP
serta melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan BKP tidak berwujud dari
luar daerah pabean, melakukan usaha JKP/ memanfaatkan JKP dari luar daerah
pabean.
Berikut ini beberapa contoh subjek PPnBM:
Pengusaha Kena Pajak yang meliputi pabrikan/ produsen.
Pengusaha real estate,importir, indentor.
Pengusaha bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan
perkebunan.
Pemegang hak paten dan merk dagang.
Kontraktor/ sub kontraktor bangunan.
2. Pengusaha yang memilih menjadi PKP
Meliputi eksportir dan pedagang yang menyerahkan BKP kepada PKP.
E. Objek PPnBM
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dikenakan terhadap beberapa barang berikut:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah dilakukan oleh
pengusaha yang menghasilkan BKP tergolong mewah di dalam daerah pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh
pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah. PPnBM
tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut
PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat penyerahan atau penjualan BKP
Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP Mewah dilunasi oleh importir
bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 impor.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya adalah:
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.
REFERENSI:
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
PMK Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan
Nilai.
Susunan Dalam Satu Naskah Undang-Undang Perpajakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak Republik Indonesia Tahun 2013.
www.pajak.go.id dan www.klikpajak.id