Anda di halaman 1dari 34

Tugas Makalah Manajemen Perpajakan

Tax Planning dan Pengendalian atas Pajak Pertambahan Nilai

(untuk memenuhi salah satu tugas makalah mata kuliah Manajemen Perpajakan)

Disusun oleh:

Edwin Dwitianto Fernando (1517102002)

Mahardika Dwi Mulyana (1517102010)

Rizkal Rizaldi (1517102012)

UNIVERSITAS WIDYATAMA
Gedung Pascasarjana Widyatama
Jl. PHH. Mustofa No. 59 Bandung 40124
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga

makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak

terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan

sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun

menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih

banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran

dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
Daftar Isi
BAB I ................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1
1.2 Identifikasi Masalah ....................................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah ............................................................................................................. 2
1.4 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................... 3
LANDASAN TEORI DAN PEMIKIRAN ..................................................................................... 3
2.1 Pengertian Pajak ............................................................................................................. 3
2.2 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ............................................................................ 4
2.3 Pengertian Perencanaan Pajak ( Tax Planning ) .......................................................... 8
2.4 Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP ................................................................... 10
2.4.1 Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP ............................................................................ 12
2.4.2 Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan (Sifat Retroaktif) ........ 12
2.4.3 Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP .............. 12
2.5 Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan Agar
Memenuhi Syarat Formal dan Material. .................................................................................... 13
2.5.1 Persyaratan Formal ...................................................................................................... 14
2.5.2 Persyaratan Material .................................................................................................... 15
2.5.3 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan ....................................................... 16
2.6 Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang ............................................................ 17
2.7 Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang
Dinyatakan Tidak Ada .......................................................................................................... 19
2.8 Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan ................ 23
BAB III ........................................................................................................................................... 26
CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN .................................................................................. 26
3.1 Contoh Kasus PT. UNILEVER .................................................................................... 26
3.2 Contoh Kasus UD. TRIMURNI ................................................................................... 27
BAB IV............................................................................................................................................ 30
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 30
4.1 KESIMPULAN .............................................................................................................. 30
4.2 Saran ............................................................................................................................... 30

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pajak merupakan iuran wajib bagi wajib pajak di Negara Indonesia, iuran wajib yang
dipungut itu menjadi salah satu sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Pajak menjadi sebuah komponen yang penting dalam kehidupan
perekonomian nasional, karena faktanya pajak merupakan sumber pendapatan yang terbesar
bagi APBN dibandingkan sumber-sumber pendapatan yang lain.

Pajak setidaknya mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi
mengatur (reguler) yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di
bidang sosial dan ekonomi. Selain itu, terdapat juga ciri-ciri pajak yang salah satunya adalah
dapat dipaksakan sehingga setiap entitas yang sudah menjadi Wajib Pajak (WP) atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus mematuhi hukum perpajakan.

Pajak juga dapat dikelompokkan berdasarkan golongannya, lembaga pemungutnya


ataupun berdasarkan sifatnya. Dalam makalah ini pajak yang dibahas adalah mengenai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang termasuk dalam golongan tidak langsung, dipungut
oleh Pemerintah Pusat dan sifatnya pajak subjektif.

PKP dalam memenuhi kewajiban PPN seringkali mengalami kesulitan baik dari segi
waktu, biaya, kelengkapan, dan lain-lain. Untuk itu, makalah ini dibuat untuk menghimbau
PKP melakukan Tax Planning dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tax Planning adalah salah satu cara yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dalam
melakukan manjemen perpajakan usaha atau penghasilannya, namun perlu diperhatikan
bahwa perencaan pajak yang dimaksud adalah perencanaan pajak tanpa melakukan
pelanggaran konstitusi atau Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.

Kesulitan dalam memenuhi kewajiban PPN dapat disebabkan oleh berbagai situasi,
salah satunya adalah perbedaan kurs nasional yang bisa saja menyebabkan PKP harus
membayar PPN dalam jumlah lebih besar, seringkali hal ini terjadi pada perusahaan besar.
2

Dalam situasi atau kondisi seperti itu, manajer harus dapat mengambil keputusan
manajerial yang salah satunya adalah dengan tax planning. Untuk itu, perlu disajikan contoh
kasus berserta analisanya.

1.2 Identifikasi Masalah


Dari latar belakang masalah di atas, dapat diindetifikasi beberapa masalah yang
diangkat untuk dibahas lebih lanjut. Masalah- masalah tersebut antara lain:
1. Apakah Tax Planning benar-benar dapat menghemat PPN yan harus dibayar?
2. Apakah perhitungan pajak melalui Tax Planning sudah sesuai dengan Undang-
Undang?
3. Berapa besar penghematan yang dapat dilakukan dalam kasus tersebut?

1.3 Batasan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas, maka untuk
memperjelas permasalahan, maka penelitian ini akan dibatasi pada:
1. Besarnya pajak dihitung sesuai contoh kasus (faktor lain dianggap tetap)
2. Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang pajak penghasilan no. 36
tahun 2008\

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka penulis dapat
merumuskan masalah yang akan dibahas Berapa persentase tax planning dalam
menghemat PPN ?
3

BAB II
LANDASAN TEORI DAN PEMIKIRAN

2.1 Pengertian Pajak


Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat untuk negara dan akan digunakan
untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum. Rakyat yang membayar pajak tidak
akan merasakan manfaat dari pajak secara langsung, karena pajak digunakan untuk
kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi. Pajak merupakan salah satu sumber
dana pemerintah untuk melakukan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.Pemungutan pajak dapat dipaksakan karena dilaksanakan berdasarkan
undang-undang.

Berdasarkan UU KUP NOMOR 28 TAHUN 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian Pajak


adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara


Artinya setiap orang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Namun hal tersebut
hanya berlaku untukwarga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat
objektif.
2. Pajak Bersifat Memaksa Untuk Setiap Warga Negara
Jika seseorang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif, maka wajib untuk
membayar pajak. Dalam undang-undang pajak sudah dijelaskan, jika seseorang
dengan sengaja tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan, maka ada
ancaman sanksi administratif maupun hukuman secara pidana.
3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung
Pajak berbeda dengan retribusi. Contoh retribusi: ketika mendapat manfaat parkir,
maka harus membayar sejumlah uang, yaitu retribusi parkir, namun pajak tidak seperti
itu. Pajak merupakan salah satu sarana pemerataan pendapatan warga negara. Jadi
ketika membayar pajak dalam jumlah tertentu, Anda tidak langsung menerima
manfaat pajak yang dibayar, yang akan Anda dapatkan berupa perbaikan jalan raya di
4

daerah Anda, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi anak
Anda, dan lain-lainnya.
4. Berdasarkan Undang-undang
Artinya pajak diatur dalam undang-undang negara. Ada beberapa undang-undang
yang mengatur tentang mekanisme perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.

2.2 Pengertian Pajak Pertambahan Nilai


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen atau secara
cuma-cuma/hadiah. PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, karena pajak tersebut disetor
oleh pihak lain sebagai pemungut, yang bukan penanggung pajak.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang
atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar
hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang
No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No.
18/2000.
Berikut cara menghitung PPN :
10% X DPP (Dasar Pengenaan Pajak)
Keculi, Barang tidak kena PPN
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, meliputi:
1. Minyak mentah (crude oil).
2. Gas bumi tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung
oleh masyarakat.
3. Panas bumi.
4. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garambatu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
5

opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah
serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit,
basal, dan trakkit.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara dan.
6. bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta
bijih bauksit.
b. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
1. Beras
2. Gabah
3. Jagung
4. Sagu
5. Kedelai
6. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
7. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau
direbus.
8. Telur, yaitu telur yang tidak diolah,termasuk telur yang dibersihkan,diasinkan,
atau dikemas
9. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau
dikemas atau tidak dikemas.
10. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui
proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas
atau tidak dikemas.
11. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau
disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotelm restoran, rumah makan, warung dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang di konsumsi ditempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering.
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga
6

Jasa tidak kena PPN

a. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:


1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
2. Jasa dokter hewan.
3. Jasa ahli kesehatan, seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi.
4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5. Jasa paramedis dan perawat.
6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan dan
sanatorium.
7. Jasa psikolog dan psikiater (konsultan kesehatan).
8. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
b. Jasa pelayanan sosial, meliputi:
1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
2. Jasa pemadam kebakaran.
3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4. Jasa lembaga rehabilitasi.
5. Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6. Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko meliputi jasa pengiriman surat dengan
menggunakan perangko tempel danmenggunakan cara lain pengganti perangko
tempel.
d. Jasa keuangan, meliputi:
1. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2. Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak
lain dengan menggunakan surat,sarana telekomunikasi maupun dengan wesel
unjuk, cek, atau sarana lainnya.
3. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
1. Sewa guna usaha dengan hak opsi;
2. Anjak piutang;
3. Usaha kartu kredit; dan/atau
4. Pembiayaan konsumen;
7

4. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan
fidusia.
5. Jasa penjaminan

e. Jasa asuransi
f. Jasa keagamaan, meliputi:
1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan.
4. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. Jasa pendidikan, meliputi:
1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan
pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan
kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan
profesional.
2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. Jasa kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di
bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian
tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
k. Jasa tenaga kerja, meliputi:
1. Jasa tenaga kerja.
2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
m. Jasa perhotelan, meliputi:
1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan
perhotelan untuk tamu yang menginap.
2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.
8

n. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum.
o. Jasa penyediaan tempat parkir.
p. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
q. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
r. Jasa boga atau catering.

2.3 Pengertian Perencanaan Pajak ( Tax Planning )

Tax Planning merupakan suatu perencanaan pajak sehingga dapat mencapai suatu
penghematan pajak (tax savings) dengan mencari ide baru ataupun dengan memanfaatkan
loopholes (hal yang tidak diatur oleh peraturan). Tujuan dari kegiatan Tax planning jelas
untuk untuk mengurangi jumlah atau total pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Namun perlu dicatat, Tax Planning tidak digunakan atau tidak ditujukan untuk
melalaikan kewajiban perpapajakan sebagai wajib pajak. Tax Planning merupakan usaha
untuk memanfaatkan peluang yang berkaitan dengan peraturan perpajakan untuk
menguntungkan perusahaan tanpa merugikan pemerintah serta dilakukan dengan cara yang
legal.
Beberapa pengertian Tax Planning oleh beberapa ahli :

a. Tax Planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak (WP) untuk
menyusun aktivitas keuangan guna menmdapat pengeluaran (beban) pajak yang
minimal. secara teoritis, tax planning dikenal sebagai effective tax planning, yaitu
seorang wajib pajak berusaha mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui
prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU
Perpajakan (Hoffman, 1961).
b. Menurut Gunawan, yang dikutip oleh Lumbantoruan (Lumbantoruan : 1996:485), tax
planning merupakan upaya legal yang bisa dilakukan oleh wajib pajak. Tindakan itu
legal karena penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang
tidak diatur (loopholes). Rencana meminimalkan pajak dapat ditempuh misalnya,
mengambil ketentuan yang sebesar-besarnya dari ketentuan mengenai pengecualian
dan pemotongan atau pengurangan yang diperkenankan. Pada umumnya tax planning
adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Rencana meminimalkan pajak dapat
ditempuh dengan cara, mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari ketentuan
9

mengenai pengecualian dan potongan atau pengurangan yang diperkenankan, hal ini
dapat memanfaatkan penghasilan yang dikecualikan sebagai obyek pajak sesuai
dengan pasal 4 ayat 3.

Tax Planning perlu dilakukan oleh perusahaan sehubungan dengan berbagai


pengakuan metode akuntansi, seperti pengakuan biaya maupun penghasilan, cara
pembayaran pajak, penempatan modal, pengakuan rugi, pemilihan cara pengakuan selisih
kurs, permintaan restitusi hingga permintaan imbalan bunga.

Tax planning dibagi menjadi dua:

1. Tax planning domestic nasional (national tax planning)


National tax planning hanya memperhatikan Undang-Undang Domestik,
pemilihan atas dilaksanakan atau tidak suatu transaksi dalam national tax
planning bergantung pada transaksi tersebut, artinya untuk menghindari/
mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksi apa yang harus
dilaksanakan sesuai dengan hokum pajak yang ada, misalnya akan terkena tarif
pajak khusus final atau tidak ?
2. International tax planning
International tax planning selain memperhatikan Undang-Undang Domestik,
juga harus memperhatikan undang-undang atau perjanjian pajak (tax treaty) dari
negara-negara yang terlibat.

Langkah-langkah dalam perencanaan pajak pertambahan nilai (PPn) perusahaan


adalah sebagai berikut:

1. Memahami peraturan dan perundang-undangan perpajakan,

2. Perencanaan pajak PPn tidak melanggar ketentuan peraturan perpajakan,

3. Memastikan bahwa bukti-bukti pendukung memadai, misalnya adanya perjanjian


(kontrak), faktur (invoice), faktur pajak, nota penerimaan barang, nota
pengiriman barang, bukti pembayaran bank atau bukti penerimaan bank,

4. Melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan di dalam perusahaan untuk


melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari
pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
10

sehingga faktur pajak masukannya dapat mengurang faktur pajak keluaran


perusahaan,

5. Pajak masukan segera dikreditkan terhadap pajak keluaran,

6. Jika wajib pajak berorientasi ekspor maka manfaatkan fasilitas pajak


pertambahan nilai yang diberikan untuk kawasan bebas.

2.4 Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalamkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari
luar Daerah Pabean.

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan


Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1983 dan
perubahannya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2012 tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
68/PMK.03/2010, tentang batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai yang
merubah batasan Rp 600 juta untuk wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
menjadi Rp 4,8 milyar, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya.

Berdasarkan sistem self assessment setiap WP yang memenuhi persyaratan


subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan wajib mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP dengan cara:
11

a. Datang langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal atau tempat kedudukan WP,
b. Melalui internet di situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat www.pajak.go.id

Pengusaha yang dikenai PPN, wajib melaporkan usahanya pada KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP. Pengusaha orang pribadi atau
badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha berbeda dengan tempat tinggal, wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, juga wajib mendaftarkan diri ke KPP di
tempat kegiatan usaha dilakukan.
Pengusaha kecil yang memlilih untuk dikukuhkan sebagai PKP wajib
mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil yang
tidak memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak
dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang
ditentukan sebagai pengusaha kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Adapun tempat pendaftaran WP Tertentu & Pelaporan Bagi Pengusaha Tertentu
adalah sebagai berikut:
a. Seluruh WP BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan WP BUMD (Badan Usaha
Milik Daerah) di wilayah DKI Jakarta, di KPP BUMN Jakarta;
b. WP PMA (Penanaman Modal Asing) yang tidak go public, di KPP PMA kecuali
yang telah terdaftar di KPP lama dan WP PMA di kawasan berikat dengan
permohonan diberikan kemudahan mendaftar di KPP setempat;
c. WP Badan dan Orang Asing (Badora), di KPP Badora;
d. WP go public, di KPP Perusahaan Masuk Bursa (Go Public), kecuali WP
BUMN/BUMD serta WP PMA yang berkedudukan di kawasan berikat;
e. WP BUMD diluar Jakarta, di KPP setempat;
f. Untuk WP BUMN/BUMD, PMA, Badora, Go Public di luar Jakarta, khusus PPh
Pemotongan/pemungutan dan PPN/PPnBM di tempat kegiatan usaha atau cabang.
12

2.4.1 Fungsi NPWP & Pengukuhan PKP


a. Fungsi NPWP:
Sarana dalam administrasi perpajakan;
Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya;
Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan. Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.

b. Fungsi Pengukuhan PKP:


Pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PKP di bidang PPN dan
PPn BM.
Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.

2.4.2 Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan (Sifat Retroaktif)
KPP dapat menerbitkan NPWP dan Pengukuhan PKP secara jabatan, apabila WP
tidak memenuhi kewajiban mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, bila berdasarkan data yang
dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh
NPWP atau PKP.

2.4.3 Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP & Pengukuhan Sebagai PKP
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP, sehingga
dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat
6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
Pidana tersebut di atas ditambah 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana,
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1
(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Setiap
orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan
atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya
13

tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2
(dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan
dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

2.5 Pengendalian atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak Masukan
Agar Memenuhi Syarat Formal dan Material.

Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak. Agar Faktur Pajak dapat berfungsi
sebagai bagian dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran,
Faktur Pajak harus memenuhi dua persyaratan yaitu persyaratan formal dan persyaratan
material sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat
(9) UU PPN yang berbunyi: Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan
material.

Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar
sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan wewenang yang
diberikan oleh ayat (6).

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut
tidak memenuhi syarat material.
14

2.5.1 Persyaratan Formal


Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (9), Faktur Pajak dikatakan telah
memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 13 ayat (5) yaitu Faktur Pajak harus
mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan
Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f) kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g) nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Persyaratan formal dari faktur pajak diatas wajib dipenuhi oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menjual BKP/JKP karena apabila tidak dipenuhi, Faktur Pajak yang
diterbitkan dianggap cacat sehingga tidak dapat dijadikan Pajak Masukan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menjadi lawan transaksinya (oleh PKP pembeli). Selain itu
kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit Faktur Pajak, sesuai bunyi Pasal 5 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, akan dikenakan sanksi
berupa bunga sebesar 2% dikalikan nilai transaksi yang tercantum dalam Faktur Pajak
tersebut.
Tidak semua Pengusaha Kena Pajak yang dikarenakan membuat faktur pajak
tidak sesuai persyaratan formal terkena sanksi, ada pengecualian dari pengenaan sanksi
apabila Pengusaha Kena Pajak keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak dan keliru atau tidak mengisi secara lengkap nama, alamat, dan Nomor Pokok
Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama
dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak dalam hal penyerahan
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
15

Kepada Pengusaha Kena Pajak penerbit faktur pajak tidak lengkap tersebut tidak
dikenakan sanksi denda pasal 14 ayat (1) sebesar 2%, namun Pengusaha Kena Pajak
yang penerima tidak dapat menjadikan Faktur Pajak tersebut sebagai Pajak Masukan.

2.5.2 Persyaratan Material


Persyaratan material dari Faktur Pajak adalah telah terpenuhi apabila keterangan
yang tercantum dalam faktur pajak jelas dan sesuai dengan kejadian transaksi yang
sebenarnya dari BKP atau JKP yang diperjualbelikan. Berikut sebagian bunyi penjelasan
Pasal 13 ayat (9) UU PPN: Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi
keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, Ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang
Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang


kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal
dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum
dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor
Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak
atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut
tidak memenuhi syarat material.

Di luar batasan pemenuhan persyaratan formal dan material dari Faktur pajak,
dalam rangka pengkreditan Faktur Pajak Pajak Masukan terdapat hal yang perlu
diperhatikan yang sudah diatur secara pasti dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN yaitu
mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
16

Jadi, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan


dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang
sebenarnya atau sesungguhnya mengenai:

a) Penyerahan BKP/JKP
b) Ekspor BKP Berwujud,
c) Ekspor BKP Tidak Berwujud,
d) Ekspor JKP,
e) Impor BKP,
f) Atau pemanfaatan JKP dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean

2.5.3 Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan


Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) UU PPN pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:

1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak;
2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak;
5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
7. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak;
17

8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
9. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
Jangka Waktu pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 ayat (9) adalah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

2.6 Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang


Dengan diberlakukannya kebijakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak
dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya sebagai penyerahan yang terutang PPN,
akan menimbulkan cost of compliance bagi PKP yang bersangkutan. Cost of compliance
dapat berupa beban administrasi bagi PKP dimana PKP tersebut harus mengurus
pendaftaran sebagai PKP bagi cabang-cabangnya, mengurus pelaporan pajaknya setiap
bulannya, membuat faktur pajak dan menghadapi pemeriksaan pajak dan lain sebaginya.
Bila PKP lalai dalam menjalankan kewajiban perpajakan, misalnya tidak membuat atau
terlambat dalam membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang akan berdampak pada sanksi perpajakan. Sanksi perpajakan
tersebut seharusnya memang tidak semestinya ada, manakala penyerahan barang kena
pajak dari kantor pusat ke cabang atau sebaliknya tidak dijadikan sebagai objek PPN.
Namun, oleh karena kelalaian atau ketidaktahuan PKP, menyebabkan sesuatu yang
tadinya beban pajaknya kecil atau mungkin tidak ada, malah ada atau bahkan menjadi
lebih besar.
Disisi lain tentu saja kebijakan tersebut tidak sejalan dengan salah satu prinsip
pemungutan pajak yaitu ease of administration. Betapa tidak, PKP harus membuat
faktur pajak. Betapa tidak, PKP harus membuat faktur pajak atas transaksi penyerahan
barang kena pajak di lingkungan internal PKP sendiri. Setelah faktur pajak dibuat, PKP
disibukkan lagi dengan pelaporan pajaknya. Administrasi yang sulit akan cenderung
mendorong PKP menghindari kewajiban perpajakannya. Prinsip kemudahan
administrasi juga merupakan hasil reformasi perpajakan nasional. Disamping tidak
sejalan dengan prinsip ease of administration, kebijakan pengenaan PPn antar
18

cabangpun kurang selaras dengan karakter PPN, yaitu netral dalam kegiatan ekonomi.
Netral dalam arti bahwa pengenaan PPN terhadap suatu barang atau jasa semata-mata
untuk kepentingan aktivitas ekonomi, bukan atas pertimbangan politik misalnya. Belum
lagi bila dikaitkan dengan prinsip akuntansi yang berlaku adalah tidak dibenarkan
apabila dalam satu entitas melakukan kegiatan transaksi.
Kebijakan penyerahan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang atau
sebaliknya, tentu tidak lepas dari kebijakan pemusatan PPN. Untuk mengimbangi
kebijakan tersebut di atas, diatur dalam pasal 1A ayat 2c UU PPN yaitu bagi PKP yang
telah mendapat ijin pemusatan PPN terutang, maka penyerahan barang kena pajak dari
kantor pusat ke cabang atau sebaliknya bukan merupakan objek pajak.

Ilustrasi:
PT Yudi Putra merupakan perusahaan manufaktur yang berlokasi di kota Surabaya.
Setiap barang jadi (finish goods) yang dihasilkan dikirimkan ke cabang perusahaan yang
berlokasi di wilayah yang berbeda di kota Surabaya. Untuk memasarkan produknya, PT
Yudi Putra mengirimkan barang hasil produksinya ke perusahaan lain yaitu PT UB
Factory Outlet yang berlokasi di kota Malang. Dari ilustrasi tersebut, apabila PT Yudi
Putra melakukan pemusatan PPN, pengiriman barang ke gudang tidak menimbulkan
PPN terutang. Sedangkan pengiriman baran ke PT UB Factory Outlet menimbulkan
PPN terutang berupa PPN keluaran. Apabila PT Yudi Putra tidak melakukan pemusatan
atas PPN nya, maka setiap barang keluar dari pabrik akan menimbulkan PPN terutang
meskipun satu entitas.

Dasar hukum pemusatan PPN diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 12
ayat (2) tentang perubahan ketiga atas UU nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN barang dan
jasa dan PPnBM. PER-28/PJ/2012 yang berlaku sejak 1 Januari 2013 tentang tempat
pendaftaran dan/atau pelaporan usaha bagi WP pada KPP di lingkungan Kanwil DJP
WP Besar, KPP di lingkungan Kanwil DKP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Surat
edaran nomor SE-45/PJ/2013 tentang prosedur penerbitan surat keputusan pemusatan
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dalam rangka pelaksanaan peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 tentang tempat pendaftaran dan/atau pelaporan
usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan
19

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan pajak
Madya.

2.7 Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksa Tentang Konfirmasi PPN Yang


Dinyatakan Tidak Ada
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dari Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga
beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua
anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN
punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/P1/2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember
2001.Terkait dengan soal konfirmasi atau klarifikasi Faktur Pajak ini, Dirjen Pajak
sebenarnya telah menerbitkan sebuah aturan khusus bernomor KEP-754/PJ./2001
tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi Sistem
Informasi Perpajakan. Keputusan Dirjen Pajak ini digulirkan pada tanggal 26 Desember
2001. Tetapi hingga saat ini masih belum dinyatakan dicabut alias masih berlaku dan
bisa dijadikan referensi peraturan.
Pada butir 1.4.1.3. dalam penjelasan Lampiran I KEP-754/PJ./2001 ditegaskan
bahwa apabila jawaban klarifikasi dari KPP tempat PKP dikukuhkan menyatakan:
1. Ada dan Sesuai dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum direkam
KPP domisili PKP penjual atau Faktur Pajak tersebut terlambat dilaporkan oleh PKP
penjual, maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan;
2. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum dilaporkan oleh
PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-KB atau SKP-
KBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut, maka Faktur Pajak tersebut
dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
3. Tidak Ada dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, atau PKP penjual
20

tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang


bersangkutan, maka Faktur Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan; dan
4. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang
dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka
Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Saat melakukan pemeriksaan, seringkali pemeriksa pajak (fiskus) mengoreksi
Pajak Masukan manakala konfirmasi terhadap Pajak Masukan tersebut mendapat
jawaban Tidak Ada dari Kantor pajak lainnya. Asumsinya, kalau jawabannya Tidak
Ada, maka Faktur Pajak dan Pajak Masukan tersebut dianggap fiktif. Bahkan ada juga
beberapa orang yang mengaitkannya dengan soal tanggung jawab renteng PPN. Kedua
anggapan tersebut semuanya tidak benar karena fiktif dan tanggung jawab renteng PPN
punya klasifikasi dan definisi sendiri-sendiri.
Jika sudah begitu, maka koreksi tersebut tentu akan membuat WP susah dan
terpaksa harus menempuh jalur hukum Keberatan dan Banding. Kedua proses ini harus
ditempuh WP selama lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan atau sekitar 2 (dua) tahunan
lebih.
Pada proses Keberatan, yang memakan waktu sekira 12 (dua belas) bulan,
biasanya koreksi pemeriksa pajak terhadap Pajak Masukan tersebut tetap dipertahankan
oleh rekan mereka di tim penelaah/peneliti Keberatan. Alasannya biasanya sama dengan
alasan pemeriksa pajak yang sebelumnya.
Namun pada saat Banding, Majelis Hakim di Pengadilan Pajak umumnya
berfokus hanya pada soal fiktif atau tidaknya Faktur Pajak yang dikreditkan oleh WP.
Para hakim biasanya tidak peduli apakah Faktur Pajak tersebut sudah dilaporkan oleh
PKP penjualnya atau belum. Artinya selama WP yang mengajukan Banding bisa
membuktikan bahwa transaksi dan Faktur Pajak yang dikreditkannya di SPT Masa PPN
tidak fiktif, maka koreksi pemeriksa pajak akan dibatalkan oleh Majelis Hakim.
Permohonan Banding WP terkait dengan Faktur Pajak tersebut umumnya bisa
dikabulkan.
Hakim di Pengadilan Pajak umumnya berpedoman pada prinsip bahwa
kesalahan PKP penjual karena tidak melaporkan Faktur Pajak tidak dapat direntengkan
kepada WP/PKP pembeli yang mengkreditkan Faktur Pajak tersebut. Sebab sesuai
21

dengan ketentuan umum UU PPN pembeli dalam hal ini memang sudah diwajibkan
untuk membayar PPN dan PPn-BM kepada PKP penjual. Kecuali jika pembeli berstatus
sebagai Wapu PPN, maka pembeli tidak diwajibkan untuk membayar PPN dan PPn-BM
kepada PKP penjual.
Seperti sudah diketahui, sesuai dengan ketentuan Pasal 3A ayat (1) UU PPN,
PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut, menyetor dan
melaporkan PPN maupun PPn-BM yang terutang. Ini artinya pembeli diwajibkan untuk
membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual. Dan sebagai bukti bahwa
pembeli sudah membayar PPN maupun PPn-BM kepada PKP penjual, pembeli akan
mendapatkan Faktur Pajak dari PKP penjual. Bagi pembeli, PPN yang dibayar kepada
PKP penjual ini disebut dengan Pajak Masukan.
Kemudian dalam Pasal 9 UU PPN secara umum ditegaskan bahwa Pajak
Masukan (PM) dapat atau boleh dikreditkan. Pengkreditan PM ini bisa dilakukan pada
bulan yang sama dengan Pajak Keluaran atau dikreditkan paling lambat tiga bulan
berikutnya setelah bulan (Masa Pajak) dari Faktur Pajak Masukan tersebut.
Memang, dalam Pasal 9 UU PPN disebutkan beberapa kriteria PM yang tidak
boleh dikreditkan. Begitu pun dalam ketentuan Pasal 16B UU PPN, ada beberapa
kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan. Tetapi dari kriteria yang ditetapkan oleh kedua
pasal tersebut, tidak satupun kriteria pelaporan oleh PKP penjual. Artinya di kedua pasal
tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa apabila penjual belum atau tidak
melaporkan Faktur Pajak Keluarannya, maka hilang pula hak pengkreditan Pajak
Masukan (PM) oleh pembeli.
Apabila faktur pajak masukan dikonfirmasi tidak ada, salah satu penyebabnya
adalah seperti ilustrasi sebagai berikut:

Ilustrasi kasus faktur pajak yang dikonfirmasi Tidak Ada

PT Putra telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang
perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2010 menyerahkan 10 unit
komputer kepada PT Putri dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan
ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000= Rp7.000.000. Mekanisme umum yang
diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:

1. PT Putra menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000,-


2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
22

lembar pertama diberikan kepada PT Putri sebagai bukti beban pajak yang
seharusnya dibayar;
lembar kedua menjadi arsip PT Putra sebagai bukti pemungutan pajak.
3. PT Putra wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas
Negara.
4. PT Putri wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT Putra.
5. Bagi PT Putri, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil/sah untuk pengkreditan
pajak dalam suatu Masa Pajak.

Jika PT. Tidak tidak dapat menunjukkan bukti sah bahwa dia sudah melunasi PPN atas
pembelian komputer tersebut? maka PT Putri dibebani tanggung jawab secara renteng
atas pajak dimaksud. Yang artinya si pembeli (PT Putri) harus membayar Rp.7.000.000,-
lagi. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33
yang berbunyi: Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak,
sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar.

Yang Bertanggung Jawab Secara Renteng (Pasal 4 Pp 1 Tahun 2012):

Pembeli BKP atau penerima JKP bertanggung jawab secara renteng atas
pembayaran PPN atau PPnBM kecuali dalam hal : (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP 1
Tahun 2012)

a) pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi
jasa; atau
b) pembeli BKP atau penerima JKP dapat menunjukkan bukti telah melakukan
pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.

Tanggung renteng melekat pada pembeli BKP atau penerima JKP atas transaksi
pembelian BKP dan/ atau JKP di dalam Daerah Pabean. (Penjelasan Pasal 4 ayat (1)
PP 1 Tahun 2012)
23

Cara Penagihan PPN Karena Tanggung Jawab Renteng

Tanggung jawab renteng ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Strategi untuk menghadapi temuan dari pemeriksa pajak (fiscus) apabila kredit
pajak tidak dapat dikonfirmasi, maka PKP harus melakukan rekonsiliasi secara rutin dan
memenuhi persyaratan baik formal maupun material guna memastikan bahwa faktur
pajak masukan yang diterima adalah valid dan dapat dikonfirmasi.

2.8 Rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT PPh Badan

Rekonsiliasi / Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN
dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN dan/atau
PPnBM(kalau ada) ini penting karena akan berhubungan langsung dengan pengakuan
pendapatan perusahaan. Setiap bentuk Penjualan (atau istilah pajak disebut juga
Penyerahan) akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai. Meskipun idealnya
rekonsiliasi atas PPN ini dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi di akhir tahunnya
menjadi perlu sekali karena terkait dengan pengakuan pendapatan di SPT Badan 1771
nantinya.
Pada umumnya perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan
menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa
timbul karena dua kondisi:

1. Karena karakteristik transaksi ; dan


2. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya perbedaan.

Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan


dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain disebabkan oleh:

a) Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan.


24

Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha
Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya: penjualan aktiva
tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.

b) Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan


keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.

Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang dilakukan
dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap transaksi dalam
mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada saat terjadinya
transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu
menggunakan kurs transaksi. Kadangkala Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata
dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan BKP atau JKP yang
menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

c) Pemberian Cash Discount

Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila pembeli
dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo / syarat pembayaran yang telah
disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut dengan Cash Discount. Cash
Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur
Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika pembeli memanfaatkan Cash Discount
tersebut maka omset yang tercantum di SPT Masa PPN akan lebih besar daripada
omset yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

d) Adanya kesalahan tulis atau hitung

Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis
atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT
Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara
rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan jauh lebih mudah ditelusuri.
25

Apabila ternyata perbedaan timbul karena human error, maka dapat langsung diambil
tindakan antisipasi untuk memperbaiki kesalahan tersebut.

Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) caranya sangat


mudah dan sederhana, yaitu dengan mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan
10%. Apabila sudah didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian
dan PPN masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang
tertinggal belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera
dilakukan pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap
menjadi exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak
masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah
melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam
SPM dan pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan.

Rekonsiliasi Omzet PPh vs Obyek PPN Keluaran

Omzet per SPT PPh Badan AAA

Obyek PPN Keluaran selain Omzet BBB


(Ex: uang muka, pendapatan lain-lain)

Jumlah A + B CCC

Obyek PPN Keluaran per SPT PPN DDD

Selisih (C D) EEE

(+) Omzet Tahun Sebelumnya dilapor FFF


tahun ini

(-) Omzet Tahun Ini dilapor tahun GGG


berikutnya

Selisih (E+F-G) HHH

Bila kolom H seperti formula di atas masih terdapat selisih, kemungkinan besar
selisih berasal dari retur penjualan dengan faktur pajak sederhana atau karena memang
ada kesalahan dalam penghitungan obyek PPN maupun Omzet PPh Badan.
26

BAB III

CONTOH KASUS DAN PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus PT. UNILEVER

Pastikan bahwa semua faktur pajak masukan yang diterima perusahaan dari pemasok
dapat dikreditkan. Walaupun faktur pajak masukan yang tidak dikreditkan dapat dibebankan
sebagai biaya, akan tetapi hal ini akan merugikan buat perusahaan. Tidak sedikit perusahaan
menganggap bahwa pajak masukan dibebankan lebih menguntungkan karena dapat
menghemat pajak sebesar 25%, akan tetapi penhematan tersebut hanya sebesar 25% dari
10% yaitu 2,5%. Misalnya PT Unilever Indonesia Tbk memiliki penjualan sebesar Rp
27.303.248.000.000,- pembelian Rp 13.414.122.000.000,- (sebelum PPn), dan beban
operasional sebesar Rp 5.889.372.000.000,- maka berikut ini adalah ilustrasi penghematan
pajak pertambahan nilai (PPn) dikreditkan dengan pajak masukan dibanding dengan PPn
dibebankan dengan beban.

Dari tabel di atas, jelas terlihat bahwa pemanfaatan faktur pajak sebagai pajak
masukan lebih hemat, yaitu total pajak yang dibayarkan PT Unilever Indonesia Tbk hanya
Rp 4.534.972.863.636,- dibandingkan dengan PPN dibebankan yang total pembayaran
pajaknya Rp 5.449.572.090.909,- sehingga penghematan pajak jika PPn dikreditkan oleh
perusahaan adalah sebesar Rp 914. 599.227.272,-
27

3.2 Contoh Kasus UD. TRIMURNI

UD.Tri Murni memiliki omzet penjualan lebih dari 500 juta rupiah, oleh karena itu
UD.Tri Murni ini digolongkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.Selain melakukan pembelian
terhadap barang dagangan yang berhubungan dengan usaha, UD.Tri Murni juga melakukan
pembelian barang yang tidak berhubungan langsung dengan usaha.

Dari data yang didapat di perusahaan, ada hal penting yang harus diperhatikan dalam
mekanisme penghitungan dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai untuk melakukan
perencanaan pajak.Salah satu hal yang penting diperhatikan adalah peraturan perpajakan
mengenai tarif dan waktu pembayaran serta pelaporan Pajak Pertambahan Nilai.

Data PPN tahun 2012:

PPN Keluaran PPN Masukan


Bulan PPN Terhutang
( Penjualan ) ( Pembelian )
Januari 25.970.383 25.210.895 759.488
Februari 31.158.372 30.293.895 864.477
Maret 32.368.677 31.767.587 601.090
April 34.415.561 33.574.800 840.761
Mei 35.466.707 34.478.862 987.845
Juni 28.682.466 27.751.193 931.273
Juli 31.597.596 30.723.947 873.649
Agustus 34.952.272 34.109.407 842.865
September 26.212.123 25.341.847 870.276
Oktober 36.411.932 35.460.590 951.342
November 34.239.317 33.308.348 930.969
Desember 54.091.742 53.132.458 959.284
405.567.148 395.153.829 10.413.319
Angka-angka proyeksi/ perkiraan dalam pembahasan proyeksi yang diterapkan
menggunakan angka dasar tahun 2012 dikali 2 dan dibagi 2 untuk mengantisipasi kenaikan
harga dua kali lipat.

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2012 akan di buat data tahun 2013 untuk
mengetahui berapa PPN terhutang perusahaan pada tahun 2013, dengan cara penjualan
dikali 2 (penjualan akan dihitung dengan menggunakan data PPN keluaran tahun 2012) dan
pembelian dibagi 2 untuk pembelian BKP dan Non BKP (pembelian akan dihitung dengan
menggunakan data PPN masukan, contoh: Pada bulan januari penjualan sebesar Rp.
28

51.940.766 dikenakan tarif PPN keluaran sebesar 10% yaitu Rp. 5.194.077, dan pembelian
untuk BKP sebesar Rp. 25.210.895 dikenakan tarif PPN masukan sebesar 10% yaitu Rp.
2.521.090, sedangkan untuk pembelian non BKP sebesar Rp. 25.210.895 tetapi untuk
pembelian non BKP tidak dikenakan tarif PPN 10%, untuk mengetahui berapa PPN
terhutang pada bulan Januari adalah dengan

Cara mengurangi jumlah pajak keluaran terhadap pajak masukan, rumusnya adalah:

Penjualan = 51.940.766 = jumlah tarif PPN keluaran 10%

Pembelian BKP = 25.210.895 = jumlah tarif PPN masukan 10%

Non BKP = 25.210.895 = tidak dikenakan tarif PPN 10%

PPN terhutang = PPN keluaran PPN masukan

Data perhitungan PPN dari tahun 2012 ke 2013

PPN Pembelian PPN Pembelian PPN


Bulan Penjualan
Keluaran BKP Masukan Non BKP Terhutang
Januari 51.940.766 5.194.077 25.210.895 2.521.090 25.210.895 2.672.987
Februari 62.316.744 6.231.674 30.293.895 3.029.390 30.293.895 3.202.285
Maret 64.737.354 6.473.735 31.767.587 3.176.759 31.767.587 3.296.977
April 68.831.122 6.883.112 33.574.800 3.357.480 33.574.800 3.525.632
Mei 70.933.414 7.093.341 34.478.862 3.447.886 34.478.862 3.645.455
Juni 57.364.932 5.736.493 27.751.193 2.775.119 27.751.193 2.961.374
Juli 63.195.192 6.319.519 30.723.947 3.072.395 30.723.947 3.247.125
Agustus 69.904.544 6.990.454 34.109.407 3.410.941 34.109.407 3.579.514
September 52.424.246 5.242.425 25.341.847 2.534.185 25.341.847 2.708.240
Oktober 72.823.864 7.282.386 35.460.590 3.546.059 35.460.590 3.736.327
29

November 68.478.634 6.847.863 33.308.348 3.330.835 33.308.348 3.517.029


Desember 108.183.484 10.818.348 53.132.458 5.313.246 53.132.458 5.505.103
81.113.430 39.515.383 41.598.047

Hasil dari pembelian barang BKP dan Non BKP, didapati PPN Terhutang perusahaan
pada tahun 2013 yang diperoleh dari PPN keluaran dikurangi PPN masukan adalah sebesar
41.597.928. Berdasarkan data tahun 2013 perencanaan pajak yang akan dilakukan adalah
perencanaan pajak untuk meminimalkan PPN terhutang dari perusaan, dengan perencanaan
pajak tersebut perusahaan akan memperoleh hasil sebagai berikut.

Data perhitungan PPN tahun 2013 setelah Tax Planning

PPN Pembelian PPN


Bulan Penjualan PPN Terhutang
Keluaran Hanya BKP Masukan
Januari 51.940.766 5.194.077 50.421.790 5.042.179 151.898
Februari 62.316.744 6.231.674 60.587.790 6.058.779 172.895
Maret 64.737.354 6.473.735 63.535.174 6.353.517 120.218
April 68.831.122 6.883.112 67.149.600 6.714.960 168.152
Mei 70.933.414 7.093.341 68.957.724 6.895.772 197.569
Juni 57.364.932 5.736.493 55.502.386 5.550.239 186.255
Juli 63.195.192 6.319.519 61.447.894 6.144.789 174.730
Agustus 69.904.544 6.990.454 68.218.814 6.821.881 168.573
September 52.424.246 5.242.425 50.683.694 5.068.369 174.055
Oktober 72.823.864 7.282.386 70.921.180 7.092.118 190.268
November 68.478.634 6.847.863 66.616.696 6.661.670 186.194
Desember 108.183.484 10.818.348 106.264.916 10.626.492 191.857
81.113.430 79.030.766 2.082.664

Hasil dari tahun 2013 didapati bahwa perusahaan melakukan Tax Planning dengan
cara melakukanpembelian barang hanya ke BKP, berbeda dengan sebelum melakukan Tax
Planning dimana perusahaan membeli barang BKP dan Non BKP, dengan cara tersebut
perusahaan berhasil meminimalkan PPN terhutangnya. Dengan menerapkan Tax Planning
PPN terhutang yang akan dibayar perusahaan pada tahun 2013 lebih kecil yaitu sebesar
2.082.702, dibandingkan sebelum melakukan Tax planning PPN terhutang perusahaan
sebesar 41.597.928.
30

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan contoh kasus dan pembahasan, maka penulis mengambil beberapa


kesimpulan sebagai berikut
1. Tax Planning yang dilakukan pada contoh kasus ini benar-benar dapat menghemat
PPN yang harus disetor.
2. Perhitungan Tax Planning yang dilakukan pada contoh kasus sudah sesuai dan tidak
melanggar peraturan perpajakan yang ada.
3. Persentase penghematan Tax Planning
a. Untuk Kasus A
(5.449.572.090.909 - 4.534.972.863.636) : 5.449.572.090.909 x 100 % = 16,78
%
b. Untuk Kasus B
(41.597.928.- 2.082.702) : 41.597.928 x 100 % = 94,99 %

4.2 Saran

Dari contoh kasus di atas, penulis mencoba memberikan beberapa saran yang
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca tulisan ini:
1. Dalam rangka mengurangi PPN, perusahaan diharapkan membuat tax planning
terlebih dahulu. Tax planning dapat dilakukan dengan membebankan PPN sebagai
pajak masukan bukan biaya ataupun dapat dilakukan dengan membeli BKP saja
2. Setelah melakukan Tax Planning, diharapkan perusahaan mentaati peraturan
perpajakan yang berlaku untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan di masa
yang akan dating
31

DAFTAR PUSTAKA

Djoko Muljono, 2009, Tax planning: menyiasati pajak dengan bijak, Yogyakarta, Andi

Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorak Jenderal Pajak, 2011, Pajak


Pertambahan Nilai, Jakarta Utara

Suandy, Erly, 2008,Perencanaan Pajak, Jakarta: Salemba Empat

Waluyo,2011, Perpajakan Indonesia Edisi 10 Buku 1, Jakarta, Salemba empat

UU Nomor 42 Tahun 2009

Peraturan Menteri Keuangan

www.pajak.go.id

www.ortax.org

www.himmapi.com

Anda mungkin juga menyukai