Anda di halaman 1dari 47

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

KASUS TRANSFER PRICING PT. TOYOTA MOTOR


MANUFACTURING INDONESIA
DOSEN : Dr. Vince Ratnawati, MSi. Ak. BKP. CA

OLEH
KELOMPOK 6

ADRIAN HANDA (2110246934)


RENY NOVITASARI (2110246943)
SHAVIRA MAULYDIA (2110246989)

FAKULTAS EKONOMI
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena kami
dapat menyelesaikan Makalah ini. Penyusunan Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pajak tentang Penghindaran Pajak Berganda. Selain itu tujuan dari
penyusunan Makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang pengetahuan Pajak
secara meluas. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Vince Ratnawati,
MSi. Ak. BKP. CA selaku dosen kami yang telah membimbing kami agar dapat
menyelesaikan makalah ini. Akhirnya kami menyadari bahwa Makalah ini sangat jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima
kritik dan saran agar penyusunan Makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu
kami mengucapkan banyak terima kasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi para
pembaca.

17 November 2021

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ i

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3


1. Pengertian Penghindaran Pajak Berganda ............................................... 3
2. Skema Penghindaran Pajak ..................................................................... 5
3. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda .................................. 8
4. Menghindari Pajak Berganda.................................................................. 9
5. Mencegah Pengelakan Pajak .................................................................. 10
6. Perencanaan, Penghindaran dan penggelapan pajak............................... 11
7. Tax Treaty ............................................................................................... 12
7.1 Pemajakan Atas Passive Income....................................................... 12
7.2 Pemajakan Atas Dependent dan Independent Personal
Services ................................................................................................... 17
8. Konsep BUT ........................................................................................... 19
9. Transfer Pricing ...................................................................................... 23
10. Tujuan Transfer pricing .......................................................................... 26
11. Tipe dan Metode Transfer pricing .......................................................... 26
12. Transfer pricing pada Perusahaan Multinasional.................................... 27
13. Treaty Shopping ...................................................................................... 31
14. Kedudukan Surat Keterangan Domisili
Dalam Pencegahan Treaty Shopping ...................................................... 31
15. Aplikasi Pajak Internasional dalam Perusahaan Multinasional .............. 32
16. Analisis Kasus Transfer Pricing PT. Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ........................................................................ 34

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 43


1. Kesimpulan ............................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Mobilisasi dunia usaha akhir-akhir ini sangat pesat dengan adanya globalisasi
modal dan perdagangan internasional. Transaksi internasional yang dilakukan setiap
negara menjadi peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tersebut
namun dapat juga menyebabkan iklim perekonomian internasional menjadi tidak
kondusif dikarenakan setiap negara memiliki hukum untuk mengatur nenegaranya
sendiri. Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir sebagian besar transaksi dan
aktivitas ekonomi terjadi antar mereka seperti transaksi penjualan, pembelian bahan
baku, pemberian jasa, penggunaan hak kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan
sebagainya. Faktor-faktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju
inflasi, nilai valuta asing, resiko politik, kepentingan mitra usaha patungan membuat
keputusan-keputusan transfer pricing umumnya menimbulkan trade-off yang kadang-
kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan. Salah satu faktor yang
membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar
Negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu Negara
berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk
menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang
tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian
terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari suatu Negara ke negara lainnya.

Undang-undang domestik yang ada di tiap negara memicu permasalahan


pemajakan secara berganda sehingga dapat menghambat perdagangan hingga
menimbulkan distorsi ekonomi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi negara.
Adanya perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut menimbulkan adanya pemungutan
pajak yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Pajak berganda akan
memberatkan pengusaha dari masing-masing negara, yang mana akan mengakibatkan
berkurangnya investasi, bisnis, dan perdagangan Internasional. Oleh karena itu,
disusunlah suatu perjanjian penghindaran pajak berganda (Tax Treaty) yang
dimaksudkan untuk membantu para pengusaha agar tidak dikenakan pajak berganda
dengan cara yang legal di mata hukum. Berdasarkan pemahaman atas fenomena yang

1
dijelaskan di atas, maka fokus makalah ini akan membahas tentang “Penghindaran Pajak
Berganda”.

2. Rumusan masalah
1. Bagaimana tata cara penghindaran pajak berganda?
2. Bagaimana tentang konsep tax treaty?
3. Bagaimana tentang konsep BUT ?
4. Bagaimana tentang konsep transfer pricing ?
5. Bagaimana tentang konsep treaty shopping ?
6. Bagaimana aplikasi pajak internasional dalam perusahaan multinasional ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Penghindaran Pajak Berganda


Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian internasional
di bidang perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar
tidak menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan
antar kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat
dalam perjanjian tersebut. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara untuk
menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang
dihadapi. Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah
pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan (pph). Berdasarkan pasal ini Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Ketentuan dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B)


Sehubungan dengan masalah transfer pricing yang melibatkan banyak negara
maka di P3B mengatur tentang hubungan istimewa, Yaitu pada pasal 9 UN
Model. Pasal ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan yang mempunyai negara dan
anak perusahaan yang berdomisili di negara lainnya. Pasal 9 UN Model berbunyi :
a. Suatu perusahaan dari satu negara pihak pada persetujuan, baik secara langsung
maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu
perusahaan di negara pihak persetujuan lainnya, atau orang atau badan yang sama
baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen,
pengawasan atau modal suatu perusahaan dari suatu negara pihak pada persetujuan
dan suatu perusahaan dari negara pihak pada persetujuan lainnya, dan dalam kedua
hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagang atau hubungan
keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang
lazim berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama
lain, Sehingga laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila

3
syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat ditambahkan
pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak.
Apabila suatu negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu perusahaan di
negara itu dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di negara lainya dan laba
tersebut adalah laba yang memang seharusnya nya diperoleh perusahaan-perusahaan
independen, maka negara lain itu akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jumlah
laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-penyesuaian itu harus memperhatikan ketentuan-
ketentuan lain dalam persetujuan ini dan apabila dianggap perlu, pejabat-pejabat yang
berwenang dari kedua negara pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret
1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing. Peraturan ini
merupakan petunjuk bagaimana perlakuan perpajakan atas kasus transfer pricing, berisi
contoh-contoh transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa. Transaksi antar pihak tersebut dapat mengakibatkan kekurang wajaran
harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Bentuk
kekurang wajaran dapat terjadi atas penentuan :
1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
3. Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost)
4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder
Loan)
5. Pembayaran komisi, license, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa
manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/ tidak
mempunyai substansi usaha (misalnya Dummy Company, Letter box Company
atau reinvoicing Center)

4
2. Skema Penghindaran Pajak
Beberapa skema penghindaran pajak yang umumnya dilakukan oleh
perusahaan PMA dalam aktivitas FDI adalah :
1. Transfer pricing
Transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan ( transfer )
barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
dalam transaksi bisnis financial ( Gunadi : 1994). Dalam konteks perpajakan transfer
pricing digunakan untuk merekayasa pembebanan harga suatu transaksi antara
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dalam rangka
meminimalkan beban pajak yang terutang secara keseluruhan atas grup
perusahaan. dari sisi negara, praktik transfer pricing dapat mengakibatkan distorsi
penerimaan negara dari sektor pajak.
Menurut Griffin dan Pustay, perusahaan multinasional berusaha untuk
memaksimalkan laba bersih setelah pajak dengan cara “ they may manipulate transfer
prices to shift reported profits from high tax countries to low tax countries”. Skema
transfer pricing yang umumnya dilakukan oleh perusahaan adalah :
 Menggelembungkan Inter Company cost
 Membebankan biaya royalti atas pemakaian merek dagang milik induk perusahaan
yang sebenarnya tidak diperlukan
 Memperbesar biaya bahan baku dan atau memperkecil penghasilan dari penjualan
barang
 Memperkecil omset penjualan melalui transaksi maklon
Pinjaman saham melalui perusahaan PMA, Dilakukan dengan cara
(1) membebankan biaya bunga dari pinjaman pemegang saham kepada pemberi
pinjaman di luar negeri, atau (2) Penghindaran PPH pemotongan dan pemungutan (
withholding tax) yaitu melalui praktik pinjaman tanpa bunga dari pemegang
saham, dan praktik pemakaian bahan baku untuk perusahaan di luar negeri dan
pemakaian merek dagang induk perusahaan tanpa pembayaran royalti kepada induk
perusahaan di luar negeri.

2. Pemanfaatan Tax Haven Country

5
Negara tax haven merupakankan suatu lokasi yang menawarkan kewajiban pajak
yang rendah atau daerah yang tidak akan dikenakan pajak dimana para pengusaha
melakukan usaha. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Azzara (1999), “ a tax haven
is a location which offer a low-tax or no-tax environment for which bussinessmen can
operate.”
Namun demikian, beberapa ahli perpajakan ada yang berpendapat bahwa
negara tax haven tidak dapat didefinisikan dengan jelas karena sifatnya sangat
relatif, yaitu tergantung pada ketentuan masing-masing negara. Suatu negara dapat saja
disebut sebagai tax haven oleh negara lain apabila negara tersebut memberikan suatu
insentif dalam kegiatan perekonomian di suatu daerah tertentu dalam wilayah negara
tersebut. Jadi, apakah suatu negara akan diklasifikasikan sebagai negara tax haven atau
tidak oleh negara lain tergantung dari definisi negara tax Haven yang diberikan oleh
negara lain tersebut. Karena tidak ada definisi yang jelas, maka untuk menentukan
bahwa Suatu negara sebagai tax haven dapat berdasarkan beberapa kriteria sebagai
berikut (Zain :2005) :
 Tidak memungut pajak sama sekali atau apabila memungut pajak maka tarifnya
sangat rendah;
 Memiliki peraturan yang ketat tentang rahasia bank dan atau rahasia bisnis dan tidak
akan mengungkapkan kerahasiaan tersebut kepada Siapapun atau negara
manapun, walaupun hal itu dimungkinkan pengungkapannya berdasarkan perjanjian
internasional
 Fasilitas alat komunikasi modern yang memungkinkan komunikasi ke seluruh dunia
tanpa ada hambatan apapun
 Pengawasan yang longgar terhadap lalu lintas devisa, termasuk deposito berasal dari
negara asing, baik perorangan maupun badan
 Adanya promosi dan kepercayaan bahwa negara-negara tax haven merupakan pusat
keuangan yang baik dan terjamin

Para peneliti di bidang internasional taxation pada umumnya membagi negara


tax haven dalam 4 kelompok ( Darussalam, Danny, dan Indrayagus : 2007), yaitu:

6
1. Classical tax Haven ,yaitu negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan sama
sekali atau menerapkan tarif pajak penghasilan yang rendah ( no-tax haven)
2. Tax Havens, yaitu negara yang menerapkan pembebasan pajak atas sumber
penghasilan yang diterima dari luar negeri (no tax on foreign source of income)
3. Special tax regimes, yaitu suatu negara yang memberikan fasilitas pajak khusus bagi
daerah-daerah tertentu di wilayah negaranya
4. Treaty tax havens, yaitu negara yang mempunyai Treaty Network yang sangat baik
serta menerapkan tarif pajak yang rendah untuk withholding tax atas passive income.

3. Thin Capitalization
Thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman yang
melampaui batas kewajaran. Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini adalah
pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak lain yang
memiliki hubungan istimewa dengan pihak peminjam (Rohatgi :2002).
Pada umumnya bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman yang bukan
penduduk di negara peminjam dapat dijadikan pengurang pada penghasilan kena pajak
si peminjam, sedangkan deviden tidak dapat dijadikan sebagai pengurang. Menurut
Gunadi ( 1994) pemberian pinjaman dalam skema thin capitalization dapat dilakukan
melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Direct loan, pinjaman diperoleh secara langsung dari investor ( pemegang saham).
Dari pinjaman tersebut investor mendapatkan bunga yang besarnya pada umumnya
ditentukan oleh investor tersebut.
b. Back to back loan, Investor menyerahkan dananya kepada mediator sebagai pihak
ketiga untuk langsung dipinjamkan kepada anak perusahaan dengan memberinya
imbalan.
c. Paralel loan, Investor luar negeri mencari mitra perusahaan Indonesia yang
mempunyai anak perusahaan yang berada di negara investor. Sebagai imbalan atas
pemberian pinjaman kepada anak perusahaan ( Indonesia) di negara
investor. Selanjutnya investor meminta kepada perusahaan Indonesia untuk juga
memberikan pinjaman kepada anak perusahaan milik investor di Indonesia.
4. Treaty Shopping

7
Tax treaty dapat dijadikan objek Untuk melakukan aktivitas penghindaran
pajak, meskipun tujuan dari tax treaty pada hakekatnya adalah untuk mencegah
penghindaran pajak. Skema Treaty shopping dilakukan oleh penduduk suatu negara
yang tidak memiliki tax treaty mendirikan anak perusahaan di negara yang memiliki
tax treaty dan melakukan kegiatan investasinya melalui anak perusahaan
tersebut, Sehingga investor dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas fasilitas
perpajakan lainnya nya yang tercantum dalam tax treaty.
Skema treaty shopping dilakukan untuk memanfaatkan fasilitas fasilitas dalam
tax treaty ( treaty benefit). Padahal treaty benefit hanya boleh dinikmati oleh residen (
Subjek pajak dalam negeri) dari kedua negara yang mengikat perjanjian. Untuk
memanfaatkan treaty benefit harus memenuhi dua syarat ( Mansury : 1999) yaitu :
a. Syarat formal ( administrative requirement), yaitu pembuktian bahwa yang
bersangkutan Adalah residen ( penduduk) dari negara yang mengikat perjanjian
berupa certificate of residence yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di
negara treaty partner.
b. Syarat material ( substantiive requirement), yaitu wajib pajak di negara treaty
partner memang benar-benar residence di negara partner tersebut bukan residen
negara ketiga.

5. Controlled Foreign Corporation ( CFC )


Penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara menunda pengakuan
penghasilan modal yang bersumber dari luar negeri ( khususnya di negara tax
Haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri. Skema CFC dilakukan dengan
mendirikan entitas di luar negeri di mana wajib pajak dalam negeri ( WPDN ) memiliki
pengendalian. upaya WPDN untuk meminimalkan jumlah pajak yang dibayar atas
investasi yang dilakukan di luar negeri adalah dengan menahan laba yang seharusnya
nya dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan memanfaatkan adanya hubungan
istimewa dan kepemilikan mayoritas saham, badan usaha di luar negeri tersebut dapat
dikendalikan sehingga dividen tidak dibagikan kan/ ditangguhkan. Upaya diatas akan
semakin menguntungkan bagi perusahaan jika badan usaha di luar negeri didirikan di
negara tax haven atau low tax jurisdiction.

8
3. Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Dari isi pasal 32A Undang-Undang PPH ini jelas bahwa dilakukannya
perundingan dengan negara lain buat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan
utama yaitu pertama menghindari pengenaan pajak berganda ( avoidance of double
taxation) dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal
evasion). Disamping dua tujuan utama tersebut, terdapat pula tujuan lain yang
sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas tercapai. Dalam penjelasan
pasal 32A UU PPH juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang dilakukan
pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan
dengan negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty bertujuan pula untuk
mendorong arus modal, teknologi dan keahlian ke suatu negara. P3B juga akan
memberikan kepastian hukum Kepada wajib pajak, memperlancar transaksi ekonomi
antar negara dan Meningkatkan kerjasama antar Negara.

4. Menghindari pajak berganda (double taxation)


Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yurisdiksi perpajakan suatu negara
berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yurisdiksi
perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda
ini timbul karena dua yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang
sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama. Misalkan seseorang yang bernama Mr
X yang merupakan warga Negara A mendapatkan penghasilan yang bersumber dari
negara B. Ketentuan pajak negara A akan mengenakan pajak atas penghasilan yang
diterima oleh warga negaranya dari mana pun sumber penghasilan tersebut. Di lain
pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang
bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan
penduduk negara B. Dalam kasus ini Mr X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A
dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi
sebagai subjek pajak dalam negeri ( residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka
orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh

9
penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual residence. Untuk
memecahkan masalah akibat penerapan ketentuan perpajakan dua negara , maka dua
negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan penghindaran pajak
berganda ( P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang hak pemajakan masing-
masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Dalam kasus dual residence suatu
P3B akan membuat ketentuan sedemikian sehingga seseorang atau badan hanya akan
menjadi residen ( subjek pajak dalam negeri) dari satu negara raja. Ketentuan ini biasa
disebut tie breaker rule yang biasanya dimuat dalam pasal 2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam
kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak
berganda. Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika suatu negara
melakukan koreksi harga dalam suatu transaksi dengan lawan transaksi di negara
lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak
tidak berganda.

5. Mencegah pengelakan pajak


Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tak
evasion. Tax avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan .
Apabila penghindaran ini dilakukan disesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan,
maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. namun demikian jika penghindaran ini
dilakukan dengan mengakali peraturan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat
undang undang maka jenis penghindaran ini perlu dipermasalahkan.
Contoh dalam penghindaran pajak yang yang mengakali ketentuan ini misalnya
dengan membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga
sehingga bisa dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer ( transfer pricing) dalam
transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax
rate merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini. Dalam kasus
lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa serupa buat transaksi yang semu walaupun
legal form-nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat
dari suatu tax Treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang seharusnya maka
dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax Treaty. Pendirian

10
conduit Company, paper box Company atau special purpose Company biasanya
digunakan untuk mendapatkan manfaat suatu tax Treaty.
Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak
dengan melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau
membebankan biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi ilegal dan
kriminal. Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu
transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya membuat ketentuan
tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty
shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya), Kasus transfer
pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.

6. Perencanaan, penghindaran dan penggelapan pajak


Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba dan
memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan membuat keputusan
melalui pertimbangan yang matang. Salah satu komponen penting yang menjadi
pertimbangan perusahaan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus direncanakan
dengan baik.
Upaya untuk meminimalkan beban pajak dilakukan dengan membuat
perencanaan pajak ( tax planning). Secara sederhana tax planning adalah upaya upaya
yang dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan pajak terhutang. Tax planning pada
FDI melibatkan regulasi lebih dari satu negara yang sering disebut dengan internasional
tax planning.
Tax planning dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih memenuhi
ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan
(unlawful). Istilah yang sering digunakan adalah lah tax avoidance (Penghindaran
pajak) dan tax evasion (Penggelapan pajak). Tax avoidance dilakukan dengan cara-cara
yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku yaitu memanfaatkan kelemahan-
kelemahan yang terdapat dan ketentuan perpajakan. Sedangkan tax evasion dilakukan
dengan cara yang bersifat ilegal yaitu melanggar ketentuan perpajakan. Seringkali dalam
praktik antara tax avoidance dan tax evasion sulit untuk dibedakan. Walaupun secara

11
legal tax avoidance dan tax avasion dapat dibedakan, namun secara ekonomis
perencanaan pajak melalui tax avoidance maupun tax evasion mengakibatkan
berkurangnya penerimaan pajak.
Berapa negara membedakan penghindaran pajak menjadi diperbolehkan (
acceptable tax avoidance) dan tidak diperbolehkan ( unacceptable tax avoidance). Suatu
transaksi disebut sebagai acceptable tax avoidance apabila memenuhi karakteristik
memiliki tujuan bisnis yang baik (bonafide bussiness purpose ), bukan semata-mata
untuk menghindari pajak, sesuai dengan maksud dari pembuat Undang-undang (Spirit
and intention of parliament) , dan tidak melakukan transaksi yang di rekayasa.
Sebaliknya suatu transaksi digolongkan sebagai unacceptable tax avoidance apabila
memiliki ciri-ciri tidak memiliki tujuan bisnis yang baik. semata-mata untuk
menghindari pajak, tidak sesuai dengan spirit and intention of parliament, dan adanya
transaksi yang direkayasa agar menimbulkan biaya biaya atau kerugian ( Rohatgi :
2002).
Dalam konteks perencanaan pajak, perusahaan multinasional mempunyai
banyak kesempatan dibandingkan dengan perusahaan domestik karena mempunyai
fleksibilitas geografis dalam menempatkan sumber daya ekonomis sesuai dengan sistem
produksi dan distribusi. Fleksibilitas geografis ini menawarkan berbagai skema
minimalisasi total beban pajak global perusahaan. Penggeseran penghasilan dan biaya
melalui rekayasa internal antar anggota perusahaan multinasional juga berpotensi
meminimalkan beban pajak global.

7. Tax treaty
7.1. Pemajakan atas passive income
Passive income merupakan penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk
tangiable maupun intangiable properties (termasuk dalam bentuk financial
investment). Jenis-jenis penghasilan dalam tax treaty yang dikategorikan sebagai passive
income adalah penghasilan dari harta tidak bergerak, penghasilan dari dividen, bunga,
royalti, capital gain serta pension.
Passive income berbeda dengan perlakuan atas penghasilan dari kegiatan usaha
yang dilakukan oleh penduduk salah satu negara di negara lain, yang hanya dapat

12
dikenai pada negara lain tersebut apabila kegiatan itu dilakukan melalui suatu BUT.
Passive income dapat dikenai pajak di negara sumber tanpa syarat adanya suatu BUT.
Namun demikian hak pemajakan yang diberikan kepada negara sumber biasanya
dikurangi, yaitu pemajakan dengan tarif yang lebih rendah dari tarif yang berlaku
berdasarkan undang-undang domestiknya. Passive income ini meliputi dividen, bunga,
royalti dan penghasilan dari penggunaan harta.

a. Deviden
Prinsip umum perpajakan internasional atas deviden adalah bahwa prioritas hak
pemajakan berada pada negara yang menerima penghasilan berdomisili. selain negara
domisili, negara sumber juga dapat mengenakan pajak atas deviden tersebut. Alasan
utama melatarbelakangi pemberian hak pemajakan kepada negara domisili dikarenakan
modal yang menjadi awal timbulnya penghasilan deviden tersebut berasal dari negara
domisili.
Namun dengan pertimbangan negara sumber juga ikut berkontribusi atas
timbulnya penghasilan deviden maka negara sumber memiliki hak terbatas atas
penghasilan deviden tersebut. Hak pemajakan terbatas itu tidak berlaku jika pihak
penerima penghasilan mempunyai permanent establishment (PE) atau tempat usaha
tetap ( fixed base) di negara sumber dan penghasilan yang diterima oleh pihak penerima
penghasilan tersebut memiliki hubungan efektif dengan PE atau fixed base tersebut (
effectively connected principle).
Untuk tujuan menentukan tarif pemajakan negara sumber atas penghasilan
deviden, pasal 10 ayat (2) baik OECD model dan UN model membedakan deviden
berdasarkan bentuk investasi saham nya sebagai berikut:
 Investasi saham partisipasi, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(a), dan;
 Investasi saham portofolio, diatur dalam pasal 10 ayat (2)(b) .
Sebagai perbandingan, berikut ini tarif pemajakan Yang diterapkan atas
penghasilan deviden berdasarkan bentuk investasi sahamnya yang diatur dalam OECD
model, UN model dan US model.

13
Tarif pemajakan atas deviden berdasarkan bentuk investasi :

Bentuk Investasi OE CD model UN model US model


Saham

deviden portofolio 15% tergantung kesepakatan 15%

deviden partisipasi 5% tergantung kesepakatan 5%

Berdasarkan pada tabel diatas, penghasilan deviden dari investasi saham


partisipasi mendapat perlakuan perpajakan yang lebih menguntungkan dibandingkan
dengan saham portofolio. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pasal 10 ayat (2)
OECD model adalah bahwa penurunan tarif pemajakan atas deviden dari investasi
saham partisipasi hanya berlaku dalam hal pemegang sahamnya adalah perusahaan dan
tidak berlaku kepemilikan saham yang dipegang oleh individu atau partnership.

b. Bunga
Pengertian bunga berdasarkan pasal 11 ayat (3) OECD model adalah :
 Penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, yang dijamin dengan hipotik maupun
tidak, dan yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak.
 Penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan pemerintah dan penghasilan dari surat-
surat obligasi atau surat-surat utang.
 Premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi atau Surat utang.
 Denda atas keterlambatan pembayaran tidak diperlakukan Sebagai bunga.
Aspek perpajakan internasional atas bunga diatur dalam pasal 11 OECD model
yang memiliki 6 ayat. Adapun pengaturan dari masing-masing ayat adalah sebagai
berikut :
 Ayat 1 : menjelaskan bahwa negara domisili dapat mengenakan pajak atas bunga
Dan hak pemajakan negara domisili tidak dibatasi.

14
 Ayat 2 : merupakan pembatasan atas hak Negara sumber Untuk mengenakan pajak
atas bunga dengan prosentase tertentu dari jumlah pembayaran bunga.
 Ayat 3 : mengatur tentang definisi bunga.
 Ayat 4 : mengatur bahwa pasal 11 Mas tidak dapat diterapkan dalam hal-hal pihak
yang menerima pembayaran bunga memiliki PE di negara sumber dan pembayaran
bunga kepada pihak yang menerima pembayaran bunga tersebut Memiliki hubungan
efektif dengan PE Yang dimilikinya di negara sumber.
 Ayat 5 : menjelaskan kan tentang arti “Arising in”.
 Ayat 6 : mengatur bahwa dalam hal Terjadi pembebanan pembayaran bunga yang
tidak wajar Yang terjadi di antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa,
maka pasal 11 tidak dapat diterapkan dan mengacu kepada ketentuan perpajakan
domestik negara sumber dan ketentuan lainnya yang terdapat dalam perjanjian
penghindaran pajak berganda.
Terkait dengan hak pemajakan, masing-masing negara yang mengadakan
perjanjian penghindaran pajak berganda diberi hak pemajakan atas penghasilan bunga.
Pasal 11 ayat (5) OECD model di atas mengatur bahwa penghasilan bunga akan
dianggap bersumber (arise in) Di suatu negara jika:
 Pihak yang membayar (payer) adalah subjek pajak dalam negeri dari negara sumber
tersebut.
 Apabila bunga tersebut dibebankan kepada PE yang berada di salah satu negara yang
mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda maka bunga tersebut dianggap
timbul di negara di mana PE tersebut berada tanpa memperhatikan bunga tersebut
dibayarkan dari negara mana, sepanjang terdapat hubungan ekonomis antara
pinjaman dan bunga yang dibebankan kepada PE.

c. Royalti
Dalam istilah umum, royalty didefinisikan sebagai pembayaran untuk
penggunaan aset tidak berwujud (Intangible Property). Pada saat ini, definisi royalti
juga mencakup pembayaran atas penggunaan hak kekayaan intelektual. Dalam pasal 12
ayat (2) OECD model, royalti dibedakan menjadi dua yaitu:

15
 Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan untuk memakai atau hak
memakai:
1. Hak cipta atas karya tulis, Karya seni atau karya ilmiah, termasuk film bioskop.
2. Hak paten, merek dagang, Pola atau model, rencana, rumus rahasia atau proses
rahasia.
 Setiap pembayaran yang diterima sebagai imbalan atas informasi yang berkenaan
dengan pengalaman di bidang industri, perdagangan, atau Ilmu pengetahuan, disebut
sebagai know-how.
OECD model memberikan hak pemajakan sepenuhnya kepada negara domisili
untuk mengenakan pajak atas royalti dan tidak memperbolehkan negara sumber untuk
mengenakan pemotongan pajak atas royalti seperti yang dinyatakan dalam pasal 12 ayat
(1) OECD model.

d. Harta Tak Bergerak


Definisi harta tak bergerak diserahkan kepada ketentuan domestik negara
sumber. Terlepas dari definisi yang diberikan oleh ketentuan domestik, pengertian
harta tak bergerak untuk tujuan penerapan perjanjian penghindaran pajak berganda
meliputi:
 Benda-benda yang menyertai harta tidak bergerak.
 Ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam pertanian dan kehutanan.
 Hak-hak dimana ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan umum yang
berkenaan dengan pertanahan berlaku.
 Hak memungut hasil atas harta tidak bergerak, dan hak atas pembayaran-pembayaran
tidak tetap atau tetap sebagai imbalan atas pengerjaan atau hak untuk mengerjakan,
kandungan mineral dan sumber-sumber daya alam lainnya.
Rumusan di atas mengecualikan penghasilan dari kapal, perahu dan pesawat
terbang yang diatur khusus dalam pasal 8 OECD dan UN model.
Pasal 6 OECD model dan UN model mengatur tentang pemajakan atas
penghasilan dari harta tak bergerak yang terletak dinegara sumber yang dimiliki oleh
subjek pajak dalam negeri dari negara lainnya (negara domisili). Pasal 6 ayat 1
memberikan hak kepada negara sumber untuk mengenakan pajak yang timbul dari harta

16
tak bergerak yang terletak dinegara sumber tersebut. Negara sumber dapat mengenakan
pajak sepanjang memenuhi persyaratan situs test, yaitu harta tak bergerak yang
memberikan penghasilan tersebut terletak di negara Sumber. Implikasi dari situs test
terhadap Pasal 6 ayat 1 adalah jika harta tak bergerak tidak terletak di negara sumber,
negara sumber tidak dapat mengenakan pajak yang timbul dari harta tak bergerak
tersebut, terlepas pemilik properti atau harta tak bergerak itu adalah subjek pajak dalam
negeri di negara sumber. Pasal 6 ayat 1 memberikan keuntungan lebih dari sisi negara
sumber.
Tidak seperti penghasilan pasif lainnya (bunga dan deviden), OECD model dan
UN model tidak membatasi hak pemajakan negara sumber. Dengan demikian, dapat
terjadi negara sumber mengenakan pajak dengan tarif lebih tinggi.

e. Capital Gain
Perpajakan internasional atas capital gain diatur dalam pasal 13 OECD model.
Pasal 13 ini mengatur pemajakan atas laba dari pengalihan atas:
 Harta tak bergerak (immovable property).
 Harta bergerak yang merupakan bagian dari harta tak bergerak.
 Kapal dan pesawat terbang.
 Pengalihan saham perusahaan real estate (perusahaan yang hartanya sebagian besar
terdiri dari harta tak bergerak).
 Pengalihan saham yang mencerminkan kepemilikan substansial dari subjek pajak
dalam negeri dari negara lainnya (domisili).

7.2 Pemajakan atas Dependent dan Independent Personal Services


a. Income from Employment (Dependent personal services)
Pemajakan internasional atas penghasilan dari pekerjaan (penghasilan sebagai
karyawan) diatur dalam pasal 15 OECD model dengan istilah income from employment.
sebelum tahun 2000, istilah yang dipergunakan oleh OECD model untuk pemajakan atas
penghasilan dari pekerjaan adalah dependent personal services.
Dependent personal services merupakan pemajakan atas penghasilan dari jasa
jasa yang dilakukan orang pribadi yang berkedudukan tidak bebas atau dengan kata lain

17
terikat oleh hubungan kerja. Ketentuan perpajakan internasional atas penghasilan dari
perpajakan sebagaimana diatur dalam pasal 15 adalah bahwa penghasilan dari pekerjaan
yang diperoleh oleh orang pribadi hanya dikenakan pada di negara domisilinya. Kecuali
orang pribadi tersebut melakukan pekerjaan di negara lain. Akan tetapi pasal 15 juga
merumuskan kriteria yang memungkinkan negara sumber yaitu negara dimana
seseorang pekerja hadir secara fisik untuk melakukan pekerjaan di negara tersebut,
untuk dapat mengenakan pajak.
Mengacu pada rumusan pasal 15 ayat 1 OECD Model, hanya negara domisili
yang boleh untuk mengenakan pajak. Kecuali jika pekerja yang dimaksud melakukan
pekerjaan di negara sumber. Dengan kata lain negara sumber memiliki hak pemajakan
jika pekerjaan itu dilakukan di negara sumber, dengan tidak memperhatikan status
subjek pajak pemberi kerja sebagai subjek pajak dalam negeri negara mana, atau bahkan
kita tidak perlu tahu siapa pihak pemberi kerjanya.
Penghasilan dari pekerjaan (Income from employment) terdiri atas :
 Penghasilan yang diperoleh oleh para artis termasuk olahragawan.
 Penghasilan direktur.
 Penghasilan yang diperoleh oleh pegawai pemerintah.
 Penghasilan yang diperoleh oleh para akademisi.
 Penghasilan pelajar dan peserta magang.
 Penghasilan penghasilan yang peroleh para diplomat

b. Independent Personal Services


Dalam suatu penghindaran pajak berganda, aspek perpajakan internasional atas
laba usaha yang dijalankan oleh subjek pajak orang pribadi dinamakan sebagai
penghasilan dari independent personal service. Independent personal services
merupakan pemajakan atas penghasilan dari jasa-jasa yang dilakukan oleh orang pribadi
yang jasanya dilakukan atas nama dirinya sendiri sebagai profesional yang menjalankan
pekerjaan bebas.
Penghasilan yang diperoleh oleh orang pribadi dari pemberian jasa profesional
(Professional services) atau pekerjaan bebas lainnya hanya dapat dikenakan pajak (shall
be taxable only) di negara di di mana orang pribadi tersebut menjadi subjek pajak dalam

18
negeri atau di negara domisili. Pengecualian atas ketentuan di atas apabila salah satu
ketentuan yang akan dijelaskan dibawah ini dipenuhi maka negara sumber dapat
mengenakan pajak atas penghasilan dari pemberian jasa profesional yang dilakukan oleh
orang pribadi.
Adapun ketentuan yang harus dipenuhi agar negara sumber dapat mengenakan
pajak adalah sebagai berikut :
 Apabila orang pribadi tersebut mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara
teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di negara sumber; atau
 Apabila orang pribadi tersebut tinggal di negara sumber dalam suatu periode atau
periode-periode yang jumlahnya melebihi 183 hari dalam masa 12 bulan yang mulai
atau berakhir pada satu tahun pajak yang bersangkutan.
Dengan demikian yang dimaksud dengan penghasilan dari pemberian jasa Profesional
adalah:
 Kegiatan-kegiatan anne-marie bidang ilmu pengetahuan.
 Kesusastraan.
 Pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli
Hukum, Dokter gigi, arsitek dan akuntan.

8. Konsep BUT ( permanent establishment)


Bentuk usaha tetap (BUT) Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
Batasan 183 hari dalam 12 bulan adalah apabila antara Indonesia dan negara asal
perusahaan tersebut tidak memiliki tax treaty atau P3B ( persetujuan penghindaran pajak
berganda). Akan tetapi apabila antara Indonesia dengan negara asal perusahaan tersebut
terdapat tax treaty dan P3B maka batasan sebagai BUT sesuai perjanjian tersebut.
Bentuk usaha tetap dapat berupa BUT tipe fasilitas fisik, BUT tipe aktivitas, BUT tipe
keagenan, dan BUT tipe asuransi.

19
1. BUT Tipe Fasilitas Fisik
BUT ini ditandai dengan adanya fasilitas fisik atau asset yang merupakan tempat
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di suatu negara. Sehingga BUT tipe
ini sering juga disebut sebagai BUT tipe Aset/aktiva. BUT ini mulai timbul ketika
aktivitas melalui tempat yang tetap dimulai, yang dapat diketahui pada saat
orang/perusahaan tersebut menyiapkan tempat tersebut. Yang termasuk dalam BUT tipe
ini adalah:
 Tempat kedudukan manajemen.
 Cabang perusahaan.
 Kantor perwakilan.
 Gedung kantor.
 Pabrik.
 Bengkel.
 Gudang
 Ruang untuk promosi dan penjualan.
 Pertambangan dan penggalian Sumber Alam.
 Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
 Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
 Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
 Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
 Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
 Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia.
 Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan
usaha melalui internet.

20
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Perusahaan
asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut
menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui
pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung resiko di Indonesia tidak
berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.

2. BUT tipe Aktivitas


Berbeda dengan tipe fasilitas fisik, BUT tipe aktivitas tidak tampak adanya fixed
place of bussiness. Yang termasuk ke dalam BUT tipe ini adalah:
 Perikanan, peternakan pertanian, perkebunan atau kehutanan.
 Proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan.
 Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan .

3. BUT Tipe keagenan


Apabila ada orang atau badan yang bertindak di suatu negara atas nama
perusahaan yang berkedudukan di negara lain dianggap mempunyai BUT jika agen
tersebut merupakan agen yang tidak bebas/terikat. Dalam BUT tipe ini pengusaha luar
negeri dapat memperoleh penghasilan usaha dari Indonesia tanpa harus memanfaatkan
tempat usaha tetap atau aktivitas tersendiri. Yang termasuk dalam BUT tipe ini adalah
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.

4. BUT Tipe Asuransi


Perusahaan asuransi di suatu negara, kecuali dalam reasuransi, dianggap
mempunyai BUT di negara lain jika perusahaan tersebut menanggung premi atau
menanggung resiko yang terjadi di negara lainnya melalui orang atau badan yang bukan
merupakan agen yang bebas. Dengan demikian, penentuan BUT tipe ini melalui

21
penerimaan premi atau penutupan risiko di Indonesia melalui pegawai ( atau agen selain
yang telah disebutkan dalam tipe keagenan). Yang termasuk dalam BUT tipe ini adalah
agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.

Kedudukan BUT dalam Undang-Undang PPH


Seperti yang sudah disebutkan, kedudukan BUT dalam undang-undang PPH di
Indonesia adalah dipersamakan dengan wajib pajak badan.

Penghasilan BUT
Mengingat kedudukan BUT dipersamakan dengan wajib pajak badan dalam
negeri, maka penghasilan BUT yang menjadi objek PPH adalah sebagaimana diatur
dalam undang-undang PPH.

Objek Pajak BUT


Pasal 5 undang-undang PPH membagi objek pajak BUT dalam tiga kategori
yaitu:
 Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasainya.
 Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian
jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh BUT nya
di Indonesia.
 Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT nya dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan.
Pemajakan terhadap BUT menggunakan tarif sebagaimana dimaksud pasal 17
ayat (2) yaitu sebesar 25%. Pasalnya, kedudukan BUT dalam UU PPh di Indonesia
dipersamakan dengan wajib pajak badan, kecuali untuk BUT tertentu yang
penghasilannya dihitung dengan menggunakan norma penghitungan khusus, sehingga
tarifnya adalah tarif khusus yang ditetapkan Menteri Keuangan.

22
9. Definisi transfer pricing
Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang diutarakan
beberapa ahli antara lain adalah:
 Menurut Tsurumi dalam Gunadi ( 1997), dalam suatu grup perusahaan, transfer
pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen
(management control) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.
 Menurut Charles T. Horngren, George Foster dan Srikant datar dalam akuntansi
biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu subunit (segmen,
departemen, divisi dan sebagainya) untuk produk atau jasa yang dipasok ke subunit
lain dalam organisasi yang sama.
 Menurut Ralph Estes dalam kamus akuntansi, harga transfer adalah suatu harga
internal yang dibebankan oleh satu unit seperti divisi perusahaan anak atau
departemen dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
 Menurut Don R. Hansen dan Maryam M. Moven dalam management accounting,
harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang ditransfer dari satu
divisi ke divisi lainnya.
 Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau jasa atas
suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar perusahaan dalam satu
grup.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada prinsipnya
transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan dalam satu grup
yang sama.
Menurut Charles T. Horngren, George Foster dan Srikant Datar ada tiga metode
umum untuk menentukan harga transfer yaitu:
 Harga transfer berdasarkan pasar
Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan harga dari produk atau jasa
sejenis yang tercantum dalam katakanlah jurnal perdagangan. Perusahaan juga dapat

23
memilih harga internalnya sama dengan harga external yang dikenakan terhadap
konsumen luar.

 Harga transfer berdasarkan biaya


Contoh-contoh meliputi biaya variabel produksi dan biaya produksi penuh.
Biaya produksi penuh meliputi semua biaya produksi termasuk biaya dari fungsi usaha
(riset dan pengembangan, desain, pemasaran, distribusi dan pelayanan konsumen).
Biaya-biaya tersebut dapat merupakan biaya aktual maupun biaya yang dianggarkan.

 Harga transfer hasil negosiasi


Dalam beberapa kasus, subunit perusahaan bebas untuk menegosiasikan harga
transfer antar mereka. Subunit dapat menggunakan informasi mengenai biaya dan harga
pasar dalam negosiasi, tetapi tidak ada persyaratan bahwa harga transfer yang dipilih
harus mempunyai hubungan tertentu ke biaya atau harga pasar. Harga transfer hasil
negosiasi tersebut sering digunakan ketika harga transfer berfluktuasi dan terus berubah.
Harga transfer hasil negosiasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar antara divisi
penjual dan divisi pembeli.
Bagi organisasi terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai
masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu
mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefinisikan sebagai suatu harga jual
khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi
penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying division). (Henry Simamora,
1999: 272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing,
Intercorporate pricing, Interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa
antar anggota grup perusahaan. Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-
produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang
dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut,
transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh
karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara

24
sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi
jumlah pajak atau bea dari suatu negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer pricing
dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong oleh alasan pajak (tax
motif) maupun bukan pajak (non tax motive). Berbagai studi di luar Indonesia
menunjukkan hal tersebut (Carson :1979), Vaitson:1974, dalam Caves:1996). Motivasi
pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan
penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk
pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk Pembayaran royalti karena dengan
sangat langkanya standar-harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi
pajak untuk mengatasinya. Koptis (dalam Caves: 1996) menyatakan bahwa paling
kurang 13% pembayaran royalti dari negara berkembang ke negara maju merupakan
transformasi royalti menjadi deviden. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang
(bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves:1996) menyatakan bahwa berdasarkan
studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar
selain harga pasar dalam menghitung transfer price-nya. Semakin mudah tingkat
ekonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan
strategi transfer pricing. Semakin kurang menentu nya lingkungan tempat operasi
anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan
domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer
pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan
besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha keluar negeri dengan
mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpts-
reveneu atau konsep corporate profit centre. Idealnya konsep desentralisasi profit center
tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah
satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional
yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah
ketat atau tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan
informasi, merupakan hal yang akan mendorong pelaksanaan transfer pricing, sehingga

25
secara keseluruhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya nya masalah transfer
pricing tersebut adalah:
 Pergeseran menuju desentralisasi, divisionalisasi dan penggunaan konsep cnrpu-ratc
profit centre.
 Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan investasi nasional.
 Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa
negara.
 Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar unit dalam grup
perusahaan.

10. Tujuan Transfer Pricing


Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan
data keuangan diantara departemen-departemen atau divisi-divisi perusahaan pada
waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain ( Henry Simamora
:1999: 273) selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk
mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli
menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.
a transfer pricing system should satisfy three objectives : accurate performance
evaluation, goal congruence, and preservation of divisional autonomy ( Joshua Ronen
and George McKinney, 1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan
untuk meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan di seluruh dunia. Transfer
pricing can effect overall corporate income taxes. this is particularly true for
multinasional Corporation ( Hansen and mowen, 1996: 496).

11. Tipe Dan Metode Transfer Pricing


Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh perusahaan-
perusahaan multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam melakukan Aktivitas
keuangannya adalah:
 Harga transfer dasar biaya ( cost based transfer pricing)

26
Perusahaan yang menggunakan metode transfer atas dasar biaya menetapkan
harga transfer atas biaya variabel dan tetap yang bisa dalam tiga pemilihan bentuk yaitu
biaya penuh (full cost), biaya penuh ditambah mark up (full cost plus mark up) dan
gabungan antara biaya variabel dan tetap ( variable cost Plus fixed cost).

 Harga transfer atas dasar harga pasar ( market basis transfer pricing)
Apabila ada suatu pasar yang sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga
pasar inilah merupakan ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen.
Namun keterbatasan informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam
menggunakan transfer pricing yang berdasarkan harga pasar.

 Harga transfer negosiasi ( Negotiated transfer prices)


Dalam ketiadaan harga, beberapa perusahaan memperkenankan divisi-divisi
dalam perusahaan yang berkepentingan dengan transfer pricing untuk menegosiasikan
harga transfer yang diinginkan. Harga transfer negosiasian mencerminkan perspektif
kontrolabilitas yang inheren dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi
yang berkepentingan tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga
transfer Yang dinegosiasikan.

12. Transfer pricing pada perusahaan multinasional


Menurut Zain (2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional
bertujuan:
1. Memaksimalkan penghasilan global
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3. Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negara
4. Penghidaran pengendalian devisa
5. Mengontrol kredibilitas asosiasi
6. Meningkatkan bagian laba joint ventura
7. Reduksi resiko moniter
8. Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri.

27
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk memperjelas praktektransfer
pricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaanmultinasional. Perusahaan
induk (parent company) yang terletak di Belgiamemproduksi suatu produk, dengan
harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku di negara tersebut adalah 42%. Untuk
menghindari pengenaan pajakdengan tarif yang tinggi, perusahaan induk memutuskan
untuk menjual produk tersebut ke anak perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan
harga transfer yang sama dengan harga pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang
terutang atastransaksi penjualan antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah
Rp 0. Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama denganharga
pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba yangakan dikenakan
pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk menghindari pajak dengan tarif
yang tinggi yang berlaku di negara tempat perusahaan induk berada. Kemudian barang
yang sudah dibeli, dijual oleh anak perusahaan diPuerto Rico ke anak perusahaan lain
yang ada di Amerika dengan harga transferRp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara
Puerto Rico adalah 0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas
laba yang timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di
negaratersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah
sebesarRp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada
diAmerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewadi
negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga jual ini
dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara
yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negaraAmerika 35%.
Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi penjualan ini adalah
sebesar Rp 0.
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut dari
Pemerintah setempat, karena terkadang anak perusahaan yang didirikan dalam suatu
negara, hanya bersifat sebagai transit place atau tempat persingahan semata.Suatu
survey yang dilakukan oleh Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwamasalah
transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun
waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di
seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan audit

28
compliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang
memang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini
akan memperlihatkan persentase dilakukannyaaudit compliance pada perusahaan
perusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di dunia. Biasanya
cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara dengan adanya transfer pricing adalah
membuat suatu kewenangan, dimana pemerintah diberikan wewenang untuk
menentukan kembali dengan cara me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya
yang timbul di perusahaan multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga
laba dan biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang
ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan pajak terutang
dapat di cegah. U.S Based multinationals are subject to Internal Revenue Code Section
482 on the pricing of intercompany transactions. Menurut Hansen and Mowen,
1996:543 dikatakan bahwa “This section gives the IRS the authority toreaalocate
income and deductions among divisions if it believes that suchreallocation will reduce
potentiak tax evasion.” Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam IRS, apabila terjadi
transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau terjadi transaksi dalam
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga yang berlaku adalah
harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan dengan pihak-pihak di luar
perusahaan atau dengan kata lain, transaksi dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak
punya hubungan istimewa. Menurut Hansen and Mowen,1996:543, That is, the transfer
pricing set should match the price that would be set if the transfer were being made by
unrelated parties, adjusted fordiffrences that have a measurable effect on the price.
Untuk mencegah hilangnya penerimaan negara akibat praktik transfer pricing
pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan
telah menyusun beberapa peraturan terkait transfer pricing. Peraturan tentang transfer
pricing secara umum diatur dalam pasal 18 UU 34 nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat 3 UU PPh menyebutkan bahwa Direktorat
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan Kena Pajak
bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya
sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha. Aturan lebih lanjut dan detail tentang
transfer picing termuat dalam peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 43/PJ/2010 yang

29
diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER 32/PJ/2011 tentang penerapan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait transaksi wajib pajak dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length
principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar. Dalam peraturan Dirjen pajak diatur
bahwa arm’s length principle dilakukan dengan menggunakan langkah- langkah :
1. Melakukakan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding
2. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat.
3. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis
kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi
yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
4. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar ataulaba wajar
sesuai dengan ketentuan perundang–undangan perpajakan yang berlaku.
Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA) dengan wajib pajak maupun
dengan negara lain diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER69/PJ/2010 tentang
kesepakatan harga transfer/APA, penerapan APA kedua belah pihak sama-sama
diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dengan APA maka adanya perjanjian
antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan wajib pajak dan/otoritas pajak negara lain
yang menyepakati kriteria-kriteria atau menyepakati harga wajar/laba wajar di muka
para pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Harga wajar dan laba wajar yang
ditentukan dengan memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai Peraturan
Dirjen Pajak. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajakmelakukan
transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan
bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain,
APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit
memuat tentang para pihak yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk
dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka
waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer

30
pricing (transfer pricing adjustment). Sementara itu, dengan melakukan APA yang
melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat
menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak. Tujuan
diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer
pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur
JenderalPajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang
dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan
dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak,
Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual
Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral,
yaitu merupakan kesepakatan antara DirekturJenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara
lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

13. Treaty Shopping


Treaty Shopping adalah suatu skema yang dilakukan untuk mendapatkan fasilitas,
misalnya penurunan tarif pemotongan pajak (withholding taxes) yang disediakan oleh
suatu perjanjian penghindaran pajak berganda, oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak
berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut. Upaya penyalahgunaan perjanjian
penghindaran pajak berganda tersebut, disebut sebagai abusive. Hal ini disebabkan
karena menggunakan pasal-pasal dalam perjanjian penghindaran pajak berganda yang
tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibuatnya perjanjian penghindaran pajak
berganda, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah terjadinya
penghindaran pajak.
Dalam rangka mencegah praktik penyalahgunaan ketentuan-ketentuan dalam suatu
perjanjian penghindaran pajak berganda agar tidak disalahgunakan oleh subjek pajak
yang tidak seharusnya menerima manfaat dari perjanjian penghindaran pajak berganda
tersebut, maka dalam pasal perjanjian pajak berganda terdapat ketentuan tentang anti tax
avoidance. Disamping itu, banyak negara juga membuat suatu ketentuan tentang anti tax
avoidance terhadap treaty shopping dalam ketentuan domestiknya.

31
14. KEDUDUKAN SURAT KETERANGAN DOMISILI (SKD) DALAM
PENCEGAHAN TREATY SHOPPING
Sehubungan dengan masalah subjek pajak yang berhak mendapatkan fasilitas yang
ada dalam suatu perjanjian penghindaran pajak berganda biasanya negara sumber
penghasilan meminta Certificate of Residence (Surat Keterangan Domisili/SKD)
sebagai bukti bahwa subjek pajak tersebut memang benar subjek pajak dalam negeri dari
negara lainnya yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda.
Di India, dalam perjanjian penghindaran pajak berganda India-Mauritius, Central
Board of Direct Taxation menyatakan bahwa SKD yang diterbutkan oleh pihak yang
berwenang di Mauritius dapat dianggap sebagai bukti yang cukup meyakinkan bahwa
penghasilan telah diterima oleh subjek pajak dalam negeri sekaligus sebagai penerima
terakhir yang sebenarnya (beneficial owner of the income). Akan tetapi, oleh Pengadilan
Tinggi, Surat Edaran tersebut dianggap ultra vires terhadap undang-undang pajak
penghasilan India. Lebih lanjut, mengenai Surat Edaran yang diterbitkan tersebut,
Srinivasa Rao berpendapat bahwa hal tersebut merupakan passive abuse by a state
karena negara memberikan legitimasi kepada subjek pajak yang mempunyai peluang
untuk melakukan abuse of tax treaty.
Contoh kasus lain yang berhubungan dengan kedudukan SKD dapat dilihat dalam
kasus sengketa pajak antara Forth Investment Ltd dengan Commissioners of Inland
Revenue yang terjadi di tahun 1976. Dalam kasus tersebut, surat pernyataan dari
Company Secretary dan SKD yang diterbitkan oleh Deputy Commissioner dianggap
tidak mempunyai nilai sama sekali (the evidential value was nil).
Terkait dengan kasus di atas, pengadilan dengan tegas menyatakan bahwa SKD
hanya merupakan opini dari pihak yang menerbitkan SKD tersebut dan pihak otoritas
pajak berhak untuk mendapatkan bukti-bukti lainnya untuk melihat transaksi
sesungguhnya secara lebih mendalam (lebih diutamakan) dan melihat fakta-fakta yang
sebenarnya.

15. Aplikasi Pajak Internasional dalam Perusahaan Multinasional


Dalam rangka mengevaluasi kebijakan perdagangan dan efektivitas lalu lintas
modal internasional, adalah kurang efisien apabila hanya difokuskan secara sempit pada

32
tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak saja, sebab faktor pajak pun tidak sedikit
perannya dalam evaluasi kebijakan dimaksud. Kebijakan perpajakan kadang-kadang
sangat berperan dalam pengambilan keputusan mengenai penanaman dan pembiayaan
perusahaan yang akan melakukan investasi di luar negeri. Walaupun pada dasarnya
sistem perpajakan di seluruh dunia hampir serupa satu sama lainnya, namun dalam
beberapa hal terdapat perbedaan-perbedaan yang menyangkut berbagai dimensi, seperti:
Tarif marjinal yang berbeda secara esensial dari tarif 0% di negara-negara yang disebut
surga pajak (tax-haven countries), sampai tarif 60% di negara-negara tertentu yang
dikenal sebagai negara berpajak tinggi (high-tax countries). Definisi penghasilan yang
berbeda secara dramatis antar-satu negara dengan negara lainnya.
Pengertian tentang penghasilan yang dikecualikan dari pengenaan pajak.
Wajib pajak hanya dipajaki dari penghasilan dalam negeri atau termasuk
penghasilan luar negeri. Perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan
dalam hal prinsip yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya,
maka dapat saja perusahaan multinasional menggunakan harga yang menyimpang dari
harga yang berlaku secara umum. Penyimpangan harga dimaksud adalah penyimpangan
dari harga yang disebut “arm’s length price” yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh
kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam
kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan
istimewa. Perusahaan multinasional tersebut dapat saja melakukan transaksi antar grup
yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga transaksi lebih rendah atau
lebih tinggi, hal ini disinyalir sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan dari satu
grup ke grup lainnya yang berarti pula pajak yang terutang di kedua grup yang terlibat
tersebut akan mengalami perubahan.
Oleh karena instansi pajak dari masing-masing negara yang terlibat, merasa perlu
untuk menentukan berapa besar penghasilan kena pajak yang wajar dari unit perusahaan
atau cabang-cabang perusahaan dari suatu grup yang beroperasi di daerah yurisdiksinya,
maka sangatlah penting untuk mempelajari masalah kebijakan harga (price method)
yang diterapkan di perusahaan multinasional tersebut, khususnya apabila instansi pajak
yang bersangkutan mempunyai alasan yang kuat bahwa unit/grup perusahaan di daerah
yurisdiksinya melaporkan dalam SPT penghasilan kena pajak yang tidak wajar. Untuk

33
ini, undang-undang perpajakan di negara yang bersangkutan hendaknya memungkinkan
instansi pajak di negara tersebut untuk melakukan verifikasi dan bahkan sampai kepada
penyidikan sekalipun serta mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi fiskal
terhadap harga transfer yang dilaporkan dalam SPT, sesuai dengan arm’s length price.
Masalah yang paling sering dibicarakan dalam rangka perencanaan pajak
perusahaan multinasional adalah menyangkut masalah pengenaan pajak atas penghasilan
yang berbeda yurisdiksi pajaknya. Pemecahan masalah ini biasanya dilakukan melalui
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, yang bertujuan mencegah pengenaan pajak
berganda atas penghasilan perusahaan multinasional dengan cara memecah-mecah
penghasilan dan biaya yang dialokasikan di berbagai yurisdiksi pajak tersebut.

16. ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT. TOYOTA MOTOR


MANUFACTURING INDONESIA
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun
2003. Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada
bisnisnya. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di
bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra
Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan
Toyota Motor Corporation Jepang (sebesar 49%).
Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian besar
sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT
Astra International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka
mempunyai utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham
tersebut, Toyota Motor Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT
Toyota Astra Motor dengan kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan
kepemilikan tersebut, nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi
PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.
Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan
Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal
pemegang merek (ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini
menggunakan nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini,

34
Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara
sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor Corporation Jepang.
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib
Pajak melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005,
2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak
terhadap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap
SPT Toyota pada
Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004
misalnya, laba bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp
950 miliar. Selain itu, rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat
penjualan) juga mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003
menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami
peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross
margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per
tahun. Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek
yang didirikan setelah restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika
gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia, persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak
setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum
restrukturisasi yang mencapai 14%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan
penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar.
Mengenai transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, untuk penjualan
ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte.,Ltd, unit
bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia ke negara-negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli
melalui negara perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan

35
internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan
multinasional yang sama. Namun, hal ini akan menjadi permasalahan di bidang
perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha serta digunakan untuk melakukan penghindaran pajak.

PT. Toyota Toyota Motor Asia Negara Tujuan


Manufacturing Pacific (Singapura) Ekspor
Indonesia
Gambar 4

Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Kebijakan


Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan ekspornya
menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak
Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai
dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah
Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer
pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya
memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota,
untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke Singapura guna meringankan
beban pajaknya secara keseluruhan.
Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk
mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak
SPT PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa
sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor
17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota,
petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold
(COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota
menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai
tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung kerugian dari penjualan
mobil-mobil itu ke Singapura.

36
Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan
mobil Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjual Innova diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
masing-masing dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per
unit. Sementara itu, pada ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari
biaya produksinya per unit.
Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan
domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di
Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil
tersebut dijual dengan gross
margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.
Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk
menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
penghindaran pajak melalui transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara
penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila penentuan harganya
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja
proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atas produk-
produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien sehingga PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan penjualan ekspor dengan harga jual
di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan terjadinya penghindaran pajak
melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari semua
transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific
Pte., Ltd di Singapura. Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran
transfer price dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor
Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu
dengan traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development

37
(OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang
dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima
perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina).
Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa
pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar (arm’s length
range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan
13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah kisaran
tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.

Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini
adalah mencari data pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil wawancara petugas
pajak, ketersediaan data pembanding ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer
pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, petugas pajak menggunakan Hindustan Motors (India), Yulon
Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao
(Cina). DJP menganggap bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki karakteristik
serupa dengan Toyota sehingga layak dijadikan pembanding.
Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan Pajak, pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang
digunakan sebagai perbandingan oleh petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India),
Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara

38
itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan
demikian, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut tidak layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus
tersebut.
Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data
pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap beberapa
komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang lebih mudah
menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia dan mudah
diakses. Namun, sebagian besar produk perusahaan-perusahaan multinasional susah
dicari pembandingnya karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand
yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya
dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.
Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar,
otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan
Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP). Advance
Pricing Agreement dan Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses untuk
menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) patut diapresiasi.
Menurut OECD, APA adalah “an administrative approach that attempts to prevent
transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying the
arm's length principle to transactions in advance of those transactions taking
place”. APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah
adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau Direktur
Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang
melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga
wajar atau laba wajar di muka.
Sementara itu, MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk
menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan

39
APA dilakukan melalui MAP dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B.
APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Secara formal,
Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur
pembentukan dan pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan APA baru
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.
APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak maupun
DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan
otoritas pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian
dalam transfer pricing dan penghematan biaya dan waktu. APA akan membuat Wajib
Pajak lebih nyaman dalam menjalankan kegiatan usahanya karena sudah ada batasan
yang telah disepakati dengan otoritas pajak mengenai besarnya transfer price yang
dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi potensi terjadinya sengketa pajak.
Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa pajak terkait
transfer pricing seringkali memakan biaya yang besar dan waktu yang lama. Karena
potensi terjadinya sengketa pajak dapat dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib
Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang
lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak melakukan
transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan
bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain,
APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit
memuat tentang para pihak yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk
dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka
waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer
pricing (transfer pricing adjustment). Sementara itu, dengan melakukan APA yang
melibatkan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat
menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap Wajib Pajak.

40
Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam membuat
APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak berpotensi menurunkan
penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar
tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak. Analisis yang mendalam
dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum menandatangani APA dengan Wajib Pajak,
terutama terkait transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer
pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal
(critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).

Kesimpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang
terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan penentuan
beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing lebih banyak
digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer
price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya
yang berada di Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan
Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable
Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah
mencari data pembanding yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah
oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang
menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor
(Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT

41
Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa
dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih
kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA juga dapat
meningkatkan basis data perpajakan DJP.

Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah terkait
kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia antara lain:
1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk melaksanakan
program APA.
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum menandatangani
APA dengan Wajib Pajak.
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

42
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pajak Berganda dapat muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan
yang melekat pada pemerintah suatu negara dengan negara lain atau benturan yurisdiksi
pemajakan dalam format internasional (overlapping of tax jurisdiction in the
internasional sphere). Contoh dari International double taxation adalah pengenaan pajak
dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang sama oleh dua negara. Dua
negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas Objek Pajak yang sama dan Subjek
Pajak yang sama.
Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s length.
Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh perusahaan multinasional
dengan tujuan untuk penghindaran pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah
berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Peraturan perpajakan Indonesia untuk menangani kasus transfer pricing sudah memadai
hanya untuk aturan teknis pelaksanaannya perlu dibuat secara khusus. Misalnya dengan
peningkatan status peraturan dari Surat Edaran menjadi peraturan yang lebih tinggi.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement ) mempunyai peranan
penting dalam penyelesaian kasus transfer pricing dan yang lebih penting lagi dapat
memberikan kepastian hukum kepada para Wajib Pajak Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda ( P3B ) dapat menyelesaikan masalah transaksi transfer pricing antara negara
yang terikat perjanjian P3B dengan correlative adjustment

43
DAFTAR PUSTAKA

Darussalam; Hutagaol, John & Septriadi, Danny. 2010. Konsep dan Aplikasi Perpajakan
Internasional. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center.

https://www.google.com/amp/m.bisnis.com/amp/read/20170608/9/660677/pajak-
internasional-70-negara-sepakati-aturan-pencegahan-treaty-shopping

https://dokumen.tips/documents/pajak-internasional-passive-income.html

http://www.wibowopajak.com/2012/01/pengertian-but-bentuk-usaha-tetap.html

https://news.ddtc.co.id/kamus-pajak-memahami-konsep-but-6501

https://nasikhudinis.me/2014/09/19/bentuk-usaha-tetap-but-dan-kedudukannya-dalam-
sistem-perpajakan-indonesia/

Mardaniati,Dwi dkk. 2019. Penghindaran Pajak Berganda. Makalah

Ita Salsalina Lingga. 2012. “Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan
Problematika Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)”. Jurnal Zenit; Vol.
1 No. 3 Desember 2012, Hal. 210-221; ISSN: 2252-6749. Fakultas Ekonomi
Jurusan Akuntansi. Univ.Kristen Maranatha

44

Anda mungkin juga menyukai