Anda di halaman 1dari 17

“MAKALAH”

“OPTIMALISASI PEMBAYARAN PAJAK”

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan 1

Dosen Pengampu : Kartika Pratiwi Putri, SE., M.Ak

Disusun Oleh : Kelompok 3

• Ahmad Fauzani Muslim (4122.4.20.11.0052)


• Mira Dwiyanti (4122.4.22.11.0153)
• Pipit Kurniasih (4122.4.20.11.0028)
• Agi Ginanjar (4122.4.20.11.0048)
• Dwi Wulan Nurmarliani (4122.4.20.11.0054)
• Sely Surya Dewi (4122.4.20.11.0029)
• Dewi Susilo Pangestu (4122.4.21.12.0038)
• Yen Resti (4122.4.21.12.0016)

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS

UNIVERSITAS WIANAYA MUKTI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan yang maha esa karena dengan
rahmat, karunia, serta hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan hasil makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Kartika
Pratiwi Putri, SE., M.Ak yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Perpajakan 1 . Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
laporan ini masih terdapat kekurangan.
Semoga hasil laporan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. kami
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. kami juga berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan hasil laporan yang telah kami buat di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Bandung, 13 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Tujuan ............................................................................................................................... 1
C. Manfaat ............................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

A. Pengamanan Kontrak-Kontrak Bisnis ............................................................................. 2

B. Optimalisasi Pengkreditan PPh yang Telah Dibayar ...................................................... 3

C. Pengajuan Permohonan Penurunan Angsuran PPh Pasal 25 .......................................... 4

D. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Psl 22 dan PPh Psl 23 ..................................... 5

E. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak .............................................................. 6

F. Rekonsiliasi SPT PPh Badan Dengan SPT Lainnya ....................................................... 8

G. Penerapan Tax Planning pada Usaha Mikro Kecil Menengah ......................................10

BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 13

A. Simpulan ...................................................................................................................... 13

B. Saran ............................................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Optimalisasi pembayaran pajak ini merupakan suatu langkah pengamanan yang harus
dilakukan wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan cash flow perusahaan,
yang tujuannya adalah untuk mendatangkan penghematan pajak.

Optimalisasi pembayaran pajak dapat dilakukan seperti diuraikan dibawah ini:

1. Pengamanan kontrak-kontrak bisnis dari potensi pemotongan withholding tax.


2. Optimalisasi pengkreditan Pajak Penghasilan yang telah dibayar.
3. Pengajuan permohonan penurunan angsuran PPh pasal 25.
4. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Psl 22 dan PPh Psl 23.
5. Mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
6. Rekonsiliasi atau Ekualisasi SPT PPh badan dengan SPT PPh Pasal 21,PPh Pasal 23/26 dan
SPT Masa PPN.

B. Tujuan

Adapun tujuan penulisan ini adalah :


1. Untuk pemenuhan tugas dari mata kuliah Perpajakan 1
2. Menganalisis satu materi dari Jurnal ataupun buku
3. Menambah wawasan karena dengan membuat tugas ini kita mengetahui optimalisasi
pembayaran pajak yang efktif dan efisien
4. Menguatkan pengetahuan kita tentang perpajakan 1

C. Manfaat

Dari makalah yang telah kami buat dan kami presentasikan nantinya, diharapkan
mahasiswa dapat memahami tentang apa yang dimaksud optimalisasi pembayaran pajak dan
mengetahi cara perhitungan optimalisasi pembayaran pajak.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengamanan Kontrak-Kontrak Bisnis dari Potensi Pemotongan Withholding Tax

Dalam praktik bisnis banyak terjadi kasus pemungutan atau pemotongan pajak dari pihak ketiga,
di mana yang membuat kontrak bisnis misalnya kontrak jual beli/ kontrak jasa konstruksi/ kontrak
sewa kurang memahami atau mengabaikan aspek perpajakannya secara detail dan sesuai dengan
ketentuan perpajakan, sehingga saat pemeriksaan oleh fiskus, perusahaan dikenai kewajiban untuk
membayar withholding tax ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari
pokok pajak. Belum lagi bila vendor tidak bersedia dipotong pajaknya karena pembayarannya
mengacu pada kontrak yang telah disetujui sebelumnya, sehingga bila perusahaan pembeli atau
pemilik proyek tidak memotong withholding tax (PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, PPh final, PPh
Pasal 26 dsb), perusahaan pembeli atau pemilik proyek mau tidak mau dikenai kewajiban untuk
membayar withholding tax ke kas negara berikut sanksi perpajakannya.

Ada dua pilihan perlakuan perpajakan atas transaksi tersebut:

1) Jika mau withholding tax tersebut dibiayakan dalam Laporan Keuangan Fiskal, maka nilai
transaksi dalam kontrak yang akan dibayar tersebut di gross up, sehingga jumlah transaksi
dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut. Atas jumlah pajak yang dibayarkan
boleh dibebankan sebagai biaya (kecuali untuk PPh final dan dividen), dan selain itu
perusahaan masih bisa menghemat pajak.
2) Pilihan lain adalah bila perusahaan membayarkan withholding tax. Dalam hal ini withholding
tax yang dibayarkan ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan karena tidak di
gross up.

Contoh:

Perusahaan akan menyewa lahan pergudangan dari Saudara Badu sebesar Rp 180.000.000 untuk
4 tahun. Badu tidak bersedia dipotong pajak sebesar 10% final atas sewa lahan pergudangan
tersebut.

2
3

 Apabila PPh final sebesar 10% atau sebesar Rp 18.000.000 tersebut dibayar oleh perusahaan,
maka perusahaan tersebut tidak boleh membebankan pajak tersebut sebagai biaya. Dengan
demikian, untuk transaksi ini perusahaan harus mengeluarkan uang sebesar Rp 180 juta + Rp
18 juta = Rp 198 juta.
 Perusahaan dapat melakukan gross up atas sewa lahan pergudangan tersebut menjadi: 100/90
x Rp 180 juta = Rp 200 juta.
PPh Final atas sewa lahan pergudangan 10% dari Rp 200 juta = Rp 20 juta. Jumlah yang harus
dibayar adalah: Rp 180 juta + Rp 20 juta = Rp 200 juta.
Penghematan pajak (tax saving) dari PPh badan sebesar 25 % x Rp 20 juta = Rp 5 juta
(asumsi laba perusahaan di atas Rp 200 juta).
Bila di gross up, pengeluaran perusahaan untuk pajak Rp 18 juta

Bila tidak di gross up, pengeluaran perusahaan untuk pajak

Rp 20 juta (PPh final) – Rp 5 juta (PPh badan) Rp 15 juta

Penghematan Pajak dengan cara gross up Rp 3 juta

B. Optimalisasi Pengkreditan PPh yang Telah Dibayar

Kredit Pajak merupakan jumlah pembayaran pajak yang dibayar oleh wajib pajak sendiri, setelah
ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain (yang sifatnya tidak final) dan
dikurangkan dari seluruh pajak yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan termasuk
apabila ada sejumlah pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000,-

Kredit pajak:

Pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000,-


4

Pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000,-

Pemotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000,-

Kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp 15.000.000,-

Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp 10.000.000,-(+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000,-(-)

Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar Rp 35.000.000,-

PPh yang dapat dikreditkan, dapat berupa:

 PPh Pasal 21 dari pekerjaan (sebagai kredit pajak di SPT PPh WPOP)
 PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 22 atas pembelian BBM dari Pertamina untuk selain
penyalur, dan lain-lain.
 PPh Pasal 23 atas bunga dari non bank, royalti, jasa profesional, dan jasa teknik, jasa
manajemen, dan jasa lainnya.
 PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri.
 PPh fiskal luar negeri karyawan (setoran atas nama karyawan perusahaan berikut NPWP
perusahaan).
 PPh atas pengalihan tanah/bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di bidang real
estate.

C. Pengajuan Permohonan Penurunan Angsuran PPh Pasal 25

Pengajuan permohonan pengurangan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 harus disertai


dengan perhitungan besarnya Pajak Penghasilan yang akan terutang berdasarkan perkiraan
penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk
bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
5

Bila wajib pajak mengurangi angsuran pajak tanpa melalui mekanisme permohonan
pengurangan angsuran PPh Pasal 25 atau tidak melakukan penyetoran SSP PPh Pasal 25 di bulan-
bulan terakhir mendekati akhir tahun fiskal (dengan tujuan untuk menghindari lebih bayar pajak),
maka Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas kekurangan bayar pajak
berikut sanksinya, dan STP tersebut juga harus dikreditkan oleh wajib pajak pada PPh badan yang
terutang pada akhir tahun sehingga masalah lebih bayar pajak akhirnya juga tidak dapat dihindari.

D. Pengajuan Surat Keterangan Bebas PPh Psl 22 dan PPh Psl 23

Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dapat diajukan
Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria dibawah
ini. Permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan tidak
berlaku terhadap pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diberikan Dirjen
Pajak melalui Surat Keterangan Bebas. (PER Dirjen Pajak No.1/PJ./2011)

Beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh wajib pajak adalah:

1) Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena:
a) Wajib pajak yang mengalami kerugian fiskal berhak melakukan kompensasi kerugian
fiskal.
b) Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang
akan terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
2) Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.
3) Surat Keterangan Bebas diberikan kepada:
a) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang
Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal dalam hal:
1) Wajib pajak baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
6

2) Wajib pajak belum sampai pada tahap produksi komersial.


3) Wajib pajak mengalami peristiwa yang berada di luar kemampuannya (force majeur).
b) Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat membuktikan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal dengan
memperhitungkan besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat
dikompensasikan yang tercantum dalam SPT Pajak Penghasilan atau surat ketetapan pajak.
c) Wajib pajak yang dapat membuktikan Pajak Penghasilan yang telah dan akan dibayar lebih
besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang.
d) Wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak bersifat final.

Permohonan pembebasan pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan diajukan


secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar dengan syarat:

a. Telah menyampaikan SPT Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir sebelum tahun diajukannya
permohonan kecuali untuk wajib pajak yang baru berdiri dan masih dalam tahap investasi.
b. Permohonan diajukan untuk setiap pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal
21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan atau Pasal 23 dengan menggunakan formulir yang telah
disediakan.
c. Permohonan harus dilampiri perhitungan Pajak Penghasilan yang diperkirakan akan terutang
untuk tahun pajak diajukannya permohonan untuk Wajib Pajak.

E. Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak

Wajib pajak diberi hak mengajukan permohonan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak untuk semua jenis ketetapan pajak, baik berupa SKP maupun STP. Pasal 19 ayat (1) KUP
No. 28 tahun 2007 mengatur pengenaan sanksi administrasi berupa bunga, dalam hal apa wajib
pajak diperbolehkan mengansur atau menunda pembayaran pajak.
7

Alternatif mana yang lebih menguntungkan wajib pajak, langsung melunasi, mengangsur,
atau menunda pembayaran pajaknya? Itu tergantung pada wajib pajaknya, seperti terlihat dalam
contoh berikut ini. Namun sebelumnya kita perlu menganalisisnya dengan menggunakan
benchmarking suku bunga pinjaman bank.

Contoh :

Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp
1.120.000 yang diterbitkan pada 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tangga; 1 Februari
2009. Wajib Pajak diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran pajak dalam jangka waktu
5(lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp 224.000. Diasumsikan suku bunga pinjaman-
bank (bank loan interest rate) adalah 1,5% perbulan, dan provisi bank 1%.

Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai berikut :

angsuran ke-1 : 2% x rp 1.120.000,00 = rp 22.400,00

angsuran ke-2 : 2% x rp 896.000,00 = rp 17.920,00

angsuran ke-3 : 2% x rp 672.000,00 = rp 13.440,00

angsuran ke-4 : 2% x rp 448.000,00 = rp 8.960,00

angsuran ke-5 : 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00

Wajib Pajak diperbolehkan menunda pembayaran pajak sampai tanggal 30 Juni 2009. Sanksi
administrasi berupa bunga atas penundaan pembayaran Sutar Ketetapan Pajak Kurang Bayar
tersebut besarnya 5 x 2% x Rp 1.120.000 = Rp 112.000.

Selanjutnya kita menganalisis secara komparatif perhitungan bunga dengan


benchmarking suku bunga pinjaman-bank :

No. Pembayaran Pinjaman Bank Diangsur Ditunda


Bunga 1,5%/bln Bunga 2%/bln Bunga 2%/bln
1 224.000 16.800 22.400
2 224.000 13.440 17.920
8

3 224.000 10.080 13.440


4 224.000 6.720 8.960
5 224.000 3.360 4.480
1.120.000 50.400 67.200 112.000
Provisi bank 1% 11.200
TOTAL 61.600 67.200 112.00

Berdasarkan analisis tersebut, bila suku bunga pinjaman-bank + provisi lebih rendah dari
bunga pajak, seperti kita lihat diatas, maka akan lebih efisien bila kita menggunakan pinjaman
bank untuk melunasi langsung SKPKB tersebut.

F. Rekonsiliasi SPT PPh Badan Dengan SPT Lainnya dan Laporan Keuangan (Fiskal)

Sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan prosedur


pengecekan dengan menggunakan teknik rekonsiliasi secara periodik antara elemen-elemen yang
terdapat di SPT Badan dan laporan keuangan (fiscal) perusahaaan dengan elemen-elemen yang
terdapat di SPT PPh Pasal 21, SPT PPh Pasal 23 dan SPT Masa PPN. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak atas semua SPT bulanan dan tahunan yang disampaikan
perusahaan. Kegagalan perusahaan dalam melakukan hal ini berpotensi menimbulkan pajak
kurang bayar serta tambahan sanksi atau denda.

Jika ditemukan adanya perbedaan, maka perbedaan tersebut harus ditelusuri dan segera
dikoreksi, bila diperlukan segera dibuatkan pembetulan SPT-nya.

1. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPN

Rekonsiliasi dilakukan atas transaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakni PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran dari omzet
penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukkan angka yang sama atau belum.
9

Bagi perusahaan, yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan rekonsiliasi antara
buku/ledger pembelian dan buku/ledger penjualan sengan SPT Masa PPN, apakah kedua ledger
tersebut dan SPT Masa PPN telah menunjukkan angka yang sama atau belum.

Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh Badan dengan SPT PPN bias berbeda,
disebabkan beberapa hal berikut :

• Omzet penjualan di SPT PPh Badan bias lebih besar dari omzet penjualan di SPT
PPN karena penjualan di SPT PPh Badan menganut akrual basis sehingga atas
penjualan kredit, jika barangnya telah diserahkan, penjualan sudah dilaporkan,
sedangkan pada SPT PPN, penjualan kredit bias dibuat faktur pajaknya pada akhir
bulan setelah bulan penyerahan barang.
• Omzet penjualan di SPT Badan lebih kecil daripada omzet di SPT PPN, karena
penerimaan uang atas penjualan sudah harus dibuat dibuat faktur pajaknya
meskipun barangnya belum diserahkan, sementara penjualan tersebut baru
dilaporkan setelah penyerahan barang.
2. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21

Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21 adalah prosedur pengecekan yang
dilakukan oleh KPP terhadap Jumlah Biaya Gaji dan Tunjangan serta biaya lainnya yang
dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang
tercantum dalam SPT PPh Badan, dengan Jumlah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum
dalam SPT PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan Pajak ini terdiri dari gaji dan tunjangan yang
dibayarkan kepada karyawan dan penghasilan lain yang dibayarkan kepada pihak perorangan
lainnya yang menjadi objek PPh Pasal 21, apakah jumlahnya telah sama.

3. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23

Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 23 berkaitan dengan prosedur pengecekan
yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen, royalty, dan jasa lainnya
yang harus dipotong PPh Pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan jumlah Dasar Pengenaan Pajak
SPT PPh Pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika terdapat material yang bukan objek PPh
Pasal 23, perlu dilakukan pemisahan antara nilai jasa dan materialnya.
10

G. Penerapan Tax Planning pada Usaha Mikro Kecil Menengah dan Aspek Keadilan
dalam Kebijakan Perpajakannya

1. Perubahan UU PPh dan Kriteria Pengusaha UMKM

Ketentuan terbaru Pasal 31E UU PPh No. 36 Tahun 2008 menyiratkan penetapan WP
Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50 miliar mendapat fasilitas berupa
pengurangan tariff terbesar 50% sebagai pengusaha UMKM. Dengan demikian bagi pengusaha
yang omzet usahanya sudah melebihi Rp 50 miliar, sudah tidak memenuhi kriteria sebagai
pengusaha UMKM dan tidak diperbolehkan memanfaatkan fasilitas pengurangan tariff ini. Tetapi
apakah dalam praktik akan demikian? Pemerintah telah membuka jendela hokum bagi pengusaha
UMKM untuk memanfaatkan fasilitas ini, dan bukan tidak mungkin pemerintah menyadari bahwa
pasal 31E tersebut akan dijadikan loopholes bagi pengusaha dan dimasukkan dalam agenda tax
planning-nya. Tampaknya ada tujuan yang lebih besar yang ingin dibidik pemerintah dalam
memberikan dorongan bagi berkembangnya usaha kecil, meningkatkan daya saing mereka
terhadap pengusah serupa dari Negara lain, sehingga secara gradual penerimaan Negara pada
akhirnya akan terdongkrak.

Istilah UMKM ini diadopsi dari UU UMKM Nomor 20 Tahun 2008, dengan tiga macam
tipologi yang berdasarkan peredaran usaha (omzet) dan yang lainnya berdasarkan nilai kekayaan
bersih atau asset, seperti terlihat dibawah ini :

Klasifikasi Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah

Jenis Usaha Batas Peredaran Usaha Nilai Kekayaan Bersih


(Omzet)
Usaha Mikro Hasil penjualan max. Rp 300j/thn Kekayaan bersih max. Rp 50 juta
Usaha Kecil Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp Kekayaan bersih lebih dari Rp 50
300 juta s/d Rp 2,5 miliar juta s/d Rp 500 juta tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha
Usaha Hasil penjualan tahunan lebih dari Rp Kekayaan bersih lebih dari Rp 500
Menengah 2,5 miliar s/d Rp 50 miliar juta s/d 10 miliar tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha
Sumber : UU UMKM No. 20 Tahun 2008
11

Agaknya fiskus bersikap netral dalam menetapkan kriteria UMKM berdasarkan peredaran
bruto paling tinggi sebesar Rp 50 miliar, sesuai UU UMKM No.20 Tahun 2008. Ada sementara
kalangan yang berpendapat bahwa penggunaan peredaran bruto sebagai parameter untuk
memperoleh fasilitas penurunan tariff kurang tepat karena peredaran bruto dari berbagai usaha bias
berbeda-beda. Memang tidak dapat diambil suatu angka tertentu sebagai standar nilai dari UMKM
ini yang berlaku seragam bagi semua jenis perusahaan, karena peredaran bruto yang dinilai kecil
(misalnya Rp 20 miliar) oleh badan usaha dibidang tertentu (misalnya pengusaha tambak ikan),
namun bagi pengusaha logam akan dinilai tidak terlalu besar.

2. Peningkatan Daya Saing Perekonomian Indonesia

Tarif PPh di dunia saat ini cenderung menurun, hal ini merupakan dampak dari globalisasi
ekonomi dan meningkatnya kemajuan teknologi yang memudahkan akses informasi tanpa batas
tempat dan waktu. Penurunan tariff PPh di suatu negara akan memengaruhi negara sekitarnya.
agara tetap kompetitif negara tersebut juga ikut menurunkan tariff pajaknya. Seabagai gambaran,
tariff pajak di negara sekitar kita, seperti Singapura mulai tahun 2008 menjadi 18%, Hongkong
17%, Malaysia 20% untuk RM 500 ribu pertama dan 27%, diatas RM 500 ribu, dan sedangkan
tarif PPh Badan RI dalam UUPPh yang berlaku sekarang 28%, jauh lebih tinggi dari negara sekitar.

Dengan adanya perubahan Undang-Undang PPh (UU PPh), tarif PPh Badan menjadi tariff
tunggal dan diturunkan menjadi 28% tahun 2009, dan menjadi 25% tahun 2010. Tarif tunggal
tersebut dimaksudkan sebagai fasilitas dan kesederhanaan bagi wajib pajak (WP). Tarif tunggal
ini pasti menguntungkan sebagian WP Badan namun sekaligus juga dirasakan kurang adil bagi
sebagaian WP lainnya utamanya WP kecil. Oleh karena itu pemerintah memberikan fasilitas
perpajakan bagi WP badan berskala kecil yaitu UMKM dengan pemberian fasilitas pengurangan
tariff sebesar 50% dari tarif normal untuk peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar.

Bagian Peredaran bruto yang memperoleh


fasilitas :
(4.800.000.000: 50 M) x 10 M = 960 Juta 480.000
(4.800.000.000: 20 M) x 4 M = 480 Juta 480.000 480.000
(4.800.000.000: 15 M) x 3 M = 960 Juta 960.000 960.000 1.920.000
12

10.000.000.000 – 960.000.000 = 9,04 miliar 9.040.000


*4.000.000.000 – 480.000.000 = 3,52 M 3.520.000 3.520.000
**3.000.000.000 – 960.000.000 = 2,04 M 2.040.000** 2.040.000** 5.080.000
Total PKP yang diperhitungkan : 10.520.000 4.000.000 3.100.000 3.100.000 10.200.000
PPh yang terutang:(50% x 28%) x 480 Juta 67.200 67.200 67.200 67.200 201.600
28% x 10.520.000.000 2.945.600
28% x 3.520.000.000 985.600* 985.600
28% x 2.040.000.000 571.200** 571.200** 1.142.400
Jumlah PPh Terutang 3.012.800 1.052.800 638.400 638.400 2.328.600
Laba Bersih usaha setelah dipotong pajak 7.507.200 2.947.200 2.261.600 2.261.600 7.671.400

Dari hasil pemekaran usaha tersebut pemilik modal masih dapat menghemat beban pajak
minimal sebesar Rp 684,2 juta (yakni 3.012.800 – 2.328.600) meskipun jumlah pajak yang
terutang secara keseluruhan naik menjadi sebesar Rp 2.328.400.000 (termasuk penghematan pajak
minimal Rp 684,2 juta). Namun dari hasil pemekaran usaha tersebut investo/pemilik modal masih
bias meraih profit yang lebih besar setelah dipotong pajak menjadi sebesar Rp 7.671.400 yang
diakibatkan oleh adanya efisiensi biaya perusahaan secara agregat.

3. Aspek Keadilan dalam Kebijakan Perpajakan UMKM

Dalam mendesain sebuah kebijakan perpajakan, pembuat kebijakan harus memperhatikan


asas-asas perpajakan sehingga kebijakan tersebut tidak timpang karena ketimpangan tersebut bias
merugikan pihak-pihak tertentu yang terkait dengan kebijakan tersebut. Formulasinya adalah asas
keadilan (equity). Pemilihan kebijakan yang sudah adil dalam formulasinya (secara normal)
namun belum tentu adil dalam praktiknya, karena pada umumnya mengukur keadilan sangat
relative tergantung dari aspek/sudut pandang/parameter mana kita menilainya. Adanya
ketidakadilan itu tampak dalam kebijakan pengurangan tariff PPh bagi WP badan UMKM ini.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, membayar pajak menjadi salah satu kewajiban
masyarakat yang penting dilakukan. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat
dilaksanakan. Untuk itu diharapkan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya membayar
pajak. Optimalisasi pembayaran pajak ini merupakan suatu langkah pengamanan yang harus
dilakukan wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan cash flow perusahaan,
yang tujuannya adalah untuk mendatangkan penghematan pajak.Optimalisasi pembayaran pajak
juga disini bertujuan mensejahterakan rakyat. Karena disamping fungsi budgeter (fungsi
penerimaan), pajak juga melaksanakan fungsi redistrbusi pendapatan dari masyarakat yang
mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih
rendah.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini mungkin ada salah kata, atau salah dalam memberikan materi
tentang Optimalisasi pembayaran pajak ini, kami harap kritik dan saran yang membangun dari ibu
dosen dan teman-teman sekaliannya, demi kebaikan kita bersama dan demi terciptanya
pemahaman akan materi ini dengan baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://books.google.co.id/books?id=ptNCDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage
&q&f=false

14

Anda mungkin juga menyukai