(untuk memenuhi salah satu tugas makalah mata kuliah Manajemen Perpajakan)
Disusun oleh:
UNIVERSITAS WIDYATAMA
Gedung Pascasarjana Widyatama
Jl. PHH. Mustofa No. 59 Bandung 40124
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
i
Daftar Isi
BAB I ................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah ............................................................................................................. 2
1.4 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................... 3
LANDASAN TEORI DAN PEMIKIRAN ..................................................................................... 3
2.1 Pengertian Pajak ............................................................................................................. 3
2.2 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ............................................................................ 4
2.3 Pengertian Perencanaan Pajak ( Tax Planning ) .......................................................... 8
2.4 Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP ................................................................... 10
2.4.1 Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP ............................................................................ 12
2.4.2 Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan (Sifat Retroaktif) ........ 12
2.4.3 Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP .............. 12
2.5 Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan Agar
Memenuhi Syarat Formal dan Material. .................................................................................... 13
2.5.1 Persyaratan Formal ...................................................................................................... 14
2.5.2 Persyaratan Material .................................................................................................... 15
2.5.3 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan ....................................................... 16
2.6 Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang ............................................................ 17
2.7 Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang
Dinyatakan Tidak Ada .......................................................................................................... 19
2.8 Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan ................ 23
BAB III ........................................................................................................................................... 26
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 26
3.1 Contoh Kasus PT. UNILEVER .................................................................................... 26
3.2 Contoh Kasus UD. TRIMURNI ................................................................................... 27
BAB IV............................................................................................................................................ 30
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 30
4.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 30
4.2 Saran ............................................................................................................................... 30
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pajak setidaknya mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi
mengatur (reguler) yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di
bidang sosial dan ekonomi. Selain itu, terdapat juga ciri-ciri pajak yang salah satunya adalah
dapat dipaksakan sehingga setiap entitas yang sudah menjadi Wajib Pajak (WP) atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus mematuhi hukum perpajakan.
PKP dalam memenuhi kewajiban PPN seringkali mengalami kesulitan baik dari segi
waktu, biaya, kelengkapan, dan lain-lain. Untuk itu, makalah ini dibuat untuk menghimbau
PKP melakukan Tax Planning dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Tax Planning adalah salah satu cara yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dalam
melakukan manjemen perpajakan usaha atau penghasilannya, namun perlu diperhatikan
bahwa perencaan pajak yang dimaksud adalah perencanaan pajak tanpa melakukan
pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
Kesulitan dalam memenuhi kewajiban PPN dapat disebabkan oleh berbagai situasi,
salah satunya adalah perbedaan kurs nasional yang bisa saja menyebabkan PKP harus
membayar PPN dalam jumlah lebih besar, seringkali hal ini terjadi pada perusahaan besar.
2
Dalam situasi atau kondisi seperti itu, manajer harus dapat mengambil keputusan
manajerial yang salah satunya adalah dengan tax planning. Untuk itu, perlu disajikan contoh
kasus berserta analisanya.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PEMIKIRAN
daerah Anda, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi anak
Anda, dan lain-lainnya.
4. Berdasarkan Undang-undang
Artinya pajak diatur dalam undang-undang negara. Ada beberapa undang-undang
yang mengatur tentang mekanisme perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah
serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit,
basal, dan trakkit.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
1. Beras
2. Gabah
3. Jagung
4. Sagu
5. Kedelai
6. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus.
8. Telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan,diasinkan,
atau dikemas
9. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas.
10. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas.
11. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotelm restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang di konsumsi ditempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering.
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga
6
4. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia.
5. Jasa penjaminan
e. Jasa asuransi
f. Jasa keagamaan, meliputi:
1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan.
4. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. Jasa pendidikan, meliputi:
1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. Jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di
bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian
tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
k. Jasa tenaga kerja, meliputi:
1. Jasa tenaga kerja.
2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
m. Jasa perhotelan, meliputi:
1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan
perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.
8
n. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum.
o. Jasa penyediaan tempat parkir.
p. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
q. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
r. Jasa boga atau catering.
Tax Planning merupakan suatu perencanaan pajak sehingga dapat mencapai suatu
penghematan pajak (tax savings) dengan mencari ide baru ataupun dengan memanfaatkan
loopholes (hal yang tidak diatur oleh peraturan). Tujuan dari kegiatan Tax planning jelas
untuk untuk mengurangi jumlah atau total pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.
Namun perlu dicatat, Tax Planning tidak digunakan atau tidak ditujukan untuk
melalaikan kewajiban perpapajakan sebagai wajib pajak. Tax Planning merupakan usaha
untuk memanfaatkan peluang yang berkaitan dengan peraturan perpajakan untuk
menguntungkan perusahaan tanpa merugikan pemerintah serta dilakukan dengan cara yang
legal.
Beberapa pengertian Tax Planning oleh beberapa ahli :
a. Tax Planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak (WP) untuk
menyusun aktivitas keuangan guna menmdapat pengeluaran (beban) pajak yang
minimal. secara teoritis, tax planning dikenal sebagai effective tax planning, yaitu
seorang wajib pajak berusaha mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui
prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU
Perpajakan (Hoffman, 1961).
b. Menurut Gunawan, yang dikutip oleh Lumbantoruan (Lumbantoruan : 1996:485), tax
planning merupakan upaya legal yang bisa dilakukan oleh wajib pajak. Tindakan itu
legal karena penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang
tidak diatur (loopholes). Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh misalnya,
mengambil ketentuan yang sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian
dan pemotongan atau pengurangan yang diperkenankan. Pada umumnya tax planning
adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Rencana meminimalkan pajak dapat
ditempuh dengan cara, mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari ketentuan
9
mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan, hal ini
dapat memanfaatkan penghasilan yang dikecualikan sebagai obyek pajak sesuai
dengan pasal 4 ayat 3.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalamkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.
a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id
Pengusaha yang dikenai PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha orang pribadi atau
badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat tinggal, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di
tempat kegiatan usaha dilakukan.
Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil yang
tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak
dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Adapun tempat pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu
adalah sebagai berikut:
a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali
yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan
permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP
BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.
12
2.4.2 Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan (Sifat Retroaktif)
KPP dapat menerbitkan NPWP dan Pengukuhan PKP secara jabatan, apabila WP
tidak memenuhi kewajiban mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, bila berdasarkan data yang
dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh
NPWP atau PKP.
2.4.3 Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, sehingga
dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Pidana tersebut di atas ditambah 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana,
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Setiap
orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
13
tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
2.5 Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan
Agar Memenuhi Syarat Formal dan Material.
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat berfungsi
sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran,
Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan
material sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat
(9) UU PPN yang berbunyi: Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan
material.
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).
a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang
diterbitkan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu
kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi
berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut.
Tidak semua Pengusaha Kena Pajak yang dikarenakan membuat faktur pajak
tidak sesuai persyaratan formal terkena sanksi, ada pengecualian dari pengenaan sanksi
apabila Pengusaha Kena Pajak keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak dan keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama
dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
15
Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak
dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak
yang penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.
Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
16
a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak;
17
8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
cabangpun kurang selaras dengan karakter PPN, yaitu netral dalam kegiatan ekonomi.
Netral dalam arti bahwa pengenaan PPN terhadap suatu barang atau jasa semata-mata
untuk kepentingan aktivitas ekonomi, bukan atas pertimbangan politik misalnya. Belum
lagi bila dikaitkan dengan prinsip akuntansi yang berlaku adalah tidak dibenarkan
apabila dalam satu entitas melakukan kegiatan transaksi.
Kebijakan penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau
sebaliknya, tentu tidak lepas dari kebijakan pemusatan PPN. Untuk mengimbangi
kebijakan tersebut di atas, diatur dalam pasal 1A ayat 2c UU PPN yaitu bagi PKP yang
telah mendapat ijin pemusatan PPN terutang, maka penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang atau sebaliknya bukan merupakan objek pajak.
Ilustrasi:
PT Yudi Putra merupakan perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Surabaya.
Setiap barang jadi (finish goods) yang dihasilkan dikirimkan ke cabang perusahaan yang
berlokasi di wilayah yang berbeda di kota Surabaya. Untuk memasarkan produknya, PT
Yudi Putra mengirimkan barang hasil produksinya ke perusahaan lain yaitu PT UB
Factory Outlet yang berlokasi di kota Malang. Dari ilustrasi tersebut, apabila PT Yudi
Putra melakukan pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak menimbulkan
PPN terutang. Sedangkan pengiriman baran ke PT UB Factory Outlet menimbulkan
PPN terutang berupa PPN keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak melakukan pemusatan
atas PPN nya, maka setiap barang keluar dari pabrik akan menimbulkan PPN terutang
meskipun satu entitas.
Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan
jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang tempat
pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil DJP
WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Surat
edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan pemusatan
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan
usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan
19
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak
Madya.
dengan ketentuan umum UU PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan
untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual. Kecuali jika pembeli berstatus
sebagai Wapu PPN, maka pembeli tidak diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM
kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN,
PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan
melaporkan PPN maupun PPn-BM yang terutang. Ini artinya pembeli diwajibkan untuk
membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa
pembeli sudah membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli akan
mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dibayar kepada
PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak
Masukan (PM) dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada
bulan yang sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan
berikutnya setelah bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Memang, dalam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak
boleh dikreditkan. Begitu pun dalam ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa
kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang ditetapkan oleh kedua
pasal tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di kedua pasal
tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual belum atau tidak
melaporkan Faktur Pajak Keluarannya, maka hilang pula hak pengkreditan Pajak
Masukan (PM) oleh pembeli.
Apabila faktur pajak masukan dikonfirmasi tidak ada, salah satu penyebabnya
adalah seperti ilustrasi sebagai berikut:
PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit
komputer kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan
ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang
diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:
lembar pertama diberikan kepada PT Putri sebagai bukti beban pajak yang
seharusnya dibayar;
lembar kedua menjadi arsip PT Putra sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Putra wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas
Negara.
4. PT Putri wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Putra.
5. Bagi PT Putri, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah untuk pengkreditan
pajak dalam suatu Masa Pajak.
Jika PT. Tidak tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah melunasi PPN atas
pembelian komputer tersebut? maka PT Putri dibebani tanggung jawab secara renteng
atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Putri) harus membayar Rp.7.000.000,-
lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33
yang berbunyi: Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak,
sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.
Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)
a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.
Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
PP 1 Tahun 2012)
23
Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin dan
memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa faktur
pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.
2.8 Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan
Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN
dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:
Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam
mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount. Cash
Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur
Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount
tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada
omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT
Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara
rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri.
25
Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil
tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Jumlah A + B CCC
Selisih (C D) EEE
Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.
26
BAB III
Pastikan bahwa semua faktur pajak masukan yang diterima perusahaan dari pemasok
dapat dikreditkan. Walaupun faktur pajak masukan yang tidak dikreditkan dapat dibebankan
sebagai biaya, akan tetapi hal ini akan merugikan buat perusahaan. Tidak sedikit perusahaan
menganggap bahwa pajak masukan dibebankan lebih menguntungkan karena dapat
menghemat pajak sebesar 25%, akan tetapi penhematan tersebut hanya sebesar 25% dari
10% yaitu 2,5%. Misalnya PT Unilever Indonesia Tbk memiliki penjualan sebesar Rp
27.303.248.000.000,- pembelian Rp 13.414.122.000.000,- (sebelum PPn), dan beban
operasional sebesar Rp 5.889.372.000.000,- maka berikut ini adalah ilustrasi penghematan
pajak pertambahan nilai (PPn) dikreditkan dengan pajak masukan dibanding dengan PPn
dibebankan dengan beban.
Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa pemanfaatan faktur pajak sebagai pajak
masukan lebih hemat, yaitu total pajak yang dibayarkan PT Unilever Indonesia Tbk hanya
Rp 4.534.972.863.636,- dibandingkan dengan PPN dibebankan yang total pembayaran
pajaknya Rp 5.449.572.090.909,- sehingga penghematan pajak jika PPn dikreditkan oleh
perusahaan adalah sebesar Rp 914. 599.227.272,-
27
UD.Tri Murni memiliki omzet penjualan lebih dari 500 juta rupiah, oleh karena itu
UD.Tri Murni ini digolongkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.Selain melakukan pembelian
terhadap barang dagangan yang berhubungan dengan usaha, UD.Tri Murni juga melakukan
pembelian barang yang tidak berhubungan langsung dengan usaha.
Dari data yang didapat di perusahaan, ada hal penting yang harus diperhatikan dalam
mekanisme penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai untuk melakukan
perencanaan pajak.Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah peraturan perpajakan
mengenai tarif dan waktu pembayaran serta pelaporan Pajak Pertambahan Nilai.
Berdasarkan data yang ada pada tahun 2012 akan di buat data tahun 2013 untuk
mengetahui berapa PPN terhutang perusahaan pada tahun 2013, dengan cara penjualan
dikali 2 (penjualan akan dihitung dengan menggunakan data PPN keluaran tahun 2012) dan
pembelian dibagi 2 untuk pembelian BKP dan Non BKP (pembelian akan dihitung dengan
menggunakan data PPN masukan, contoh: Pada bulan januari penjualan sebesar Rp.
28
51.940.766 dikenakan tarif PPN keluaran sebesar 10% yaitu Rp. 5.194.077, dan pembelian
untuk BKP sebesar Rp. 25.210.895 dikenakan tarif PPN masukan sebesar 10% yaitu Rp.
2.521.090, sedangkan untuk pembelian non BKP sebesar Rp. 25.210.895 tetapi untuk
pembelian non BKP tidak dikenakan tarif PPN 10%, untuk mengetahui berapa PPN
terhutang pada bulan Januari adalah dengan
Cara mengurangi jumlah pajak keluaran terhadap pajak masukan, rumusnya adalah:
Hasil dari pembelian barang BKP dan Non BKP, didapati PPN Terhutang perusahaan
pada tahun 2013 yang diperoleh dari PPN keluaran dikurangi PPN masukan adalah sebesar
41.597.928. Berdasarkan data tahun 2013 perencanaan pajak yang akan dilakukan adalah
perencanaan pajak untuk meminimalkan PPN terhutang dari perusaan, dengan perencanaan
pajak tersebut perusahaan akan memperoleh hasil sebagai berikut.
Hasil dari tahun 2013 didapati bahwa perusahaan melakukan Tax Planning dengan
cara melakukanpembelian barang hanya ke BKP, berbeda dengan sebelum melakukan Tax
Planning dimana perusahaan membeli barang BKP dan Non BKP, dengan cara tersebut
perusahaan berhasil meminimalkan PPN terhutangnya. Dengan menerapkan Tax Planning
PPN terhutang yang akan dibayar perusahaan pada tahun 2013 lebih kecil yaitu sebesar
2.082.702, dibandingkan sebelum melakukan Tax planning PPN terhutang perusahaan
sebesar 41.597.928.
30
BAB IV
4.1 KESIMPULAN
4.2 Saran
Dari contoh kasus di atas, penulis mencoba memberikan beberapa saran yang
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca tulisan ini:
1. Dalam rangka mengurangi PPN, perusahaan diharapkan membuat tax planning
terlebih dahulu. Tax planning dapat dilakukan dengan membebankan PPN sebagai
pajak masukan bukan biaya ataupun dapat dilakukan dengan membeli BKP saja
2. Setelah melakukan Tax Planning, diharapkan perusahaan mentaati peraturan
perpajakan yang berlaku untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan di masa
yang akan dating
31
DAFTAR PUSTAKA
Djoko Muljono, 2009, Tax planning: menyiasati pajak dengan bijak, Yogyakarta, Andi
www.pajak.go.id
www.ortax.org
www.himmapi.com