Anda di halaman 1dari 19

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PAJAK

PERTAMBAHAN NILAI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan


Pajak Semester VI Tahun Akademik 2019-2020

Dosen Pengampu:
Inayah Adi Sari, S.E, M.Si, Akt

Kelompok 10

1. Dwi Yuli Asih (4316500045)


2. Puji Yuliarti (4315500131)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2019

i
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan sebuah Makalah Tax
Planning dan Pengendalian atas Pajak Pertambahan Nilai.

Penulisan makalah Tax Planning dan Pengendalian atas Pajak


Pertambahan Nilai ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan
Pajak, sebelum presentasi yang akan dilakukan oleh kelompok 10. Sumber
makalah materi ini diambil dari buku Manajemen Perpajakan, Strategi
Perencanaan Pajak dan Bisnis, dan sumber lain yang berhubungan dengan materi
Tax Planning dan Pengendalian atas Pajak Pertambahan Nilai.

Pada kesempatan penyusun mengucapkan terima kasih kepada pengarang


buku Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis sebagai
referensi penulisan makalah ini, dan Dosen Pengampu yang telah membantu
dalam proses belajar mengajar, serta kepada partner kelompok yang telah
membantu menyusun makalah ini.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah Tax Planning dan Pengendalian
atas Pajak Pertambahan Nilai ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran penulis terima demi peningkatan mutu
selanjutnya.
Pada akhirnya mudah-mudahan makalah Tax Planning dan Pengendalian
atas Pajak Pertambahan Nilai ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, dan semua
pihak yang cinta terhadap ilmu pengetahuan terutama tentang Perencanaan Pajak.

Tegal, 25 Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
PRAKATA....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 2
A. Pengukuhan PKP (Syarat dan Pengajuan PKP).......................... 3
B. Pengendalian Atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak
Masukan Agar Memenuhi Syarat Formil Dan Materiil.............. 6
C. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang........................ 8
D. Strategi Menghadapi Temuan Pemeriksaan tentang Konfirmasi
PPN yang dinyatakan “Tidak Ada” ............................................ 10
E. Rekonsiliasi DPP PPN dengan Peredaran Usaha dalam SPT PPh
Badan........................................................................................... 11
BAB III PENUTUP....................................................................................... 14
A. Kesimpulan.................................................................................. 14
B. Saran............................................................................................ 14
Daftar Pustaka................................................................................................ 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Langkah pembaruan dan penyempurnaan UU PPN No. 8 Tahun 1983
terus dilakukan pemerintah dari tahun 1994, terakhir dengan diterbitkan
Undang– Undang PPN NO. 42 Tahun 2009, yang meningkatkan kepastian
hukum dan keadilan bagi pengenaan PPN. Perkembangan transaksi bisnis,
terutama jasa, telah menciptakan jenis serta pola transaksi baru di dalam UU
PPN. Sejak diterbitkannya UU PPN yang baru, ada beberapa peraturan dari
Dirjen Pajak yang dikeluarkan dan telah di revisi. Seperti perubahan pada
ketentuan mengenai pembuatan kode Faktur Pajak Keluaran, saat terutang pajak, dan saat
pembuatan FakturPajak, pelaporan PPN secara manual atau melalui data
elektronik (e-SPT), serta yang disampaikan lewat e-filing.
PPN merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan terhadap
konsumsi barang maupun jasa di dalam Daerah Pabean. Setiap melakukan
pembelian atau penjualan barang/jasa dari PKP dikenakan PPN. Sesuai legal
karakter dari PPN yang bersifat non kumulatif, maka di dalam perlakuan
pajak-PPN tidak boleh ada pajak berganda karena konsumen terakhirlah yang
harus menanggung PPN tersebut. PPN memiliki karaktreristik selaku pajak
tidak langsung yang beban pajaknya dapat dipindah ke konsumen akhir. PPN
juga mempunyai karakteristik sebagai pajak objektif yang memiliki artian
bahwa timbulnya adanya kewajiban pajak dibidang PPN sangat ditentukan
oleh adanya objek pajak dan PPN tidak mempertimbangkan kondisi subjektif
dari subjek pajak. Secara umum, cara pemungutan PPN menggunakan
mekanisme Indirect Subtraction Method (PK-PM), sesuai dengan Pasal 9
ayat (2), ayat (8) huruf b, ayat (4), ayat (10), ayat (11), dan ayat (12) UU
PPN, serta metode inilah yang dianggap terbaik daripada metode lainnya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Kapan seharusnya mendaftar sebagai PKP?
2. Bagaimanakah pengendalian atas faktur pajak keluaran maupun faktur
pajak masukan agar memenuhi syarat formiil dan materiil?
3. Bagaimanakah tax planning pemilihan tempat pajak terutang?
4. Bagaimanakah strategi menghadapi temuan pemeriksaan tentang
konfirmasi PPN yang dinyatakan “tidak ada”?
5. Bagaimanakah rekonsiliasi DPP PPN dengan peredaran usaha dalam SPT
PPh Badan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kapan seharusnya mendaftar sebagai PKP.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengendalian atas faktur pajak keluaran
maupun faktur pajak masukan agar memnuhi syarat formiil dan materiil.
3. Untuk mengetahui bagaimana tax planning pemilihan tempat pajak
terutang.
4. Untuk mengetahui bagaimana strategi menghadapi temuan pemeriksaan
tentang konfirmasi PPN yang dinyatakan “tidak ada”.
5. Untuk mengetahui bagaimanakah rekonsiliasi DPP PPN dengan
peredaran usaha dalam SPT PPh Badan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengukuhan PKP (Syarat dan Pengajuan PKP)

1. Pengertian PKP
PKP atau kepanjangan dari Pengusaha Kena Pajak merupakan seorang
pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU
PPN) tahun 1984 bersama dengan perubahannya, bukan termasuk pengusaha
kecil dengan batasan yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan,
kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak (PKP).
Sebelum pengusaha maupun wajib pajak badan mendapatkan
pengukuhan PKP, mereka harus memenuhi persyaratan dalam hal pengajuan
PKP serta lolos survey yang telah dilakukan oleh KPP atau KP2KP
(www.online-pajak.com).
2. Pengusaha yang Wajib Mendapatkan Pengukuhan PKP
Selain harus memiliki penghasilan sebesar Rp 4,8 miliar dalam
satu tahun, pengusaha yang wajib mendapatkan pengukuhan PKP yaitu
pengusaha yang telah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang berada di dalam Daerah Pabean
dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa
Kena Pajak, dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan
(www.online-pajak.com):
a) Segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
b) Melakukan pemungutan atas pajak yang terutang.
c) Menyetorkan pajak pertambahan nilai (PPN) yang masih harus
dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan
serta menyetorkan pajak penjualan atas barang mewah yang terutang.

3
d) Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya
paling lambat diakhir bulan berikutnya (SPT Masa PPN)
3. Syarat Pengajuan PKP
Untuk mendapatkan pengukuhan PKP dari Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) seorang pengusaha / bisnis / perusahaan harus memenuhi syarat
sebagai berikut (www.online-pajak.com):
a) Memiliki pendapatan bruto dalam satu tahun buku yang mencapai
sebesar Rp 4,8 miliar dan bukan termasuk pengusaha / bisnis /
perusahaan dengan pendapatan bruto < Rp 4,8 miliar, kecuali apabila
pengusaha tersebut memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak.
b) Melewati proses survey yang dilakukan oleh KPP atau KP2KP tempat
pendaftaran.
c) Melengkapi dokumen dan syarat pengajuan PKP atau pengukuhan
PKP yang telah ditentukan.
Permohonan untuk menjadi PKP diajukan ke KPP atau KP2KP yang
wilayah kerjanya berada di tempat tinggal / tempat kedudukan, atau
tempat kegiatan usaha wajib pajak.
Adapun dokumen dan formulir pendaftaran yang harus disiapkan
untuk pengajuan ke KPP agar memenuhi syarat pengajuan PKP serta
mendapat pengukuhan sebagai PKP adalah sebagai berikut (www.online-
pajak.com):
a) Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
1. Fotokopi KTP untuk WNI atau fotokopi KITAS / KITAP untuk
WNA.
2. Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan instansi berwenang.
3. Surat keterangan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat
PemDa sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa.
b) Untuk Wajib Pajak Badan
1. Fotokopi akta pendirian / dokumen pendirian maupun dokumen
perubahan untuk Wajib Pajak Badan maupun surat keterangan

4
penunjukkan yang berasal dari kantor pusat bagi BUT, yang
dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
2. Fotokopi kartu NPWP salah satu pengurus atau fotokopi passport
serta surat keterangan tempat tinggal dari pejabat PemDa
sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa, apabila
penanggungjawab perusahaan adalah seorang WNA.
3. Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan instansi
berwenang.
4. Surat keterangan tempat kegiatan usaha yang dijalankan dari
pejabat PemDa sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa.
c) Untuk Wajib Pajak Badan Bentuk Kerjasama Operasi (Joint
Operation)
1. Fotokopi perjanjian kerjasama / akta pendirian sebagai bentuk
Joint Operation yang dilegalisasi pejabat yang berwenang.
2. Fotokopi kartu NPWP masing-masing anggota bentuk kerja sama
operasi yang diwajibkan memiliki NPWP.
3. Fotokopi kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus
perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi maupun fotokopi
paspor dalam hal penanggung jawab WNA.
4. Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan instansi berwenang.
5. Surat keterangan tempat kegiatan usaha dari pejabat PemDa bagi
Wajib Pajak Badan dalam negeri maupun Wajib Pajak Badan
asing.
Syarat pengajuan PKP sebenarnya tidak terlalu rumit, namun
kebanyakan pengusaha gagal memperoleh PKP karena pengajuannya
ditolak (www.e-akuntansi.com).

5
B. Pengendalian Atas Faktur Pajak Keluaran Maupun Faktur Pajak
Masukan Agar Memenuhi Syarat Formil Dan Materiil

1. Pengertian Pajak Keluaran dan Pajak Masukan


Pajak keluaran merupakan PPN terutang yang wajib dipungut oleh
PKP yang telah melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan
jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena
pajak tidak berwujud, dan atau ekspor jasa kena pajak. Sedangkan pajak
masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh PKP karena perolehan barang kena pajak dan atau perolehan jasa
kena pajak dan atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari
luar daerah Pabean dan atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah
Pabean dan atau inpor barang kena pajak (Pohan, 2013, hal. 186).
Apabila PK > PM, maka selisihnya merupakan PPN yang harus
dibayar. Apabila PK< PM, maka selisihnya merupakan kelebihan bayar
PPN yang dapat dikompensasi dengan masa pajak berikutnya atau
direstitusi. Secara umum mekanisme pengkreditan pajak masukan diatur
dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2009 (Pohan, 2013, hal. 186), yaitu:
a) Pajak masukan dikreditkan beserta pajak keluaran untuk masa pajak
yang sama.
b) Jika terdapat pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, maka
dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lambat tiga bulan
setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan, selama belum
dibebankan sebagai biaya serta belum dilakukan pemeriksaan.
c) Apabila dalam suatu masa pajak belum ada pajak keluaran, maka
pajak masukan tetap dapat dikreditkan.
2. Faktur pajak keluaran maupun faktur pajak masukan dapat memenuhi
syarat formil, apabila (Pohan, 2013, hal. 187):
a) Harus berbentuk faktur pajak atau dokumen yang diperlakukan
sebagai faktur pajak, diisi dengan lengkap serta tidak cacat.

6
b) Harus memperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (8) UU PPN, yang
menentukan bahwa pajak masukan tidak dapat dikreditkan bagi
pengeluaran untuk:
1) Perolehan BKP atau JKP sebelum pelaku usaha / pengusaha
dikukuhkan sebagai PKP.
2) Perolehan BKP atau JKP yang tidak memiliki hubungan secara
langsung dengan usaha.
3) Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep,
station wagion,van, dan kombi, kecuali merupakan barang
dagangan atau disewakan.
4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP yang
berasal dari luar daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan
sebagai PKP.
5) Perolehan BKP atau JKP dengan bukti pungutan berupa faktur
pajak sederhana.
6) Perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
7) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP yang
berasal dari luar pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi
ketentuan seperti yang dimaksud di dalam Pasal 13 ayat (6).
8) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan
cara penerbitan ketetapan pajak.
9) Perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak
dilaporkan dalam SPM PPN, yang diketemukan waktu dilakukan
pemeriksaan.
3. Faktur pajak keluaran maupun faktur pajak masukan dapat memenuhi
syarat formil, apabila (Pohan, 2013, hal. 188):
Pajak masukan yang dibayarkan terhadap perolehan BKP/JKP
yang berhubungan secara langsung dengan aktivitas usaha, yang meliputi
aktivitas produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Selain itu,
pajak masukan juga harus didukung dengan bukti pengeluaran yang

7
berupa invoice serta kuitansi pembayaran yang menyatakan bahwa
transaksi sudah dipungut PPN.
Berkaitan dengan ketentuan perpajakn di bidang PPN tersebut di
atas, maka harus memperhatikan hal-hal dibawah ini:
a) Melakukakuan pengecekan secara teliti pada faktur pajak masukan
yang diterima sebelum melakukan pembayaran. Harus diperhatikan
persyaratan formal faktur pajak yang dapat dikreditkan agar tidak
mengakibatkan kerugian perusahaan.
b) Cek secara teliti apakah semua pajak masukan yang ditransaksikan
telah mempunyai bukti pendukung yang cukup kuat untuk pajak
masukan yang dapat dikreditkan.
c) Berkaitan dengan batas waktu, usahakan faktur pajak sudah diterima
sebelum lewat batas waktu setelah berakhirnya masa pajak, kecuali
untuk pemungut PPN.
d) Semakin cepat faktur pajak dari pembelian barang diterima, maka
akan lebih baik untuk perusahaan.
e) Cek dengan teliti semua pelaporan ke kantor pajak, terutama bagi
permohonan restitusi karena lebih bayar pajak masukan. Apabila ada
faktur pajak yang tidak disetujui, segera lakukan perbaikan sebelum
closing conference dilakukan.

C. Tax Planning Pemilihan Tempat Pajak Terutang

Sebelum mengabil sebuah keputusan untuk memilih pemusatan tempat


terutang, alangkah baiknya perusahaan melakukan penelitian dan
mempertimbangkan penggunaan cara yang lebih menguntungkan, apakah
dalam pelaporan pajaknya suatu prusahaan menggunakan sistem sentralisasi
maupun desentralisasi. Di dalam Pasal 1A ayat f UU PPN menyebutkan
bahwa penyerahan barang Kena Pajak dari pusat ke cabang, maupun
sebaliknya serta penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang, masuk ke
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Penecualian dari ketentuan

8
tersebut bertujuan untuk memberi kemudahan pada administrasi perpajakan,
wajib pajak dengan kriteria tertentu yang mempunyai lebih dari satu tempat
untuk melakukan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan permohonan yaitu
terkait Pemusatan/Sentralisasi Tempat PPN Terutang kepada Kanwil DJP
setempat dengan ketentuan sebagai berikut (Pohan, 2013, hal. 204-205):
a) Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang terdaftar di KPP Wajib Pajak besar
dapat melakukan sentralisasi secara otomatis sesuai KEP-335/PJ./2002.
Dalam hal tersebut, PKP mempunyai satu atau lebih tempat usaha, tempat
terutang pajak untuk seluruh aktivitas usaha tersebut ditetapkan hanya di
tempat PKP dikukuhkan oleh KPP Wajib Pajak Besar.
b) PKP yang mempunyai tempat PPN terutang lebih dari satu (selain point a)
dapat memilih satu tempat atau lebih untuk dijadikan Tempat Pemusatan
PPN Terutang. Hal ini dilakukan dengan tujuan PKP harus menyampaikan
pemberitahuannya dengan tertulis yang diajukan kepada Kepala Kantor
Wilayah dengan tembusan kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya
berada ditempat PPN terutang yang akan dipusatkan (PER-19/PJ/2010).
Adapun syarat pengajuan sentralisasi untuk PKP yang mempunyai
lebih dari satu tempat PPN (PER-19/PJ/2010), yaitu:
1. PKP yang berkaitan harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan kepada Kepala KPP
yang wilayah kerjanya berada di tempat-tempat PPN terutang yang
akan dipusatkan.
2. Tempat tinggal/kedudukan ataupun tempat kegiatan usaha PKP yang
berada di Kawasan Berikat; Kawasan Ekonomi Khusus; mendapatkan
fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; tidak bisa dipilih untuk
Tempat Pemusatan PPN Terutang maupun tempat PPN terutang yang
akan dipusatkan.
3. Pemberitahuan secara tertulis harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(a)Terdapat nama, alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang
dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang (b) terdapat nama,
alamat, dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan (c)

9
surat pernyataan bahwa administrasi penjualan dilakukan secara
terpusat pada tempat PPN terutang yang dipilih sebagai Tempat
Pemusatan PPN.
Sentralisasi tempat terutangnya PPN dasarnya merupakan fasilitas yang
bisa dimanfaatkan oleh PKP. Dengan izin sentralisasi, akan mendapat
penghematan biaya administrasi dan pengaturan cash flow perusahaan
yang lebih baik dalam menjalankan hak dan kewajiban pada bidang PPN.

D. Strategi Menghadapai Temuan Pemeriksaan tentang Konfirmasi PPN


yang Dinyatakan “Tidak Ada”

Saat pemeriksaan dilakukan, kerap kali fiskus mengoreksi pajak


masukan ketika konfirmasi terhadap pajak masukan tersebut mendapat
jawaban “Tidak Ada” dari kantor pajak lain. Asumsinya bahwa jika mendapat
jawaban “tidak ada”, maka faktur pajak dari pajak masukan tersebut dapat
dianggap fiktif oleh fiskus. Pihak DJP telah menerbitkan aturan khusus yaitu
KEP-754/PJ./2001 mengenai Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak
Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan tanggal 16 Desember 2001.
Dalam butir 1.4.1.3 dijelaskan bahwa apabila jawaban klarifikasi dari KPP
tempat PKP dikukuhnya menyatakan:
a) “Ada dan Sesuai” dengan penjelasan bahwa faktur pajak tersebut belum
terekan KPP domisili PKP penjual maupun faktur pajak tersebut
terlambat dilaporkan oleh PKP penjual, maka faktur pajak dapat
diperhitungkan sebagai pajak masukan yang selanjutnya dapat
dikreditkan.
b) “Tidak Ada” dengan penjelasan bahwa faktur pajak tidak sah karena
pengusaha yang menerbitkan belum dikukuhkan sebagai PKP, maupun
PKP penjual tidak pernah melakukan penyerahan BKP/JKP pada PKP
pembeli yang bersangkutan, sehingga faktur pajak tidak dapat
diperhitungkan sebagai pajak masukan yang dapat dikreditkan.

10
c) “Tidak Ada” beserta penjelasan bahwa faktur pajak belum dilaporkan
oleh PKP penjual dan KPP domisili PKP penjual telah menerbitkan SKP-
KB atau SKP-KBT terhadap faktur pajak yang belum dilaporkan
tersebut, sehingga faktur pajak tidak diperhitungkan sebagai pajak
masukan.
d) Jika dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal dikirimkan jawaban
klarifikasi belum / tidak diterima dan apabila berdasarkan pengujian arus
barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa faktur pajak tersebut
sah, maka faktur pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat
diperhitungkan sebagai pajak masukan yang bisa dikreditkan.
Apabila jawaban klarifikasi dari KPP yang dimintai klarifikasi hanya
menjawab “Tidak Ada” tanpa mencantumkan penjelasan atau keterangan
apapun maka pemeriksa pajak akan langsung melakukan koreksi pada pajak
masukan dan dianggap tidak dapat dikreditkan.

E. Rekonsiliasi DPP PPN dengan Peredaran Usaha dalam SPT PPH Badan

1. Definisi Rekonsiliasi PPN


Rekonsiliasi atau Ekualisasi PPN adalah proses pencocokan antara
data di SPM PPN dengan SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang
menyangkut PPN dan PPnBM(kalau ada)  ini penting karena adanya
hubungan langsung dengan pengakuan pendapatan perusahaan. Setiap
bentuk Penjualan akan menimbulkan Pajak Pertambahan Nilai.
Rekonsiliasi atas PPN idealnya dilakukan setiap bulan, tetapi rekonsiliasi
di akhir tahunnya menjadi perlu sekali karena terkait dengan  pengakuan
pendapatan di SPT Badan 1771 nantinya. Pada umumnya perbedaan yang
timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT Tahunan
PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul
karena dua kondisi, yaitu (www.online-pajak.com): (1) karakteristik
transaksi (2) Peraturan yang berlaku  mengakibatkan timbulnya
perbedaan.

11
2. Penyebab Munculnya Perbedaan Nilai Peredaran Usaha
Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan
PPh Badan dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain
dikarenakan oleh (www.online-pajak.com):
1) Adanya Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan,
tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan,
misalnya: penjualan aktiva tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri,
pemberian cuma-cuma, dan lain-lain.
2) Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di
laporan keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.
Kurs valuta asing untuk mengakui penjualan disesuaikan dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia, yang
dilakukan dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur
bahwa setiap transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan
menggunakan kurs pada saat terjadinya transaksi. Namun dalam
praktek di lapangan, kurs yang dipakai tidak selalu menggunakan kurs
transaksi. Sering kali Wajib Pajak menggunakan kurs rata-rata dalam
seminggu atau sebulan, menggunakan kurs tengah BI, dan lain-lain.
Sedangkan dalam membuat faktur pajak, penyerahan BKP atau JKP
yang menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs Menteri
Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan faktur pajak.
3) Pemberian Cash Discount
Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan jika
pembeli dapat membayar sebelum tanggal jatuh tempo atau syarat
pembayaran yang telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini
disebut dengan Cash Discount. Cash Discount tidak mengurangi Dasar
Pengenaan Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat
dipastikan pembeli akan memanfaatkan Cash Discount tersebut maka
omset yang terdaftar di SPT Masa PPN akan menjadi lebih besar
daripada omset yang dilaporkan di dalam SPT Tahunan PPh Badan.

12
4) Adanya kesalahan tulis atau hitung
Terjadinya perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul
atas kesalahan tulis atau kesalahan hitung (human error) dalam
pembuatan Faktur Pajak atau pengisian SPT Masa PPN. sebaiknya
pekerjaan rekonsiliasi atau ekualisasi PPN ini dilakukan secara rutin
tiap bulannya, karena jika timbul perbedaan dapat lebih mudah
ditelusuri. Apabila terjadi perbedaan timbul karena human error, maka
dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki
kesalahan tersebut.
3. Cara Melakukan Rekonsiliasi PPN
Rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan dengan
cara mengambil angka penjualan kemudian dikalikan 10%. Apabila sudah
didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan
PPN masukannya, selanjutnya tinggal cross check dengan yang sudah
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya.
Apabila masih ada yang belum dilaporkan, apabila terdapat pada sisi
PPN keluaran maka harus dilakukan pembetulan SPM dan membayar
kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap menjadi exposure. Namun
jika ditemukan faktur pajak masukan yang belum dilaporkan sebagai PPN
masukan, maka harus melakukan pembetulan SPM atau membiarkannya
dengan cara tidak mengkreditkan dalam SPM dan pembukuan accounting
akan mencatat sebagai beban tambahan (www.online-pajak.com).

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang pengusaha / bisnis seharusnya mendaftarkan sebagai PKP
ketika penghasilannya dalam satu buku telah mencapai sebesar Rp 4,8 miliar
dalam satu tahun dan telah melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang berada di dalam Daerah Pabean
dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena
Pajak, dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan. Sebelum
mengabil sebuah keputusan untuk memilih pemusatan tempat terutang,
alangkah baiknya perusahaan melakukan penelitian terlebih dahulu dan
memilih cara yang baik sehingga dapat menguntungkan.
Strategi menghadapai temuan pemeriksaan tentang konfirmasi PPN
yang dinyatakan “tidak ada” dapat dilakukan berdasarkan aturan khusus yang
telah dikeluarkan DJP yaitu KEP-754/PJ./2001. Rekonsiliasi Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dapat dilakukan dengan cara mengambil angka
penjualan kemudian dikalikan 10%.

B. Saran
Dalam makalah ini pemakalah sudah menjelaskan tentang Tax Planning
dan Pengendalian atas Pajak Pertambahan Nilai. Tetapi pemakalah merasa
masih terdapat kekurangan  dan kelemahan, karena terbatasnya sumber acuan
yang digunakan. Sehingga untuk pembuatan makalah selanjutnya diharapkan
lebih banyak mengumpulkan sumber yang akan digunakan agar dapat
memperbaiki isi dari makalah sebelumnya.

14
Daftar Pustaka

Pohan, C. A. (2013). Manajemen Perpajakan, Strategi Perencanaan


Pajak dan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pajak (2019, Maret 27). Pengukuhan PKP; Cara dan Syarat Pengajuan PKP.
https://www.online-pajak.com

Amri, N. F. (2015). Kapan Seharusnya Mendaftar Sebagai PKP?. https://www.e-


akuntansi.com

15
2

Anda mungkin juga menyukai