Anda di halaman 1dari 9

SEMINAR PERPAJAKAN

Aspek Pajak Jasa Kontruksi

Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Seminar Perpajakan

Kelas: Seminar Perpajakan - B

Rizka Nindita Ramadani – C10160243


Firdian Aditya Putra – C10160240
Siti Suryani – C10150245

PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI EKUITAS
BANDUNG
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No.187/PMK.03/2008 menetapkan bahwa atas penghasilan yang
diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di bidang jasa
konstruksi, dikenakan pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan,
dimana penghasilan yang diterima dapat dikenakan potongan pajak yang bersifat final
berdasarkan UU Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat
(2). Pemotongan bersifat final artinya bahwa penghasilan tersebut tidak perlu di gabungkan
dengan penghasilan lainnya dalam perhitungan pajak penghasilan terutang dan pajak yang
dikenakan tidak dapat dikreditkan. Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping
sumber penerimaan migas maupun non migas.
Pasal 1 Undang-undang No. 16 Tahun 2009 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan menyatakan bahwa, Pajak adalah Konstribusi wajib kepada Negara yang terutang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan yang di maksud dengan jasa konstruksi adalah layanan
konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa
konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah pengertian jasa konstruksi?
2. Bagaimana aspek perpajakan atas jasa konstruksi?
3. Apakah perbedaan pengenaan PPh pasal 23 dengan PPh pasal 4 ayat 2?
4. Bagaimana tata cara pemotongan, pembayaran dan pelaporan pajaknya?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN


1. Memahami apakah jasa konstruksi itu.
2. Memahami aspek pajak atas jasa konstruksi.
3. Mengetahui perbedaan PPh pasal 23 dan PPh pasal 4 ayat 2.
4. Mengetahui tata cara pemotongan, pembayaran dan pelaporan usaha jasa konstruksi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN JASA KONSTRUKSI


Pengertian jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi
pengawasan konstruksi.
Pengertian jasa konstruksi dalam Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Berdasarkan pasal 1 angka 2
dan angka 3 Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008, jasa konstruksi adalah layanan jasa
konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi,
dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi adalah
keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta
pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
Pengguna jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha tetap yang
memerlukan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk
bentuk usaha tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi baik sebagai
perencana konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya.

2.2 ASPEK PERPAJAKAN ATAS JASA KONSTRUKSI


a. Pelaksanaan Pengenaan Pajak Atas Jasa Konstruksi
Dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 10 tahun 1994 dapat kita ketahui
bahwa mulai tangal 1 Januari 1995 jasa konstruksi dikenai pajak penghasilan dengan tarif
umum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila badan pemerintah, Subyek Pajak
badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya melakukan pembayaran jasa konstruksi kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap maka harus melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% dari
perkiraan penghasilan neto yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Untuk memberikan kemudahan dan kepastian hukum serta meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan, pada tanggal 20 Desember 1996
ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan yang mengatur bahwa atas
penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha jasa pelaksanaan konstruksi dan
Wajib Pajak badan yang bergerak dibidang usaha jasa perencanaan kontruksi, jasa
pengawasan kontruksi dan/atau jasa konsultan, kecuali konsultan hukum dan konsultan
pajak, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini maka sejak tanggal 1 Januari 1997, seluruh penghasilan atas usaha jasa konstruksi dan
konsultan kecuali konsultan hukum dan konsultan pajak dikenai pajak penghasilan yang
bersifat final.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengenaan pajak penghasilan atas
penghasilan dari usaha jasa konstruksi, pada tanggal 21 Desember 2000 diundangkan
Peraturan Pemerintah nomor 140 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Jasa Konstruksi. Dalam peraturan Pemerintah ini diatur bahwa atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari usaha di
bidang jasa kontruksi, dikenakan pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum undang
undang pajak penghasilan. Namun demikian, atas penghasilan yang diterima wajib pajak
yang memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai pengadaan sampai dengan Rp.
1.000.000.000, dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini maka sejak tanggal 1 Januari 2001, penghasilan atas usaha jasa konstruksi ada
yang dikenai pajak penghasilan berdasarkan ketentuan umum dan ada yang dikenai pajak
penghasilan yang bersifat final. Pada dasarnya penghasilan atas jasa konstruksi dikenakan
pajak penghasilan dengan tarif umum kecuali diterima oleh wajib pajak yang memenuhi
kualifikasi sebagai usaha kecil dan nilai pengadaan sampai dengan Rp. 1.000.000.000.
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dikenai pajak
penghasilan berdasarkan ketentuan umum dikenakan pemotongan pajak berdasarkan Pasal 23
Undang-Undang Pajak Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah
pemotong pajak pada saat pembayaran uang muka dan termin. Untuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dikenai pajak penghasilan bersifat final dikenakan
pemotongan pajak yang bersifat final oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah
pemotong pajak Penghasilan pada saat pembayaran uang muka dan termin.
Untuk menyederhanakan pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha
jasa konstruksi dan memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib
Pajak, pada tanggal 20 Juli 2008 ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Berdasarkan
peraturan pemerintah ini, mulai tanggal 1 Januari 2008 seluruh penghasilan atas usaha jasa
konstruksi dikenai pajak penghasilan yang bersifat final.
Karena penerapan peraturan ini berlaku surut, maka menimbulkan kendala dalam
implementasinya di lapangan karena banyak Wajib Pajak yang melakukan kontrak jasa
konstruksi yang telah dipotong PPh Pasal 23 oleh pengguna jasa. Untuk mengatasi kendala
ini, pada tanggal 04 Juni 2009 diundangkan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Dalam peraturan Pemerintah ini,
pengenaan pajak penghasilan jasa konstruksi yang dilakukan dalam tahun 2008 diatur
sebagai berikut:
1. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk
pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan sampai dengan tanggal 31
Desember 2008, berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
nomor 140 tahun 2000.
2. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk
pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak dilakukan setelah tanggal 31 Desember
2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani
oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31
Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pemerintah nomor 140 tahun 2000;
b. dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani
oleh Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sejak tanggal 1 Januari 2009 atau
penyelesaian pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima
penyelesaian pekerjaan, pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan
berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
3. Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008, pengenaan Pajak
Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
Dengan memperhatikan dinamika pengenaan pajak atas jasa konstruksi dalam
Undang Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang jasa
konstruksi sebagaimana telah diuraikan diatas dapat diketahui bahwa pemerintah
menghendaki pengenaan pajak bersifat final atas jasa konstruksi. Hal ini dapat diketahui
dengan diaturnya pengenaan pajak yang bersifat final atas jasa konstruksi dalam pasal 4(2)
huruf d Undang Undang nomor 36 Tahun 2008. Pengaturan ini untuk memperkuat
kedudukan hukum pengenaan pajak yang bersifat final atas jasa konstruksi yang sebelumnya
diatur dalam peraturan pemerintah.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh jasa konstruksi yang
kontraknya ditandatangani setelah tanggal 01 Agustus 2008 dikenai pajak penghasilan yang
bersifat final sehingga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4(2) oleh pengguna jasa.
Untuk jasa konstruksi yang kontraknya ditandatangani sebelum 01 Agustus 2008 pengenaan
pajaknya mengikuti Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009.
Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tidak bermaksud memberikan pilihan kepada
wajib pajak yang bergerak di bidang jasa konstruksi dalam pengenaan pajaknya antara final
dan tarif umum akan tetapi untuk memberikan penegasan bahwa atas jasa konstruksi dikenai
pajak yang bersifat final yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah yaitu
Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40
tahun 2009.

b. Jasa Konstruksi Sebagai Jasa Lain Yang Merupakan Objek PPh Pasal 23
Dalam pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur bahwa ketentuan
lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c angka 2
diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan. Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur jenis jasa lain ini adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor
244/PMK.03/2008. Apabila kita perhatikan lebih jauh pasal 1 peraturan menteri keuangan,
setidaknya terdapat dua jenis jasa konstruksi yang dikelompokkan sebagai jenis jasa lainnya
yaitu:
1. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV
kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
2. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh
Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
Jika kita gunakan parameter Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 sebagai
dasar pengenaan pajak maka dua jenis jasa diatas dapat kita kelompokkan kedalam jasa
pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha sehingga akan dikenakan PPh final dengan tarif empat persen, namun karena dalam
peraturan menteri keuangan dua jenis jasa tersebut dikelompokkan ke dalam jenis jasa lain
maka perlakuannya bukan merupakan objek PPh final tetapi merupakan objek pemotongan
PPh Pasal 23.

2.3 PERBEDAAN PENGENAAN PPH PASAL 23 DAN PPH PASAL 4 AYAT 2


A. PPh pasal 23
 PPh pasal 23 (1) (A)
 Jika bukan sebagai jasa konstruksi
 15% X bruto yang termasuk sebagai deviden, bunga, royalty, hadiah, dan
penghargaan.
 PPh pasal 23 (1) (C)
 Sewa selain tanah atau bangunan
 Jasa teknik manajemen
 Jasa lain (244/PMK.09/2008)
 Kontrak dipisah material dan jasa, 2% X jasa
 Kontrak tidak dipisah, 2% X bruto

B. PPh pasal 4 ayat 2


 Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang
mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
 Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang
mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan
dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan
(engineering, procurement and construction) serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build).
Tarif pajak untuk pelaksanaan konstruksi dan perencanaan konstruksi :
1. 2 % X Nilai kontrak : Untuk penyedia jasa kecil,.
2. 4% X Nilai kontrak : Untuk penyedia jasa yang tidak memiliki
kualifikasi usaha
3. 3% X Nilai kontrak : Untuk penyedia jasa selain penyedia (1 dan 2).
 Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Tarif pajak untuk perencanaan dan pengawasan
1. 4% X Nilai kontrak : Untuk penyedia jasa usaha
2. 6% X Nilai kontrak : Untuk penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi.

2.4 TATA CARA PEMOTONGAN, PEMBAYARAN DAN PELAPORAN


Bila pengguna jasa adalah badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,
bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur
Jenderal Pajak, dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran uang muka dan termin. Bila
pengguna jasa adalah selain huruf a, disetor sendiri oleh penerima penghasilan pada saat
pembayaran uang muka dan termin.

Cara pembayaran dan pelaporan pph atas jasa konstruksi adalah sebagai berikut:
 Dalam hal Pajak Penghasilan yang terutang melalui pemotongan, maka Pembayaran
atau penyetoran pajak disetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal
10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
 Dalam hal Pajak Penghasilan terutang harus disetor sendiri oleh yang penyedia jasa,
maka wajib menyetor ke bank persepsi atau kantor pos, paling lama tanggal 15 bulan
berikutnya setelah masa masa pajak berakhir;
 Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan pemotongan dan atau penyetoran pajaknya
melalui Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayan Pajak atau KP2KP, paling
lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.
 Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan pajak bertepatan
dengan hari libur termasuk hari sabtu atau hari libur nasional, penyetoran atau
pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2.5 PPN ATAS JASA KONSTRUKSI


PPN atas Jasa Konstruksi dikenakan Sebesar 10% dari transaksi Jasa Konstruksi. (Bila kontrak
sudah termasuk PPN maka dikalikan 10/110%) PPN terutang saat Pembayaran atau penyerahan
Hasil Konstruksi.
BAB III
KESIMPULAN

Untuk memahami PPh Jasa Konstruksi maka kita harus mengetahui apa yang
termasuk dalam jasa kontruksi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi, jasa konstruksi adalah layanan
jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Artinya jasa
konstruksi dimulai dari tahap awal yakni konsultasi sampai dengan tahap akhir sebuah bangunan
selesai dikerjakan. Besaran nominal dalam jasa konstruksi disebut dengan istilah nilai kontrak.
Nilai kontrak inilah yang nantinya akan dikenakan PPh Jasa Konstruksi sesuai dengan PP No 5
Tahun 2008.
Pembayaran PPh Final Usaha Jasa Konstruksi dilakukan melalui pemotongan atau
pemungutan oleh pengguna jasa atau penyetoran sendiri oleh kontraktor. Pelunasan PPh oleh
pengguna jasa berstatus sebagai pemotong PPh, dilakukan melalui pemotongan PPh oleh
pengguna jasa itu sendiri. Namun apabila pengguna jasa bukan pemotong PPh, maka kontraktor
sebagai pemberi jasa dan penerima penghasilan, wajib menyetorkan sendiri Pajak Penghasilan
yang terutang.
Pembayaran dan pelunasan PPh Final usaha jasa konstruksi dilakukan paling lambat
pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh oleh pengguna jasa.
Atau tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran oleh
pemberi jasa (kontraktor). Pelaporan SPT Masa PPh Final Pasal 4 ayat 2 bagi pengguna jasa dan
pemberi jasa konstruksi dilakukan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah
bulan terutangnya PPh atau bulan diterimanya pembayaran pajak atas jasa konstruksi.

Anda mungkin juga menyukai