Anda di halaman 1dari 22

PENERAPAN KASUS TAX PLANNING TERHADAP PAJAK

PENGHASILAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Seminar Perpajakan

Dosen Pengampu:

Aditya Riky Nugroho S.E., M.Ak

Disusun Oleh:
Adira Hana Deyana (191011250237)
Enthy Sulistya Suci W (191011250233)
Kintania Rizki Putri (191011250236)
Rima Octavia (191011250264)
Shindy Indriyanti (191011250246)

08SAKK001

UNIVERSITAS PAMULANG
FAKULTAS EKONOMI
S1 AKUNTANSI
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa

ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Aditya Riky Nugroho

S.E., M.Ak. sebagai dosen pengampu mata kuliah Seminar Perpajakan yang telah

membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat

mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa

yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Pamulang, 14 Oktober 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 4
2.1 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21 ............................ 4
2.2 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22 ............................ 6
2.3 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 23 ............................ 8
2.4 Strategi Perencanaan Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai ...................... 10
BAB III CONTOH KASUS ............................................................................... 13
3.1 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21 .......................... 13
3.2 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22 .......................... 14
3.3 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 23 .......................... 15
3.4 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai ........ 16
BAB IV PENUTUP ........................................................................................... 18
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 18
4.2 Saran ........................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang

melakukan pembangunan dan perbaikan di berbagai bidang, sehingga Indonesia

membutuhkan sumber pendanaan dalam pelaksanaannya. Secara umum, sumber

pendapatan suatu negara (Public Revenue) adalah kekayaan alam, laba perusahaan

negara (BUMN), royalti, retribusi, kontribusi, bea, cukai dan yang terakhir pajak.

Dewasa ini, sektor pajak diprioritaskan menjadi sumber utama dari pendapatan

negara untuk membiayai seluruh pengeluaran negara. Pajak dipungut pemerintah

berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menutup biaya yang harus

dikeluarkan pemerintah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pajak dipungut

untuk dikembalikan ke rakyat melalui pengeluaran-pengeluaran dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Definisi pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan No. 16 Tahun 2009 Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai berikut: Pajak adalah

kontribusi wajib kepada negara yang telah terutang oleh orang pribadi atau badan

yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan

imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia

diantaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai, Pajak

1
2

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, dan lain-lain.

Indonesia menganut self assesment system dalam perpajakannya. Self

assesment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,

kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar

dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Karena menganut

sistem ini, maka pengetahuan atas ketentuan perpajakan yang benar sesuai

peraturan perpajakan yang berlaku diperlukan oleh Wajib Pajak agar dapat

melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar dan tidak melanggar ketentuan

perpajakan itu sendiri.

Keterbatasan pengetahuan tentang perpajakan maupun keterlambatan

informasi yang diterima Wajib Pajak secara tidak langsung akan menyebabkan

ketidakpatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Peraturan perpajakan

yang seringkali mengalami perubahan secara terus menerus membuat Wajib Pajak

kebingungan dan menganggap bahwa pajak merupakan hal yang rumit dan sulit

untuk dipelajari ataupun dipahami. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban

perpajakan ini tentunya akan menimbulkan kerugian baik secara moril maupun

materil. Kelalaian tersebut dapat diminimalkan dengan menambah pengetahuan dan

pemahaman tentang ketentuan peraturan perpajakan atau pemenuhan kewajiban

perpajakannya dalam satu tahun pajak untuk mengurangi resiko kesalahan-

kesalahan serta pada akhirnya melakukan optimalisasi aspek-aspek Tax Planning

yang masih bisa diperbaiki dan ditingkatkan.


3

Secara garis besar pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah

proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau sekelompok wajib pajak sedemikian

rupa sehingga utang pajaknya berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang

hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah berisi pertanyaan-pertanyaan penting yang terkait

dengan sub-bab yang akan dibahas pada BAB II Pembahasan. Rumusan masalah

dituliskan dengan poin-poin sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan Tax Planning atas Pajak Penghasilan

2. Bagaimana penerapan Tax Planning atas Pajak Pertambahan Nilai

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh, mengumpulkan dan mengolah

data untuk dapat dipelajari dan dianalisa. Adapun tujuan dari penelitian yang sesuai

dengan rumusan masalah di atas antara lain:

1. Untuk mengetahui penerapan Tax Planning atas Pajak Penghasilan

2. Untuk mengetahui penerapan Tax Planning atas Pajak Pertambahan Nilai


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum menentukan strategi

perencanaan pajak untuk efisiensi PPh Pasal 21 yaitu:

a. Memahami Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21

Perlu dipahami dengan jelas mengenai Objek dan bukan Objek pajak PPh Pasal

21, termasuk didalamnya objek final dan tarifnya sehingga tidak akan terjadi

kesalahan dalam pemotongan.

b. Memahami Saat Terutangnya Pajak

Objek PPh Pasal 21 terdiri dari “penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa

atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau

diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri”. Istilah “diterima”

mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” adalah accrual basis.

Kedua istilah ini terkait dengan waktu waktu pengakuan biaya dan pembayaran.

c. Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21

1) PPh 21 ditanggung karyawan

2) Tunjangan PPh 21

3) PPh 21 Ditanggung pemberi kerja

d. Menentukan Benefit in Cash atau Benefit in Kind untuk Penghasilan Pegawai

4
5

Strategi efisiensi PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan

kesejahteraan karyawan sangat bergantung pada kondisi perusahaan.

a. Pemberian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan (benefit in kind) kepada

karyawan sebaiknya diberikan oleh perusahaan dengan penghasilan kena pajak

yang telah dikenakan tarif tertinggi (diatas 100 juta) dan pengenaan PPh

badannya tidak final, karena pengeluaran ini non objek pajak

b. Sedangkan bagi perusahaan yang masih menderita kerugian perlu melakukan

sebaliknya, dimana untuk mengefisiensi pembayaran PPh 21 disarankan untuk

meningkatkan pemberian kepada karyawan dalam bentuk natura dan/atau

kenikmatan (benefit in kind) karena pemberian natura atau kenikmatan pada

perusahaan yang masih rugi akan menurunkan PPh Pasal 21, sementara PPh

Badan tetap nihil. Perusahaan harus mempertimbangkan nilai penghasilan yang

diterima/diperoleh setiap pegawainya, bila memiliki laba diatas Rp.

100.000.000. Bila ada pegawai yang tercatat memperoleh penghasilan di atas

Rp. 500.000.000, maka setiap tambahan penghasilannya lebih baik diberikan

dalam bentuk natura, karena tarif pajak tertinggi untuk wp pribadi adalah 30%

sedangkan tarif tertinggi PPh Badan adalah 25%

c. Perlakuan pemberian uang tips yang dicatat ke dalam biaya entertainment,

penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 didasarkan pada asumsi bahwa setiap

orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp. 25 juta. Sesuai dengan ketentuan

Pasal 5 Huruf e angka 6 dan Pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-

545/PJ/2000 jo. Per-15/PJ/2006 “honorarium, uang saku, hadiah atau

penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan
6

pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri, diantaranya terdiri dari

pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer, dan sistem

aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial dipotong

PPh Pasal 21 berdasarkan tarif pasal 17 UU PPh yaitu 5%”.

d. Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 21, prosedur yang perlu

ditempuh untuk melakukan ekualisasi ini adalah:

1) Mengelompokkan akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21,

khususnya yang terkait dengan pegawai tetap

2) Pemberian kode khusus untuk setiap transaksi yang masih terkait dengan

objek PPh Pasal 21 dan akan dilaporkan

3) Mengumpulkan seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun-akun

biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu pada setiap

akhir tahun dan menandingkannya dengan perhitungan menurut SPT

Tahunan PPh Pasal 21

2.2 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum menentukan strategi

perencanaan pajak untuk efisiensi PPh Pasal 22 yaitu:

a. Mempelajari dan memahami ketentuan PPh Pasal 22 serta aturan

pelaksanaannya secara menyeluruh

b. Bagi perusahaan yang dalam kegiatan usahanya sering melakukan impor barang

dan berkewajiban membayar PPh Pasal 22 sebagai prepaid tax


7

1) Pengajuan SKB dan uang tambahan, dalam praktiknya pengajuan SKB PPh

Pasal 22 ini merupakan biaya tambahan bagi oknum petugas guna

memperlancar terbitnya SKB tersebut bahkan SKB seringkali tidak dapat

diterbitkan segera bila tidak ada “uang tambahan” dan hal tersebut

merupakan tambahan biaya bagi perusahaan. Untuk dapat

membebankannya sebagai biaya dalam menghitung penghasilan bruto

rasanya agak sulit karena sulit membuat bukti tertulisnya, karena pemberian

uang tersebut dilakukan secara tunai tanpa bukti tertulis. Jika proses

pengajuan dan “uang tambahan” tersebut ternyata diketahui jumlahnya lebih

besar daripada nilai pembebasan PPh Pasal 22 yang diajukan, maka

perusahaan pengimpor lebih baik tidak mengajukan permohonan SKB.

Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus melunasi PPh Pasal 22 yang

terutang. Meskipun demikian pada saat perhitungan PPh Badan, perusahaan

masih dapat mengkreditkan pembayaran PPh Pasal 22 tersebut

2) Bukti pungut PPh Pasal 22 asli tapi palsu, perusahaan yang melakukan

impor barang terkadang meminta bantuan pengurusan kepada pihak ketiga

yang bergerak di bidang jasa kepabeanan. Jika memang harus dilakukan,

maka perusahaan hendaknya mewaspadai PPJK yang nakal. Contoh PT

Sakinah meminta PT Junto yang berstatus sebagai PPJK untuk melakukan

proses impor sparepart mesin motor. Pada hari Jumat (sehari sebelum libur),

PT Juncto memberikan informasi bahwa impor mesin tidak dapat diproses

karena ada pembayaran pajak yang belum lunas. Selanjutnya, PT Juncto

meminta PT Sakinah untuk segera melakukan proses pembayaran, padahal


8

PT Sakinah dalam kondisi yang sulit untuk melakukan proses pengeluaran

uang dengan segera. Akibatnya, PT Sakinah meminta PT Juncto untuk

menanggung pajak-pajaknya terlebih dahulu dan akan melakukan

penggantian pada hari kerja berikutnya. Yang terjadi adalah PT Juncto tidak

melakukan pembayaran pajak seperti yang diminta namun tetap

menerbitkan bukti pemungutan PPh Pasal 22. Di dalam bukti pemungutan

PPh Pasal 22 tersebut tercantum pihak pemungutnya adalah Kantor

Pelayanan Bea Cukai (KPBC), tercantum pula nama dan tandatangan

pejabat yang berwenang dan stempel KPBC. Lantas, bukti pungutan ini

digunakan untuk melakukan penagihan kepada PT Sakinah melalui

mekanisme reimburst.

c. Khusus untuk BUMN/BUMD yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22

1) Perusahaan harus memastikan bahwa pemasok barang bersedia untuk

dipungut dan menuangkannya dalam kontrak, Surat Perintah Kerja (SPK)

atau dokumen sejenis

2) Pembelian langsung yang tidak memungkinkan menggunakan kontrak,

perusahaan harus melakukan gross up, sementara pemasok barang tidak

bersedia pajaknya dipungut PPh Pasal 22

2.3 Strategi Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 23

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum menentukan strategi

perencanaan pajak untuk efisiensi PPh Pasal 23 yaitu:


9

a. Memahami secara menyeluruh mengenai ketentuan yang mengatur PPh Pasal 23

dan Tarif Pemotongannya

b. Memahami saat terutangnya pajak

c. Melakukan pemisahan tagihan antara tagihan untuk material dan jasa,

perusahaan harus memastikan pengadaan jasa yang tertuang dalam kontrak

untuk mengatur antara tagihan material dan jasa, kecuali jasa konstruksi dan

catering, sehingga pajak hanya akan dikenakan atas pemberian jasa saja

d. Mewaspadai penagihan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Contoh PT

Tiki menerima tagihan sebesar Rp. 200.000.000 dari PT JNE dengan rincian Rp.

20.000.000 untuk jasa dan Rp. 180.000.000 untuk biaya gaji yang telah

dibayarkan kepada karyawan yang dipekerjakan di PT Tiki. PT Tiki harus

melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 6% dari Rp. 180.000.000, bukan

Rp. 20.000.000 atas tagihan tersebut. Alasannya, berdasarkan Pasal 1 Keputusan

Dirjen Pajak No 170/PJ/2002 pemisahan pembayaran PPh Pasal 23 dapat

dilakukan jika terdapat dua unsur di dalam suatu transaksi yaitu jasa dan

material/barang. Sementara itu, angka senilai Rp. 180.000.000 yang merupakan

biaya gaji dibayarkan kepada karyawan PT JNE, bukan PT Tiki sehingga

mekanisme reimbursement tidak dapat dilakukan.

e. Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 23

1) Mengumpulkan akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 23 khususnya

yang terkait dengan objek PPh Pasal 23 menjadi satu kelompok dengan

nama akun yang sama


10

2) Memberikan kode khusus atas setiap transaksi yang berhubungan dengan

objek PPh Pasal 23, jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara

maksimal

3) Mengumpulkan seluruh objek PPh Pasal 23 yang tersebar di akun-akun

biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan

ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh Pasal 23, hal ini

dilakukan setiap akhir tahun. Jika masih ada selisih, maka langkah

selanjutnya adalah perusahaan harus meneliti apakah pemotongan pajak

dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva) ataukah

terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca

(kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.

2.4 Strategi Perencanaan Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum menentukan strategi

perencanaan pajak untuk efisiensi PPh Pasal 21 yaitu:

a. Efisiensi Pajak Keluaran

1) Memanfaatkan fasilitas PPN yang diberikan di Kawasan berikat, terutama

untuk perusahaan yang berorientasi pada ekspor barang kena pajak untuk

memperoleh fasilitas tersebut dan untuk dapat mengkreditkan pajak

masukannya, perusahaan harus menjadi Pengusaha di Kawasan Berikat.

2) Menerbitkan faktur pajak keluaran

3) Memastikan penerbitan faktur pajak sudah sesuai ketentuan baik dari segi

waktu maupun validitasnya


11

4) Jika karakteristik penjualan produk merupakan potensi yang akan

menimbulkan piutang usaha yang akan dilunasi lebih dari satu bulan,

perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak keluaran pada akhir bulan

berikutnya setelah bulan penyerahan, sehingga pelunasan PPN Keluaran

dapat ditunda

5) Jika karakteristik penjualan produk merupakan potensi yang akan

menimbulkan piutang usaha yang akan dilunasi kurang dari satu bulan,

perusahaan dapat menerbitkan faktur pajak keluaran pada saat menerbitkan

faktur komersial, sehingga proses ekualisasi antara omzet penjualan

menurut PPh Badan dengan penyerahan menurut SPT Masa PPN lebih

mudah dilakukan

6) Bagi penyerahan yang didasarkan pada metode presentase penyelesaian,

seperti jasa assistensi, audit atau konstruksi, perusahaan dapat menerbitkan

faktur pajak pada saat pembayaran termin diterima

7) Memastikan faktur pajak yang cacat tetap disimpan secara baik, karena

perusahaan biasanya langsung mencetak nomor seri faktur pajak secara

berurutan pada saat dibuat, sehingga pada saat pemeriksa pajak melakukan

sampling test dalam bentuk pengurutan nomor seri faktur pajak keluaran,

penemuan nomor yang tidak urut dapat langsung di klarifikasi

b. Efisiensi Pajak Masukan

1) Memastikan faktur pajak standar yang diterima dari pemasok tidak cacat

2) Memintakan faktur pajak masukan dengan segera agar dapat dikreditkan

dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN


12

3) Melakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai PKP

agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan tanggung jawab

renteng dapat dihindari

4) PPN yang dipungut oleh pemasok disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan

ketentuan perpajakan yang berlaku harus dituangkan dalam surat perjanjian,

bila tidak maka sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang

melanggarnya. Hal tersebut perlu dilakukan, karena pada saat dilakukan

pemeriksaan, pemeriksa pajak selalu melakukan informasi atas setiap PPN

yang telah dipungut. Konfirmasi dilakukan pada KPP tempat pemasok

tersebut terdaftar. Bila jawaban konfirmasi negatif, pemeriksa pajak tidak

dapat mengakui pengkreditan yang telah dilakukan oleh PKP yang tengah

diperiksa.
BAB III

CONTOH KASUS

3.1 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 21

PDAM Tirta Mangutama Kabupaten Badung menghitung PPh Pasal 21

menerapkan gross up method dengan pajak terutang sejumlah Rp. 271.382.152.

Take home pay yang didapatkan pekerja tidak mengurangi pajak penghasilan 21.

Hal ini disebabkan beban pajak telah dialihkan menjadi tunjangan pajak sesuai

dengan pajak terutang. Berikut ini disajikan perbandingan dalam PPh Pasal 21

dengan tiga metode yaitu gross, net dan gross up.

Dilihat pada tabel di atas, dalam metode gross, laba/rugi komersial

maupun fiskal menunjukkan nilai yang sama karena beban pajak PPh 21 tidak

ditanggung perusahaan sehingga taksiran PPh Pasal 21 senilai Rp. 1.422.432.867.

Jika PDAM Tirta Mangutama Kabupaten Badung menggunakan metode net, beban

pajak PPh 21 ditanggung perusahaan sebesar Rp. 271.248.547 namun tidak dapat

diakui secara fiskal sebagai pengurang pendapatan perusahaan sehingga dikoreksi

fiskal negatif. Maka taksiran PPh Pasal 21 senilai Rp. 1.422.432.867. Apabila

13
14

PDAM Tirta Mangutama Kabupaten Badung menerapkan metode gross up maka

perusahaan dapat meminimalkan pajak penghasilan dengan mencantumkan

tunjangan pajak sebesar Rp. 271.382.152 sebagai pengurang laba sebelum pajak

sehingga jumlah pajak terutang lebih kecil. Maka taksiran PPh Pasal 21 senilai Rp.

1.362.728. 794.

3.2 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 22

Pada contoh perencanaan pajak penghasilan pasal 22 digunakan kasus

pada jurnal penelitian PT CAT. Pada tahun 2018, PT CAT mengeluarkan biaya-

biaya sehubungan dengan impor yang merupakan objek PPh Pasal 22 impor. Tax

planning yang dilakukan perusahaan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan

yang berlaku yaitu PER-21/PJ/2014 yang mengatur tentang tata cara pengajuan

permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak

lain. PPh Pasal 22 impor merupakan kredit pajak yang dapat diperhitungkan, karena

PT CAT merupakan wajib pajak yang dikenakan penghasilan bersifat final, untuk

menghindari SPT Tahunan Lebih Bayar dan inefisiensi terhadap beban pajak,

perusahaan melakukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22

impor agar perusahaan tidak dilakukan pemungutan PPh oleh Bea dan Cukai atas

transaksi impornya.
15

3.3 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi PPh Pasal 23


16

PT CAT telah melakukan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh sesuai

dengan Undang-Undang dan ketentuan perpajakan yang berlaku. Pada tabel

pemotongan objek PPh Pasal 23 dapat dilihat bahwa perusahaan telah

memotong/memungut PPh sebesar 2% atas biaya yang dikeluarkan sesuai dengan

ketentuan UU PPh Pasal 23 yang mengatur tentang tarif pajak atas sewa aset yang

dikecualikan dari PPh 4 ayat (2) dan atas jasa lainnya sesuai dengan PMK-

141/PMK.03/2015 yang mengatur tentang jasa lainnya yang dikenakan PPh Pasal

23.

3.4 Contoh Perencanaan Pajak untuk Efisiensi Pajak Pertambahan Nilai

Pada contoh perencanaan pajak pertambahan nilai digunakan kasus pada

jurnal penelitian CV GRPS. CV GRPS dalam menerapkan perencanaan pajak ini

menyesuaikan dengan omzet penjualan terlebih dahulu, hal ini dilakukan untuk

menentukan jumlah PM yang nantinya akan dikreditkan dengan PK yang diperoleh

dari omzet penjualan. Jika omzet penjualan besar maka otomatis PK juga besar

sehingga memerlukan PM yang banyak untuk dikreditkan sehingga PPN terhutang

dapat diminimalkan. Jika omzet penjualan pada masa tertentu kecil maka jumlah

PM yang akan dikreditkan disesuaikan dengan jumlah PK-nya dan jika terdapat PM

yang belum dikreditkan pada masa tersebut maka akan dikreditkan pada masa-masa

berikutnya, contohnya PM masa Desember dan Januari yang dikreditkan pada masa

Februari.

Kecilnya utang PPN tiap masa tentunya menguntungkan bagi perusahaan

karena ini merupakan tujuan perusahaan dalam melakukan perencanaan pajak. Jika
17

dilihat dari hasil yang diperoleh dengan menerapkan perencanaan pajak ini telah

sesuai dengan apa yang diharapkan CV GRPS.

Setiap perencanaan pajak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-

masing seperti perencanaan pajak dengan penundaan pengkreditan PM ini yang

memiliki kelebihan yaitu: utang PPN menjadi tidak fluktuatif seperti saat sebelum

diterapkannya perencanaan pajak sehingga cash flow perusahaan lebih terencana

dengan baik. Pada perencanaan pajak ini juga memiliki kekurangan yaitu jika

manajer accounting tidak melakukan perhitungan yang tepat sehingga

menyebabkan PM tersebut dikreditkan melebihi batas waktu yang diperbolehkan

dalam Pasal 9 ayat 9 UU PPN yaitu 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak. Jika

saat pemeriksaan oleh pihak DJP dan terbukti adanya kesalahan pada pengkreditan

PK dan PM maka akan dikenai sanksi dari DJP. Hal tersebut tentu akan merugikan

bagi perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut manajer accounting perlu

memperhitungkan secara tepat agar nantinya tidak terjadi kesalahan dalam

mengkreditkan PM.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulannya banyak perusahaan yang sudah menerapkan perencanaan

pajak untuk efisiensi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan juga PPN.

Seperti pada PDAM Tirta Mangutama Kabupaten Badung yang melakukan

perencanaan pajak PPh Pasal 21 dengan menerapkan gross up method pada

perhitungan pajaknya. Pada PT CAT dilakukan perencanaan pajak PPh Pasal 22

dengan melakukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 impor

agar perusahaan tidak dilakukan pemungutan PPh oleh Bea dan Cukai atas transaksi

impornya. PT CAT juga melakukan perencanaan pajak PPh Pasal 23 dengan

memotong/memungut PPh sebesar 2% atas biaya yang dikeluarkan sesuai dengan

ketentuan UU PPh Pasal 23 yang mengatur tentang tarif pajak atas sewa aset yang

dikecualikan dari PPh 4 ayat (2) dan atas jasa lainnya sesuai dengan PMK-

141/PMK.03/2015 yang mengatur tentang jasa lainnya yang dikenakan PPh Pasal

23. Sementara perencanaan pajak pertembahan nilai dilakukan oleh CV GRPS

pajak dengan penundaan pengkreditan Pajak Masukkan.

4.2 Saran

Perusahaan memiliki lebih banyak kesempatan untuk mempelajari dan

memanfaatkan lebih banyak cara perencanaan pajak yang dapat dilakukan sesuai

dengan penjelasan pada BAB II Pembahasan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Wasdi, Yanah. (2017). Analisis Perencanaan Pajak PPh Pasal 21 atas

Penghasilan Karyawan pada PT TIKI Jakarta Pusat. (Skripsi Sarjana, Universitas

Pakuan Bogor).

Wiranti C, Sintya., Kade D, Luh., Ayu, I Gusti. Analisis Penerapan

Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Sebagai Strategi Penghematan

Pembayaran Pajak Perusahaan Pada PDAM Tirta Mangutama Kabupaten

Badung. Jurnal Riset Akuntansi Warmadewa 3 (1) 2022; 17-19

Nurwati., Anwar, Syaiful. Penerapan Tax Planning atas withholding Tax

System terhadap Pajak Penghasilan Badan Pada PT CAT. Jurnal Akuntansi

Barelang

19

Anda mungkin juga menyukai