Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

PERPAJAKAN DAN AKUNTANSI PAJAK

TUGAS MATA KULIAH AKUNTANSI PERPAJAKAN


Dosen Pengampu: Dr. Asriani Junaid, SE., MSA., Ak., CA

Disusun oleh:
RAHAYU SYAMSUDDIN
0029.04.33.2022

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat-Nya, sehingga


penulis dapat menyelesaikan tugas makalah “Perpajakan dan Akuntansi Pajak”
tepat pada waktunya. Shalawat serta salam juga semoga selalu tercurahkan kepada
baginda Rasulullah SAW, sang manajer sejati Islam yang selalu bercahaya dalam
sejarah hingga saat ini.
Dalam pembuatan makalah ini, tentu tak lupa penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing penulis selama ini.
Tentunya makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu penulis
senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amiin Yaa Robbal Aalamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Makassar, Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL....................................................................................... 1
KATA PENGANTAR........................................................................................ 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak ............................. 6
B. Prinsip Dasar Akuntansi Pajak......................................................12
C. Hubungan Akuntansi Komersial dengan Akuntansi Pajak............16
D. Akuntansi Pajak Penghasilan.........................................................16
BAB III PENUTUP
A. Simpulan...........................................................................................37
B. Saran..................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hal akuntansi, pembukuan, dan pajak, otoritas pajak menuntut banyak
dari perusahaan. Faktanya, kita tidak bisa menghindari birokrasi dan bahkan
jika konsultan pajak melakukan pekerjaan rinci, kita sebagai pengusaha
setidaknya harus mengetahui dan memahami prinsip dasar akuntansi bisnis.
Selain itu, ada alasan lain untuk berurusan dengan daftar item terbuka dan
akun-T. Misalnya, menerima informasi berharga tentang situasi ekonomi
perusahaan. Pengetahuan ini membentuk dasar untuk sukses dan jalan masa
depan.

Akuntansi melibatkan berbagai tugas yang berbeda. Hal ini terutama


digunakan untuk merekam, mengontrol, dan melakukan evaluasi data bisnis
kita. Hal ini penting agar kita selalu memiliki gambaran lengkap tentang
proses individu dalam suatu perusahaan.

Semua proses yang bertanggung jawab atas pencatatan dan evaluasi proses
secara sistematis dalam sebuah perusahaan disebut akuntansi (lebih tepatnya
akuntansi operasional atau komersial). Mereka bertanggung jawab atas
perencanaan, pengendalian, dan pengelolaan acara internal. Singkatnya:
Dengan akuntansi kita dapat menentukan aset perusahaan yang ada dan
membuat kesuksesan perusahaan kita terukur.

Negara Indonesia telah mulai memungut pajak dengan menggunakan sistem


self assessment System atau kepercayaan untuk menghitung pajak yang
terutang, melunasi tunggakan pajak, menghitung pajak yang dibayar dan
melaporkan sendiri kepada Direktur Jenderal Pajak. Tidak dapat disangkal
bahwa banyak orang yang tidak percaya dengan adanya pajak, karena mereka
mengetahui pajak dari sudut pandang masyarakat hanya sebagai tradisi
membayar serangkaian iuran kepada pemerintah, tanpa memahami dasar,
maksud dan tujuan dari memahami pajak. pembayaran kurangnya
pemahaman tentang pajak.

4
Disadari atau tidak, pajak saat ini memegang peranan penting dalam struktur
pembiayaan pemerintah secara keseluruhan dan pajak akan selalu dinamis
dan mengikuti pola bisnis yang berkembang di masyarakat. Sebagai warga
negara yang bagus, kita harus membayar pajak sesuai dengan tarif pajak yang
dikenakan.

Kewajiban pajak dibagi menjadi dua pengertian, yaitu kewajiban pajak


subjektif dan kewajiban pajak objektif. Kewajiban pajak subjektif merupakan
kewajiban bagi setiap orang. Oleh karena itu, semua penduduk Indonesia
dikenakan pajak harus mematuhi peraturan perpajakan. Adapun mereka yang
tinggal di luar Negara dikenakan pajak jika memelihara hubungan ekonomi
dengan Indonesia. Kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang
berhubungan dengan properti. Jadi siapa pun yang mendapatkan atau
memiliki kekayaan memenuhi persyaratan hukum dapat dikenakan pajak.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak?
2. Apa Prinsip Dasar Akuntansi Pajak?
3. Bagaimana Hubungan Akuntansi Komersial dengan Akuntansi Pajak?
4. Bagaimana Penerapan Akuntansi Pajak Penghasilan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib
Pajak
2. Untuk mengetahui Prinsip Dasar Akuntansi Pajak
3. Untuk mengetahui Hubungan Akuntansi Komersial dengan Akuntansi
Pajak
4. Untuk mengetahui Penerapan Akuntansi Pajak Penghasilan

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembukuan dan Pencatatan Bagi Wajib Pajak


1. Kewajiban Pembukuan dan Pencatatan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 29 menyatakan bahwa Pembukuan adalah
suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,
dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. Pasal 28 ayat (1)
dan (2) menyatakan bahwa:
(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan.
(2) Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan
pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan
neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
Sedangkan pada Pasal 28 ayat (9) menyatakan bahwa Pencatatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan
secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan
bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang
bersifat final.

6
Adapun ketentuan lain sebagai berikut:
a) Yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
(1) Wajib Pajak (WP) Badan;
(2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat
milyar delapan ratus juta rupiah).
b) Yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
(1) Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang
dari Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah),
dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto, dengan syarat memberitahukan ke
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari
tahun pajak yang bersangkutan;
(2) Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas.

2. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan


a) Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b) Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin,
angka Arab, satuan mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa
Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri
Keuangan.
c) Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual
atau stelsel kas.
d) Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain
Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin
Menteri Keuangan.

7
e) Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan
pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

3. Syarat-Syarat Penyelenggaraan Pencatatan


a) Pencatatan harus menggambarkan antara lain:
- Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan
bruto yang diterima dan/atau diperoleh;
- Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
b) Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau
tempat usaha, pencatatan harus menggambarkan secara jelas untuk
masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang
bersangkutan.
c) Selain kewajiban untuk menyelenggarakan pencatatan, WP orang
pribadi harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan
kewajiban.

4. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan


Tujuannya adalah untuk mempermudah:
a) Pengisian SPT;
b) Penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
c) Penghitungan PPN dan PPnBM;
d) Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi
keuangan dan hasil kegiatan usaha/pekerjaan bebas.

5. Pembukuan Dalam Bahasa Asing dan Mata Uang Selain Rupiah


Wajib Pajak yang diperkenankan menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah:
a) Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing yaitu Wajib
Pajak yang beroperasi berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-
undangan Penanaman Modal Asing;

8
b) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya, yaitu Wajib Pajak yang
beroperasi berdasarkan kontrak dengan Pemerintah RI sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan
Pertambangan selain pertambangan minyak dan gas bumi;
c) Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Kerja Sama yang beroperasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan pertambangan
minyak dan gas bumi;
d) Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau
menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang
terkait;
e) Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian
maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
f) Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana
dalam denominasi mata uang Dollar Amerikat Serikat dan telah
memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran
dari Badan Pengawasa Pasar Modal-Lembaga Keuangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
g) Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di
luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang
dimiliki dan atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company)
di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan b Undang- Undang
Pajak Penghasilan.

6. Tata Cara Pengajuan Penyelenggaraan Pembukuan dalam Bahasa


Asing dan Mata Uang Selain Rupiah
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh WP harus terlebih dahulu
mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali WP dalam rangka
Kontrak Karya atau WP dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

9
Izin tertulis dapat diperoleh WP dengan mengajukan surat permohonan
kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:
a) Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satauan mata uang Dollar Amerika Serikat
tersebut dimulai;
b) Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak pertama.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan
keputusan atas permohonan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan
keputusan maka permohonan WP tersebut dianggap diterima dan Kepala
Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan
pemberian izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uangan Dollar Amerika
Serikat.
WP dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja
Sama yang sejak pendiriannya maupun yang akan menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang
Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat WP terdaftar paling lambat 3
(tiga) bulan sejak tanggal pendirian (bagi WP yang sudah
menyelenggarakan sejak pendiriannya) atau 3 (tiga) bulan sebelum tahun
buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai (bagi WP
yang belum menyelenggarakan sejak pendiriannya).
WP yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat namun merencanakan untuk tidak memanfaatkan izin
tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan pembatalan secara tertulis
ke KPP dalam hal Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam surat izin

10
belum dimulai dan pemberitahuan tersebut harus sudah diterima oleh
KPP sebelum Tahun Pajak tersebut dimulai.
Apabila penyelenggaraan pembukuan tersebut sudah dimulai, maka
wajib mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis ke KPP paling
lama 3 (tiga) bulan setelah tahun buku yang diselenggarakan dengan
menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat tersebut dimulai. Bagi WP Kontrak Karya atau WP Kontraktor
Kontrak Kerja Sama yang telah memberitahukan ke KPP untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan
satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, namun WP tersebut akan
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Indonesia
dan satuan mata Rupiah, wajib mengajukan permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang
diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan satuan mata
uang Rupiah tersebut dimulai.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan
keputusan atas permohonan pembatalan penyelenggaraan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar
Amerika Serikat dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak
permohonan dari WP diterima secara lengkap. Apabila jangka waktu
tersebut telah lewat dan Kepala Kantor Wilayah belum memberikan
keputusan, maka permohonan dianggap diterima. WP yang mengajukan
permohonan tersebut tidak diperbolehkan lagi menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang
Dollar Amerika Serikat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak izin
tersebut dicabut.

7. Tempat Penyimpanan Buku/Catatan/Dokumen


Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program on-line
wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat

11
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat
kedudukan Wajib Pajak badan. Perubahan Tahun Buku Dan Metode
Pembukuan Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun
buku, harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.

B. Prinsip Dasar Akuntansi Pajak


Struktur teori akuntansi merupakan elemen yang saling berkaitan dan menjadi
pedoman untuk mengembangkan teori dan Menyusun Teknik-teknik
akuntansi.

Tujuan Laporan
Keuangan

Konsep Teoretis
Postulat Akuntansi
Akuntansi

Prinsip Dasar
Akuntansi

Standar Akuntansi

Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi keuangan kepada


para pengguna laporan untuk digunakan dalam proses pengambilan
keputusan. Standar Akuntansi Keuangan Indonesia merumuskan tujuan
laporan keuangan, yaity menyediakan informasi yang menyangkut posisi

12
keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna
dalam pengambilan keputusan ekonomi.

Ketentuan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang


KUP menyatakan bahwa pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan oleh
Wajib Pajak yang diwajibkan melakukan pembukuan harus dilengkapi
dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta
keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dari gambaran tersebut laporan keuangan
mempunyai peran yang penting. Tujuan utama pelaporan keuangan fiskal
adalah menyajikan informasi yang digunakan sebagai bahan menghitung
dasar pengenaan pajak terutang.

Pengaturan selanjutnya perhitungan dalam Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang


KUP lebih menekankan kepentingan laporan keuangan tersebut karena SPT
dianggap tidak disampaikan apabila tidak sepenuhnya dialmpiri keterangan
dan/atau dokumen yang diperlukan. Namun demikian, laporan keuangan
komersial maupun laporan keuangan fiskal masih memiliki beberapa
keterbatasan seperti:
1) laporan keuangan yang disusun bersifat historis.
2) lebih banyak menekankan hal yang bersifat material.
3) penggunaan estimasi dan berbagai pertimbangan dalam menyusun
laporan keuangan.

Prinsip-prinsip dasar akuntansi komersial telah banyak dikemukakan para


ahli, tetapi umumnya mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yaitu dasar
akrual (accrual basis). APB Statement No. 4 menyatakan terdapat Sembilan
prinsip dasar akuntansi yaitu sebagai berikut:
(1) Cost Principle
Prinsip biaya (cost principle) atau biaya historis (historical cost), yaitu
dasar penilaian untuk mencatat perolehan barang, jasa harga pokok, biaya
maupun ekuitas sehingga yang paling pokok adalah penilaian yang
didasarkan harga pertukaran pada tanggal perolehan.

13
(2) Revenue Principle
Prinsip pendapatan (revenue principle) lebih menjelaskan tentang sifat
dan komponen, pengukuran, maupun pengakuan pendapatan sebagai
salah satu komponen penyusunan laporan laba rugi.
(3) Matching Principle
Prinsip dasar pemadanan atau penandingan (matching) menjelaskan
masalah pengaturan pembebanan biaya pada periode yang sama dengan
periode pengakuan hasil, sehingga hasil akan diakui pada periode
menurut prinsip dasar pengakuan hasil, sedangkan biayanya dibebankan
sesuai periode tersebut.
(4) Objectivity Principle
Masalah objektivitas (objectivity) mempunyai penafsiran yang berbeda.
Contoh objektivitas sebagai realitas yang disampaikan pihak ketiga yang
independen (misalnya laporan rekening koran dari bank), objektivitas
dianggap sebagai hasil consensus kelompok yang mengukur ataupun
objektivitas diukur dengan penentuan batas atau limit tertentu.
(5) Consistency Principle
Pada prinsip konsistensi (consistency principle) ini, prosedur dan prinsip
akuntansi yang sama harus ditetapkan dalam periode yang bersangkutan,
sehingga peristiwa ekonomis yang sejenis akan dicatat dan dilaporkan
secara konsisten. Oleh karena itu, laporan keuangan akan dapat
diperbandingkan.
(6) Disclosure Principle
Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure) mengharuskan laporan
keuangan dibentuk dan disajikan dari peristiwa ekonomi yang
mempengaruhi perusahaan dalam suatu periode. Laporan keuangan
diaharapkan cukup informatif sehingga para pengguna laporan keuangan
dapat memperoleh manfaat dari infromasi keuangan tersebut. Penyajian

14
laporan keuangan keuangan tersebut harus lengkap (full), jujur (fair), dan
memadai (adequate; mencakup informasi minimal yang memang harus
disajikan).
(7) Conservatism Principle
Prinsip ini merupakan prinsip pengecualian. Prinsip konservatisme
(conservatism principle) umumnya digunakan untuk hal yang sifatnya
tidak menentu atau ditengah kondisi ketidakpastian. Tetapi dengan
semakin banyaknya pihak yang mengutamakan penyajian jujur (fair) dan
dapat diandalkan (reliable), prinsip konservatisme semakin berkurang
penekanannya. Salah satu contoh penerapan prinsip konservatisme
adalah penyajian persediaan pada nilai terendah antara harga perolehan
dan harga pasar (lower of cost or market – LOCOM) yang bertentangan
dengan konsep biaya historis.
(8) Materiality Principle
Prinsip materialitas (materiality) juga termasuk dalam pengecualian.
Accountants International Study Group memberikan pengertian
materialitas sebagai persoalan pertimbangan professional penting. Pos-
pos tertentu harus dianggap material bila pengentahuan tertentu dianggap
secara wajar menimbulkan pengaruh bagi pengguna laporan keuangan.
Menurut APB Statement No. 4, prinsip materialitas mengandung arti
bahwa laporan keuangan hanya menyangkut informasi yang dianggap
penting (material) dalam mempengaruhi penilaian.
(9) Uniformity and Comparability Principle
Prinsip ini menekankan pada keseragaman dan dapat diperbandingkan,
yang merupakan salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam
penyusunan prinsip akuntansi.

Akuntansi pajak tercipta karena adanya suatu prinsip dasar yang diatur dalam
undang-undang perpajakan dan pembentukannya terpengaruh oleh fungsi
perpajakan dalam mengimplementasikan sebagai kebijakan pemerintah. Sisi
akuntansi komersial sebagai prinsip-prinsip dasar yang digunakan hanya
bersifat netral (tidak memihak) terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh

15
akuntansi. Oleh karena iu, prinsip-prinsip dasar akuntansi dapat digunakan
atau berlaku bagi akuntansi pajak, hanya memang terdapat karakteristik dan
tujuan pelaporan keuangan fiskal yang berbeda.

C. Hubungan Akuntansi Komersial dengan Akuntansi Pajak


Tujuan akuntansi komersial adalah menyediakan informasi yang menyangkut
posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan
yang bermanfaat bagi sejumlah besar pengguna laporan keuangan dalam
pengambilan keputusan ekonomi. Namun demikian, tidak semua informasi
dapat tersedia untuk pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi,
karena secara umum laporan keuangan tersebut menggambarkan pengaruh
keuangan dari peristiwa di masa lalu dan tidak diwajibkan menyiapkan
informasi non keuangan.

Kondisi era reformasi persyaratan diatas telah sejalan dengan tuntutan


keterbukaan. Self Assessment System di Indonesia harus didukung oleh unsur
kejujuran dan keterbukaan Wajib Pajak yang tercermin dalam itikad baik
Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan
sebagaimana persyaratan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
pembukuan atau pencatatan yg dikemukakan sebelumnya.

D. Akuntansi Pajak Penghasilan


1. Pajak penghasilan Pasal 21/26
Aktivitas bisnis dalam suatu organisasi atau entitas ekonomi hamper
selalu melibatkan sumber daya manusia. Aktivitas tersebut biasanya
melibatkan sebuah perjanjian tertulis atau terkadang lisan antara
penerima dan pemberi kerja. Sebagian isi perjanjian tersebut menyatakan
adanya pekerjaan, jasa, maupun kegiatan. Jika terdapat pekerjaan, jasa,
maupun kegiatan pada sebuah aktivitas ekonomi biasanya selalu diikuti
dengan imbalan atau penghasilan yang dibayar oleh pemberi pekerjaan,
jasa, ataupun penyelenggara kegiatan tersebut.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
menyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan.

16
Penghasilan yang dimaksud adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengaturan pemotongan pajak atas penghasilan yang berkaitan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan
luar negeri diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 26 UU PPh beserta peraturan
pelaksanaannya (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak).
a) Pengertian PPh Pasal 21/26
Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
menyatakan poin-poin berikut ini:
- PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa,dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 UU PPh.
- PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
Subjek Pajak luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
UU PPh.
b) Pemotong PPh Pasal 21/26
Pemotong PPh Pasal 21/26 meliputi hal-hal berikut:

17
(1) pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik
merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang
membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh
pegawai atau bukan pegawai;
(2) bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara
atau pemegang kas kepada Pemerintah Pusat termasuk institusi
TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga
pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan
Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan
nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
(3) dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja,
dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
(4) orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas serta badan yang membayar;
(5) penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi
yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang
pribadi sera lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan,
yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam
bentuk apapun kepada Wajib pajak orang pribadi dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan.
c) Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21/26
Penerima penghasilan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal
21/26 adalah orang pribadi yang termasuk diantara salah satu berikut
ini.
(1) pegawai;

18
(2) penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli
warisnya;
(3) bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain
meliputi:
(a) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, dan aktuaris;
(b) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film,
foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,
pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
(c) olahragawan
(d) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan
moderator;
(e) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
(f) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,
komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi
jasa kepada suatu kepanitiaan;
(g) agen iklan;
(h) pengawas atau pengelola proyek;
(i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau
yang menjadi perantara;
(j) petugas penjaja barang dagangan;
(k) petugas dinas luar asuransi;
(l) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct
selling dan kegiatan sejenis lainnya;

19
(4) peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan,
antara lain meliputi:
(a) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain
perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan,
teknologi dan perlombaan lainnya;
(b) peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau
kunjungan kerja;
(c) peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai
penyelenggara kegiatan tertentu;
(d) peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;
(e) peserta kegiatan lainnya.
d) Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21/26
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penghasilan yang
berasal dari active income, yang secara lugas bisa dikatakan “kita
bekerja untuk mencari uang” yaitu penghasilan yang berasal dari
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan. Berikut penghasilan-
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26.
(1) penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik
berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
(2) penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun
secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
(3) penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain
sejenis;
(4) penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa
upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau
upah yang dibayarkan secara bulanan;

20
(5) imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,
komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk
apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan;
(6) imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku,
uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau
penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan
imbalan sejenis dengan nama apapun.

Berdasarkan daftar diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada


dasarnya penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah
penghasilan yang diterima dalam bentuk uang (benefit in cash),
sedangkan penghasilan yang diberikan dalam bentuk
natura/kenikmatan (benefit in kind) pada dasarnya tidak dipotong
PPh Pasal 21 kecuali yang diberikan oleh Wajib Pajak sesuai
ketentuan yang berlaku.
e) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Salah satu unsur pengurang penghasilan dalam penghitungan PPh
Pasal 21 adalah PTKP. Dengan demikian tarif Penghasilan Tidak
Kena Pajak terbaru yang berlaku saat ini masih berdasarkan PMK
101/2016 tersebut, yakni:
(1) PTKP terbaru WP orang pribadi adalah Rp54.000.000,00;
(2) PTKP terbaru bagi WP yang kawin mendapat tambahan
sebesar Rp4.500.000,00;
(3) Tambahan PTKP terbaru untuk seorang istri yang
penghasilannya secara pajak digabung dengan penghasilan
suami adalah Rp54.000.000,00;
(4) Tambahan PTKP terbaru untuk tanggungan, dengan besaran
untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda
yang berada dalam garis keturunan lurus serta anak angkat
adalah sebesar Rp4.500.000,00.

21
Ketentuan jumlah tanggungan adalah maksimal tiga orang setiap
WP. Di mana yang dimaksud dengan keluarga sedarah ialah
orangtua kandung, saudara kandung dan anak. Dan yang yang
dimaksud keluarga semenda ialah mertua, anak tiri serta ipar.
f) Tarif Pemotongan PPh Pasal 21/26
Ketentuan tarif pemotongan PPh Pasal 21 adalah sesuai dengan
tarif PPh Pasal 17 ayat (1) UU PPh. Besarnya PPh Pasal 21
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
besarnya Penghasilan Kena Pajak. Sebelum dikalikan dengan tarif
pajak, Penghasilan Kena Pajak terlebih dahulu dibulatkan kebawah
dalam ribuan penuh. Jika Wajib Pajak penerima penghasilan belum
memiliki NPWP, penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong yang
berlaku adalah 20% lebih tinggi. Pemotongan PPh Pasal 21 yang
lebih tinggi hanya berlaku untuk yang penghitungan PPh Pasal 21
ysng bersifat tidak final.
Ketentuan PPh Pasal 26 sebesar 20% dan bersifat final. Tarif ini
diterapkan untuk penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh
sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadidengan status Subjek Pajak luar negeri dengan
memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang berlaku antara Negara Republik Indonesia
dan negara domisili Subjek Pajak luar negeri tersebut. PPh Pasal 26
tidak bersifat final jika orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar
negeri berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
g) Contoh PPh Pasal 21/26
 PPh Pasal 21
Pemberi Kerja
Jika dicatat dari posisi pemberi gaji, gaji maupun sejenisnya
yang menjadi penghasilan karyawan merupakan beban biaya
bagi perusahaan (expense). Pembebanan gaji untuk mendapatkan
penghasilan kena pajak dilakukan dengan cara akrual basis.

22
Artinya, gaji bulan Desember yang dibayarkan pada bulan
Januari tahun berikutnya menjadi biaya bulan Desember.
Contoh:
Aldi merupakan karyawan PT Sukses Sejahtera dengan status
TK/0, mendapat gaji kotor beserta tunjangan dan penghasilan
lainnya selama setahun sebesar Rp180.000.000. Dari informasi
penghasilan ini, diketahui potongan PPh Pasal 21 sebesar
Rp21.000.000. Maka, pencatatannya adalah sebagai berikut:

Jurnal PPh 21
Gaji Rp180.000.000
Kas/Bank Rp159.000.000
Utang PPh 21 Rp 21.000.000

Saat menyetor PPh 21 ke Negara


Utang PPh 21 Rp21.000.000
Kas/Bank Rp21.000.000

Jurnal PPh 21 yang pertama dibuat pada saat gaji tersebut


diberikan pada karyawan. Lalu pada bulan selanjutnya, pemberi
kerja menyetorkan pajak penghasilan tersebut sehingga dibuatlah
jurnal kedua untuk menyesuaikan utang pajak menjadi Rp 0,-
Penerima Kerja
Jika dicatat dari posisi penerima kerja, gaji karyawan dan
sejenisnya diakui sebagai penghasilan sebesar nilai kotor atau
belum dikenakan dengan pajak penghasilan dalam jurnal PPh 21.
Contoh:
Aldi merupakan karyawan PT Sukses Sejahtera dengan status
TK/0, mendapat gaji kotor beserta tunjangan dan penghasilan
lainnya selama setahun sebesar Rp180.000.000. Dari informasi

23
penghasilan ini, diketahui potongan PPh Pasal 21 sebesar
Rp21.000.000. Maka, pencatatan jurnal PPh 21 sebagai berikut:
Jurnal PPh 21
Kas/Bank Rp159.000.000
Piutang PPh 21 Rp 21.000.000
Gaji Rp180.000.000
Selanjutnya, penerima kerja membuat jurnal penyesuaian untuk
pph 21 yang menjadi piutang. Penyesuaiannya dilakukan setelah
karyawan menerima bukti potong setoran pph 21 yang dilakukan
oleh pemberi kerja, dalam hal ini perusahaan tempatnya bekerja.
Setelah menyetor PPh 21 ke Negara
Piutang PPh 21 Rp21.000.000
Kas/Bank Rp21.000.000
2. Pajak Penghasilan Pasal 22
Pasal 22 UU PPh memberikan dasar pemungutan PPh dan kewenangan
kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pemungut pajak sehubungan
dengan transaksi pembayaran atas penyerahan barang, kegiatan impor
dan kegiatan usaha di bidang lain, serta kegiatan penjualan barang yang
tergolong sangat mewah. Secara singkat, karakteristik yang melekat pada
PPh Pasal 22 adalah:
1) Terkait dengan transaksi berupa barang;
2) Pemungut PPh Pasal 21 tergantung pada pihak yang ditentukan atau
ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
3) Mekanisme pengenaan pajak yang berlaku secara umum adalah
pemungutan, tetapi ada juga mekanisme pemotongan. Namun istilah
yang dipakai untuk PPh Pasal 22 adalah pemungutan.
a) Pemungut PPh Pasal 22
Sebagaimana disebutkan dalam UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang
beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008,
pemungut PPh Pasal 22 yaitu wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

24
- Wajib Pajak Badan Pemungut PPh 22 saat Pembelian
(1) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC)
atas objek PPh Pasal 22 impor barang.
(2) Bendara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang.
(3) Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme
Uang Persediaan (UP).
(4) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit
Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme Pembayaran Langsung
(LS).
(5) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha
yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.,
PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero)
Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama
Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero).
o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan
dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau
bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.

25
(6) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang
pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
(7) Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian
komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral
bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan.
- Perusahaan Swasta yang Wajib Memungut PPh 22 saat
Penjualan
(1) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan
industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri.
(2) Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang
Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor,
atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri.
(3) Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar
gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan pelumas.
(4) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu
yang terintegrasi antara hulu dan industri hilir.
(5) Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi
yang kegiatan usahanya:
o Mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan;
o Menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri
dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.

26
(6) Sesuai dengan PMK Nomor 92/PMK.03/2019, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak
badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
b) Subjek dan Objek PPh Pasal 22
Sebelumnya, ketentuan mengenai pemungutan pajak penghasilan
pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang
dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
diatur dalam PMK No. 154/PMK.03/2010. Namun pemerintah
telah melakukan beberapa kali perubahan atau penyempurnaan
peraturan terkait pemungutan pajak penghasilan pasal 22 ini, yang
kemudian mencabut tersebut.
Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan
Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang
dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain,
objek PPh pasal 22 di antaranya:
(1) Impor barang dan ekspor
Kegiatan impor dan ekspor barang yang dilakukan eksportir
atas barang atau komoditas: Tambang batubara, Mineral logam
dan Mineral bukan logam.
(2) Pembayaran atas pembelian barang (objek PPh Pasal 22
Bendaharawan)
Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh
bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
sebagai pemungut pajak pada: Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah, dan Lembaga-
lembaga negara lainnya.
(3) Pembayaran atas pembelian barang

27
Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan
mekanisme Uang Persediaan (UP) yang dilakukan oleh
bendahara pengeluaran.
(4) Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
dengan mekanisme: Pembayaran langsung (LS) oleh KPA dan
Pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi
oleh KPA.
(5) Pembayaran atas pembelian barang untuk BUMN (objek pajak
PPh 22 BUMN).
(6) Penjualan hasil produksi kepada distributor: Industri semen,
Industri kertas, Industri baja, Merupakan industri hulu, Industri
otomotif, dan Industri farmasi.
(7) Penjualan kendaraan bermotor: Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan Importir
umum kendaraan bermotor.
(8) Penjualan Migas: Bahan bakar minyak, Bahan bakar gas, dan
Pelumas.
(9) Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul
Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengepul keperluan
industrinya atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor: Kehutanan, Perkebunan, Pertanian,
Peternakan, dan Perikanan.
(10)Penjualan barang yang tergolong sangat mewah
Penjualan barang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh
wajib pajak badan.
Perluasan Pemungutan Objek Pajak Penghasilan Pasal 22
Melalui PMK No. 92/PMK.03/2019 tentang Perubahan Kedua Atas
PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu
Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan
Barang yang Tergolong Sangat Mewah, WP Badan yang berhak

28
memungut PPh Pasal 22 diperluas. Waktu pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 ini dilakukan saat penjualan barang tergolong
mewah.
c) Tarif PPh Pasal 22
Besar tarif pajak penghasilan pasal 22 menurut UU PPh dan diatur
dalam PMK No. 34/PMK.010 Tahun 2017 yakni:
- Tarif PPh 22 sebesar 2,5% dan 7,5% atas Impor
- Tarif PPh Pasal 22 sebesar 1,5% atas Pembelian
- Tarif PPh 22 atas Penjualan Hasil Produksi Tertentu
Kertas: 0.1% dari DPP PPN
Semen: 0.25% dari DPP PPN
Baja: 0.3% dari DPP PPN
Otomotif: 0.45% dari DPP PPN
Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN
- Tarif PPh Pasal 22 Hasil Produksi Migas
 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual
BBM yang dibeli dari Pertamina atau anak usaha
Pertamina
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual
bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak
perusahaan Pertamina
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada pihak yang dibeli dari Pertamina maupun selain
dari Pertamina atau anak usaha Pertamina.
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk bahan
bakar gas
 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk pelumas
- Tarif PPh 22 sebesar 0,25% atas Pembelian Bahan untuk
Industri

29
- Tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas Impor Komoditas
- Tarif PPh 22 sebesar 1,5% atas Ekspor Komoditas Tamban.
- Tarif PPh 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Kendaraan
Bermotor
- Tarif PPh 22 sebesar 0,45% atas Penjualan Emas Batangan
- Tarif PPh Pasal 22 Barang Mewah
Sesuai Pasal 2 ayat (2) PMK 29/2019 ini, besar pajak
penghasilan pasal 22 yang dipungut pada saat melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Jika wajib pajak tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), maka akan dikenakan tarif 100% dari pada tarif umum
PPh Pasal 22 yang berlaku.
d) Contoh PPh Pasal 22
PT Segar Bugar membeli baja dari PT Krakatau Steel sebesar
Rp300.000.000,-
PT Segar Bugar merupakan distributor baja dalam negeri. Baik PT
Segar Bugar maupun PT Krakatau Steel sudah dikukuhkan sebagai
PKP.
Atas transaksi ini, PT Krakatau Steel akan memungut PPh Pasal 22
dari PT Segar Bugar sebesar 0,3% x Rp300.000.000,- = Rp
900.000,- dan PPN sebesar 10% x Rp300.000.000,- =
Rp30.000.000,-
Sehingga jurnal yang dibuat oleh PT Segar Bugar:
Pembelian Rp300.000.000
PPN Masukan Rp 30.000.000
Uang Muka PPh Pasal 22 Rp 900.000
Kas Rp330.900.000
Jurnal yang dibuat oleh PT Krakatau Steel saat pemungutan adalah:
Kas Rp330.900.000
Utang PPh Pasal 22 Rp 900.000
PPN Keluaran Rp 30.000.000

30
Penjualan Rp300.000.000

3. Pajak Penghasilan Pasal 23


a) Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal
23
(1) Pemotong PPh Pasal 23:
- badan pemerintah
- subjek pajak dalam negeri
- penyelenggaraan kegiatan
- bentuk usaha tetap (BUT);
- perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
- wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak (akuntan, arsitek,
dokter, notaris, PPAT, orang pribadi yang menjalankan
usaha yang menyelenggarakan pembukuan).
(2) Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 yaitu Wajib
Pajak dalam negeri dan BUT.
b) Objek dan Tarif PPh Pasal 23
(1) Tarif 15% dari jumlah bruto untuk:
- Dividen (kecuali pembagian dividen kepada WP Orang
Pribadi dikenakan final), royalti dan bunga (termasuk
premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang);
- Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang
telah dipotong PPh pasal 21 (yaitu penghasilan yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri orang
pribadi yang berasal dari penyelenggara kegiatan
sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan);
(2) Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk sewa dan penghasilan
lain yang berkaitan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
tanah atau bangunan.

31
(3) Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa teknik, jasa
manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.
(4) Tarif PPh 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa lainnya
seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
141/PMK.03/2015 dan tarif PPh 2% efektif mulai berlaku pada
tanggal 24 Agustus 2015.
c) Contoh PPh Pasal 23
PT AAA merupakan developer pada 1 Februari 2023 menyewa tiga
unit alat berat dari PT BBB secara kredit sebesar Rp250.000.000.
Jurnal untuk mencatat transaksi tanggal 1 Februari 2023:

Biaya Sewa Alat Rp250.000.000


Utang PT BBB Rp250.000.000

Tanggal 29 Februari 2023, PT AAA melunasi pembayaran pada PT


BBB sebesar Rp250.000.000 dipotong pajak penghasilan pasal 23
sebesar 2% dengan rincian berikut:
 Pembayaran disetor langsung ke rekening PT BBB sebesar
Rp245.000.000
 Pembayaran disetor ke kas negara atas potongan pajak
penghasilan pasal 23 sebesar Rp5.000.000
Jurnal pencatatan dan pembukuan transaksi tanggal 28 Februari
2023:

Utang PT BBB Rp250.000.000


Kas in Bank Rp250.000.000

Pemotongan pajak penghasilan pasal 23 sebesar 5.000.000 tidak


dilakukan penjurnalan di dalam pembukuan pada pencatatan dan
pembukuan di atas, karena pemotongan tersebut merupakan
transaksi pembayaran utang pada PT BBB.
Namun pembayaran tersebut diganti dengan bukti potong pajak
penghasilan pasal 23 yang disetor dan dilaporkan ke DJP oleh PT
AAA.

32
4. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
a) Objek Pajak dan Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)
Berikut ini objek pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dengan tarifnya
masing-masing yang telah diatur pemerintah:
(1) Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro
Tarif PPh Pasal 4 ayat 2 untuk objek pajak bunga
deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro (kecuali yang
diterima bank, dana pensiun, tabungan kepemilikan rumah
RSS, tabungan atau deposito di bawah
Rp7.000.000) sebesar 20%.
(2) Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggota koperasi orang pribadi (kecuali bunga di bawah
Rp240.000 tidak dikenakan pajak) kena PPh Pasal 4 ayat 2
sebesar 10%.
(3) Bunga obligasi (surat utang negara) dan SUN lebih dari 12
bulan. Ketentuan tarif ini sesuai Pasal 4 (2) a UU PPh jo PP
No. 16 Tahun 2009.
(4) Dividen yang diterima/diperoleh wajib pajak orang pribadi
dalam negeri
Dividen yang diterima atau diperoleh WP Pribadi dalam
negeri dikenakan tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2
sebesar 10%.
(5) Hadiah undian
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 pada hadiah, lotre atau
undian sebesar 25%.
(6) Transaksi derivatif berupa kontra berjangka yang
diperdagangkan di bursa

33
Tarif pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 untuk transaksi derivatif
berupa kontrak berjangka panjang yang diperdagangkan di
bursa sebesar 2,5% dari margin.
(7) Transaksi penjualan saham pendiri
 0,5%: untuk transaksi penjualan saham pendiri, yang
diatur dalam PP No. 14 Tahun 1997 jo KMK
282/KMK.04/1997 jo SE-15/PJ.42/1997 dan SE
06/PJ/14/1997.
 0,1%: untuk transaksi penjualan bukan saham pendiri
(8) Persewaan atas tanah dan/atau bangunan
10% x jumlah bruto (nilai persewaan): untuk sewa tanah/
bangunan
(9) Pengalihan hak atas tanah/bangunan dan RSS dan Rumah
Susun
 5% : untuk wajib pajak yang melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, termasuk usaha real
estate kecuali pengalian oleh WP Pribadi yang
berpenghasilan di bawah PTKP dengan nilai pengalihan
kurang dari Rp60.000.000, penjualan, tukar-menukar,
pelepasan hak, hibah, warisan atau cara lain kepada
pemerintah, untuk pelaksanaan pembangunan dan
kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
 1% x jumlah bruto (nilai pengalihan): untuk pengalihan
rumah sederhana dan rumah susun sederhana oleh wajib
pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan
 0%: atas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum atau kantor/ instansi pemerintah
 2,5% x jumlah bruto (nilai pengalihan): untuk lainnya
(10)Transaksi penjualan saham

34
Tarif Pajak Penghasilan pasal 4 (2) untuk transaksi penjualan
saham atau pengalihan penyerahan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
sebesar 0,1% sebagaimana diatur dalam PP No. 4 Tahun 1995.

Sedangkan tarif PPh Pasal 4 ayat terbaru Jasa Kontruksi diatur


dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2022 yang berlaku
mulai 21 Februari 2022, adalah sebagai berikut:
 1,75% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan
konstruksi, dilakukan oleh (kontraktor pelaksana) penyedia
jasa yang memiliki sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau
sertifikat kompetensi kerja usaha orang perseorangan
 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan
konstruksi, dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa
yang tidak memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat
kompetensi kerja untuk usaha perseorangan
 2,65% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan
konstruksi, dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa
selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf
b (Pekerjaan konstruksi bersertifikat menengah dan besar)
 2,65% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan
konstruksi terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang memiliki
sertifikat badan usaha
 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan
konstruksi terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang tidak
memiliki sertifikat badan usaha
 3,5% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk jasa
konsultasi konstruksi, dilakukan (kontraktor
perencana/pengawas) penyedia jasa yang memiliki sertifikat
badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang
perseorangan

35
 6% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk jasa konsultasi
konstruksi, dilakukan (kontraktor perencana/pengawas)
penyedia jasa yang tidak memiliki badan usaha atau sertifikat
kompetensi kerja untuk usaha orang perseorangan.
b) Contoh PPh Pasal 4 ayat (2)
PT Surya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa
konstruksi (memiliki SIUJK) dan telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pada bulan Januari 2015 memberikan
jasa perbaikan kepada PT Matahari dengan nilai kontrak
Rp100.000.000,-.
Atas transaksi ini PT Surya memungut PPN 10% dan PT Matahari
memotong PPh Pasal 4 ayat (2) atas pelaksana konstruksi dengan
kualifikasi usaha kecil sebesar 2%.
Jurnal yang dibuat PT Surya adalah:

Kas Rp108.000.000
PPh Pasal 4 ayat (2) Rp 2.000.000
PPN Keluaran Rp 10.000.000
Pendapatan Rp100.000.000

Jurnal yang dibuat oleh PT Matahari adalah:

Beban Jasa Konstruksi Rp100.000.000


PPN Masukan Rp 10.000.000
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) Rp 2.000.000
Kas Rp108.000.000

36
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
- Berdasarkan pasal 28 ayat (1) dan (2) UU KUP dan pasal 14 ayat (2) UU
PPh disimpulkan bahwa yang wajib menyelenggarakan pembukuan
adalah WP OP yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang
memiliki peredaran bruto sudah mencapai Rp4,8 milyar dan semua wajib
pajak badan. Sedangkan WP yang tidak menyelenggarakan pembukuan
wajib menyelenggarakan pencatatan. WP OP yang melakukan usaha atau
pekerjaan bebas dan memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 milyar
boleh memilih menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
NPPN. Hal tersebut harus diberitahukan kepada Dirjen Pajak (c.q. Kantor

37
Pelayanan Pajak) dalam 3 bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan.
Jika dalam jangka waktu tersebut tidak diberitahukan, WP tersebut
dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
- Secara umum, akuntansi komersial disusun dan disajikan berdasarkan
Standar yang berlaku, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
Namun, untuk kepentingan perpajakan, akuntansi komersial harus
disesuaikan dengan aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Dengan
demikian, apabila terjadi perbedaan antara ketentuan akuntansi dengan
ketentuan pajak, untuk keperluan pelaporan dan pembayaran pajak maka
Undang-Undang Perpajakan memiliki prioritas untuk dipatuhi sehingga
tidak menimbulkan kerugian material bagi wajib pajak yang
bersangkutan.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan
dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas.
Kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami, semoga dapat diterima
di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.softwarepajak.net/news/81-seri-kup-pembukuan-dan-pencatatan-
bagi-wajib-pajak/

https://www.online-pajak.com/seputar-pph21/contoh-jurnal-pph-21

https://klikpajak.id/blog/pph-pasal-22-dan-lapor-spt-pph-22/

https://nasikhudinisme.com/2014/12/31/akuntansi-pph-pasal-22/

https://klikpajak.id/blog/pajak-pph-23-tarif-pajak-penghasilan-pasal-23/
#A_Objek_pajak_dan_tarif_PPh_23

https://klikpajak.id/blog/pph-pasal-4-ayat-2/#Objek_Pajak_PPh_Pasal_4_Ayat_2

38
Benny Setiawan dan Primandita. Kupas Tuntas PPh PotPut. Edisi 2. Salemba
Empat, Jakarta, 2017

39

Anda mungkin juga menyukai