Anda di halaman 1dari 3

UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

Matakuliah : Hukum Pajak Internasional


Fak/ Prodi : Magister Hukum NIM : 201017400128
Semester : II (Dua) Shift : REGULER B
Nama : Aziz Imam Hanafi Kelas : 01S2HM001
01S2HM002
01S2HM003
Sifat Ujian : Open Book Ruang : V.335

SOAL :

1. Jelaskan sebab-sebab terjadinya Pajak Berganda Internasional.

2. Jelaskan dua contoh metode penghindaran Pajak Berganda Internasional.

3. Apakah anda setuju jika dikatakan pengenaan pajak atas deviden merupakan pajak berganda
? Berikan alasan anda ?

4. Berikan contoh aspek internasional dari Undang-Undang Pajak Penghasilan serta pasal yang
mengaturnya.

5. Mrs Latifah seorang warga negara Malaysia melakukan pemberian jasa konsultasi bidang
investasi keuangan pada beberapa pengusaha UKM di Indonesia. Selama tahun 2018 kegiatan
dilakukan sebanyak 20 kali kegiatan dan dibutuhkan selama 6 hari untuk setiap satu kali
kegiatan Jasa profesi yang disepakati antara Mrs Latifah dengan penyelenggara kegiatan
adalah sebesar Rp 750.000.000,-. Berdasarkan yurisdiksi pemajakan, negara mana yang
berhak memajaki dan berapa PPh terutang bila diasumsikan tidak ada tax treaty antara
Indonesia dan Malaysia.

1. Prof Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak berganda
Internasional yaitu sebagai berikut:

Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara yang dapat terjadi karena
adanya:
a)Domisili rangkap,
b)Kewarganegaraan rangkap
c)Bentrokaan asas domisili
Adanya pengenaan pajak atas suatu objek pajak oleh dua negara atau lebih. Dengan adanya pengenaan
pajak berganda, mengakibatkan orang yang dikenakan pajak (subjek pajak) memikul beban pajak yang
lebih besar jika dibandingkan apabila hanya dikenakan pajak oleh suatu negara. Pengenaan pajak
berganda yang dilakukan oleh dua negara umumnya terjadi karena masing –masing negara mengatur
pengenaan pajak berdasarkan asas sumber dan asas domisili. Asas sumber merupakan asas yang
mengenakan pajak kepada seseorang atau badan berdasarkan pada sumber penghasilan yang diperoleh.
Sementara itu, asas domisili merupakan asas yang mengenakan pajak kepada seseorang atau badan
berdasarkan domisilinya. Dengan adanya pengenaan pajak karena adanya asas sumber dan asas
domisili, maka besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda atas suatu objek pajak.
Misalkan, Tuan Amirudin berdomisili di Singapura dan memiliki saham di PT Claras yang
berkedudukan di Indonesia. Pada tahun 2009, PT Claras membagikan dividen kepada Tuan Amirudin
sebesar Rp. 300 Juta. Dividen yang dibayarkan PT Claras kepada Tuan Amirudin akan dipotong pajak
sebesar Rp. 60 Juta (tariff 20% sesuai Pasal 26 UU PPh). Karena negara Singapura juga menganut
asas domisili, Singapura mengenakan pajak kepada Tuan Amirudin atas penghasilan yang
diperolehnya dari PT Claras. Dalam kasus ini, Tuan Amirudin dikenakan pajak dua kali atas objek
pajak dividen yang diperolehnya. Adanya subjek pajak dalam negeri oleh dua negara karena telah
berdomisili dalam kurun waktu yang ditentukan dalam undang –undang oleh kedua negara tersebut.
Perpajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim perpajakan. Hal ini karena adanya prinsip
perpajakan global untuk wajib pajak dalam negeri (global principle) dimana penghasilan dari dalam
luar negeri dan dalam negeri dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain
itu, terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri (WPLN) oleh negara
sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dikenakan pajak oleh
negara sumber. Hal ini membuat suatu penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara
residen lalu oleh negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di
jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu digabung dengan
penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik Indonesia. Bentrokan klaim lebih
diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek
pajak sebagi wajib pajak dalam negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali.
Misalnya: Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia pulang ke
rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan juga Singapura sehingga untuk
wajib melapor dan membayar pajak untuk penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.

2. Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminasi gejala pajak ganda, hal ini dapat
dilakukan dengan 3 cara:

Dengan cara unilateral, mana kala negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-
undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti:
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax
credit/tax sparing

Dengan cara bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan
isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah
memiliki Tax Treaty dengan 57 negara.

Perjanjian multilateral, misalnya General Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang sekarang lebih
dikenal dengan sebutan WTO. Regulasiregulasi yang dihasilkan oleh WTO bertujuan untuk semakin
membebaskan aktivitas perdagangan dan mereduksi segala bentuk tekanan dari pemerintah terhadap
kegiatan perdagangan internasional. WTO di sini memposisikan untuk bertindak netral dalam
mengelola persetujuan perdagangan, bertindak sebagai forum dalam negosiasi perdagangan,
membantu menyelesaikan perselisihan perdagangan, meninjau kebijakan perdagangan nasional,
menyediakan bantuan untuk negara berkembang dalam isu kebijakan perdagangan melalui bantuan
teknis dan program pelatihan, serta bekerjasama dengan organisasi internasional lainnya

3. Pengenaan pajak atas dividen dalam skema internasional, memungkinkan timbulnya pengenaan
pajak berganda. Hal ini terjadi apabila negara domisili dari pihak yang membayarkan dividen (negara
sumber) menerapkan prinsip pemajakan territorial. Di lain pihak, negara domisili dari pihak yang
menerima dividen (negara domisili) menerapkan prinsip pemajakan worldwide income. Dengan
demikian, kedua negara tersebut mengklaim mempunyai hak pemajakan atas dividen tersebut.

Untuk mengatasi terjadinya pengenaan pajak berganda atas dividen, Pasal 10 OECD Model dan UN
Model telah mengatur aspek pajak internasional terkait pembayaran dividen. Lang, sebagaimana
dikutip oleh May (2011), menyebutkan bahwa Pasal 10 OECD Model dan UN Model berkaitan dengan
alokasi hak pemajakan dalam situasi di mana suatu perusahaan yang merupakan subjek pajak dalam
negeri di negara sumber membayar dividen kepada subjek pajak dalam negeri di negara domisili.

Oleh karena itu, dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang bukan merupakan subjek pajak dalam
negeri dari negara sumber atau subjek pajak dalam negeri negara ketiga, tidak dapat menerapkan
ketentuan dalam Pasal 10 OECD Model.

Dalam Pasal 10 OECD Model dan UN Model, alokasi hak pemajakan atas dividen diatur dalam Pasal
10 ayat (1). Menurut pasal ini, hak pemajakan atas dividen tidak hanya diberikan kepada negara
domisili. Hal ini tercermin dari kata may be taxed yang digunakan dalam rumusan Pasal 10 ayat (1),
yang mengandung arti bahwa masing-masing negara pihak dalam P3B memiliki hak pemajakan atas
dividen.

Namun, hak pemajakan negara sumber atas dividen tersebut dibatasi (limited taxation right)
berdasarkan suatu persentase tertentu dari jumlah bruto pembayaran dividen. Adapun pembatasan hak
pemajakan negara sumber atas dividen yang dibayarkan oleh subjek pajak dalam negerinya hanya
berlaku apabila penerima dividen tersebut: (i) merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara
lainnya (negara domisili); dan (ii) merupakan penerima manfaat yang sebenarnya dari dividen tersebut
(beneficial owner).

Selain pengalokasian hak pemajakan, Pasal 10 OECD Model dan UN Model juga mengatur definisi
‘dividen’. Mengacu pada definisi dividen dalam Pasal 10 ayat (3), diketahui bahwa istilah dividen
pada dasarnya mengacu pada penghasilan dari kontribusi modal. Misal, dari kepemilikan saham pada
suatu perusahaan, bukan dari kontribusi pinjaman. Dengan demikian, penghasilan dari utang piutang
tidak termasuk dalam pengertian dividen.

Terkait dengan pemajakan atas dividen yang diterima oleh BUT yang berkedudukan di negara sumber,
Pasal 10 OECD Model dan UN Model telah mengatur secara khusus ketentuan pemajakannya.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (4), dividen akan diperlakukan sebagai laba usaha (business profit) apabila
pemegang saham di negara domisili memiliki hubungan efektif (effectively connected) dengan BUT
yang dimiliki oleh pemegang saham tersebut di negara sumber. Dalam kondisi ini, ketentuan yang
berlaku dalam mengatur pemajakan atas dividen tersebut bukan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2),
melainkan Pasal 7 mengenai laba usaha (business profit).

Perlu diketahui bahwa Pasal 10 OECD Model dan UN Model juga memiliki ketentuan untuk
mencegah suatu negara dari memajaki dividen yang dibayarkan di luar wilayah negaranya (extra-
territorial dividend). Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (5).

Dengan demikian, fungsi dari ketentuan Pasal 10 ayat (5) OECD Model adalah untuk membatasi
kekuasaan masing-masing negara untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang didistribusikan atau
yang tidak didistribusikan pada perusahaan yang bukan merupakan subjek pajak dalam negeri
negaranya, meskipun keuntungan tersebut diterima dari wilayahnya. Dikatakan Setuju atau tidak yang
terprnting adalah regulasi yang diterapkan serta manfaat yang diperoleh oleh negara dalam pajak
tersebut serta tidak memberatkan bagi wajib pajak.

4. Pajak internasional adalah aspek internasional dalam undang-undang perpajakan suatu negara.
Lebih terperinci lagi, definisi pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara
negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya
dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).

Pada dasarnya, ketentuan pajak internasional dari suatu negara mengatur dua hal, yaitu tentang
pemajakan atas subjek pajak dalam negeri suatu negara yang menerima penghasilan dari sumber di
luar negaranya, dan mengatur pemajakan atas subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan
dari sumber di dalam daerah teritorial suatu negara.

Sebab, tiap-tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda-beda. Tentunya, ini akan menimbulkan
sengketa ketika terjadi transaksi antarnegara tanpa adanya hukum yang mengatur pajak tersebut.
Adanya kesepakatan pajak antarnegara ini dapat meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua
negara, dan menghilangkan hambatan dalam investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak
yang memberatkan wajib pajak dari kedua negara.

Pada umumnya, ada dua faktor penghubung dalam membuat ketentuan pajak internasional:

Personal Connecting Factor: Faktor ini mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan status
subjek pajak negara tersebut. Untuk subjek pajak orang pribadi, ketentuannya berdasarkan kriteria
tempat tinggal atau keberadaan. Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuannya berdasarkan
kriteria tempat didirikannya atau tempat kedudukannya.
Objective Connecting Factor: Faktor ini mengaitkan hak pemajakan suatu negara berdasarkan aktivitas
ekonomi atau objek pajak negara tersebut. Kriterianya dapat berupa tempat suatu harta, tempat
aktivitas pemberian jasa, tempat suatu kontrak ditandatangani, tempat pembayar penghasilan
berdomisili, atau tempat suatu biaya dibebankan.

5. Jika mengacu pada PPh Pasal 26, transaksi Mrs. Latifah Bersama harus dipotong sebesar 20%.
Namun sebelumnya, Mrs. Latifah Bersama harus melihat terlebih dahulu penerapan tax treaty antara
Indonesia dan Malaysia.

Pada Pasal 5.2.j dalam Treaty Indonesia dengan Amerika, menyebutkan bahwa:

“Istilah ‘Bentuk Usaha Tetap’ meliputi namun tidak terbatas pada: (j) pemberian jasa-jasa, termasuk
jasa konsultasi, melalui pegawai atau orang lain untuk tujuan tersebut, namun hanya jika kegiatan-
kegiatan tersebut berlangsung (untuk proyek yang sama atau yang berhubungan) lebih dari 120 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, sepanjang tidak terdapat suatu bentuk usaha tetap pada tahun pajak di
mana jasa-jasa tersebut dilakukan di negara tersebut untuk suatu masa atau masa-masa yang
keseluruhannya kurang dari 30 hari pada tahun pajak itu.”

Mengingat kerja sama antara Mrs. Latifah Bersama dengan perusahaan UMKM asal Indonesia itu
berlangsung selama 6 hari dikali 20 pertemuan , maka jasa tersebut tidak dikenakan PPh Pasal 26.
Meskipun nihil, Mrs. Latifah Bersama tetap harus melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 atau 26 sesuai
dengan peraturan yang berlaku.

Anda mungkin juga menyukai